Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERUNDANG-UNDANGAN KESEHATAN

Dosen Pengasuh : Dra.Hj.Agustinawati U,M.Si..Apt

”OBAT PREKURSOR”

Disusun oleh :

- Gipani Alpilina Putri (18.71.019321)

- Aditama Reihan A.Rianto (18.71.020194)

- Shella Shelfia (18.71.019308)

KELOMPOK 9
FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALANGKARAYA


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI D-III FARMASI 2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Esa,karena atas karunia-
Nya kami bisa menyusun dan menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Kami sangat
berterima kasih atas bimbingan dari dosen pengampu mata kuliah Perundang-undangan
Kesehatan

Ibu Dra.Hj.Agustinawati U,M.Si..Apt

Makalah ini membahas tentang OBAT PREKURSOR yang bertujuan untuk mengenali dan
memahami serta mengerti bahan dasar dari obat itu sendiri. Materinya diambil dari berbagai
sumber terkait. Kami menyadari banyak sekali kekurangan dari makalah ini,oleh sebab itu saran
dan kritikan dari pembaca sangat kami perlukan untuk memperbaiki kesalahan,sehingga kami
dapat menyempurnakan makalah-makalah selanjutnya. Harapan dari kami sendiri semoga
dengan tersusunnya makalah ini dapat bermaanfaat bagi kita semua.

2
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i

KATA PENGANTAR ...……………………………………………………........ ii

DAFTAR ISI ..………...…………………………………………………........... iii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………...................... 1

1.1 LATAR BELAKANG......................................................................................1

1.2 LANDASAN HUKUM…................................................................................2

1.3 RUMUSAN MASALAH.................................................................................4

1.4 TUJUAN…………………………………………….......................................5

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................6

2.1 PENGERTIAN PREKURSOR………............................................................6

2.2 CARA MEMPRODUKSI PREKURSOR DAN

PENGELOLAANNYA...................................................................................6

2.3 BAHAN PEMBUATAN DAN PENGELOMPOKANNYA


.........................................................................................................................10

BAB III PENUTUP................................................................................................13

3.1 KESIMPULAN................................................................................................13

3.2 SARAN............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….14

3
iii

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Prekursor farmasi banyak digunakan untuk keperluan Industri Farmasi dalam
memproduksi obat mengandung prekursor farmasi yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk
pengobatan. Pengawasan precursor farmasi memiliki permasalahan yang komplek,karena
pada satu sisi jika pengawasan yang dilakukan terlalu ketat akan menghambat
perkembangan industry dalam negeri sedanmgkan sisi lain pengawasan yang longgar akan
mendorong terjadinya penyimpangan(diversi) precursor farmasi oleh sindikat narkoba dalam
memproduksi narkotika secara illegal. Kecendrungan ini dapat dihindari dengan
meningkatnya temuan farmasi baik dalam bentuk bahan obat maupun bahan obat yang
mengandung precursor farmasi (efidrin/pseudoefedrin) dilaboratorium gelap(clandestine
Laboratorium)pada beberapa tahun terakhir ini.
Kerjasama lintas sector dilingkungan pemerintah dengan pengelola precursor farmasi dan
atau obat mengandung precursor farmasi merupakan bagian dari strategi pengawasan yang
harus ditingkatkan. Kerjasama ini bertujuan untuk meningkatkan pengawasan,kordinasi
lintas sector dan meningkatkan pemahaman serta kepedulian pengelola precursor farmasi
dan/atau obat mengandung precursor farmasi dalam upaya pencegahan diversi dan
kebocoran precursor farmasi dan/atau obat mengandung precursor farmasi dari jalur legal ke
jalur illegal atau sebaliknya.
Berdasarkan Konvensi PBB Tahun 1988 tentang pemberantasan peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1997 tentang pengesahan konvensi PBB tentang pemberantasan peredaran gelap Narkotika
dan psikotropika 1988 (UN Convetion Agains Illicit Trafficin NarcotikDrugsand
Psychotropics Substances,1988), disebutkan bahwa setiap Negara yang telahmeratifikasi
koven tersebut wajib melakukan upaya pencegahan diversi dan kebocoran precursor
farmasi.

