Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH UNDANG-UNDANG KESEHATAN

PEKERJAAN DAN PERIZINAN KEFARMASIAN

OLEH : KELOMPOK V

NILUH RAI SUPIANI F201901054

NOSA ISALAWATI F201901080

SHINTIA AGRIFA ALI IMRAN F201901076

SARDIYANTO F201901071

SULISTIAWATI F201901057

KRISTINA DEWI F201901056

RESKI WAHYUNI ASIS F201901074


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis curahkan kepada Allah SWT, karena atas izin-
Nya penulis dapat menyusun makalah ini yang menurut penulis bisa
dimanfaatkan untuk hal pembelajaran dan ilmu pengetahuan khusunya dalam
UNDANG – UNDANG KESEHATAN

Makalah ini penulis susun berdasarkan data dari berbagai sumber yang
penulis dapatkan dan penulis mencoba menyusun data-data itu hingga menjadi
sebuah karya tulis ilmiah sederhana yang berbentuk makalah. Selama proses
pembuatan makalah ini, banyak hal yang penulis dapatkan, termasukPeraturan
undang-undang kesehatan yang mencakup tenaga kefarmasiian dan pelayanan
kefarmasian, uji hipotesis, surat tanda registrasi dan surat izin praktek.

Dalam kehidupan sehari-hari banyak masyarakat yang buta terhadap peran


Kefarmasian di negara kita, maka dari itu makalah ini ditujukan oleh penulis kepada
pembaca maupun penyimak agar kita dapat mengenal dan mengetahua secara luas
tugas kefarmasian, dan mengetahui undang undang yang mengatur dan melindungi
tenaga kefarmasian.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini sangat banyak


kekurangannya, mungkin ini pengetahuan penulis yang sangat terbatas, oleh karena
itu segala kritik dan saran sangat penulis harapkan agar penulis dapat
memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut. Terima kasih.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………

1.1. LATAR BELAKANG………………………………………


1.2. RUMUSAN MASALAH
1.3. TUJUAN…………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN……………………………………..

2.1. PENGERTIAN TENAGA KEFARMASIAN DAN PEKERJAAN KEFARMASIAN

2.2. UJI KOPETENSI

2.3. SURAT TANDA REGISTRASI………………………….

2.4. SURAT IZIN PRAKTEK………………………………….

BAB III PENUTUP…………………………………………….

3.1. KESIMPULAN

3.2. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN.

1.1. Latar Belakang


Pelayanan kesehatan merupakan salah satu pelayanan dasar yang
harus diberikan dan dijamin oleh pemerintah kepada seluruh warganya.
Berdasarkan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang disebutkan
bahwa “Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta
memperoleh pelayanan kesehatan”. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan juga
digunakan pemerintah dalam memenuhi dan melindungi hak kesehatan setiap
warganya. Hak kesehatan ini secara umum mengandung dua hak dasar yaitu hak
atas pelayanan kesehatan dan hak untuk menentukan nasib sendiri (Soekanto,
1990). Sehingga setiap warga negara memiliki hak yang sama, tanpa diskriminasi,
adil dan merata atas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah.
Pengaturan perundang-undangan di bidang kesehatan secara umum telah
ada dengan ditetapkanya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan (selanjutnya disebut dengan UU Kesehatan) dan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan (selanjutnya disebut dengan
UU Tenaga Kesehatan). UU Kesehatan merupakan pengaturan dasar sistem
kesehatan secara umum yang mengatur berbagai bidang dalam ruang lingkup
kesehatan dan pelayanan kesehatan. Sedangkan UU Tenaga kesehatan
merupakan pengaturan secara umum terkait dengan kedudukan, peran dan
tanggung jawab sebagai bagian dari pemberi pelayanan kesehatan bagi
masyarakat.
Pengaturan tenaga kesehatan dalam UU Tenaga Kesehatan masih
bersifat umum dan mencakup seluruh tenaga kesehatan. Setiap kelompok
tenaga kesehatan memiliki keistimewaan tersendiri dan berbeda satu sama lain
sehingga pengaturan terkait dengan masing-masing kelompok tenaga kesehatan
seharusnya diatur tersendiri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3)
UU Kesehatan yang disebutkan bahwa, “Ketentuan mengenai tenaga kesehatan
diatur dengan Undang-Undang”. Ketentuan tersebut menggambarkan adanya
delegasi terkait pengaturan tenaga kesehatan berdasarkan masing-masing
kelompok tenaga kesehatan yang dapat diatur dengan undang-undang.

