PEKERJAAN KEFARMASIAN
Disusun Oleh :
NPM :173110212
Kelas : 6G
LAMPUNG
2020
KATA PENGANTAR
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................2
1.3Tujuan...........................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.........................................................3
2.1 Pekerjaan Kefarmasian Dan Praktek Kefarmasian......................5
2.2 Pelayanan Kefarmasian................................................................6
2.3 PP 51 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Dan Apotek Rakyat.......7
2.4 Apoteker Penanggungjawab Dan Apoteker Pendamping............8
2.5 Izin Melakukan Pekerjaan Kefarmasian......................................8
2.6 Sertifikat Kompetensi Profesi......................................................9
2.7 Dokter Dispensing Dan Substitusi Obat......................................9
2.8 PP 51 Tahun 2009 Dan Organisasi Profesi................................10
2.9 PP 51 Tahun 2009 Dan Kewenangan Organisasi Profesi..........10
BAB III PENUTUP...........................................................................12
3.1 Kesimpulan................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
agar memberikan kepastian hukum bagi pasien dan tenaga
kefarmasian (PP 51 Tahun 2009 pasal 4
1.3Tujuan
Bahwa tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah apakah
isi yang terkandung dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun
2009 tantang Pekerjaan Kefarmasian baik fungsi, posisi dan materi
yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, Definisi serta
masalah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
disetujui
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
a. UUD 1945
b. UU / PERPU
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan daerah.
3
dibuat harus dikonfirmasi dengan persyaratan dan jumlah dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
4
Dalam konteks PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian,
pengertian yang akan dibahas lebih lanjut adalah:
Istilah awal penggunaan yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan
atau Praktik Kefarmasian adalah istilah 'Praktek Peracikan Obat',
seperti yang tercantum dalam Ordonansi Obat Keras, yang
menggunakan istilah 'Apoteker', yaitu: Mereka yang sesuai dengan
peraturan yang terkait Indonesia sebagai Apoteker sambil memimpin
apotek. Selanjutnya istilah ini berkembang dalam Undang-Undang
No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi yang memuat “Pekerjaan
Kefarmasian”, adalah pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan
bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan
obat.
Kemudian istilah ini dikembangkan dalam UU No. 23 tahun
1992 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa Pekerjaan
Kefarmasian adalah pembuatan termasuk penguatan sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengurusan
obat, kiriman obat, resep dokter, kiriman informasi, pengayaan obat,
bahan obat, dan obat tradisional. Selanjutnya Undang-undang ini
mengumumkan bahwa Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan,
produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan wewenang untuk
itu, dan mengamanatkan bahwa ketentuan tentang meminta bantuan
Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan Peraturan Pemerintah.
Amanat pada Pasal 63 ayat (2) inilah yang menjadi dasar
hukum pembentukan PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, proses penantian hingga lahirnya membutuhkan waktu
5
17 tahun. Ironisnya, pada saat kompilasi PP 51 diundangkan 1
September 2009, UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan juga
sedang dalam proses pengesahan menjadi Undang-Undang. Dalam
Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan, istilah Kefarmasian
tidak didefinisikan. Istilah yang digunakan adalah “Praktik
Kefarmasian” yang definisi tidak dijumpai dalam Ketentuan
Umum. Pasal 108 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Praktik
Kefarmasian yang memuat pembuatan persetujuan pengadaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat,
pemberian obat atas resep dokter, bantuan informasi obat
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan
Selanjutnya diamanatkan ketentuan tentang ketentuan
pelaksanaan kefarmasian ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.Dengan mengacu pada Pasal 203 UU Kesehatan tahun
2009 tentang Ketentuan Peralihan, pertanyaan mendasar yang perlu
dijawab berkenaan dengan PP 51 adalah apakah PP ini membahas
tentang Pekerjaan Kefarmasian atau Praktik Kefarmasian ?, atau apa
yang menggunakan aplikasi yuridis penggunaan “Praktik Kefarmasian
”Pada UU Kesehatan 2009 terhadap Peraturan Pelaksanan dalam
bentuk Peraturan Pemerintah seperti diamanatkan Pasal 108 ayat (2)
UU Kesehatan tahun 2009 ?.
