Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

” Seminar Perundang-undang dan Hukum Kesehatan”

Dosen Pengampu :
Patimah, S.Si,M.Farm.,Apt.

Oleh :

LILIS FITRIANI
P24840421054

ANF B – SMT 2

JURUSAN ANALISA FARMASI DAN MAKANAN


POLTEKKES JAKARTA II JAKARTA
Februari 2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah saya ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini.
Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW
beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah memperjuangkan Agama
Islam.
Kemudian dari pada itu, saya sadar bahwa dalam menyusun makalah ini
banyak yang membantu terhadap usaha saya, mengingat hal itu dengan segala
hormat saya sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Direktur Poltekkes Jakarta 2 Bapak Joko Sulistyo, ST., M.Si.
2. Ketua Jurusan Analisa Farmasi dan Makanan Ibu Ai Emalia
Sukmawati, S.Farm., M.Si.
3. Dosen pengampu yang telah memberikan bimbingan dalam
penyusunan makalah ini Ibu Patimah, S.Si,M.Farm.,Apt.
Dan dalam penyusunan makalah ini saya sadar bahwa masih banyak
kekurangan dan kekeliruan, maka dari itu saya mengharapkan keritikan positif,
sehingga bisa diperbaiki seperlunya.
Akhirnya saya tetap berharap semoga makalah ini menjadi butir-butir
amalan saya dan bermanfaat khususnya bagi saya dan umumnya bagi seluruh
pembaca. Amin Yaa Robbal 'Alamin.

(LILIS FITRIANI)

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ……………………………………………….…..… i


Kata Pengantar …………………………………………………..…. ii
Daftar Isi …………………………………………………..…. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah …………………………………….. 2
C. Tujuan ………….……………………………………… 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Distribusi Obat Pedagang Besar Farmasi……………… 3
B. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1148/MENKES/PER/VI/2011 Tentang Pedagang Besar
Farmasi……………………………………….………... 4
C. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
34 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 Tentang
Pedagang Besar Farmasi……………………………….. 9
D. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
30 Tahun 2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011
Tentang Pedagang Besar Farmasi……...…………….… 18
E. Peraturan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha
Pedagang Besar Farmasi……………………………….. 21

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ……………………………………………. 24

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 25

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pedagang Besar Farmasi (PBF) merupakan perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat atau bahan obat dalam
jumlah besar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.PBF bertugas untuk
menyalurkan obat kepada PBF lain seperti, apotek, puskesmas hingga rumah sakit
(Permenkes, 2011).
Pemerintah sudah membuat suatu pedoman yaitu tentang pendistribusian untuk
industri farmasi yang biasa disebut Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) peraturan
tersebut tercantum dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Republik Indonesia, Hk.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang Pedoman Teknis
Cara Distribusi Obat Yang Baik. Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) adalah cara
distribusi atau penyaluran obat atau bahan obat yang bertujuan memastikan mutu
sepanjang jalur distribusi atau penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan
penggunaannya (BPOM, 2012).
Pedagang Besar Farmasi (PBF) merupakan sarana yang mendistribusikan sediaan
perbekalan farmasi ke sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang meliputi apotek,
rumah sakit, toko obat atau unit pelayanan kesehatan lainnya. Pendistribusian ini
bertujuan agar unit pelayanan kesehatan memperoleh obat yang dibutuhkan dengan
harga layak, mutu baik, pengiriman obat terjamin tepat waktu, serta proses berjalan
lancar dengan tidak memerlukan waktu dan tenaga yang berlebihan (Bogadenta,
2012)

1
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pasal-pasal apa saja yang mengatur tentang masalah yang tekait dengan pedagang
besar farmasi.
2. Perubahan peraturan kementerian kesehatan mengenai pedagang besar farmasi.
3. Mengenai pendistribusian bahan obat dalam pedagang besar farmasi.
4. Perubahan isi dari pasal-pasal mengenai pedagang bessar farmasi pada Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2017.