Tenaga kefarmasian merupakan bagian dari tenaga kesehatan yang


melakukan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan sediaan farmasi
atau pekerjaan farmasi karena sesuai dengan keterampilan, kompetensi dan
kewenangan yang diberikan perundang-undangan (Muharni et al., 2015).
Berdasarkan Pasal 1 butir 1 PP Tentang Pekerjaan Kefarmasian disebutkan
bahwa, “Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional”.
Ketentuan ini memberikan kewenangan tenaga kefarmasian dalam
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian dari pengelolaan sediaan farmasi dari
produksi sampai diterima pasien. Terdapat tiga kelompok tenaga kesehatan yang
telah memiliki undangundang sendiri sebagai dasar hukum profesinya. Tenaga
medis yang menghimpun dokter dalam menjalankan praktik diatur dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutya
disebut dengan UU Praktik Kedokteran).
Profesi perawat menjalankan profesinya berdasarkan Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang keperawatan (selanjutnya disebut
dengan UU Keperawatan). Dan bidan dalam menjalankan profesinya
berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Kebidanan
(selanjutnya disebut dengan UU Kebidanan). Sampai saat ini, tenaga kefarmasian
belum memiliki dasar hukum selevel undang-undang yang mengatur profesi dan
pelayanan kefarmasian. Berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan,
dasar hukum khusus yang tertinggi yang dimiliki oleh tenaga kefarmasian dimuat
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
(selanjutnya disebut dengan PP Pekerjaan Kefarmasian). Selain pengaturan
dalam PP Pekerjaan Kefarmasian tersebut, pengaturan tenaga kefarmasian
diatur oleh Menteri Kesehatan. Kepastian hukum dibidang kefarmasian
dipengaruhi oleh pengaturan pelayanan kefarmasian yang saling bertentangan
dan konsistensi peraturan yang dibuat pemangku kebijakan. Pengaturan
kefarmasian yang dilakukan oleh Menteri kesehatan sering kali berubah
sehingga mengakibatkan permasalahan baru (Fadhillah et al., 2019). Misalnya
pengaturan terkait dengan standar pelayanan kefarmasian di puskesmas yang
dimuat dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Selanjutnya disebut dengan PMK)
Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas.
Selanjutnya permenkes ini diperbarui dengan PMK Nomor 74 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Kemudian direvisi
kembali dengan PMK Nomor 26 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas.
Perubahan yang sering terjadi terkait pengaturan kefarmasian
tersebut dapat menimbulkan kebingungan tenaga kefarmasian dalam
implementasi di lapangan. Hal ini dapat mengakibatkan penyesuaian kebijakan
dan pengaturan ditingkat bawah seperti perubahan standar operasional
prosedur, penambahan atau pengadaan sumber daya manusia serta perubahan
dalam administrasi dan akreditasi. Perubahan ini juga dapat menimbulkan tidak
terjaminya kepastian hukum terkait dengan kefarmasian sehingga perlindungan
hukum bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian juga tidak terlindungi dengan baik. Apabila ini terjadi maka jalannya
palayanan kefarmasian kepada pasien akan terganggu dan pasien tidak
mendapatkan pelayanan yang berkualitas terhadap pelayanan yang didapatkan
serta perlindungan terhadap pasien juga tidak dapat terjamin dengan maksimal.
Berdasarkan uraian di atas, kepastian hukum dalam pengaturan kefarmasian
yang dapat berdampak besar dalam implementasinya penting untuk
diperhatikan. Sehingga penulis tertarik membahas tentang “Kepastian Hukum
Tenaga Kefarmasian Dalam Menyelenggarakan Pelayanan Kefarmasian”.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apa yang dimaksud tenaga kefarmasian dan pekerjaan kefarmasian?
1.2.2. Sebut dan jelaskan uji kompetensi ?
1.2.3. Apa yang di maksud dengan surat tanda registrasi?
1.2.4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Surat izin praktek?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Tenaga Kefarmasian dan Pekerjaan Farmasian