4
Sesuai dengan amanat dalam peraturan pemerintahnomor 44 tahun 2010 tentang precursor
dimana badan POM merupakan salah satu instusi pengawas precursor,perlu untuk
melakukan penyusunan pedoman pengelolaan Prekursor farmasi dan/atau obat
mengandung precursor farmasi bagi pengelola precursor farmasi dan/atau obat mengandung
precursor farmasi.
Pedoman Pengelolaan Prekursor farmasi dan/atau obat mengandung precursor farmasi ini
merupakan acuan dari pengelola precursor farmasi untuk melakukan
perencanaan,pelaksanaan,monitoring,dan evaluasi terhadap pengelolaan yang dimulai dari
pengadaan,penyimpanan,produksi penyaluran/penyerahanmpemusnahan serta identifikasi
diversi dalam upaya pencegahan diversi dan kebocoran.

1.2 Landasan Hukum


1. Ordonansi Obat Keras (Sterkwerkende Geneesmiddelen Ordonnantie; Staatsblad Tahun
1949; 419);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3671);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 (United Nations
Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988)
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1977 Nomor 17, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3673);
4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5062);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
6. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5072);

5
7 . Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781)
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5126);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5044)
9. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor (Lembaran Negara
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 3
Tahun 2013;
10. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi
11. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon
Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2013;
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 167/KAB/B.VIII/1972 tentang Pedagang Eceran
Obat sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1331/MENKES/SK/X/2002;
13 . Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 Tahun 1993 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 tahun 2002;
14. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1426/SK/Menkes/SK/XI/2002 tentang Pedoman
Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan;
15 . Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri
Farmasi;
16. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang
Besar Farmasi;
17. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2013 tentang Impor dan Ekspor
Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 178);

6
18. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM
Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004;
19. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.35.02771
Tahun 2002 tentang Pemantauan dan Pengawasan Prekursor;
20. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.10.11.08481
Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 3 Tahun
2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 540); 21. Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.04.1.33.12.11.09938 Tahun 2011
tentang Kriteria dan Tata Cara Penarikan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau
Persyaratan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 551);
22. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.34.11.12.7542
Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Distribusi Obat yang Baik (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1268);
23. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.33.12.12.8159
Tahun 2012 tentang Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 122);
24 . Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 32 Tahun 2013 tentang
persyaratan dan Tata Cara Permohonan Analisa Hasil Pengawasan dalam Rangka Impor
dan Ekspor Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 729).

1.3 Rumusan Masalah


1.Apa yang dimsaksud dengan precursor?
2.Bagaimana cara memproduksi precursor dan pengelolaannya?
3.Apa saja bahan pembuatannya,serta pengelompokannya?

7
1.4 Tujuan
1.Untuk mengetahui pengerian precursor
2.Untuk Mengetahui bagaimana cara memproduksi dan mengelolanya
3.Untuk mengetahui bahan pembuatan nya seta contoh obat mengandung prekursor

8
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Prekursor


Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam
pembuatan Narkotika dan Psikotropika (PP No 44 tahun 2010 ). Penggunaan istilah
precursor bukan hanya bahan-bahan yang mengandung narkoba,tetapi bisa juga yang
membantu proses pembentukan narkoba. Prekursor ini bisa sebagai perantara terbentuknya
zat lain,atau dapat bekerja sebagai zat asam dalam pembentukan garam narkoba. Prerkursor
tersebut berguna untuk industry farmasi,pendidikllan,pengembangan ilmu pengetahuan dan
pelayanan kesehatan.
Prekursor di Indone;sia diawasi oleh beberapa instansi antara lain : POLRI,BNN,BEA
CUKAI,Badan Pengawas Obat dan Makanan departemen Perindustrian dan perdagangan
dan Departemen Kesehatan.

2.2 Cara Memproduksi prekursor dan Pengelolaannya


Pengadaan prekursor dilakukan melalui produksi dalam negeri dan impor. Prekursor hanya
dapat diproduksi oleh Industri yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yaitu :
a.Pemberian Surat Persetujuan Impor setiap kali mengimpor.
b.Pemberian Surat Persetujuan Ekspor setiap kali mengekspor.
c.Pemberitahuan Ekspor dari pemerintah Negara pengekspor (pre ekspor notifikasi)
d.Kewajiban menyampaikan catatan dan laporan bagi sarana pengelola precursor.

Pengaturan Undang-Undang dalam Prekursor bertujuan untuk :


a.Melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor.
b.Mencegah dan memberantas peredaran gelap prekursor.
c.Mencegah terjadinya penyimpangan prekursor.
d.Menjamin ketersediaan Prekursor untuk industri Farmasi,industri non farmasi dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

9
Pengelolaan Prekursor Farmasi meliputi kegiatan :

a. Pengadaan;
b. Penyimpanan;
c. Pembuatan;
d. Penyaluran;
e. Penyerahan;
f. Penanganan Obat Kembalian;
g. Penarikan Kembali Obat;
h. Pemusnahan;
i. Pencatatan dan Pelaporan;
j. Inspeksi diri;
k.