C. TUJUAN
Tujuan pada penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui tujuan dari pedangan besar farmasi yang ada di Indonesia.
2. Mengetahui apa saja perubahan dalam peraturan kementerian kesehatan mengenai
pedagang besar farmasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DISTRIBUSI OBAT PEDAGANG BESAR FARMASI

Dalam upaya mewujudkan masyarakat yang sehat dibutuhkan penyediaan obat


berkualitas. Kualitas obat tersebut harus dijamin dari mulai produksi hingga
mencapai masyarakat atau konsumen, salah satu titik kritis adalah kegiatan
penyaluran obat. Industri farmasi menyalurkan produknya menggunakan jasa
distributor atau disebut juga Pedagang Besar Farmasi (PBF). PBF memiliki
wewenang untuk menyalurkan obat antar PBF atau PBF cabang lainnya dan fasilitas
kefarmasian seperti, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik, dan
toko obat. PBF harus menerapkan pola bisnis yang meliputi, pengadaan dan
pemesanan barang, penerimaan barang, penyimpanan, penerimaan pesanan,
pengiriman pesanan, dan penagihan pembayaran demi mendukung tercapainya target
perusahaan.

3
B. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI

Pedagang Besar Farmasi, yang selanjutnya disingkat PBF adalah perusahaan


berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan,
penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki pengakuan untuk melakukan
pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah besar
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya disebut Kepala Badan
adalah Kepala Badan yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengawasan obat
dan makanan.

Perizinan Pedagang Besar Farmasi


1. Setiap pendirian PBF wajib memiliki izin dari Direktur Jenderal.
2. Setiap PBF dapat mendirikan PBF Cabang.
3. Setiap pendirian PBF Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
memperoleh pengakuan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi di wilayah PBF
Cabang berada.
4. Izin PBF berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama
memenuhi persyaratan. Pengakuan PBF Cabang berlaku mengikuti jangka waktu izin
PBF. Untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi,
b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
c. memiliki secara tetap apoteker Warga Negara Indonesia sebagai penanggung
jawab,
d. komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat,vbaik
langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan
di bidang farmasi,
e. menguasai bangunan dan sarana yang memadai untuk dapat melaksanakan
pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat serta dapat menjamin kelancaran
pelaksanaan tugas dan fungsi PBF,

4
f. menguasai gudang sebagai tempat penyimpanan dengan perlengkapan yang dapat
menjamin mutu serta keamanan obat yang disimpan, dan
g. memiliki ruang penyimpanan obat yang terpisah dari ruangan lain sesuai CDOB.
5. Untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kepala Balai POM dengan menggunakan contoh Formulir 1
sebagaimana terlampir.
6. Permohonan harus ditandatangani oleh direktur/ketua dan apoteker calon
penanggung jawab disertai dengan kelengkapan administrative sebagai berikut:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua,
b. susunan direksi/pengurus,
c. pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat
pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi,
d. akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan,
e. surat Tanda Daftar Perusahaan,
f. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan,
g. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak,
h. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang,
i. peta lokasi dan denah bangunan,
j. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung jawab, dan
k. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggung jawab.
7. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi
kelengkapan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi mengeluarkan
rekomendasi pemenuhan kelengkapan administratif kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Balai POM dan pemohon dengan menggunakan contoh
Formulir 2 sebagaimana terlampir.
8. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima rekomendasi serta
persyaratan lainnya yang ditetapkan, Direktur Jenderal menerbitkan izin PBF dengan
menggunakan contoh Formulir 4 sebagaimana terlampir.
9. Paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak menerima surat pernyataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Kepala Dinas Kesehatan Provinsi menerbitkan pengakuan
PBF Cabang dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Badan, Kepala
Balai POM dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

5
Masa Berlaku Pedagang Besar Farmasi
Izin PBF dinyatakan tidak berlaku, apabila:
a. masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang;
b. dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan; atau
c. izin PBF dicabut.
Pengakuan Cabang PBF dinyatakan tidak berlaku, apabila:
a. masa berlaku Izin PBF habis dan tidak diperpanjang;
b. dikenai sanksi berupa penghentian sementara kegiatan; atau
c. pengakuan dicabut.