Tenaga kefarmasian merupakan bagian dari kelompok tenaga


kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan di bidang kefarmasian.
Dasar hukum ketetapan tenaga kefarmasian berdasarkan Pasal 11 ayat (6) UU
Tenaga Kesehatan yang disebutkan bahwa, “Jenis Tenaga Kesehatan yang
termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian.” Selanjutnya berdasarkan Pasal 108 ayat (1) disebutkan
bahwa, “Praktik kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Berdasarkan ketentuan di atas, kedudukan tenaga kefarmasian dalam


hukum memiliki kedudukan yang kuat dan jelas. Kedudukan tenaga kefarmasian
kuat karena tenaga kefarmasian merupakan kelompok tenaga kesehatan yang
diakui memiliki keahlian dan kewenangan dalam melakukan pelayanan
kefarmasian dan keberadaan tenaga kefarmasian ditetapkan dengan Undang-
Undang Tenaga Kesehatan. Sedangkan kedudukan tenaga kefarmasian jelas
dikarenakan ruang lingkup pekerjaan yang menjadi keahlian dan tanggung
jawab tenaga kefarmasian telah diatur oleh Undang-Undang Kesehatan.
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian
mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat
dan obat tradisional. pekerjaan kefarmasian di Indonesia adalah sebagai
apoteker. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi
dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku

2.2 Uji Kompetensi

Tenaga kesehatan adalah salah satu faktor terpenting dalam


mendukung fungsi sistem pelayanan kesehatan. Dibutuhkan tenaga
kesehatan yang kompeten dan berdedikasi dalam jumlah dan sebaran yang
baik untuk dapat menjalankan peran dan fungsinya secara optimal.
Peningkatan kualitas pendidikan tenaga kesehatan adalah salah satu
langkah strategis untuk meningkatkan ketersediaan tenaga kesehatan
berkualitas dan memiliki kompetensi yang relevan untuk menjalankan
sistem pelayanan kesehatan. Sertifikasi profesi merupakan upaya untuk
memberikan pengakuan atas kompetensi yang dikuasai seseorang sesuai
dengan Standard Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), standar
internasional atau standar khusus. Standar Kompetensi adalah pernyataan
yang menguraikan keterampilan, pengetahuan dan sikap yang harus
dilakukan saat bekerja serta penerapannya, sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan oleh tempat kerja (industri). 
Uji kompetensi merupakan salah satu upaya penjaminan yang harus dilalui
para tenaga kesehatan. Selain itu, uji kompetensi juga dapat membantu para
institusi pendidikan untuk mengevaluasi apakah para lulusan yang dihasilkan
telah memenuhi standarisasi pemerintah. Secara tidak langsung, sertifikat
kompetensi juga menyatakan bahwa tenaga teknis kefarmasian tersebut
memiliki kompetensi yang cukup untuk melaksanakan praktek kefarmasian di
tempat kerjanya kelak.

Kegiatan tersebut bertujuan memberikan bekal ilmu kepada mahasiswa


yang akan menempuh Ujian Kompetensi Tenaga Teknis Kefarmasian [UKTTK]
dengan sistem Computered Based Testing (CBT). Mahasiswa dibimbing oleh
Dosen Mata Kuliah sesuai dengan Bidang Ilmu yang diujikan dalam Ujian
Kompetensi Tenaga Teknis Kefarmasian, yaitu Bidang Farmasi Klinik, Farmasi
Bahan Alam, dan Teknologi Farmasi. Dalam kegiatan tersebut diharapkan
Mahasiwa memperoleh nilai ujian kompetensi yang baik setelah mengikuti
pendampingan ujian UKOM dan dapat mengerjakan ujian UKOM menggunakan
metode CBT. Uji kompetensi dilaksanakan dibawah koordinasi antara Asosisasi
Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia (APDFI) dengan LPUK Nakes. Hasil UKTTK
akan diumumkan secara serentak dan dilaksanakan serentak di seluruh wilayah
Indonesia. Mahasiswa perlu dipersiapkan sehingga dapat mengerjakan soal
ujian kompetensi dengan baik dan benar.

