Disusun Oleh :
JURUSA : FARMASI
JAYAPURA
2021
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pendidikan tenaga kesehatan merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi
pembangunan nasional di bidang kesehatan yang di arahkan untuk mendukung upaya
pencapaian kesehatan masyarakat secara optimal. Dalam hal ini pendidikan tenaga
kesehatan diselenggarakan guna memperoleh pengetahuan, tenaga kesehatan yang
bermutu serta mampu melaksanakan tugas untuk mewujudkan perubahan dalam rangka
memenuhi pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Dalam rangka untuk mempersiapkan siswa SMF Bhakti Nusa Bengkulu untuk menjadi
seorang tenaga kesehatan khususnya di bidang kefarmasian maka
pihak Sekolah Menengah Kejuruan Swasta 16 Bengkulu mengadakan suatu program
praktik kerja lapangan (PKL) bagi siswa-siswi SMKS 16 farmasi kelas XII semester V.
Program ini dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa menjadi seorang
Asisten Apoteker (AA) yang terampil, dapat diandalkan secara profesional, memiliki rasa
etis yang mampu melayani dalam bidang kesehatan terutama dalam bidang farmasi. Serta
setelah lulus dan menjadi seorang Asisten Apoteker (AA), para siswa diharapkan mampu
bekerja dalam proses produksi dan distribusi obat, membantu kegiatan administrasi,
pengawasan dan penyuluhan obat-obatan.
Praktik Kerja Lapangan ini diadakan di Pedagang Besar Farmasi Kimia Farma Trading
and Distribution (KFTD) yang beralamatkan di jalan Bayangkara selama lebih kurang
2 minggu. Praktik Kerja Lapangan memiliki makna yang penting bagi siswa karena
merupakan suatu sarana pengenalan lapangan kerja yang akan ditekuni nantinya dan
merupakan suatu masa orientasi bagi siswa sebelum bekerja langsung di masyarakat
secara umum. Melalui praktik kerja lapangan ini para siswa dapat mengetahui, melihat,
menerima serta menerapkan ilmu yang telah di dapat dari sekolah, bahkan para siswa
dapat lebih menambah pengetahuan dan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian PBF
Pedagang Besar Farmasi (PBF) adalah Perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki
izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat, dan bahan obat dalam jumlah besar
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mengingat :
a. Ordonansi Obat Keras (STBL Nomor 419 Tahun 1949);
b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3671);
c. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5062);
d. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781);
e. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
f. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekusor (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5126);
g. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5419);
h. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 189/Menkes/SK/III/2006 tentang
Kebijakan Obat Nasional;
i. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang
Pedagang Besar Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
370);
j. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2013 tentang Impor dan Ekspor
Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 178).
Menetapkan :
Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 Tentang Pedagang Besar Farmasi.
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 370), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai
berikut:
1) Untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi;
b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
c. memiliki secara tetap apoteker Warga Negara Indonesia sebagai penanggung
jawab;
d. komisaris/dewan pengawas dan direksi pengurus tidak pernah terlibat baik
langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di
bidang farmasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;
e. menguasai bangunan dan sarana yang memadai untuk dapat melaksanakan
pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat serta dapat menjamin kelancaran
pelaksanaan tugas dan fungsi PBF;
f. menguasai gudang sebagai tempat penyimpanan dengan perlengkapan yang dapat
menjamin mutu serta keamanan obat yang disimpan; dan
g. memiliki ruang penyimpanan obat yang terpisah dari ruangan lain sesuai CDOB.
2) Dalam hal permohonan dilakukan dalam rangka penanaman modal, pemohon
harus memperoleh persetujuan penanaman modal dari instansi yang
menyelenggarakan urusan penanaman modal sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf c diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai
berikut:
1) Untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kepala Balai POM dengan menggunakan contoh Formulir 1
sebagaimana terlampir.
3. Ketentuan Pasal 8 ayat (4) sampai dengan ayat (6) diubah dan di antara ayat
(4) dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4a), sehingga Pasal 8 berbunyi
sebagai berikut:
1) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi melakukan verifikasi kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3).
2) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1, Kepala Balai POM
melakukan audit pemenuhan persyaratan CDOB.
3) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi
kelengkapan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi mengeluarkan
rekomendasi pemenuhan kelengkapan administratif kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Balai POM dan pemohon dengan menggunakan contoh
Formulir 2 sebagaimana terlampir.
4) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak melakukan audit pemenuhan
persyaratan CDOB, Kepala Balai POM melaporkan pemohon yang telah memenuhi
persyaratan CDOB kepada Kepala Badan.
(4a) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Badan POM memberikan rekomendasi
pemenuhan persyaratan CDOB kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan pemohon dengan menggunakan contoh
Formulir 3 sebagaimana terlampir.
5) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) serta persyaratan lainnya yang ditetapkan,
Direktur Jenderal menerbitkan izin PBF dengan menggunakan contoh Formulir 4
sebagaimana terlampir.
6) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat (4a) dan
ayat (5) tidak dilaksanakan pada waktunya, pemohon dapat membuat surat
pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan
kepada Kepala Badan, Kepala Balai POM dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
dengan menggunakan contoh Formulir 5 sebagaimana terlampir.
7) Paling lama 12 (dua belas) harikerja sejak diterimanya surat pernyataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal menerbitkan izin PBF dengan
tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala Balai POM.
4. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) huruf d diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai
berikut:
1) Untuk memperoleh pengakuan sebagai PBF Cabang, pemohon harus mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal, Kepala Balai POM, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan menggunakan contoh Formulir 6 sebagaimana terlampir.
2) Permohonan harus ditandatangani oleh kepala PBF Cabang dan apoteker calon
penanggung jawab PBF Cabang disertai dengan kelengkapan administratif sebagai
berikut:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas kepala PBF Cabang;
b. fotokopi izin PBF yang dilegalisasi oleh Direktur Jenderal;
c. surat penunjukan sebagai kepala PBF Cabang;
d. pernyataan kepala PBF Cabang tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir;
e. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker calon penanggung jawab;
f. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;
g. peta lokasi dan denah bangunan; dan
h. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker calon penanggung jawab.
3) Untuk permohonan pengakuan sebagai PBF Cabang yang akan menyalurkan bahan
obat selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
melengkapi surat bukti penguasaan laboratorium dan daftar peralatan.
5. Di antara Pasal 12 dan Bab III disisipkan 1 (satu) bagian baru, yakni Bagian
Kelima yang berbunyi sebagai berikut: Bagian Kelima Pembaharuan Izin PBF dan
Pengakuan PBF Cabang
6. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A yang
berbunyi sebagai berikut :
1) Dalam hal terjadi perubahan nama dan/atau alamat PBF serta perubahan lingkup
kegiatan penyaluran obat atau bahan obat,wajib dilakukan pembaharuan izin PBF.
2) Dalam hal terjadi perubahan izin PBF dan/atau alamat PBF Cabang wajib
dilakukan pembaharuan pengakuan PBF Cabang.
3) Tata cara memperbaharui izin PBF atau pengakuan PBF Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 sampai dengan Pasal 10.
7. Ketentuan Pasal 13 ditambahkan ayat (6) baru sehingga Pasal 13 berbunyi
sebagai berikut:
1) PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan
obat dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh
Menteri.
2) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau
sesama PBF.
3) PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industri farmasi,
sesama PBF dan/atau melalui importasi.
4) Pengadaan bahan obat melalui importasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
5) PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau
bahan obat dari PBF pusat.
6) PBF dan PBF Cabang dalam melaksanakan pengadaan obat atau bahan obat harus
berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker penanggung jawab dengan
mencantumkan nomor SIKA.
8. Ketentuan Pasal 14 ayat (4) dihapus sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
1) Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker penanggung jawab yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan
penyaluran obat dan/atau bahan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
2) Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki
izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
3) Apoteker penanggung jawab dilarang merangkap jabatan sebagai direksi/pengurus
PBF atau PBF Cabang.
4) Dihapus.
9. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut:
1) PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di wilayah
provinsi sesuai surat pengakuannya.
2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PBF Cabang
dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di wilayah provinsi terdekat untuk dan
atas nama PBF Pusat yang dibuktikan dengan Surat Penugasan/Penunjukan.
3) Surat Penugasan/Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disahkan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi dimaksud.
10. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:
PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berdasarkan surat
pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek, apoteker penanggung jawab,
atau tenaga teknis kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat dengan
mencantumkan nomor SIPA, SIKA, atau SIKTTK.
11. Ketentuan Pasal 27ayat (1) diubah sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:
1) Permohonan penambahan gudang PBF diajukan secara tertulis kepada
DirekturJenderal dengan tembusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Badan,
dan Kepala Balai POM dengan mencantumkan:
a. alamat kantor PBF pusat;
b. alamat gudang pusat dan gudang tambahan;
c. nama apoteker penanggung jawab pusat; dan
d. nama apoteker penanggung jawab gudang tambahan.
2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
direktur/ketua dan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut:
a. fotokopi izin PBF;
b. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker calon penanggung jawab gudang
tambahan;
c. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung jawab;
d. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang; dan
e. peta lokasi dan denah bangunan gudang tambahan.
3) Permohonan penambahan gudang PBF Cabang diajukan secara tertulis kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan mengikuti ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
12. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) diubah sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:
1) Permohonan perubahan gudang PBF diajukan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Badan, dan
Kepala Balai POM dengan mencantumkan:
a. alamat kantor PBF pusat;
b. alamat gudang; dan
c. nama apoteker penanggung jawab.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh
direktur/ketua dan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut:
a. fotokopi izin PBF; dan
b. peta lokasi dan denah bangunan gudang.
(3) Permohonan perubahan gudang PBF Cabang diajukan secara tertulis kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan mengikuti ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
13. Ketentuan Pasal 34 ayat (6) diubah sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:
1) Dalam hal PBF atau PBF Cabang diberikan sanksi administratif berupa
penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf
b, pengaktifan kembali izin atau pengakuan dapat dilakukan jika PBF atau PBF
Cabang telah membuktikan pemenuhan seluruh persyaratan administratif dan teknis
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
2) Direktur Jenderal berwenang mencabut Izin PBF berdasarkan rekomendasi Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau hasil analisis pengawasan dari Kepala Badan.
3) Kepala Badan berwenang memberi sanksi administratif dalam rangka pengawasan
berupa Peringatan dan Penghentian Sementara Kegiatan PBF dan/atau PBF Cabang.
4) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi berwenang memberi sanksi administratif berupa
peringatan, penghentian sementara kegiatan PBF dan/atau PBF Cabang, dan
pencabutan pengakuan PBF Cabang.
5) Kepala Badan wajib melaporkan pemberian sanksi administratif kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
6) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi wajib melaporkan pemberian sanksi
administratif kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badadan Kepala
Balai POM.
14. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga Pasal 35 berbunyi sebagai berikut:
1) Permohonan Izin PBF dan PBF Cabang yang telah diajukan sebelum mulai
berlakunya Peraturan Menteri ini tetap diproses berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1191/Menkes/SK/IX/2002 atau Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
287/Menkes/SK/X/1976 tentang Pengimporan, Penyimpanan, dan Penyaluran Bahan
Baku Obat.
2) Izin PBF dan PBF Cabang yang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Kesehatan
Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi sebagaimana telah
diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/SK/IX/2002 atau
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 287/Menkes/SK/X/1976 tentang Pengimporan,
Penyimpanan, dan Penyaluran Bahan Baku Obat dinyatakan masih tetap berlaku
sampai dengan tanggal 31 Desember 2015.
3) Izin PBF dan PBF Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disesuaikan
berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat tanggal 31
Desember 2015.
4) Penyesuaian pengakuan PBF Cabang dilakukan setelah memperoleh penyesuaian
izin PBF pusat.
5) Dalam hal PBF dan PBF Cabang tidak melakukan penyesuaian izin atau
pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), maka PBF dan PBF
Cabang yang bersangkutan harus mengajukan permohonan izin atau pengakuan
sesuai ketentuan dalam Bab II Peraturan Menteri ini.
15. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35A dan
Pasal 35B yang berbunyi sebagai berikut:
1) Permohonan penyesuaian izin PBF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat 3
harus diajukan oleh pemohon dengan kelengkapan sebagai berikut:
a. surat permohonan kepada Direktur Jenderal yang ditandatangani oleh direktur
utama dan apoteker penanggung jawab;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua;
c. susunan direksi/pengurus;
d. surat pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah
terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun
waktu 2 (dua) tahun terakhir;
e. akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
f. surat Tanda Daftar Perusahaan;
g. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan;
h. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
i. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;
j. peta lokasi dan denah bangunan;
k. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung jawab;
l. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggung jawab;
m. rekomendasi pemenuhan persyaratan CDOB dari Kepala Badan; dan
n. rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif dari Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi.
2) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan
penyesuaian izin PBF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dinyatakan lengkap,
Direktur Jenderal menerbitkan izin PBF dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi, Kepala Badan, dan Kepala Balai POM dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 11 terlampir.
Pasal 35B
1) Permohonan penyesuaian pengakuan PBF Cabang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat 4 harus diajukan oleh pemohon dengan kelengkapan sebagai berikut:
a. surat permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi yang ditandatangani
oleh direktur utama dan apoteker penanggung jawab;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua;
c. susunan direksi/pengurus;
d. pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun waktu 2
(dua) tahun terakhir;
e. akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan;
f. surat Tanda Daftar Perusahaan;
g. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan;
h. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
i. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang;
j. peta lokasi dan denah bangunan;
k. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung jawab;
l. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggung jawab;
m. rekomendasi pemenuhan persyaratan CDOB dari Kepala Badan; dan
n. rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif dari Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
2) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan
penyesuaian pengakuan PBF Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
dinyatakan lengkap, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi menerbitkan pengakuan PBF
Cabang dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Badan, Kepala
BalaiPOM, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 12 terlampir.
C. Pengelolahan Sediaan Farmasi
1. Perencanan
Berdasarkan history penjualan 3 bulan terakhir dirata-ratai program
berkoordinasi logistic koordinasi dengan bagian penjualan (Supplier)
dengan salesman serta marketing.
2. Penerimaan
Saat penerimaan harus dilakukan pemeriksaan terhadap:
a. Kebenaran nama, jenis, nomor batch, ED, jumlah dan kemasan harus sesuai
dengan surat pengantar atau pengiriman barang dan atau faktur penjualan.
b. Kondisi kontainer pengiriman dan atau kemasan termasuk segel, label dan atau
penandaan.
c. Kebenaran nama, jenis, jumlah dan kemasan dalam surat pengantar atau
pengiriman barang dan atau faktur penjualan harus sesuai dengan arsip surat
pesanan.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan dinyatakan telah sesuai, penanggung jawab
fasilitas distribusi harus menandatangani surat pengantar atau pengiriman barang
dan atau faktur penjualan dan dibubuhi stempel fasilitas distribusi. Kemudian
dicatat pada kartu stock.
3. Penyimpanan
Setelah barang diterima dan dicek, selanjutnya adalah proses penyimpanan
barang / obat di gudang. Penyimpanan obat harus disesuaikan dengan suhu
tertentu sesuai jenis obatnya. Tetapi tidak semua obat harus disimpan pada suhu
tertentu, ada pula obat yang disimpan pada suhu normal. Pengaturan suhu
dilakukan dengan tujuan agar kualitas obat tetap terjaga. Suhu yang tidak sesuai
akan merusak obat. Misalnya saja pada suhu - disimpan di chiller seperti vaksin
anti bisa ular, vaksin anti rabies, vaksin anti tetanus. Penyimpanan obat pada
suhu disimpan dalam chiller seperti grapinom tablet, albumin. Pada
suhu sejuk antara - seperti obat-obat injeksi antara lain Govotil Injeksi, Inselin
250 mg, Griseofulvin 500 mg, vit.C, vicce, Betason-N, Betametason, Emibion
tablet. Pada suhu kamar antara - seperti Salbutamol, Paracetamol, Pamol,
Panadol, Magasida, Batugin, Ranitidin injeksi, Tramadol injeksi.
Syarat gudang penyimpanan Narkotika di PBF adalah sebagai berikut:
1. Dinding dibuat dari tembok dan hanya mempunyai satu pintu dengan dua buah
kunci yang kuat dengan merek yang berlainan.
2. Langit-langit dan jendela dilengkapi dengan jeruji besi.
3. Dilengkapi dengan lemari besi dan mempunyai kunci yang kuat yang ditanam
pada lantai / dinding.