Penyelenggaraan Pedagang Besar Farmasi


1. PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat
dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri.
2. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau
sesama PBF.
3. PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industry farmasi, sesama
PBF dan/atau melalui importasi.
4. Pengadaan bahan obat melalui importasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
5. PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau bahan obat dari
PBF pusat.
6. Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker penanggung jawab yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan
penyaluran obat dan/atau bahan obat.
7. Setiap pergantian apoteker penanggung jawab, direksi/pengurus PBF atau PBF
Cabang wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja.
8. Setiap PBF dan PBF Cabang dilarang menjual obat atau bahan obat secara eceran
dan dilarang menerima dan/atau melayani resep dokter.
9. PBF dan PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat kepada PBF atau PBF Cabang
lain, dan fasilitas pelayanan kefarmasian sesuai ketentuan peraturan perundang
undangan. PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di
wilayah provinsi sesuai surat pengakuannya.

6
10. PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berupa obat keras
berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek atau
apoteker penanggung jawab. Setiap PBF atau PBF Cabang yang melakukan
pengubahan kemasan bahan obat dari kemasan atau pengemasan kembali bahan obat
dari kemasan aslinya wajib melakukan pengujian laboratorium.
11. Selain menyelenggarakan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat dan/atau
bahan obat, PBF mempunyai fungsi sebagai tempat pendidikan dan pelatihan.

Gudang Pedagang Besar Farmasi


Gudang dan kantor PBF atau PBF Cabang dapat berada pada lokasi yang terpisah
dengan syarat tidak mengurangi efektivitas pengawasan intern oleh direksi/pengurus
dan penanggung jawab.
Dalam hal gudang dan kantor PBF atau PBF Cabang berada dalam lokasi yang
terpisah maka pada gudang tersebut harus memiliki apoteker.
1. PBF dan PBF Cabang dapat melakukan penambahan gudang atau perubahan gudang.
2. Permohonan penambahan gudang PBF diajukan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal dengan mencantumkan :
a. alamat kantor PBF pusat,
b. alamat gudang pusat dan gudang tambahan,
c. nama apoteker penanggung jawab pusat, dan
d. nama apoteker penanggung jawab gudang tambahan.
3. Permohonan perubahan gudang PBF diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
dengan mencantumkan:
a. alamat kantor PBF pusat,
b. alamat gudang, dan
c. nama apoteker penanggung jawab.
Gudang tambahan hanya melakukan kegiatan penyimpanan dan penyaluran sebagai
bagian dari PBF atau PBF Cabang.

Pelaporan Pedagang Besar Farmasi


Setiap PBF dan cabangnya wajib menyampaikan laporan kegiatan setiap 3 (tiga)
bulan sekali meliputi kegiatan penerimaan dan penyaluran obat dan/atau bahan obat
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kepala Balai POM.

7
Selain laporan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal setiap
saat dapat meminta laporan kegiatan penerimaan dan penyaluran obat dan/atau bahan
obat. Setiap PBF dan PBF Cabang yang menyalurkan narkotika dan psikotropika
wajib menyampaikan laporan bulanan penyaluran narkotika dan psikotropika sesuai
ketentuan peraturan perundangundangan.

Pembinaan Dan Pengawasan Pedagang Besar Farmasi


Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota melakukan
pembinaan secara berjenjang terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan
peredaran obat atau bahan obat yang ditetapkan oleh Direktur Jendral.
Pengawasan terhadap PBF dan PBF Cabang sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri ini dilaksanakan oleh Kepala Badan.
Dalam hal PBF atau PBF Cabang diberikan sanksi administrative berupa penghentian
sementara kegiatan, pengaktifan kembali izin atau pengakuan dapat dilakukan jika
PBF atau PBF Cabang telah membuktikan pemenuhan seluruh persyaratan
administratif dan teknis sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
1. Direktur Jenderal berwenang mencabut Izin PBF berdasarkan rekomendasi Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau hasil analisis pengawasan dari Kepala Badan.
2. Kepala Badan berwenang memberi sanksi administratif dalam rangka pengawasan
berupa Peringatan dan Penghentian Sementara Kegiatan PBF dan/atau PBF Cabang.
3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi berwenang memberi sanksi administratif berupa
peringatan, penghentian sementara kegiatan PBF dan/atau PBF Cabang, dan
pencabutan pengakuan PBF Cabang.
4. Kepala Badan wajib melaporkan pemberian sanksi administrative kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
5. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi wajib melaporkan pemberian sanksi
administratif kepada Direktur Jenderal.