Kompeten diartikan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh


seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan yang didasari oleh
pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai dengan standar kerja yang
ditetapkan.Untuk menghasilkan SDM yang mampu bersaing di dunia kerja.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) melakukan Uji Kompetensi
sebagai prasyarat untuk mendapatkan Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat
Profesi yang diikuti oleh mahasiswa jenjang profesi pada akhir masa
pendidikan. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Pasal 21 Ayat 7


tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Pasal
16 tentang Keperawatan, perlu mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji
Kompetensi. Maka, salah satu upaya untuk mendorong percepatan
peningkatan dan pemerataan kualitas pendidikan tenaga kesehatan adalah
dengan melaksanakan uji kompetensi nasional dan Undang-Undang
Kefarmasian Nomor 889 Tahun 2011 Pasal 1 Ayat 6 tentang Registrasi, Izin
Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, Sertifikat kompetensi profesi
adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seorang Apoteker untuk
dapat menjalankan pekerjaan/praktik profesinya di seluruh Indonesia setelah
lulus uji kompetensi. Uji kompetensi nasional adalah salah satu cara efektif
untuk meningkatkan proses pendidikan dan menajamkan pencapaian
relevansi kompetensi sesuai dengan standar kompetensi yang diperlukan
masyarakat.

2.3 Surat Tanda Registrasi

Bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga kesehatan


yang telah memiliki sertifikat kompetensi berupa Surat Tanda Registrasi (STR).
Tenaga kesehatan dapat memperoleh STR jika telah memiliki ijazah dan
sertifikat uji kompetensi yang diberikan kepada peserta didik setelah berhasil
lulus ujian program pendidikan dan uji kompetensi. Ijazah diterbitkan oleh
perguruan tinggi peserta didik dan sertifikat uji kompetensi diterbitkan oleh
DIKTI. Tenaga kesehatan yang telah memiliki STR dapat melakukan aktivitas
pelayanan kesehatan sesuai dengan bidangnya. Kemudian berdasarkan STR
yang telah diterbitkan itulah Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota menerbitkan
Surat Ijin Praktek (SIP). STR dan SIP merupakan kewajiban bagi tenaga
kesehatan (nakes) terutama yang menjalankan praktek. Agar nakes terus
memperbaharui keilmuannya, STR hanya berlaku selama lima tahun dan dapat
diperpanjang setiap lima tahun. Sesuai dengan Permenkes 1796 tahun 2011,
STR yang telah habis masa berlakunya dapat diperpanjang melalui partisipasi
tenaga kesehatan dalam kegiatan pendidikan dan/ atau pelatihan, serta
kegiatan ilmiah lainnya sesuai dengan bidang profesinya, atau dapat juga
melalui kegiatan pengabdian masyarakat.

Salah satu aturan yang semakin mempertegas pentingnya memiliki STR bagi
tenaga kesehatan adalah Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 46 Tahun
2013 tentang registrasi Tenaga Kesehatan, Pasal 2 menyebutkan:

1. Setiap Tenaga Kesehatan yang akan menjalankan praktik dan/atau


pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki izin dari Pemerintah.
2. Untuk memperoleh izin dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperlukan STR.
3. STR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh MTKI dan
berlaku secara nasional.
4. Untuk memperoleh STR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3), Tenaga Kesehatan harus memiliki Sertifikat Kompetensi.
5. Format STR sebagaimana tercantum dalam Formulir terlampir.

Dari pasal 2 ayat 1 dan 2 diatas tersebut dapat disimpulkan bahwa STR
menjadi syarat mutlak bagi tenaga kesehatan untuk bisa menjalankan praktik
atau pekerjaan sesuai dengan profesinya.
Sementara pada ayat 4 juga disebutkan bahwa sebelum mendapatkan STR,
tenaga kesehatan harus mengantongi sertifikat kompetensi yang bisa
didapatkan melalui uji kompetensi.

Keberadaan ijazah tentu saja tetap diperhitungkan dan ada kegunaannya.


