Anda di halaman 1dari 183

KATALOG 1

PMK 1799/2010 Jo 16/2013

JUDUL  INDUSTRI FARMASI

LATAR a. bahwa pengaturan tentang Industri Farmasi yang


BELAKANG/ALASAN komprehensif sangat diperlukan dalam mengantisipasi
DITERBITKAN penerapan perdagangan internasional di bidang farmasi;
b. bahwa Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
245/Menkes/SK/X/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi sudah tidak
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Kesehatan tentang Industri Farmasi;

DASAR HUKUM  1. Ordonansi Obat Keras (Staatsblad Nomor 419 Tahun 1949);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3821);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
6. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062);
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang
Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan
Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986
Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3330);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin
Usaha Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3596);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Jenis
dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4975);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5044);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang
Prekursor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5126);
14. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1987 tentang
Penyederhanaan Pemberian Izin Usaha Industri;
15. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan
Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001
tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen;
16. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara;
17. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/
VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Kesehatan;

KETENTUAN UMUM  Definisi : Obat, Bahan obat, Industri Farmasi, Pembuatan Obat,
Cara Pembuatan Obat yang Baik, Farmakovigilans, Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Direktur Jenderal, Menteri

TUJUAN  Untuk Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi

MATERI IZIN INDUSTRI FARMASI, PENYELENGGARAAN,


MUATAN/ASPEK PELAPORAN, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN,
UTAMA YANG DIATUR KETENTUAN PERALIHAN, KETENTUAN PENUTUP

MATERI FARMASI  Definisi : Obat, Bahan obat, Industri Farmasi, Pembuatan Obat,
Cara Pembuatan Obat yang Baik, Farmakovigilans, Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan

SANKSI  Sanksi administratif

ATURAN   1. Berlaku 2 tahun 


PERALIHAN/PENUTUP 2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
245/Menkes/SK/X/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
KATALOG 2

PMK 3/2015

JUDUL  PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN PELAPORAN


NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR FARMASI

LATAR 1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor  28/Menkes/Per/I/1978 tentang


BELAKANG/ALASAN Penyimpanan Narkotika,  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
DITERBITKAN 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika, dan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor  912/Menkes/Per/VIII/1997 tentang Kebutuhan
Tahunan  dan Pelaporan Psikotropika perlu disesuaikan dengan
perkembangan dan kebutuhan hukum; 
2. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud  dalam huruf a dan
untuk melaksanakan ketentuan Pasal  14 ayat (3), Pasal 36 ayat (2), Pasal
42, dan Pasal 44  Undang–Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, dan Pasal 9 ayat (3), Pasal 14 ayat (6) dan  Pasal 15 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun  2010 tentang Prekursor, perlu
menetapkan Peraturan  Menteri Kesehatan tentang Peredaran,
Penyimpanan,  Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika,  dan
Prekursor Farmasi;

DASAR HUKUM  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; Undang-


Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;  Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;  Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;  Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 1998 tentang  Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
Peraturan  Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian; Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010  tentang
Prekursor; Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013  tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009  tentang Narkotika;
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014  tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah; Peraturan  Menteri Kesehatan Nomor
1144/Menkes/Per/lll/2010 tentang  Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian; Peraturan Menteri  Kesehatan Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri  Farmasi; Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor   1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar
Farmasi; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2013 tentang
Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor  Farmasi;
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014  tentang Klinik;

KETENTUAN HUKUM  Definisi : Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi, Penyaluran,


Penyerahan, Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi yang  selanjutnya
disingkat PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Instalasi  Farmasi Rumah
Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Apotek, Toko Obat,  Lembaga Ilmu
Pengetahuan, Importir Terdaftar Psikotropika  yang selanjutnya disingkat
IT Psikotropika, Importir Terdaftar  Prekursor Farmasi yang selanjutnya
disingkat IT Prekursor  Farmasi, Kepala Balai, Kepala Badan, Direktur
Jenderal, Menteri

TUJUAN  Untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau pengembangan ilmu


pengetahuan dan teknologi.