4. Gudang dan lemari tidak boleh untuk menyimpan barang lain kecuali
ditentukan lain oleh Menteri.
Penyimpanan barang pada gudang berdasarkan :
1. Kelompok produk
Kelompok produk ini didasarkan pada OTC, Principal, Ethical Brand, Generik
dan Lisensi tetapi tetap dibedakan berdasarkan bentuk sediaan obat, hal ini untuk
mempermudah dalam memantau stok obat dalam gudang, dan juga untuk
menghindari kontaminasi sehingga distribusi obat di monitoring.
2. Abjad
Penyusunan obat berdasarkan alphabet dilakukan agar dalam mengakses atau
mengambil obat lebih mudah dan cepat, karena telah tersusun rapi berdasarkan
susunan alphabet tersebut.
Pasal 27
Penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib
memenuhi Cara Produksi Obat yang Baik, Cara Distribusi Obat yang
Baik, dan/atau standar pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
1. PBFyang menyalurkan Narkotikaharus memiliki tempat
penyimpanan Narkotika berupa gudang khusus.
2. Dalam hal PBF menyalurkan Narkotika dalam bentuk bahan bakudan obat
jadi, gudang khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdiri atas:
a.gudang khusus Narkotika dalam bentuk bahan baku
b.gudang khusus Narkotika dalam bentuk obat jadi
3. Gudang khusus untuk tempat penyimpanan Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)dan ayat (2)berada dalam penguasaan Apoteker
penanggung jawab.
Pasal 31
1) PBFyang menyalurkan Psikotropika harus memilikitempat
penyimpanan Psikotropika berupa gudang khususatau ruang khusus.
2) Dalam hal PBF menyalurkan Psikotropika dalam bentuk bahan
baku dan obat jadi, gudang khusus atau ruang khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus terdiri atas:
a.gudang khusus atau ruang khususPsikotropika dalam bentuk bahan
baku;dan
b.gudang khusus atau ruang khususPsikotropika dalam bentuk obat jadi.
4. Pengendalian Persediaan
Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya
sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang lebih ditetapkan
sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan atau kekosongan obat di unit
pelayanan kesehatan dasar.
Tujuan nya agar tidak terjadi kelebihan dan kekosongan obat di unit
pelayanan kesehatan dasar dan untuk menciptakan keseimbangan antara besar nya
persediaan dengan besar nya permintaan dari sekelompok barang.
5. Pencatatan dan pelaporan
Pedagang Besar Farmasi wajib membuat pencatatan
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika,Psikotropika,dan Prekursor
Farmasi.
Pencatatan sebagaimana dimaksud terdiri atas:
a.nama, bentuk sediaan,dan kekuatan Narkotika,Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
b.jumlah persediaan
c.tanggal,nomor dokumen, dan sumber penerimaan
d.jumlah yang diterima
e.tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan
f.jumlah yang disalurkan/diserahkan;
g.nomor batchdan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/
penyerahan; dan
h.paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
Pasal 40
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor Farmasi dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
a. penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan
surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada:
1.Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, bagi
Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat
2.Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan setempat, bagi importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu Pengetahuan,
atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi
3.Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat
dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.
b. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas
Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di lingkungannya menjadi
saksi pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.
c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud
pada huruf b.
d. Narkotika, Psikotropika dan Prekusor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus
dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan
pemusnahan.
Pasal 41
Dalam hal Pemusnahan Narkotika, Psikotropika,dan Prekusor Farmasi
dilakukan oleh pihak ketiga, wajib disaksikan oleh pemilik Narkotika, Psikotropika,
dan Prekusor Farmasi dan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf b.
Pasal 42
1) Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan yang melaksanakan
pemusnahan Narkotika, Psikotropika dan Prekusor Farmasi harus membuat Berita Acara
Pemusnahan.
2) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit
memuat:
a.hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan
b.tempat pemusnahan
c.nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan
kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan
d.nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana
tersebut
e.nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor Farmasi yang
dimusnahkan
f.cara pemusnahan
g.tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas
pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/ dokter praktik perorangan dan saksi
3) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam
rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan
Kepala Badan/Kepala Balai menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 10 terlampir.