8
C. PERATURAN KEMENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 34 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA ATAS
PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR
1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI.

Perubahan pada pasal 4 ayat 1 yaitu :


1. Untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. berbadan hukum berupa perseroan terbatas atau koperasi,
b. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP),
c. memiliki secara tetap apoteker Warga Negara Indonesia sebagai penanggung
jawab,
d. komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat baik
langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan
di bidang farmasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir,
e. menguasai bangunan dan sarana yang memadai untuk dapat melaksanakan
pengadaan, penyimpanan dan penyaluran obat serta dapat menjamin kelancaran
pelaksanaan tugas dan fungsi PBF,
f. menguasai gudang sebagai tempat penyimpanan dengan perlengkapan yang dapat
menjamin mutu serta keamanan obat yang disimpan, dan
g. memiliki ruang penyimpanan obat yang terpisah dari ruangan lain sesuai CDOB.
2. Dalam hal permohonan dilakukan dalam rangka penanaman modal, pemohon harus
memperoleh persetujuan penanaman modal dari instansi yang menyelenggarakan
urusan penanaman modal sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perubahan pada pasal 7 ayat 2 yaitu:


1. Untuk memperoleh izin PBF, pemohon harus mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi dan Kepala Balai POM dengan menggunakan contoh Formulir 1
sebagaimana terlampir.
2. Permohonan harus ditandatangani oleh direktur/ketua dan apoteker
calon penanggung jawab disertai dengan kelengkapan administratif
sebagai berikut:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua,

9
b. susunan direksi/pengurus,
c. pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah terlibat
pelanggaran peraturan perundangundangan di bidang farmasi dalam kurun waktu
2 (dua) tahun terakhir,
d. akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan,
e. surat Tanda Daftar Perusahaan,
f. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan,
g. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak,
h. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang,
i. peta lokasi dan denah bangunan,
j. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung jawab, dan
k. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggung jawab.
3. Untuk permohonan izin PBF yang akan menyalurkan bahan obat selain harus
memenuhi persyaratan yaitu harus melengkapi surat bukti penguasaan laboratorium
dan daftar peralatan.

10
Perubahan pasal 8 ayat 4 sampai 6 yaitu :
1. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan verifikasi kelengkapan
administrative.
2. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya tembusan
permohonan, Kepala Balai POM melakukan audit pemenuhan persyaratan CDOB.
3. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi
kelengkapan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi mengeluarkan
rekomendasi pemenuhan kelengkapan administratif kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Balai POM dan pemohon dengan menggunakan contoh
Formulir 2 sebagaimana terlampir.
4. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima rekomendasi serta
persyaratan lainnya yang ditetapkan, Direktur Jenderal menerbitkan izin PBF dengan
menggunakan contoh Formulir 4 sebagaimana terlampir.
5. Tidak dilaksanakan pada waktunya, pemohon dapat membuat surat pernyataan siap
melakukan kegiatan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Badan, Kepala Balai POM dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan
menggunakan contoh Formulir 5 sebagaimana terlampir.

11
6. Paling lama 12 (dua belas) hari kerja sejak diterimanya surat pernyataan, Direktur
Jenderal menerbitkan izin PBF dengan tembusan kepada Kepala Badan, Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala
Balai POM.

Perubahan pasal 9 ayat 2 yaitu :


1. Untuk memperoleh pengakuan sebagai PBF Cabang, pemohon harus mengajukan
permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan kepada
Direktur Jenderal, Kepala Balai POM, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan menggunakan contoh Formulir 6 sebagaimana terlampir.
2. Permohonan harus ditandatangani oleh kepala PBF Cabang dan apoteker calon
penanggung jawab PBF Cabang disertai dengan kelengkapan administratif sebagai
berikut:
a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas kepala PBF Cabang,
b. fotokopi izin PBF yang dilegalisasi oleh Direktur Jenderal,
c. surat penunjukan sebagai kepala PBF Cabang,
d. pernyataan kepala PBF Cabang tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang farmasi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir,
e. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker calon penanggung jawab,
f. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang,
g. peta lokasi dan denah bangunan, dan
h. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker calon penanggung jawab.
3. Untuk permohonan pengakuan sebagai PBF Cabang yang akan menyalurkan bahan
obat selain harus memenuhi persyaratan harus melengkapi surat bukti penguasaan
laboratorium dan daftar peralatan.