MATERI PEREDARAN (Umum, Penyaluran, Penyerahan), PENYIMPANAN


MUATAN/ASPEK UTAMA (Umum, Penyimpanan Narkotika atau Psikotropika,Penyimpanan
YANG DIATUR Prekursor Farmasi), PEMUSNAHAN, PENCATATAN  DAN
PELAPORAN, PEMBINAAN DAN PENGAWASANKETENTUAN
PERALIHAN, KETENTUAN PENUTUP

MATERI FARMASI  Definisi Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi, Penyaluran,


Penyerahan, Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi yang  selanjutnya
disingkat PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Instalasi  Farmasi Rumah
Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Apotek, Toko Obat,  Lembaga Ilmu
Pengetahuan, Importir Terdaftar Psikotropika  yang selanjutnya disingkat
IT Psikotropika, Importir Terdaftar  Prekursor Farmasi yang selanjutnya
disingkat IT Prekursor  Farmasi

SANKSI  Sanksi administratif

ATURAN   1. Berlaku 3 tahun 


PERALIHAN/PENUTUP 2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor  28/Menkes/Per/I/1978 tentang
Penyimpanan Narkotika; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor  
688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran  Psikotropika; dan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor  912/Menkes/Per/VIII/1997 tentang Kebutuhan
Tahunan  dan Pelaporan Psikotropika, dicabut dan dinyatakan  tidak
berlaku.

KATALOG 3

PMK 26/2018

JUDUL  PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA


ELEKTRONIK SEKTOR KESEHATAN

LATAR a. untuk percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha


BELAKANG/ALASAN sektor kesehatan, perlu menerapkan pelayanan Perizinan Berusaha
DITERBITKAN terintegrasi secara elektronik;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 88 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor
Kesehatan;

DASAR HUKUM  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman


Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4724);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063;
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan
Perizinan Terintegrasi Secara Elektronik (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6215);

KETENTUAN HUKUM  Definisi : Perizinan Berusaha, Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara


Elektronik atau Online Single Submission, Pelaku Usaha, Pendaftaran,
Izin Usaha, Izin Komersial atau Operasional, Komitmen, Lembaga
Pengelola dan Penyelenggara OSS, Nomor Induk Berusaha, Nomor
Pokok Wajib Pajak, Dokumen Elektronik, Tanda Tangan Elektronik,
Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Industri Rumah Tangga
Pangan, Sertifikat Produksi Industri Farmasi, Sertifikat Produksi Industri
Farmasi Bahan Obat, Rencana Produksi Industri Farmasi atau Rencana
Produksi Industri Farmasi Bahan Obat, Sertifikat Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga, PBF Cabang, Sertifikat Distribusi Farmasi,
Sertifikat Distribusi Cabang Farmasi, Cara Pembuatan Obat yang Baik,
Cara Distribusi Obat yang Baik, Obat Tradisional, Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan
Alam, Usaha Kecil Obat Tradisional, Usaha Mikro Obat Tradisional,
Sertifikat Produksi Industri Obat Tradisional atau Sertifikat Produksi
Ekstrak Bahan Alam, Rencana Produksi IOT/IEBA, Sertifikat Produksi
UKOT dan Sertifikat Produksi UMOT, Rencana Produksi UKOT,
Kosmetika, Industri Kosmetika, Sertifikat Produksi Kosmetika, Rencana
Produksi Kosmetika, Sertifikat Distribusi Farmasi, Sertifikat Distribusi
Cabang Farmasi, Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi, Impor
Narkotika, Ekspor Narkotika, Surat Persetujuan Impor, Surat Persetujuan
Ekspor, . Importir Produsen Psikotropika, Importir Produsen Prekursor
Farmasi, Importir Terdaftar Psikotropika, Importir Terdaftar Prekursor
Farmasi, Eksportir Produsen Psikotropika, Eksportir Produsen Prekursor
Farmasi, Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro, Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga, Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In
Vitro dan PKRT Inovasi, Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In
Vitro dan PKRT Pengembangan Baru, Izin Edar, Distributor Alat
Kesehatan dan Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro, Cabang Distributor
Alat Kesehatan dan Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro, Sertifikat
Distribusi Alat Kesehatan, Izin Cabang Distribusi Alat Kesehatan,
Sertifikat Produksi Alat Kesehatan dan PKRT, Cara Distribusi Alat
Kesehatan yang Baik, Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik, Cara
Pembuatan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang Baik, Sertifikat
Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik atau Sertifikat Cara
Pembuatan PKRT yang Baik, Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan
yang Baik, Toko Alat Kesehatan, Izin Toko Alat Kesehatan, Perusahaan
Rumah Tangga, Izin Perusahaan Rumah Tangga Alat Kesehatan dan
PKRT, Apotek, Toko Obat, Surat Tanda Registrasi Apoteker, Surat Tanda
Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian, Surat Izin Apotek, Surat Izin
Toko Obat, E-Farmasi, Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi, Rumah
Sakit, Klinik, Laboratorium Klinik, Bank Jaringan dan/atau Sel Punca,
Laboratorium Pengolahan Sel Punca Untuk Aplikasi Klinis, Institusi
Pengujian Fasilitas Kesehatan, Hari, Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Kementerian Kesehatan, Menteri

TUJUAN  Untuk Kepentingan Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara


Elektronik Sektor Kesehatan.