Contoh Pengelolaan obat mengandung Prekursor di Apotik :

obat mengandung Prekursor Farmasi harus berdasarkan

Surat Pesanan (SP).


 SP harus:
a. Asli dan dibuat tindasan sebagai arsip (Anak Lampiran 1c);
b. Ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek/Apoteker Pendamping dengan
mencantumkan nama lengkap dan nomor SIPA, nomor dan tanggal SP, dan kejelasan
identitas pemesan (antara lain nama dan alamat jelas, nomor telepon/faksimili, nomor ijin,
dan stempel);
c. Mencantumkan nama dan alamat Industri Farmasi/Pedagang Besar Farmasi (PBF) tujuan
pemesanan;
Pemesanan antar apotek diperbolehkan dalam keadaan mendesak misalnya pemesanan
sejumlah obat yang dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan jumlah obat yang diresepkan;
d. Mencantumkan nama obat mengandung Prekursor Farmasi, jumlah, bentuk dan kekuatan
sediaan, isi dan jenis kemasan;
e. Diberi nomor urut tercetak dan tanggal dengan penulisan yang jelas atau cara lain yang
dapat tertelusur, dan

10
f. Khusus untuk pesanan obat mengandung Prekursor Farmasi dibuat terpisah dari surat
pesanan obat lainnya dan jumlah pesanan ditulis dalam bentuk angka dan huruf.
g. Apabila pemesanan dilakukan melalui telepon (harus menyebutkan nama penelpon yang
berwenang), faksimili, email maka surat pesanan asli harus diberikan pada saat serah
terima barang, kecualiuntuk daerah-daerah tertentu dengan kondisi geografis yang sulit
transportasi dimana pengiriman menggunakan jasa ekspedisi, maka surat pesanan asli
dikirimkan tersendiri.

 Apotek yang tergabung di dalam satu grup, masing-masing Apotek harus membuat SP sesuai
kebutuhan kepada Industri Farmasi/PBF.
 Apabila SP tidak dapat digunakan, maka SP yang tidak digunakan tersebut harus tetap
diarsipkan dengan diberi tanda pembatalan yang jelas.
 Apabila SP Apotek tidak bisa dilayani, Apotek harus meminta surat penolakan pesanan dari
Industri Farmasi/PBF.
 Pada saat penerimaan obat mengandung Prekursor Farmasi, harus dilakukan pemeriksaan
kesesuaian antara fisik obat dengan faktur penjualan dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB)
yang meliputi:
a. Kebenaran nama produsen, nama Prekursor Farmasi/obat mengandung Prekursor Farmasi,
jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan;
b. Nomor bets dan tanggal kadaluwarsa;
c. Apabila butir a, b dan/atau kondisi kemasan termasuk segel dan penandaan rusak, terlepas,
terbuka dan tidak sesuai dengan SP, maka obat tersebut harus dikembalikan kepada
pengirim disertai dengan bukti retur/surat pengembalian (Anak Lampiran 2) dan salinan
faktur penjualan serta dilengkapi nota kredit dari Industri Farmasi/PBF pengirim.
 Setelah dilakukan pemeriksan pada butir A6 di atas, Apoteker Penanggung Jawab atau tenaga
teknis kefarmasian wajibmenandatangani faktur penjualan dan/atau Surat Pengiriman Barang
(SPB) dengan mencantumkan nama lengkap, nomor SIPA / SIKTTK dan stempel Apotek.

 CONTOH PENGELOLAAN OBAT PREKURSOR di INSTALASI RUMAH SAKIT

1. Pengadaan obat mengandung Prekursor Farmasi harus berdasarkan Surat Pesanan (SP).
2. Surat Pesanan (SP) harus:
a. Asli dan dibuat tindasannya sebagai arsip;