Perubahan pada pasal 12 yaitu :


Mengenai pembaharuan izin PBF dan pengakuan PBF cabang

Perubahan pada pasal 12 dan 13 disisipka menjadi satu bagian yaitu :


1. Dalam hal terjadi perubahan nama dan/atau alamat PBF serta perubahan lingkup
kegiatan penyaluran obat atau bahan obat, wajib dilakukan pembaharuan izin PBF.

12
2. Dalam hal terjadi perubahan izin PBF dan/atau alamat PBF Cabang wajib dilakukan
pembaharuan pengakuan PBF Cabang.
3. Tata cara memperbaharui izin PBF atau pengakuan PBF Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 sampai dengan Pasal 10.

Perubahan pada pasal 13 ditambahkan ayat 6 yaitu :


PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan obat
dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri.
PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industry farmasi dan/atau sesama
PBF dan/atau melalui importasi.
Pengadaan bahan obat melalui importasi dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau bahan obat dari PBF
pusat dan harus berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker penanggung
jawab dengan mencantumkan nomor SIKA.

Perubahan pada pasal 4 ayat 4 yaitu :


Dihapus

Perubahan pada pasal 14 dan 15 disisipkan 2 pasal 14A dan 14B yaitu :
Dalam hal apoteker penanggung jawab tidak dapat melaksanakan tugas, apoteker
yang bersangkutan harus menunjuk apoteker lain sebagai pengganti sementara yang
bertugas paling lama untuk waktu 3 (tiga) bulan.
Penggantian harus mendapat persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
1. Setiap pergantian apoteker penanggung jawab, pergantian direktur/ketua PBF, wajib
memperoleh persetujuan dari Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala
Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
2. Setiap pergantian apoteker penanggung jawab, pergantian direktur/ketua PBF
Cabang, wajib memperoleh persetujuan dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Badan, dan Kepala Balai POM.
3. Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
direksi/pengurus PBF atau PBF Cabang melaporkan kepada Direktur Jenderal atau

13
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) hari
kerja sejak terjadi perubahan.
4. Paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal atau Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi menerbitkan surat persetujuan dengan tembusan kepada Kepala Badan dan
Kepala Balai POM.

Perubahan pada pasal 19 yaitu :


PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di wilayah provinsi
sesuai surat pengakuannya.
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PBF Cabang dapat
menyalurkan obat dan/atau bahan obat di wilayah provinsi terdekat untuk dan atas
nama PBF Pusat yang dibuktikan dengan Surat Penugasan/Penunjukan.
Surat Penugasan/Penunjukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disahkan oleh
Dinas Kesehatan Provinsi dimaksud.

Perubahan pada pasal 20 yaitu :


PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berdasarkan surat
pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek, apoteker penanggung jawab,
atau tenaga teknis kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat dengan
mencantumkan nomor SIPA, SIKA, atau SIKTTK.

Perubahan pada pasal 27 ayat 1 yaitu :


1. Permohonan penambahan gudang PBF diajukan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Badan, dan
Kepala Balai POM dengan mencantumkan:
a. alamat kantor PBF pusat,
b. alamat gudang pusat dan gudang tambahan,
c. nama apoteker penanggung jawab pusat, dan
d. nama apoteker penanggung jawab gudang tambahan.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh direktur/ketua
dan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut:
a. fotokopi izin PBF,

14
b. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker calon penanggung jawab gudang
tambahan,
c. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung jawab,
d. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang, dan
e. peta lokasi dan denah bangunan gudang tambahan.
3. Permohonan penambahan gudang PBF Cabang diajukan secara tertulis kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi.

Perubahan pasal 28 ayat 1 yaitu :


1. Permohonan perubahan gudang PBF diajukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Badan, dan Kepala Balai
POM dengan mencantumkan:
a. alamat kantor PBF pusat,
b. alamat gudang, dan
c. nama apoteker penanggung jawab.
2. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh direktur/ketua
dan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut:
a. fotokopi izin PBF, dan
b. peta lokasi dan denah bangunan gudang.
3. Permohonan perubahan gudang PBF Cabang diajukan secara tertulis kepada Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi.