Adapun kegunaannya yaitu bisa digunakan sebagai berkas pelengkap untuk
pekerjaan di fasilitas kesehatan, klinik, atau praktik mandiri sebagai tenaga
administrasi kesehatan atau pekerjaan yang tidak melibatkan pasien. Untuk
persyaratan mendapatkan STR (Surat Tanda Registrasi) yaitu seperti yang
tertera pada Kemenkes Nomor 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik,
dan Izin praktik Tenaga Kefarmasian, Pasal 12 menyebutkan:

(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker mengajukan permohonan kepada


KFN dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 1 terlampir.
(2) Surat permohonan STRA harus melampirkan:
a. fotokopi ijazah Apoteker;
b. fotokopi surat sumpah/janji Apoteker;
c. fotokopi sertifikat kompetensi profesi yang masih berlaku;
d. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktik
e. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan
ketentuan etika profesi; dan
f.pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua)
lembar dan ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Permohonan STRA dapat diajukan dengan menggunakan teknologi
informatika atau secara online melalui website KFN.
(4) KFN harus menerbitkan STRA paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 2 terlampir.

Tetapi semenjak Tahun 2019 Sesuai dengan Surat Edaran No.


HK.01.01/I/002920/2018 tentang Perubahan Penghimpun Dana Penerimaan
Negara Bukan Pajak Dalam Penerbitan Surat Tanda Registrasi Kesehatan, maka
sejak tanggal 2 Januari 2019 pengurusan Surat Tanda Registrasi (STR) Kesehatan
akan dilakukan melalui Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI).
Pengurusannya hanya dapat dilakukan via online.

2.4 Surat Izin Praktik

Surat Izin Praktik (SIP) merupakan bukti tertulis yang secara sah diberikan
oleh pemerintah daerah kepada Tenaga Kesehatan (Nakes) sebagai tanda telah
diberi kewenangan untuk menjalankan praktik. Terdapat dua fungsi utama Surat
Izin Praktik, yakni:

 Pertama, Surat Izin Praktik berfungsi sebagai penerbit. Dengan SIP, segala
bentuk kegiatan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan kesehatan,
dapat dimonitor dengan baik. Selain itu, SIP dapat mencegah bentuk
kegiatan yang bertentangan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian,
ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat dapat terwujud.   
 Kedua, Surat Izin Praktik berfungsi sebagai pengatur. SIP berfungsi sebagai
salah satu instrumen hukum yang penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan.

Mekanisme dari SIP sendiri bisa kita liat pada Surat Izin Praktek Apoteker
Kefarmasian pada Kemenkes Nomor 889 Tahun 2011 tentang REGISTRASI, IZIN
PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA KEFARMASIAN Pasal 1 Ayat 11 menyatakan
bahwa Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat
izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian dan pada Pasal 8 Ayat 1juga
menyebutkan bahwa SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas
pelayanan kefarmasian atau SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas
kefarmasian saja.

Cara untuk memperoleh SIPA sendiri sudah tertera pada Kemenkes RI Nomor
889 Tahun 2011 tentang REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN KERJA TENAGA
KEFARMASIAN pasal 21 Ayat 1 sampai Ayat 4 yang menyatakan sebagai berikut:

1. Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, Apoteker mengajukan


permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat
pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 6 terlampir.
2. Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:
a. fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
b. surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat
keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau
dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;
c. surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4
sebanyak 2 (dua) lembar;
3. Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping
harus dinyatakan secara tegas permintaan SIPA untuk tempat
pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga.
4. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA
atau SIKA paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat
permohonan diterima dan dinyatakan lengkap dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7 atau Formulir 8
terlampir.