D. Pengelolahan Obat dan Alat Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2015 tentang peredaran,
penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika, psikotropika, dan prekusor farmasi.
Narkotika
3. Penyimpanan Narkotika
Penyimpanan narkotika wajib disimpan secara khusus. PBF yang menyalurkan
narkotika harus memiliki gudang khusus untuk menmyimpan narkotika.
4. Pelayanan Narkotika dari Apotek / Rumah Sakit / Dinkes
Surat Pesanan N9 diserahkan ke Apoteker penanggung jawab distribusi
kemudian surat pesanan divalidasi kebenaran nya kemudian Apoteker
penanggung jawab membubuhkan stempel validasi dengan tanda tangan
kemudian diserahkan kepada fakturis lalu fakturis membuat dan mencetak faktur
lalu diserahkan ke pada Apoteker penanggung jawab kemudian barang disiapkan.
Setelah barang siap pihak apotek / Rumah Sakit / Dinkes membayar barang
narkotika secara tunai lalu barang diserah kan beserta faktur kemudian pihak
apotek / Rumah Sakit / Dinkes mengecek kesesuain fisik barang dengan faktur.
Faktur pesanan harus ditanda tangani oleh Apoteker, SIPA/SIKA, Cap, Sarana.
5. Pelaporan Narkotika
Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Pasal 14 Ayat (2) dinyatakan bahwa
industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, sarana penyimpanan sediaan Farmasi
Pemerintah, Apotek, Rumah Sakit, pusat harus melaporkan distribusi narkotika
setiap bulan.
Laporan Narkotika dilaporkan setiap satu bulan sekali. Pelaporan narkotika
ditujukan kepada Departemen Kesehatan dengan menggunakan aplikasi E-
REPORT dan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan menggunakan
aplikasi E-NAPZA
Alat Kesehatan
A. Kepala PBF
Kepala PBF sebagai pimpinan bertugas merencanakan, menata, melaksanakan
serta mengawasi hal-hal sebagai berikut :
1. Perjanjian hasil perdagangan komoditi PBF.
2. Perjanjian hasil pengadaan, penyimpanan, pendistribusian komoditi PBF.
3. Perjanjian hasil penerimaan, pendistribusian komoditi khusus (Inpres, PNB, dll).
4. Perjanjian hasil penyelesaian hutang piutang intern dan ekstern PBF baik ke
kantor pusat maupun ke pihak ketiga.
5. Menyusun konsep peraturan/ketetapan lain yang meliputi pengelolaan
komoditi PBF, pengembangan perdagangan/pemasaran produk Kimia Farma.
6. Penyusunan pengadaan dan pengembangan pegawai PBF serta pelaksanaan
penilaian dan pembinaan di PBF.
7. Penyelenggaraan tata usaha di lingkungan PBF.
8. Pengelolaan rencana kerja dan anggaran perubahan di lingkungan PBF.
9. Penyusunan investasi dan rehabilitasi serta sarana kerja di lingkungan PBF.
10. Penyelenggaraan konsultasi dan informasi yang perlu dalam penyelesaian hasil
pengadaan komoditi PBF serta pengembangan pemasaran dan penyelesaian hutang
PBF kepada unit kerja lainnya.
11. Penggunaan dan pemeliharaan investasi perusahaan di lingkungan kerja lain serat
di lingkungan PBF.
Kepala PBF mempunyai wewenang melakukan kegiatan yang bersangkutan
berdasarkan perundang-undangan atau peraturan perusahaan, ketetapan direksi dan
ketentuan lain yang berlaku sebagai pemangku jabatan kepala PBF Kimia Farma.
Selain itu kepala PBF juga bertanggung jawab kepada pejabat atasan langsung atas
ketetapan dan kebenaran pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilimpahkan kepada
yang bersangkutan berdasarkan perundang-undangan atau peraturan perusahaan yang
berlaku bagi pemangku jabatan kepala PBF Kimia Farma.
B. Apoteker
1. Membuat Laporan berkala tiap 3 bulan kepada badan POM dan instalasi terkait.
2. Menerima surat pesanan dari sales maupun via telpon dan fax.
3. Wajib memberikan informasi mengenai produk kepada pelanggan yang
membutuhkan.