Perubahan pada pasal 34 ayat 6 yaitu :


Dalam hal PBF atau PBF Cabang diberikan sanksi administrative berupa penghentian
sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf b,
pengaktifan kembali izin atau pengakuan dapat dilakukan jika PBF atau PBF Cabang
telah membuktikan pemenuhan seluruh persyaratan administratif dan teknis sesuai
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
1. Direktur Jenderal berwenang mencabut Izin PBF berdasarkan rekomendasi Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau hasil analisis pengawasan dari Kepala Badan.
2. Kepala Badan berwenang memberi sanksi administratif dalam rangka pengawasan
berupa Peringatan dan Penghentian Sementara Kegiatan PBF dan/atau PBF Cabang.

15
3. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi berwenang memberi sanksi administratif berupa
peringatan, penghentian sementara kegiatan PBF dan/atau PBF Cabang, dan
pencabutan pengakuan PBF Cabang.
4. Kepala Badan wajib melaporkan pemberian sanksi administrative kepada Direktur
Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
5. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi wajib melaporkan pemberian sanksi administratif
kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan dan Kepala Balai POM.

Perubahan pasal 35 dan 36 disisipkan menjadi 2 pasal 35A dan 35B yaitu :
1. Permohonan penyesuaian izin PBF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3)
harus diajukan oleh pemohon dengan kelengkapan sebagai berikut:
a. surat permohonan kepada Direktur Jenderal yang ditandatangani oleh direktur
utama dan apoteker penanggung jawab,
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)/identitas direktur/ketua,
c. susunan direksi/pengurus,
d. surat pernyataan komisaris/dewan pengawas dan direksi/pengurus tidak pernah
terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang farmasi dalam
kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir,
e. akta pendirian badan hukum yang sah sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan,
f. surat Tanda Daftar Perusahaan,
g. fotokopi Surat Izin Usaha Perdagangan,
h. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak,
i. surat bukti penguasaan bangunan dan gudang,
j. peta lokasi dan denah bangunan,
k. surat pernyataan kesediaan bekerja penuh apoteker penanggung jawab,
l. fotokopi Surat Tanda Registrasi Apoteker penanggung jawab,
m. rekomendasi pemenuhan persyaratan CDOB dari Kepala Badan, dan
n. rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif dari Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi.

16
2. Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya permohonan
penyesuaian izin PBF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dinyatakan lengkap,
Direktur Jenderal menerbitkan izin PBF dengan tembusan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi, Kepala Badan, dan Kepala Balai POM dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 11 terlampir.

Perubahan pasal 36 yaitu :


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 918/MENKES/PER/X/1993 tentang
Pedagang Besar Farmasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1191/MENKES/SK/IX/2002 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 918/MENKES/PER/X/1993 tentang Pedagang Besar
Farmasi,
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 287/MENKES/SK/XI/1976
tentang Ketentuan Pengimporan, Penyimpanan, dan Penyaluran Bahan Baku,
c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 00049/A/SK/I/1989
tentang Penyaluran Obat Kontrasepsi Lingkaran Biru Sediaan Pil
Untuk Sarana Pelayanan Kesehatan Praktek Bidan dan Praktek
Dokter, dan
d. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
Nomor
HK.00.06.2.01571 tentang Penyaluran Obat/Alat Kontrasepsi
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

17
17
D. PERATURAN KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS
PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR
1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI.

Perubahan pada pasal 13 ayat 5 dan 6 yaitu :


1. PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau
bahan obat dari PBF pusat atau PBF Cabang lain yang ditunjuk oleh
PBF pusatnya.
2. PBF dan PBF Cabang dalam melaksanakan pengadaan obat atau
bahan obat harus berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani
apoteker penanggung jawab dengan mencantumkan nomor SIPA.

Perubahan pada pasal 14A yaitu :


Dalam hal apoteker penanggung jawab tidak dapat melaksanakan
tugas, PBF atau PBF Cabang harus menunjuk apoteker lain sebagai
pengganti sementara yang bertugas paling lama untuk waktu 3 (tiga)
bulan.
PBF atau PBF Cabang yang menunjuk apoteker lain sebagai
pengganti sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada kepala dinas
kesehatan provinsi setempat dengan tembusan Kepala Balai POM.