Terdapat juga ha-hal yang dapat membuat SIPA dicabut, menurut Kemenkes RI
Nomor 889 Tahun 2011 pada Pasal 23 Ayat 1 menyatakan Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIPA, SIKA atau SIKTTK karena:

a. atas permintaan yang bersangkutan;


b. STRA atau STRTTK tidak berlaku lagi;
c. yang bersangkutan tidak bekerja pada tempat yang tercantum dalam surat
izin;
d. yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental untuk
menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan pembinaan dan
pengawasan dan ditetapkan dengan surat keterangan dokter;
e. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian berdasarkan
rekomendasi KFN; atau
f. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan
dengan putusan pengadilan.
BAB III

PENUTUP

3.3 Kesimpulan

Pada pernyataan yang telah terpapar diatas dapat kita simpulkan bahwa:

a. Tenaga kefarmasian merupakan bagian dari tenaga kesehatan yang


melakukan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan sediaan
farmasi atau pekerjaan farmasi karena sesuai dengan keterampilan,
kompetensi dan kewenangan yang diberikan perundang-undangan.
b. Uji kompetensi adalah salah satu upaya penjaminan yang harus dilalui
para tenaga kesehatan. Selain itu, uji kompetensi juga di gunakan unutk
membantu para institusi pendidikan untuk mengevaluasi apakah para
lulusan yang dihasilkan telah memenuhi standarisasi pemerintah.
c. STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada tenaga
kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi berupa Surat Tanda
Registrasi (STR).
d. Surat Izin Praktik Apoteker yang disingkat SIPA adalah surat izin yang
diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik
kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian
DAFTAR PUSTAKA

Ebook Farmsi Rumah Sakit dan Klinik 2016.

Ebook Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit 2019.

Ebook Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek 2006.

Kemennkes RI, (2011) Peraturan Mrntri Kesehatan RI. Nomor 889 Tahun 2011 tentang
Registrasi, Izin Praktik dan Kerja Tenaga Kefarnasian

Muharni et al., (2015). Gambaran Tenaga Kefarmasian dalam Memberikan Informasi


Kepada Pelaku SWmedikasi di Apotek-Apotek Kecamatan Tampan, Pekanbaru.
Jurnal Sains Farmasi dan Klinis. Vol.2, No.1, hlm: 47-53.
HASIL DISKUSI

KELOMPOK 5

DI SUSUN OLEH :

Nosa Ismalawati (F201901080)

Shintia Agrifa Ali Imran (F201901076)

Reski Wahyuni Asis (F201901074)

Sulistiawati (F201901057)
Kristina Dewi Sartika (F201901056)

Niluh Rai Supiani (F201901054)

Sardiyanto (F201901071)

1. Penanya :

NAMA: LAODE WAWAN SETIAWAN

NIM: F201901075

KELOMPOK: 1

PERTANYAAN UNTUK KELOMPOK : 5

Di kutip dari hasil pembahasan yang pemateri katakan perihal STR atau Surat tanda registrasi dan
Surat izin praktik apabila seseorang apoteker melakukan pelanggaran hukum maka hal tersebut
berhak di cabut, bisakah Paparkan pelanggaran-pelanggaran seperti apa itu dan selain
pencabutan berkas tersebut apakah ada hal lain yang akan di tanggung oleh apoteker tersebut
selain dari pencabutan berkas dan pemberian hukum melalui pengadilan?

Penjawab :

Nama : Nosa ismalawati

Nim. : F201901080

Jawaban :

Salah satunya yaitu pelanggaran kode etik

Di mana jika seorang apoteker dengan sengaja atau tidak sengaja melanggar atau tidak mematuhi
kode etik opeteker maka dia wajib mengakui dan menerima sangsi dari pemerintah
ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya dan mempertanggung jawabkan kepada
Tuhan yang maha esa.

Apabila apoteker melakukan pelanggaran kode etik apoteker di kenakan sangsi organisasi berupa
pembinaan, peringatan pencabutan ke anggotaan sementara dan pencabutan ke anggotaan tetap
sebagaimana di atur dalam Peraturan mentri kesehatan nomor 9 tahun 2014.

2. Penanya

Nama : Puspa Hardianti

Nim : F201901072

Kelompok : 1

Pertanyaan untuk kelompok 5

Pada bagian kesimpulan yaitu tentang Tenaga kefarmasian merupakan bagian dari tenaga
kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan yang berhubungan dengan sediaan farmasi atau
pekerjaan farmasi karena sesuai dengan keterampilan, kompetensi dan kewenangan yang
diberikan perundang-undangan.

jadi pertaanyaan sya yaitu tolong jelaskan sangsi apa yang akan di berikan jika seorang tenaga
kefarmasian tersebut lalai/salah dalam memberikan obat kepada pasien. serta bagaimana
perlindungan hukum bagi pasien bila terjadi kelalaian yang di lakukan oleh tenaga kefarmasian
atau apoteker tersebut!