4. Menandatangani Faktur.
5. Menangani Komplein Pelanggan dengan sabar.
C. Kasir
1. Menyediakan dana rupiah dan valuta asing untuk membayar melalui kas.
2. Menerima uang tunai, giro bilyet dan cek dari intern Kimia Farma dan pihak
ketiga.
3. Menyetor uang tunai, giro bilyet ke kas bank.
4. Mengumpulkan seluruh dokumentasi penerimaan dan pengeluaran kas untuk
proses penyelenggaraan buku kas.
5. Pemeriksaan bukti pengeluaran dan pelaksanaan suatu pembayaran tunai dan
intern Kimia Farma dan pihak ketiga.
6. Mengeluarkan kas bon sementara serta memeriksa kas untuk dikonfirmasikan
dengan saldo buku kas.
Kasir mempunyai wewenang melakukan pelaksanaan tugas yang diberikan kepada
yang bersangkutan berdasarkan perundang-undangan, peraturan perusahaan,
ketetapan direksi dan ketentuan lain yang berlaku bagi pemangku jabatan di PT.
Kimia Farma.
D. Salesman
1. Menyusun rencana kunjungan
2. Menawarkan produk Kimia Farma kepada pelanggan
3. Memberi penjelasan kepada para pelanggan bila ada perubahan harga
4. Pada setiap akhir bulan mengadakan pencatatan penjumlahan atas barang yang
telah dijualnya dan di bayar untuk dapat dipergunakan sebagai pengukur keberhasilan
dalam mencapai target.
5. Secara terus menerus mengikuti dan memantau perkembangan harga, diskon dan
tata pelayanan oleh pesaing.
6. Membina hubungan baik antar sesama relasi dan menghindari tindakan-tindakan
yang dapat merugikan dan merusak citra perusahaan demi meningkatkan penjualan
produk Kimia Farma.
7. Bertanggung jawab atas pencapaian target yang dibebankan kepadanya.
8. Bertangguang jawab atas terjadinya piutang yang sulit ditagih.
9. Bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan persyaratan pesanan sesuai
dengan peraturan perusahaan maupun peraturan pemerintah yang berlaku.
10.Berhak menolak pesanan obat yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
11.Salesman merangkap juru tagih.
F. Petugas Pembelian
1. Membuat rencana pembelian dengan cara :
a. Menerima informasi mengenai kebutuhan barang defaktor dari petugas gudang
maupun petugas penjualan.
b. Menetapkan jumlah barang yang akan dibeli berdasarkan defaktor dengan
memperhatikan stock maximum.
2. Melakukan pembelian ke depot sentral/pihak ketiga.
3. Memantau hasil pembelian
a. Memeriksa faktur yang diterima dari pemasok terhadap kelengkapan
dankebenaran harga/potongan harga yang diberikan.
b. Mencatat jumlah pembelian yang telah dilaksanakan per hari dan sekurang-
kurangnya seminggu sekali pada pimpinan.
4. Mengevaluasi hasil pembelian
a. Membandingkan jumlah pembelian terhadap omset yang dicapai untuk periode
waktu yang sama.
b. Memperkirakan persentase pembelian.
c. Menginformasikan kepada petugas penjualan tentang macetnya mutasi barang
untuk segera diatasi.
5. Mengadakan negosiasi dengan pemasok untuk mendapatkan harga yang terbaik
bagi perusahaan.
6. Bersama dengan petugas gudang, berwenang untuk menolak atau mengembalikan
barang yang telah dikirim pemasok apabila pemasok mengingkari janjinya.
7. Bertanggung jawab atas kelancaran penyediaan barang dagangan.
8. Bertanggung jawab terhadap pilihan dalam menentukan pemasok.
9. Bertanggung jawab langsung kepada kepala PBF.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pedagang Besar Farmasi Yang disingkat dengan PBF adalah perusahan berbentuk
badan hokum milik pemerintah
PBF kimia farma merupakan satu-satunya perusahaan yang diberikan izin untuk
mengedarkan obat Narkotika
DAFTAR PUSTAKA
Permenkes No.918/Menkes/X/1993
Kepmenkes No. 1191/Menkes/SK/IX/2002
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Jakarta: 2009.
https://egoandriano.blogspot.com/2016/09/laporanmakalah-laporan-magang-pbf-kimia.html