Perubahan pada pasal 19 yaitu :


1. PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di
daerah provinsi sesuai dengan surat pengakuannya.
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PBF Cabang dapat
menyalurkan obat dan/atau bahan obat di daerah provinsi terdekat untuk dan atas
nama PBF pusat yang dibuktikan dengan Surat Penugasan/Penunjukan.
3. Setiap Surat Penugasan/Penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
hanya untuk 1 (satu) daerah provinsi terdekat yang dituju dengan jangka waktu
selama 1 (satu) bulan.

18
4. PBF Cabang yang menyalurkan obat dan/atau bahan obat di daerah provinsi terdekat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menyampaikan pemberitahuan atas Surat
Penugasan/Penunjukan secara tertulis kepada kepala dinas kesehatan provinsi yang
dituju dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi asal PBF Cabang, Kepala
Balai POM provinsi asal PBF Cabang dan Kepala Balai POM provinsi yang dituju.

Perubahan pasal 14A yaitu :


Dalam hal apoteker penanggung jawab tidak dapat melaksanakan
tugas, PBF atau PBF Cabang harus menunjuk apoteker lain sebagai
pengganti sementara yang bertugas paling lama untuk waktu 3 (tiga)
bulan.
PBF atau PBF Cabang yang menunjuk apoteker lain sebagai
pengganti sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada kepala dinas
kesehatan provinsi setempat dengan tembusan Kepala Balai POM.

Perubahan pada pasal 19 yaitu :


1. PBF Cabang hanya dapat menyalurkan obat dan/atau bahan obat di
daerah provinsi sesuai dengan surat pengakuannya.
2. Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PBF Cabang dapat
menyalurkan obat dan/atau bahan obat di daerah provinsi terdekat untuk dan atas
nama PBF pusat yang dibuktikan dengan Surat Penugasan/Penunjukan.
3. Setiap Surat Penugasan/Penunjukkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku
hanya untuk 1 (satu) daerah provinsi terdekat yang dituju dengan jangka waktu
selama 1 (satu) bulan.
4. PBF Cabang yang menyalurkan obat dan/atau bahan obat di daerah provinsi terdekat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menyampaikan pemberitahuan atas Surat
Penugasan/Penunjukan secara tertulis kepada kepala dinas kesehatan provinsi yang
dituju dengan tembusan kepala dinas kesehatan provinsi asal PBF Cabang, Kepala
Balai POM provinsi asal PBF Cabang dan Kepala Balai POM provinsi yang dituju.

Perubahan pada pasal 20 yaitu:

19
1. PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berdasarkan surat
pesanan yang ditandatangani apoteker pemegang SIA, apoteker penanggung jawab,

19
atau tenaga teknis kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat dengan
mencantumkan nomor SIPA atau SIPTTK.
2. Dikecualikan dari ketentuan penyaluran obat berdasarkan pembelian secara elektronik
(E-Purchasing) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

20
E. PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMER 14 TAHUN 2021
TENTANG STANDAR KEGIATAN USAHA PEDAGANG BESAR FARMASI

LAPORAN KEGIATAN PRODUKSI INDUSTRI FARMASI


1. Laporan Pemasukan dan Penggunaan Bahan Aktif Obat Termasuk Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
1) Laporan Pemasukan
Laporan memuat informasi sebagai berikut :
a. jenis pemasukan yang mencakup :
1. stok awal,
2. penerimaan, dan
3. koreksi stok.
b. tanggal pemasukan.
c. informasi bahan aktif obat termasuk Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi yang dimasukkan mencakup :
1. jenis bahan aktif obat,
2. nama bahan aktif obat,
3. jumlah,
4. satuan,
5. nomor bets,
6. tanggal kedaluwarsa,
7. nama pabrik pembuat,
8. nama negara pembuat, dan
9. nama distributor/eksportir.
d. Informasi sumber pemasukan untuk Narkotika, Psikotropika, Prekursor
Farmasi dan Obat-Obat Tertentu, mencakup :
1. tanggal dokumen, dan
2. nomor dokumen.
2) Laporan Penggunaan
Laporan memuat informasi sebagai berikut:
a. Jenis dan tanggal penggunaan yang mencakup :
1. trial,
2. produksi komersial, dan/atau
3. koreksi stok.
b. Informasi bahan baku yang digunakan mencakup :
1. jenis bahan baku,
2. nama bahan baku,
3. jumlah,
4. satuan, dan
5. nomor bets.