MATERI MUATAN/ASPEK JENIS PERIZINAN BERUSAHA SEKTOR KESEHATAN,


UTAMA YANG DIATUR PERSYARATAN, TATA CARA PENERBITAN IZIN, MASA
BERLAKU PERIZINAN BERUSAHA, PENGAWASAN ATAS
PELAKSANAAN PERIZINAN BERUSAHA, KETENTUAN
PERALIHAN, KETENTUAN PENUTUP

MATERI FARMASI  Definisi : Perizinan Berusaha, Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara


Elektronik atau Online Single Submission, Pelaku Usaha, Pendaftaran,
Izin Usaha, Izin Komersial atau Operasional, Komitmen, Lembaga
Pengelola dan Penyelenggara OSS, Nomor Induk Berusaha, Nomor
Pokok Wajib Pajak, Dokumen Elektronik, Tanda Tangan Elektronik,
Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Industri Rumah Tangga
Pangan, Sertifikat Produksi Industri Farmasi, Sertifikat Produksi Industri
Farmasi Bahan Obat, Rencana Produksi Industri Farmasi atau Rencana
Produksi Industri Farmasi Bahan Obat, Sertifikat Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga, PBF Cabang, Sertifikat Distribusi Farmasi,
Sertifikat Distribusi Cabang Farmasi, Cara Pembuatan Obat yang Baik,
Cara Distribusi Obat yang Baik, Obat Tradisional, Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik, Industri Obat Tradisional, Industri Ekstrak Bahan
Alam, Usaha Kecil Obat Tradisional, Usaha Mikro Obat Tradisional,
Sertifikat Produksi Industri Obat Tradisional atau Sertifikat Produksi
Ekstrak Bahan Alam, Rencana Produksi IOT/IEBA, Sertifikat Produksi
UKOT dan Sertifikat Produksi UMOT, Rencana Produksi UKOT,
Kosmetika, Industri Kosmetika, Sertifikat Produksi Kosmetika, Rencana
Produksi Kosmetika, Sertifikat Distribusi Farmasi, Sertifikat Distribusi
Cabang Farmasi, Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi, Impor
Narkotika, Ekspor Narkotika, Surat Persetujuan Impor, Surat Persetujuan
Ekspor, . Importir Produsen Psikotropika, Importir Produsen Prekursor
Farmasi, Importir Terdaftar Psikotropika, Importir Terdaftar Prekursor
Farmasi, Eksportir Produsen Psikotropika, Eksportir Produsen Prekursor
Farmasi, Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro, Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga, Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In
Vitro dan PKRT Inovasi, Alat Kesehatan, Alat Kesehatan Diagnostik In
Vitro dan PKRT Pengembangan Baru, Izin Edar, Distributor Alat
Kesehatan dan Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro, Cabang Distributor
Alat Kesehatan dan Alat Kesehatan Diagnostik In Vitro, Sertifikat
Distribusi Alat Kesehatan, Izin Cabang Distribusi Alat Kesehatan,
Sertifikat Produksi Alat Kesehatan dan PKRT, Cara Distribusi Alat
Kesehatan yang Baik, Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik, Cara
Pembuatan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang Baik, Sertifikat
Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik atau Sertifikat Cara
Pembuatan PKRT yang Baik, Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan
yang Baik, Toko Alat Kesehatan, Izin Toko Alat Kesehatan, Perusahaan
Rumah Tangga, Izin Perusahaan Rumah Tangga Alat Kesehatan dan
PKRT, Apotek, Toko Obat, Surat Tanda Registrasi Apoteker, Surat Tanda
Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian, Surat Izin Apotek, Surat Izin
Toko Obat, E-Farmasi, Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi, Rumah
Sakit, Klinik, Laboratorium Klinik, Bank Jaringan dan/atau Sel Punca,
Laboratorium Pengolahan Sel Punca Untuk Aplikasi Klinis, Institusi
Pengujian Fasilitas Kesehatan