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga
menggunakan bergantian penggunaan Pekerjaan Kefarmasian dan
Praktik Kefarmasian dengan maksud menunjuk pada subjek dan objek
hukum yang sama. Bedanya istilah Pekerjaan didefinisikan dengan
jelas pada Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat (1), sedangkan istilah
Praktik Kefarmasian tidak didefinisikan. Kerancuan ini juga terbaca
pada Penjelasan PP 51 tahun 2009 yang menyatakan "perangkat
hukum yang disetujui penyelenggaraan kefarmasian yang diterima
belum memenuhi ...." dan selanjutnya dinyatakan, dalam Peraturan
Pemerintah ini, menetapkan Asas dan Tujuan Pekerjaan Kefarmasian.
6
pasien”. Dalam PP ini tidak dijelaskan apa yang dilakukan Apoteker
dan atau Tenaga Kefarmasian dalam melaksanakan Pelayanan
Kefarmasian. Sedikit penjelasan dapat dilihat dari pengertian Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian, yaitu “sarana yang digunakan untuk
menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi
farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama”.
Pertanyaan akan timbul: apakah Pelayanan Kefarmasian
merupakan bagian dari Pekerjaan Kefarmasian, atau Pelayanan
Kefarmasian merupakan suatu bentuk aktifitas apoteker dan atau
Tenaga Kefarmasian yang berdiri sendiri?. Hal ini akan semakin rancu
jika merujuk pada pengertian Apotek dalam PP 51 tahun 2009, yang
menyatakan bahwa “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan Praktek Kefarmasian oleh Apoteker”, yang
pengertiannya lain dari “mainstream” pengertian Apotek yang selama
ini dipahami profesi apoteker, yaitu “suatu tempat tertentu, tempat
dilakukan Pekerjaan Kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi
kepada masyarakat”, dan yang berhak melakukan Pekerjaan
Kefarmasian adalah Apoteker. Pertanyaan besarnya adalah: Apa yang
sebenarnya dilakukan apoteker di apotek?, Pekerjaan Kefarmasian,
Praktek Kefarmasian atau Pelayanan Kefarmasian?
2.3 PP 51 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Dan Apotek Rakyat
7
Jika dilakukan penelusuran terhadap materi muatan peraturan
perundang-undangan yang secara vertikal berada di atas Permenkes
tentang Apotek Rakyat, maka tidak ada satu pasalpun yang
mengamanatkan pembentukan Apotek Rakyat. Jika dikaitkan dengan
definisi Apotek Rakyat yang berarti “Sarana Kesehatan…dst”, maka
merujuk pada Pasal 1 huruf (4), juncto Pasal 56 ayat (1) UU No. 23
tahun 1992 tentang Kesehatan, maka yang disebut dengan “Sarana
Kesehatan” adalah: Balai Pengobatan, Pusat Kesehatan Masyarakat,
Rumah sakit Umum, Rumah Sakit Khusus, Praktik Dokter, Praktik
Dokter Gigi, Praktik Dokter Spesialis, Praktik Dokter Gigi Spesialis,
Praktik Bidan, Toko Obat, Apotek, PBF, Pabrik Obat dan Bahan Obat,
Laboratorium, Sekolah dan Akademi Kesehatan, Balai Pelatihan
Kesehatan dan Sarana Kesehatan lainnya.
Jika mengacu pada Pasal 19 PP 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian yang menyatakan Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian berupa: a. Apotek, b. Instalasi Farmasi Rumah Sakit, c.
Puskesmas, d. Toko Obat; atau f. Praktek Bersama, maka pada
dasarnya keberadaan Apotek Rakyat tidak diakomodir oleh PP 51
tentang Pekerjaan Kefarmasian.
2.4 Apoteker Penanggungjawab Dan Apoteker Pendamping
8
Berkenaan izin melakukan Pekerjaan Kefarmasian, maka PP 51
tahun 2009 mengatur mekanisme sebagai berikut. Pada awalnya,
setiap Apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker
(STRA). Kemudian jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan
Kefarmasian di Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit, maka
Apoteker tersebut wajib memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA).
Jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas
produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran, maka Apoteker wajib
memiliki Surat Izin Kerja (SIK).