11
b. Ditandatangani oleh Apoteker Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit disertai nama jelas
dan nomor Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) di Instalasi Farmasi Rumah Sakit, nomor
dan tanggal SP sesuai dengan yang disebutkan dalam Anak Lampiran 1d;
c. Mencantumkan nama dan alamat Industri Farmasi/PBF/Rumah Sakit tujuan pemesanan;
Dalam keadaan mendesak Rumah Sakit diperbolehkan memesan ke Apotek misalnya
pemesanan sejumlah obat yang dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan jumlah obat
yang diresepkan;
d . Mencantumkan nama obat mengandung Prekursor Farmasi, bentuk dan kekuatan sediaan,
jenis dan isi kemasan;
e. Diberi nomor urut tercetak dan tanggal dengan penulisan yang jelas atau cara lain yang
dapat tertelusur, dan
f. Khusus untuk pesanan obat mengandung Prekursor Farmasi dibuat terpisah dari surat
pesanan obat lainnya dan jumlah pesanan ditulis dalam bentuk angka dan huruf.
g. Apabila pemesanan dilakukan melalui telepon (harus menyebutkan nama penelpon yang
berwenang), faksimili, email maka surat pesanan asli harus diberikan pada saat serah
terima barang, kecuali untuk daerah-daerah tertentu dengan kondisi geografis yang sulit
transportasi dimana pengiriman menggunakan jasa ekspedisi, maka surat pesanan asli
dikirimkan tersendiri.
 Rumah sakit yang tergabung di dalam satu grup, masing-masing rumah sakit harus
membuat SP sesuai kebutuhan kepada Industri Farmasi/PBF
 Apabila karena suatu hal SP tidak dapat digunakan, maka SP yangtidak digunakan
tersebut harus tetap diarsipkan dengan diberi tanda pembatalan yang jelas.
 Apabila SP Rumah Sakit tidak bisa dilayani, Rumah Sakit harus meminta surat penolakan
pesanan dari Industri Farmasi /PBF/Rumah Sakit pengirim.
 Pada saat penerimaan obat mengandung Prekursor Farmasi harus dilakukan pemeriksaan
kesesuaian antara fisik obat dengan faktur penjualan dan/atau Surat Pengiriman Barang
(SPB) antara lain:
a. Kebenaran nama produsen, nama obat mengandung Prekursor Farmasi, jumlah, bentuk
dan kekuatan sediaan, jenis dan isi kemasan;
b. Nomor bets dan tanggal daluwarsa dan;

12
c. Apabila butir a, b dan/atau kondisi kemasan termasuk segel dan penandaan rusak,
terlepas, terbuka dan tidak sesuai dengan SP, maka obat tersebut harus dikembalikan
kepada pengirim disertai dengan bukti retur/surat pengembalian (Anak Lampiran 2)
dan salinan faktur penjualan dan meminta nota kredit dari Industri
Farmasi/PBF/Rumah Sakit pengirim.
 Setelah dilakukan pemeriksaan pada butir A.6 di atas, Kepala InstalasiFarmasi Rumah
Sakit atau tenaga teknis kefarmasian wajib menandatangani Surat Pengiriman Barang
(SPB) dan/atau faktur penjualan dilengkapi dengan nama jelas, nomor SIPA/SITTK,
dan stempel Rumah Sakit.
 SP obat mengandung Prekursor Farmasi dalam pengadaan tender dibuat terpisah dan
menjadi dokumen pendukung Surat Perjanjian Kontrak (SPK). Berita acara
penerimaan barang dibuat setelah obat mengandung Prekursor Farmasi diterima oleh
Panitia Penerima Barang.

2.3 Bahan Pembuatan dan Pengelompokannya

 Pembuatan Prekursor
1. Perencanaan produksi obat mengandung Prekursor Farmasi yang dilakukan oleh
bagian Production Planning and Inventory Control (PPIC) harus memperhatikan jeda
waktu antara penimbangan, penyimpanandi ruang penyimpanan hasil timbang, dan
prosespembuatan.

2. Bukti dokumen penyerahan bahan obat dari bagian gudang ke bagian produksi harus
ditandatangani oleh sekurang-kurangnya supervisor produksi.

3. Penimbangan harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya supervisor, jika diperlukan


ruangan penimbangan dapat dilengkapi dengan Closed Circuit Television (CCTV).

4. Bahan obat yang telah ditimbang untuk keperluan produksi harus disimpan di ruang
penyimpanan hasil timbang dengan aman, terpisah dan terkunci. Jika bahan obat
disimpan bersama dengan bahan obat lain maka harus disimpan dalam wadah dilengkapi
dengan segel bernomor. Sebelum disimpan, bahan sisa timbang harus ditimbang kembali

13
dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya supervisor untuk memastikan kebenaran
berat sisa timbang.

5. Sebelum dilakukan pencampuran harus dilakukan verifikasi kesesuaian penimbangan


oleh operator produksi disaksikan oleh sekurang-kurangnya supervisor dan dicatat
dalam catatan pengolahan bets untuk memastikan tidak ada diversi dalam tahap
tersebut.

6. Penambahan bahan obat ke dalam campuran harus diketahui oleh sekurang-


kurangnya supervisor dan dicatat dalam catatan pengolahan bets.
7. Produk antara dan produk ruahan disimpan dengan aman (wadahdilengkapi dengan
seal bernomor, pembatasan akses personil, atau di ruangan terpisah dan terkunci) di
bawah tanggung jawab personil yangditunjuk.