SANKSI  Sanksi administratif

ATURAN   1. Berlaku sejak tanggal diundangkan 


PERALIHAN/PENUTUP 2. Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pelayanan Perizinan Berusaha Sektor Kesehatan dinyatakan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
KATALOG 4
ASPEK PMK 006/2012
JUDUL Industri Dan Usaha Obat Tradisional
LATAR a. Memberikan Iklim Usaha Yang Kondusif Bagi Produsen Obat
BELAKANG/ALASAN Tradisional
DITERBITKAN
b. Pmk Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 Tentang Izin Usaha Industri Obat
Tradisional Dan Pendaftaran Obat Tradisional Sudah Tidak Sesuai
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 Tentang Perindustrian
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil,
Dan Menengah
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 Tentang Kewenangan
Pengaturan, Pembinaan Dan Pengembangan Industri
6. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
8. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2009 Tentang Jenis Dan Tarif
Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Departemen Kesehatan
9. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian
10.Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen
11.Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan, Tugas,
Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan
Fungsi Eselon I Kementerian Negara
12.Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 381/Menkes/SK/ III/2007
Tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional
13.Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010
Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
KETENTUAN UMUM Definisi: OT, CPOTB, IOT, IEBA, UKOT, UMOT, Usaha Jamu Racikan,
Usaha Jamu Gendong, Menteri, Direktur Jenderal, Kepala Badan POM,
Kepala Balai Besar/Balai POM
TUJUAN Untuk Memberikan Iklim Usaha Yang Kondusif Bagi Produsen Obat
Tradisional
MATERI MUATAN / 1. BENTUK INDUSTRI DAN USAHA OBAT TRADISIONAL
ASPEK UTAMA YANG 2. PERIZINAN
DIATUR
3. PENYELENGGARAAN
4. PERUBAHAN STATUS DAN KONDISI SARANA
5. LAPORAN
6. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
MATERI FARMASI OT, CPOTB, IOT, IEBA, UKOT, UMOT, Usaha Jamu Racikan, Usaha
Jamu Gendong,
SANKSI Sanksi administrasi berupa:
a. peringatan;
b. peringatan keras;
c. perintah penarikan produk dari peredaran;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin industri atau izin usaha.
ATURAN PERALIHAN / A. KETENTUAN PERALIHAN
PENUTUP 1. Permohonan izin industri dan usaha OT yang telah diajukan sebelum
berlakunya Peraturan Menteri ini tetap diproses
2. PMK Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri
Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional dinyatakan masih
tetap berlaku.
3. Izin industri dan usaha obat tradisional harus diperbaharui paling
lama 2 (dua) tahun
B. KETENTUAN PENUTUP
PMK Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat
Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional, sepanjang yang
menyangkut izin dan usaha industri obat tradisional, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
KATALOG 5
ASPEK PMK NO. 1175/MENKES/PER/VIII/2010
JUDUL IZIN PRODUKSI KOSMETIKA
LATAR BELAKANG 1. dalam rangka menjamin mutu, keamanan, dan
kemanfaatan kosmetika perlu pengaturan izin
produksi kosmetika
2. PMK 236/Men.Kes/Per/X/1977 tentang Perijinan
Produksi Kosmetika dan Alat Kesehatan perlu
disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan
ilmu pengetahuan serta teknologi terkini
DASAR HUKUM UU 5/1984, UU 8/1999, UU 32/2004, UU 20/2008,