Penjawab :

Nama : Nosa ismalawati

Nim. : F201901080

Kelompok : 5

Jawabnya:

Saksi yang di berikan apabila tenaga kefarmasian lalai dalam memberikan obat kepada Persien
yaitu :

Sesuai ketentuan UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Ketentuan Pidana Pasal 84,
sanksi yang diberikan:

a) Setiap tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima
Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
sebgai pelaku usaha terikat pada ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan pada
tahap penanganan perkara diawali dengan mediasi dan pengajuan gugatan pada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yang kemudian dapat diajukan keberatan pada pengadilan
umum.

2. Tanggungjawab dan sanksi yang di terapkan bagi tenaga kesehatan ataupun apoteker yang
melakukan kesalahan atau kelalaian dalam memberikan obat sehingga mengakibatkan pasien
atau dalam hal ini konsumen menderita kerugian materi, fisik bahkan sampai meninggal dunia
maka sanksi yang dapat diberikan adalah sanksi administrasi berupa teguran sampai pembekuan
izin tenaga kesehatan kemudian sanksi keperdataan berupa ganti rugi dalam hal perbuatan
melawan hukum dan wanprestasi bahkan sanksi pidana berupa hukuman fisik yaitu pemenjaraan
dalam waktu tertentu.

Sehingga untuk pelindunga hukum kelalaian dan kesalahan dalam pemberian obat pada pasien
selaku konsumen maka dalam hal ini konsumen yang merasakan dampak dari kesalahan pemberi
jasa pengobatan yang lalai dalam menjalankan fungsi kesehatan yang sebagaimana mestinya
dapat mengajukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana
diatur dalam Pasal 52 huruf I Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Pasal 3 huruf I
SK Menteri perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, gugatan dijatuhkan
paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak gugatan diterima di Sekretaris
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), di mana hari kerja ini sudah termasuk 10
(sepuluh) hari kerja.

Sifat dari putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat Final dan mengikat. Kata
”Final” di situ menurut Penjelasan Pasal 54 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) bahwa tidak ada upaya hukum banding atau kasasi atas putusan Majelis Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

3. PENANYA :

Nama : Erisna Baharu

Nim : F201901086

Kelompok : 3

Ditujukan ke : kelompok 5

PERTANYAAN :

Jelaskan apa itu Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi Indonesia (APDFI) dengan LPUK nakes,
serta jelaskan mengapa uji kompetensi harus dilaksanakan dibawah koordinasi tersebut ?

Penjawab :

Nama : Shintia Agrifa Ali Imran

Nim : F201901076

Kelompok : 5

APDFI Merupakan asosiasi yang mewadahi sarana komunikasi, tempat berbagi pengalaman serta
kerjasama antar penyelenggara pendidikan Diploma bidang Farmasi serta mempunyai tujuan
untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikan diploma farmasi dan diploma analisa farmasi dan
makanan di Indonesia.

LPUK-Nakes bertujuan untuk menjamin mutu lulusan pendidikan tinggi kesehatan melalui
pengembangan uji kompetensi. Sehingga inti kegiatan LPUK-Nakes adalah pengembangan
metode Uji Kompetensi, bukan penyelenggaraan uji kompetensi.

Pelaksanaan Uji Kompetensi diatur dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 83 Tahun 2013 Pasal 1 ayat 4 (empat) “Uji Kompetensi dilakukan oleh perguruan tinggi
bekerja sama dengan organisasi profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi”.
Berdasarkan peraturan tersebut, kewenangan penyelenggaraan uji kompetensi tidak
dilaksanakan di LPUK-Nakes, namun sesuai dalam kondisi tertentu seperti disebutkan dalam
Tugas dan Kewenangan LPUK-Nakes, LPUK-Nakes dapat melaksanakan dan/ atau mensupervisi
pelaksanaan uji kompetensi.

Pelaksanaan uji kompetensi di maksudkan sebagai sarana untuk mendapatkan bukti-bukti yang
valid, berlaku sekarang/terkini/serta otentik sebagai dasar apakah peserta uji sudah kompeten
atau belum kompeten terhadap unit kompetensi yang diujikan.