2.6 Sertifikat Kompetensi Profesi
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian mewajibkan
dimilikinya Sertifikat Kompetensi Profesi. Bagi Apoteker yang baru
lulus pendidikan profesi, dapat memperoleh secara langsung Sertifikat
Kompetensi Profesi setelah melakukan registrasi. Sertifikat
Kompetensi Profesi ini berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
diperpanjang melalui uji kompetensi profesi.
Dalam konteks lembaga yang berhak mengeluarkan Sertifikasi
Kompetensi Profesi, PP 51 tahun 2009 menyatakan bahwa ketentuan
lebih lanjut tentang tata cara memperoleh Sertifikat Kompetensi dan
tata cara registrasi profesi akan diatur dengan Peraturan Menteri.
2.7 Dokter Dispensing Dan Substitusi Obat
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian memberikan
kebolehan kepada Tenaga Kesehatan diluar Tenaga Kefarmasian. Hal
ini tercantum dalam Pasal 22 yang menyatakan: Dalam hal di daerah
terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan
menyerahlan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Dipihak lain, pada Pasal 24 huruf (b) Apoteker juga diberikan
kewenangan melakukan penggantian obat merek dagang dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain
atas persetujuan dokter dan/ atau pasien. Penggantian obat merek
dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pasien yang
9
kurang mampu secara finansial untuk tetap dapat membeli obat
dengan mutu yang baik.
2.8 PP 51 Tahun 2009 Dan Organisasi Profesi
Organisasi profesi apoteker yang dikenal luas di Indonesia
adalah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Di dalamnya
berhimpun organisasi profesi seminat, yaitu HISFARMA untuk
kelompok profesi farmasi komunitas (apotek), HISFARSI, untuk
kelompok profesi farmasi rumah sakit, dan HISFARIN, untuk
kelompok profesi farmasi industri.
Namun, berbeda dengan organisasi profesi dokter (Ikatan
Dokter Indonesia), keberadaan organisasi profesi di dalam PP 51
tahun 2009 tidak didefenisikan dalam ketentuan umum, apakah ISFI
atau organisasi profesi apoteker yang lain. Pada Ketentuan Umum,
Pasal 1 angka (19) hanya dinyatakan, Organisasi Profesi adalah
organisasi tempat berhimpun para apoteker di Indonesia.
Di dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
keberadaan organisasi profesi dokter didefinisikan dalam Ketentuan
Umum, Pasal 1 huruf (12), yang menyatakan: “Organisasi profesi
adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter
Gigi Indonesia untuk dokter gigi.
Dengan dijelaskannya maksud “Organisasi Profesi” pada
Ketentuan Umum UU No. 29 tahun 2009 menyebabkan pembaca dan
pengguna undang-undang menjadi mengerti bahwa Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) adalah organisasi profesi yang menetapkan standar
pendidikan dan pelatihan kedokteran berkelanjutan. IDI juga
mempunyai kewenangan memberikan rekomendasi bagi dokter yang
mau mendapatkan Surat Izin Praktik, dan melakukan pembinaan dan
pengawasan bagi dokter yang menjalankan praktik kedokteran.
2.9 PP 51 Tahun 2009 Dan Kewenangan Organisasi Profesi
PP 51 tahun 2009 tentang Praktik Kedokteran memberikan
kewenangan kepada organisasi profesi untuk memberikan
rekomendasi kepada apoteker untuk mendapatkan Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA) bagi yang ingin bekerja di apotek atau di instalasi
farmasi rumah sakit dan Surat Izin Kerja (SIK) bagi yang ingin
bekerja pada fasilitas produksi dan fasilitas distribusi atau penyaluran.
Organisasi profesi juga diberikan kewenangan untuk melakukan
10
“audit kefarmasian”, yaitu evaluasi secara profesional terhadap mutu
pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada masyarakat.
Dalam Pasal 58 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian dinyatakan bahwa Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota serta Organisasi profesi apoteker
mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan bagi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
11
DAFTAR PUSTAKA
https://slideplayer.info/slide/11865330/
https://www.academia.edu/40740764/PP_No.51_Tahun_2009_tentang._Pekerjaan
_Kefarmasian
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2009/51tahun2009pp.htm
https://archive.org/stream/PPNo.51Th2009TtgPekerjaanKefarmasian/PP+No.
+51+Th+2009+ttg+Pekerjaan+Kefarmasian_djvu.txt
12