UU 36/2009, PP 72/1998, PP 38/2007, PP 51/2009,
KEPPRES 103/2001, PERPRES 47/2009, PERPRES
24/2010, PMK 1575/MENKES/PER/XI/2005
KETENTUAN UMUM Definisi: Kosmetika, Izin produksi, Industri
Kosmetika, CPKB, Menteri, Direktur Jendral, Kepala
BPOM
TUJUAN Untuk menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan
kosmetika perlu pengaturan izin produksi kosmetika
ASPEK YANG DIATUR / MATERI Izin produksi, Tata Cara Memperoleh Izin Produksi,
MUATAN Perubahan Izin Produksi, Penyelenggaraan Pembuatan
Kosmetika, Pembinaan & Pengawasan, Sanksi
MATERI FARMASI Kosmetika, Izin produksi, Industri Kosmetika, CPKB
SANKSI Administratif
ATURAN PERALIHAN / 1. Pabrik kosmetika yang telah memiliki izin produksi
PENUTUP wajib melakukan penyesuaian selambat-lambatnya
2 (dua) tahun sejak Peraturan ini diundangkan.
2. PMK 236/Men.Kes/Per/X/1977 tentang Izin
Produksi Kosmetika dan Alat Kesehatan sepanjang
menyangkut Izin Produksi Kosmetika dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
KATALOG 6
ASPEK PERMENKES RI NO. 20 TAHUN 2017
CARA PEMBUATAN ALAT KESEHATAN DAN
JUDUL PERBEKALAN KESEHATAN RUMAH TANGGA YANG
BAIK
a) untuk menjamin alat kesehatan dan perbekalan kesehatan
rumah tangga yang diproduksi memenuhi persyaratan
keamanan, mutu, dan manfaat sesuai dengan tujuan
pembuatannya, perlu pengaturan mengenai cara pembuatan
alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga yang
baik
LATAR BELAKANG
b) untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (2) Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1189/Menkes/Per/VIII/2010
tentang Produksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Kesehatan tentang Cara Pembuatan Alat Kesehatan dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang Baik
1. UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2. UU No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
3. PP No 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan
4. PerMenKes No 1189/MENKES/PER/VIII/2010 tentang
DASAR HUKUM
Produksi Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga
5. PerMenKes No 1190/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Izin
Edar Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga
Definisi Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik, Cara
KETENTUAN UMUM
Pembuatan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang Baik
TUJUAN Untuk menjamin alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah
tangga yang diproduksi memenuhi persyaratan keamanan, mutu,
dan manfaat sesuai dengan tujuan pembuatannya, perlu
pengaturan mengenai cara pembuatan alat kesehatan dan
perbekalan kesehatan rumah tangga yang baik
MATERI  Penerapan CPAKN dan CPPKRTB
MUATAN/ASPEK  Pembinaan dan Pengawasan
YANG DIATUR
1. Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Baik (CPAKB) yaitu
pedoman yang digunakan dalam rangkaian kegiatan
pembuatan Alat Kesehatan, Cara Pembuatan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga yang Baik (CPPKRTB) adalah
pedoman yang digunakan dalam rangkaian kegiatan
pembuatan perbekalan kesehatan rumah tangga dan
pengendalian mutu yang bertujuan untuk menjamin agar
produk alat kesehatan yang diproduksi memenuhi
persyaratan yang ditetapkan sesuai dengan tujuan
MATERI FARMASI
penggunaannya.
2. Penerapan CPAKB dan CPPKRTB dibuktikan dengan
sertifikat berdasarkan hasil audit CPAKB atau CPPKRTB
3. CPAKB dan CPPKRTB meliputi aspek:
a. sistem manajemen mutu;
b. tanggung jawab manajemen;
c. pengelolaan sumber daya;
d. realisasi produk; dan
e. pengukuran, analisis dan perbaikan