8. Setiap pelulusan obat jadi harus didahului dengan pengkajian catatan bets secara
seksama oleh Kepala Bagian Pemastian Mutu untuk memastikan tidak ada diversi dalam
tiap tahap proses tersebut. Jika terjadi selisih stok bahan obat dan/atau produk antara
dan/atau produk ruahan maupun obat mengandung Prekursor Farmasi harus dicatat dan
dilaporkan ke Badan POM di dalam laporan bulanan Pemasukan dan Penggunaan
Prekursor Farmasi untuk Produksi (Anak Lampiran 4).

9. Memisahkan dan menyimpan dengan aman dan terkunci untuk sampel (bahan obat,
produk ruahan, produk antara dan obat mengandung Prekursor Farmasi) selama proses
berlangsung.

10. Sampel pertinggal (bahan obat dan obat mengandung Prekursor Farmasi) disimpan
di tempat terpisah, aman dan terkunci sesuai batas waktu penyimpanan.

11. Memisahkan dan menyimpan dengan aman dan terkunci dari penyimpanan produk
lain selama proses investigasi dan/atau sebelum dimusnahkan terhadap:
a. Sisa granul pencetakan/pengisian dari table dies;

14
b. Debu hasil pencetakan/pengisian/deduster mesin cetak/metal detector khusus untuk
mesin cetak/filling dedicated;
c. Sampel sisa pengujian; dan
d. Sisa sampel hasil pengujian pengawasan selama proses (in process control).

12. Pembuatan dan/atau analisis berdasarkan kontrak


a. Selain harus memenuhi ketentuan tentang Pembuatan dan Analisis Berdasarkan
Kontrak dalam Pedoman CPOB terkini, harus pula diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Perjanjian kontrak harus menyebutkan dengan jelas lokasi penyimpanan Prekursor
Farmasi dan penanggung jawabnya.
- Serah terima Prekursor Farmasi harus diverifikasi oleh pemberi dan penerima kontrak.
b. Semua tahap pembuatan obat berdasarkan kontrak harus mengikuti ketentuan yang
tercantum dalam ketentuan pada butir c. tentang Pembuatan dalam pedoman ini
 Contoh Obat Mengandung Prekursor

NO NAMA SEDIAAN BENTUK SEDIAAN INDIKASI


1 Anakonidin Sirup Batuk dan Pilek
2 Antiza Tablet Meringankan dan
melenyapkan gejala flu
dengan batuk kering
3 Calortusin Tablet Meringankan batuk
disertai dengan
dahak,demam,pilek,dan
segala alergi lainnya
4 Halmezim sirup Antitusif dan ekspetoran

5 Nalgestan Tablet Meringankan bersin-


bersin dan hidung
tersumbat
6 Neo-Napasin Tablet Meringankan sesak
Nafas

15
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau kimia yang dapat digunakan sebagai bahan
baku,penolong untuk keperluan proses produksi Industri farmasi ,obat jadi mengandung
efedrin, pseudofedrin, norefedrin/fenilpropanolamine,ergotamine,ergometrine atau
potassium permanganate. Prekursor bukan hanya bahan-bahan yang mengandung
narkoba,tetapi bias membantu proses pembentukan narkoba .Prekursor ini bias sebagai
perantara terbentuknya zat lain, atau dapat bekerja sebagai zat asam dalam pembentukan
garam narkoba.Dengan adanya landasan hukum prekursor yang tujuannya untuk melindungi
masyarakat dari bahaya penyalahgunaan precursor,mencegah dan memberantas peredaran
gelap precursor,mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpagan precursor,dan menjamin
ketersediaan precursor di idustri farmasi,industry non farmasi dan pengembangan ilmu
pengetahuan teknologi.

3.2 SARAN

Pemerintah beserta masyarakat harus bekerjasama untuk mencegah upaya


penyalahgunaan dan peredaraan precursor yang menyimpang ke jalur yang tidak resmi
untuk dijadikan narkotika dan psikotropika.

16
DAFTAR PUSTAKA

BPOM RI. 2013. Peraturan Badan Pengawasan obat dan Makanan Republik Indonesia nomor 40
tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi Dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi.

Jakarta : Kepala BPOM.

PERMENKES.2015. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2015 Tentang
Peredaran, Penyimpanan,Pemusnahan,dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika,dan Prekursor farmasi.

Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

17

Anda mungkin juga menyukai