21
2. Laporan Pemasukan dan Penggunaan Bahan Intermediate
(1) Laporan Pemasukan bahan intermediate
Laporan memuat informasi sebagai berikut :
a. jenis pemasukan yang mencakup :
1. stok awal,
2. penerimaan, dan/atau
3. koreksi stok,
b. tanggal pemasukan.
c. Informasi bahan intermediate yang dimasukkan mencakup :
1. jenis bahan intermediate,
2. nama bahan intermediate,
3. jumlah,
4. satuan,
5. nomor bets,
6. tanggal kedaluwarsa,
7. nama pabrik pembuat,
8. nama negara pembuat, dan
9. nama distributor/eksportir.
d. Informasi sumber pemasukan untuk bahan intermediate untuk Narkotika,
Psikotropika, Prekursor Farmasi dan Obat-Obat Tertentu, mencakup :
1. tanggal dokumen, dan
2. nomor dokumen.

22
(2) Laporan Penggunaan Bahan Intermediate
Laporan memuat informasi sebagai berikut :
a. Jenis dan tanggal penggunaan yang mencakup :
1. trial,
2. produksi komersial, dan/atau
3. koreksi stok.
b. Informasi bahan baku yang digunakan mencakup :
1. jenis bahan intermediate,
2. nama bahan intermediate,
3. jumlah,
4. satuan, dan
5. nomor bets.

23
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam Pedagang Besar farmasi yang memiliki kuasa penuh dalam pendistribusian obat-
obatan yang akan di berikan pada tempat-tempat kesehatan baik dikota maupun
dipedesaan harus memiliki perizinan penuh oleh pemerintah maupun negara. Yang
dimana semuanya tertuang pada Peraturan Pedagang Besar Farmasi dari Menteri
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011.

Kemudian adanya perubahan dari peraturan isi pasal-pasal tersebut, yang diubah oleh
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomer 34 Tahun 2014, dan perubahan yang
terbaru Nomer 30 Tahun 2017 sebagaimana yang telah tercantum pada pembahasan
diatas bagian C dan D. Serta adanya lampiran mengenai standar kegiatan usaha pedagang
besar farmasi pada Nomer 14 Tahun 2021 pada bagain E.

Dengan ini saya berharap agar kita semua adapat memahami peraturan perundang-
undang mengenai pedagang besar farmasi yang telah meluas dinegara kita ini.

Banyaknya kekurangan dalam penulisan makalah ini, saya mohon maaf sebesar-
sebesarnya dan berterimakasih banyak pada Ibu Patimah, S.Si,M.Farm.,Apt. selaku
dosen pembimbing dan seluruh teman-teman yang akan mengamati pembahasan ini.

24
DAFTAR PUSTAKA

Rahayu Sedyaningsih, Endang. 2011. Peraturan Kementerian Kesehatan Tentang


Pedagang Besar Farmasi. Jakarta.
Mboi, Nafsiah. 2014. Peraturan Kementerian Kesehatan Tentang Pedagang Besar
Farmasi. Jakrta.
Farid Moeloek, Nila. 2017. Peraturan Kementerian Kesehatan Tentang Pedagang Besar
Farmasi. Jakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2012. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia Nomor.HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 Tentang
Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik. Jakarta: BPOM.
Griifin, R. W dan Ebert, R. J. 2008. Bisnis, edisi 8. Jakarta : Erlangga.
Kementerian Kesehatan. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor.34 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011
tentang Pedagang Besar Farmasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
https://iaijatim.id/wp-content/uploads/2019/11/
PMK_No._30_ttg_Pedagang_Besar_Farmasi_.pdf
https://persi.or.id/wp-content/uploads/2020/11/pmk11482011.pdf
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/117570/permenkes-no-34-tahun-2014

25

Anda mungkin juga menyukai