SANKSI -
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, seluruh industri
Alat Kesehatan dan industri Perbekalan Kesehatan Rumah
KETENTUAN Tangga harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri
PERALIHAN/PENUTUP
ini, paling lambat dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak
Peraturan Menteri ini diundangkan.
KATALOG 7
ASPEK PERMENKES RI NOMOR 1189/MENKES/PER/VIII/2010
PRODUKSI ALAT KESEHATAN DAN PERBEKALAN
JUDUL
KESEHATAN RUMAH TANGGA
a. Untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat
terhadap kesalahgunaan, penyalahgunaan dan penggunaan
alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga yang
tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan
LATAR BELAKANG b. ketentuan mengenai produksi alat kesehatan dan perbekalan
kesehatan rumah tangga yang telah diatur dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1184/MenKes/Per/X/2004
tentang Pengamanan Alat Kesehatan dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga perlu disesuaikan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini.
1. UU No 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
2. UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
DASAR HUKUM 3. UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
4. PP No 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan
Definisi Alat Kesehatan, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga,
Rekondisi/remanufacturing, Bahan Baku, Produksi, Pembuatan,
KETENTUAN UMUM Perakitan, Pengemasan, Sertifikat Produksi, Izin Edar,
Perusahaan, Perusahaan Rumah Tangga, Mutu, Penanggung
jawab teknis, Menteri, Direktur Jenderal.
Untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat
terhadap kesalahgunaan, penyalahgunaan dan penggunaan alat
TUJUAN
kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan
MATERI  TUJUAN PENGGUNAAN ALAT KESEHATAN
MUATAN/ASPEK  STANDAR ALKES DAN PKRT
 PRODUKSI
 PEMELIHARAAN MUTU
 EKSPOR
YANG DIATUR  PENARIKAN KEMBALI DAN PEMUSNAHAN
 BIAYA
 PELAPORAN
 PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
MATERI FARMASI  Produksi alat kesehatan dan/atau PKRT hanya dapat
dilakukan oleh perusahaan yang memiliki sertifikat
produksi. Bertanggung jawab terhadap mutu, keamanan, dan
kemanfaatan alat kesehatan/PKRT yang diproduksinya dan
menjamin bahwa produknya dibuat sesuai dengan Cara
Pembuatan Alat Kesehatan dan/atau PKRT yang Baik dan
tidak terjadi penurunan kualitas dan kinerja selama proses
penyimpanan, penggunaan dan transportasi.
 Makloon merupakan pelimpahan sebagian atau seluruh
kegiatan pembuatan alat kesehatan dan/atau PKRT dari
pemilik merek atau pemilik formula kepada perusahaan lain
yang telah memiliki sertifikat produksi
 Bangunan yang digunakan untuk memproduksi alat
kesehatan dan/atau PKRT harus memenuhi persyaratan
teknis dan higiene sesuai dengan jenis produk yang
diproduksi.
 Peralatan yang digunakan untuk memproduksi alat
kesehatan dan/atau PKRT harus memenuhi persyaratan dan
selalu dalam keadaan terpelihara sesuai dengan jenis
produknya.
 Bahan baku yang digunakan untuk memproduksi alat
kesehatan dan/atau PKRT harus memenuhi persyaratan
mutu, keamanan, dan kemanfaatan.
 Sertifikat produksi alat kesehatan diklasifikasikan menjadi 3
(tiga) kelas berdasarkan hasil pemeriksaan kesiapan pabrik
dalam penerapan Cara Pembuatan Alat Kesehatan atau
PKRT yang Baik
 menjamin alat kesehatan dan/atau PKRT yang memenuhi
persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan
diselenggarakan upaya pemeliharaan mutu alat kesehatan
dan/atau PKRT.
 Perusahaan yang memiliki sertifikat produksi alat kesehatan
dan/atau PKRT dapat mengekspor alat kesehatan dan/atau
PKRT ke luar wilayah Republik Indonesia.
 Penarikan kembali alat kesehatan dan/atau PKRT dari
peredaran karena tidak memenuhi persyaratan dan/atau
dicabut izin edarnya, dilaksanakan oleh dan menjadi
tanggung jawab perusahaan yang memproduksi alat
kesehatan dan/atau PKRT.
a. sanksi administratif berupa peringatan tertulis sampai
dengan pencabutan sertifikat produksi
SANKSI
b. sanksi pidana jika mengakibatkan seseorang mengalamai
gangguan kesehatan yang serius, cacat, atau kematian
KETENTUAN (1) Pada saat Peraturan ini mulai berlaku:
PERALIHAN/PENUTUP
a. Sertifikat Produksi Alat Kesehatan atau PKRT yang telah
diterbitkan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1184/MenKes/Per/X/2004 tentang Pengamanan Alat
Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dinyatakan
masih tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya;
b. permohonan sertifikat produksi yang sedang dalam proses
diselesaikan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1184/MenKes/Per/X/2004 tentang Pengamanan Alat
Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.
(2) Sertifikat Produksi Alat Kesehatan atau PKRT yang telah
habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a harus disesuaikan dengan ketentuan Peraturan ini.
Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1184/MenKes/Per/X/2004 tentang
