memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa
pekerjaan kefarmasian tidak hanya bersifat drug oriented tetapi harus bersifat patient
oriented.
B. Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memaparkan seberapa besar
peluang dan tantangan yang akan dihadapi seorang farmasis (apoteker) dalam
pelayanan pharmaceutical care yang mengacu pada PP 51 tahun 2009.
C. Tinjauan Pustaka
Awal penggunaan istilah yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan atau Praktik
Kefarmasian adalah istilah Praktek Peracikan Obat, seperti dimaksud Ordonansi
Obat Keras, yang mendefinisikan istilah Apoteker, yaitu: Mereka yang sesuai
dengan peraturan-peraturan yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan
Praktek Peracikan Obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker sambil memimpin
sebuah apotek. Selanjutnya istilah ini berkembang dalam Undang-Undang No. 7
tahun 1963 tentang Farmasi yang mendefinisikan Pekerjaan Kefarmasian, adalah
pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan
dan penyerahan obat atau bahan obat. Kemudian istilah ini dikembangkan dalam UU
No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa Pekerjaan
Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat, dan obat tradisional. Selanjutnya UU ini menyatakan bahwa Pekerjaan
Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk itu, dan mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan Pekerjaan
Kefarmasian ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
i.Pekerjaan kefarmasian
Pekerjaan Kefarmasian diselenggarakan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang farmasi dalam upaya pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan. Pekerjaan kefarmasian
hanya dapat dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang memiliki keahlain dan
kewenangan yang berdasarkan pada Standar Profesi dan paradigma Pelayanan
Kefarmasian. Standar Profesi dan paradigma Pelayanan Kefarmasian merupakan
pedoman yang harus diikuti oleh tenaga kefarmasian dalam menjalankan pekerjaan
kefarmasian. Kompetensi umum apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian
harus mempunyai kemampuan sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
diselenggarakan pada:
a.
b.
Sarana produksi sediaan farmasi berupa pabrik sediaan farmasi, pabrik bahan baku
sediaan farmasi, pabrik obat tradisisonal, dan pabrik lain yang memerlukan tenaga
kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu.
c.
d.
Sarana pelayanan sediaan farmasi melalui praktik di apotek, instalasi farmasi rumah
sakit, puskesmas, klinik/praktek bersama; dan
e.
pekerjaan
kefarmasian
di
sarana
pelayanan
sediaan
farmasi
3. Standar Operasional Prosedur harus dibuat secra tertulis dan diperbaharui secara terus
menerus sesuai dengan perkembangan ilmu penegtahuan dan teknologi di bidang
farmasi dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Apoteker dapat memberikan pilihan obat generik kepada pasien/pemakai dari obat
resep dokter
dengan
memperhatikan komunikasi antara dokter dan apoteker serta mutu dan keamanan
obat.
5. Dalam hal apoteker dan pasien menyetujui secara tertulis atas pilihan obat yang akan
dipakai, apoteker harus memberitahukan hal tersebut kepada dokter penulis resep.
6. Tenaga kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian pada sarana pelayanan
sediaan farmasi wajib mencatat segala sesuatu yang berkaitan dengan proses
pelayanan sediaan farmasi sesuai tugas dan fungsinya.
7. Tenaga kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada sarana pelayanan
sediaan
farmasi
wajib
mengikuti
paradigma
pelayanan
kefarmasian
dan
7. Mampu berpartisipasi aktif dalam program preventif dan promotif dalam bidang
kesehatan masyarakat.
Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di rumah sakit harus
mempunyai kompetensi sebagai berikut :
1. Mampu malaksanakan pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan.
2. Mampu melaksanakan distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan (Good
Distribution Practice) di rumah sakit.
3. Mampu melaksanakan fungsi farmasi klinik bersama dokter untuk kepentingan pasien
dalam penggunaan obat dan alat kesehatan yang rasional.
4. Mampu melaksanakan fungsi konsultasi, informasi, dan edukasi tentang obat yang
digunakan oleh pasien dan masyarakat.
5. Mampu memberikan pelayanan informasi tentang sediaan farmasi dan alat kesehatan
kepada yang membutuhkan.
6. Mampu melaksanakan fungsi pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai
kebutuhan rumah sakit.
7. Mampu melaksanakan Good Inventory Practices dan Good Storage Practices.
8. Mampu melaksanakan Good Laboratory Practices
D. Permasalahan
Menurut PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga
Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Pelayanan kefarmasian di apotek, berarti
pasien harus dilayani oleh apoteker untuk mendapatkan obat sesuai resep yang
dibawanya dan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait dengan penggunaan
obat secara tepat serta informasi lainnya. Dengan paradigma seperti di atas maka para
apoteker harus berada di apotek untuk dapat melaksanakan tugas pelayanan
kefarmasian tersebut. Hal tersebut sesuai dengan PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, pasal 51 butir 1 menyebutkan Pelayanan Kefarmasian di Apotek hanya
dapat dilakukan oleh Apoteker. Penerapan PP 51 tahun 2009 ini tidak mudah oleh
karena akan membawa konsekuensi berupa keharusan adanya poteker selama apotek
buka.
Jam kerja apotek yang pada umumnya selama 12 jam menuntut adanya apoteker
pendamping dan tenaga kerja lainnya yang memadai. Hal ini berakibat meningkatnya
biaya tetap yang harus dikeluarkan apotek oleh karena harus memberikan imbalan
yang sesuai. Pemberian imbalan yang pantas kepada apoteker adalah salah satu kunci
untuk menjamin mereka melaksanakan praktek pelayanan farmasi yang baik (good
pharmacy practice).
Dengan adanya penerapan PP 51 tahun 2009 seorang apoteker tidak hanya
mendapatkan imbalan atas pelayanan farmasi yang dilakukannya, tetapi seorang
apoteker juga dituntut untuk mempunyai wawasan pengetahuan yang mempuni
dibidangnya. Selain itu seorang apoteker harus mengikuti perkembangan ilmu farmasi
dan kesehatan yang terkait dengan pelayanan kefarmasian terhadap pasien.
Namun kenyataannya pada saat ini masih banyak masyarakat yang belum
merasakan manfaat atas adanya pelayanan pharmaceutical care yang terdapat dalam
PP 51 tahun 2009, sehingga masih banyak masyarakat yang kurang familiar dengan
profesi apoteker, masyarakat lebih familiar dengan profesi kedokteran dan
keperawatan. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi seorang apoteker untuk
menunjukan
eksitensi
keberadaannya
ditengah-tengah
masyarakat
dalam
Selain perlu adanya pengaturan jasa profesi apoteker, seorang apoteker juga
harus mempunyai pengetahuan yang mumpuni dalam melakukan pelayanan dan
konseling kefarmasian terhadap pasien. Peningkatan pengetahuan calon-calon
apoteker dapat dilakukan dengan membenahi kurikulum pendidikan farmasi dan
apoteker dengan mendesain kurikulum pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan
realita yang ada di lapangan, sehingga diharapkan kelak calon-calon apoteker sudah
siap menghadapi tantangan yang ada dilapangan.
F. Kesimpulan
Dalam penerapan pharmaceutical care yang mengacu kepada PP 51 tahun
2009, diperlukan pembenahan terhadap kurikulum pendidikan farmasi dan apoteker.
Serta adanya penghargaan materi yang sesuai bagi seorang apoteker ketika melakukan
pelayanan pharmaceutical care.
10