4. Penanya

Nama : Noprilianti

Nim : F201901081.
Pertanyaan : jelaskan maksud dari Surat Izin Praktik berfungsi sebagai pengatur. Pengatur yang
dimaksud disini seperti apa. dan jelaskan juga mengapa SIP dikatakan sebagai salah satu
instrumen hukum yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan ?

Penjawab :

Nama. : Nosa ismalawati

Nim. : F201901080

Jawaban

Fungsi dari perzinaan praktik Perizinan berperan sebagai instrumen hukum sikap tindak
administrasi negara di mana fungsi hukum adalah sebagai berikut :

1. Direktif, sebagai pengarah untuk membentuk masyarakat yang dicita-citakan sesuai dengan
tujuan kehidupan bernegara.

2. Integratif, sebagai pemelihara (termasuk hasil pembangunan) dan menjaga keselarasan,


keserasian, serta keseimbangan kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

3. Perspektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara dan sikap
tindak warga negara jika terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

4. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara dan warga negara jika
terjadi pertentangan hak dan kewajiban guna mendapatkan keadilan.

Alasan SIP dikatan sebagai salah satu instrumen hukum yang penting dalam pemerintah karna SIP
merupakan bukti tertulis yang di berikan oleh dinas kesehatan kepada tenaga medis dan tenaga
kesehatan sebagai ke wajibkan untuk menjalankan praktek sebagaimana diatur dalam undang-
undang nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan dan Peraturan mentri kesehatan tentang
surat izin praktek setiap profesi.

5. Nama : Nurul Fitra Rahmadani

Nim : F201901095

Asal kelompok : Kelompok 6

Pertanyaan ditujukan pada : kelompok 5


Pertanyaan : Apakah kegunaan STR ( Surat Tanda Registrasi ) selain yang dijelaskan pada
pemaparan materi yang ada pada slide.

Penjawab

Nama: Kristina Dewi Sartika

Nim : F201901056

Kelompok 5

STR bagi tenaga kesehatan adalah peraturan menteri kesehatan RI nomor 46 tahun 2013 tentang
registrasi tenaga kesehatan, pasal 2 menyebutkan setiap tenaga kesehatan yang akan
menjalankan praktik atau pekerjaan keprofesiannya wajib memiliki izin dan pemerintah. Dimana
kegunaan STR yaitu dapat melakukan aktivitas pelayanan kesehatan sesuai dengan bidangnya.
Disini saya akan jelaskan bahwa STR untuk Tenaga kesehatan itu ada beberapa kesehatan yang
menggunakan STR contohnya bidan, perawat dan Kefarmasian. Disini saya akan jelaskan Contoh
STR untuk Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yaitu untuk membantu apoteker dalam menjalankan
pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas Sarjana farmasi, Analis farmasi dan asisten apoteker.

6. Penanya :

Nama : Sriayu Astuti Kadrian

NIM : F201901053

Kelompok 2

Akan mengajukan pertanyaan kepada kelompok 5

Terdapat ha-hal yang dapat membuat SIPA dicabut, menurut Kemenkes RI Nomor 889 Tahun
2011 pada Pasal 23 Ayat 1 menyatakan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut
SIPA, SIKA atau SIKTTK karena melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian berdasarkan
rekomendasi KFN. Jelaskan pelanggaran yang termaksud dalam pelanggaran disiplin tenaga
kefarmarmasian berdasarkan rekomendasi KFN tersebut!

Penjawab:

Nama : sardiyanto

Nim : f201901071

Kelompok :5
Peraturan mentri kesehatan republik indonesia no 9 tahun 2017 tentang apotek

Berdasarkan rekomendasi KFN Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran terhadap aturan-aturan


atau penerapan keilmuan apoteker.

Contoh:

1. Melaksanakan Praktek apoteker tidak kompeten

2. Tugas dan Tanggung jawab profesional pada pasien tidak dilaksanakan dengan

baik.

3. Berperilaku tercela yang merusak martabat dan kehormatan apoteker.

Anda mungkin juga menyukai