Pengamanan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga sepanjang yang mengatur mengenai produksi alat
kesehatan dan PKRT, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
KATALOG 8
ASPEK PMK No. 1148 Tahun 2011
JUDUL PEDAGANG BESAR FARMASI
1. Masyarakat perlu dilindungi dari peredaran obat dan bahan
obat yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan
khasiat/manfaat
2. Pengaturan Pedagang Besar Farmasi dalam Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 918/Menkes/Per/X/1993 tentang
LATAR
Pedagang Besar Farmasi sebagaimana telah diubah dengan
BELAKANG /
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
ALASAN
1191/Menkes/SK/IX/2002 dan pengaturan Pedagang Besar
DITERBITKAN
Farmasi Penyalur Bahan Baku Obat dalam Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 287/MENKES/SK/X/1976
tentang Pengimporan, Penyimpanan, dan Penyaluran Bahan
Baku Obat sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum
DASAR HUKUM 1. Ordonansi Obat Keras (Staatsblad Nomor 419 Tahun 1949)
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal
5. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
7. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
8. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota
9. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian
10. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang
Prekursor
11. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005
12. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta
Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara
13. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar
Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang
Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
14. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 189/Menkes/
SK/III/2006 tentang Kebijakan Obat Nasional
15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/
Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan
Definisi: Pedagang Besar Farmasi (PBF), PBF cabang, obat,
bahan obat, Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB), Kepala
KETENTUAN
Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan (Kepala Balai
UMUM
POM), Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Kepala
Badan), Direktur Jenderal, dan Menteri
TUJUAN Mengatur regulasi PBF
Perizinan PBF (Umum, Tata Cara Pemberian Izin PBF, Tata
MATERI MUATAN Cara Pemberian Pengakuan PBF Cabang, Masa Berlaku);
/ ASPEK YANG Penyelenggaraan PBF; Gudang PBF; Pelaporan PBF;
DIATUR Pembinaan dan Pengawasan PBF; Ketentuan Peralihan;
Ketentuan Penutup
1. Definisi: Pedagang Besar Farmasi (PBF), PBF cabang,
obat, bahan obat, Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB)
2. Perizinan PBF (Umum, Tata Cara Pemberian Izin PBF,
MATERI FARMASI
Tata Cara Pemberian Pengakuan PBF Cabang, Masa
Berlaku); Penyelenggaraan PBF; Gudang PBF; Pelaporan
PBF; Pembinaan dan Pengawasan PBF
SANKSI Sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. pencabutan pengakuan; atau
d. pencabutan izin.
ATURAN PERALIHAN / 1. PBF dan PBF Cabang yang telah memiliki izin dan/atau
PENUTUP pengakuan sebelum Peraturan Menteri ini diundangkan,
wajib menyesuaikan perizinan dan penyelenggaraan
usahanya paling lama 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya
Peraturan Menteri ini
2. Permohonan Izin PBF dan PBF Cabang yang telah diajukan
sebelum mulai berlakunya Peraturan Menteri ini tetap
diproses berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
918/Menkes/Per/X/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 1191/Menkes/SK/IX/2002 atau
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
287/Menkes/SK/X/1976 tentang Pengimporan,
Penyimpanan, dan Penyaluran Bahan Baku Obat.
3. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
918/MENKES/PER/X/1993 tentang Pedagang Besar
Farmasi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor
1191/MENKES/SK/IX/2002 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
918/MENKES/PER/X/1993 tentang Pedagang Besar
Farmasi
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
287/MENKES/SK/XI/1976 tentang Ketentuan
Pengimporan, Penyimpanan, dan Penyaluran Bahan
Baku
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
KATALOG 9
ASPEK PMK No. 1191/MENKES/PER/VIII/2010
JUDUL Penyaluran Alat Kesehatan
1. Untuk menjamin menjamin mutu, keamanan, dan kemanfaatan
alat kesehatan yang didistribusikan kepada konsumen, perlu
mengatur penyaluran alat kesehatan.
LATAR BELAKANG /
2. PMK No. 1184/MenKes/Per/X/2004 tentang Pengamanan Alat
ALASAN
Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga sudah
DITERBITKAN
tidak sesuai lagi.
3. Diperlukan penetapan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Penyaluran Alat Kesehatan.
1. UU No. 8 Tahun 1999
2. UU No. 32 Tahun 2004
3. UU No. 26 Tahun 2009
4. PP No. 72 Tahun 1998
DASAR HUKUM
5. PP No. 38 Tahun 2007
6. PP No. 13 Tahun 2009
7. PP No. 24 Tahun 2010
8. PMK No. 1575/Menkes/Per/XII/2005.
Definisi:
1. Alat Kesehatan
2. Penyalur Alat Kesehatan
3. Cabang Penyalur Alat Kesehatan
4. Toko alat kesehatan
KETENTUAN UMUM 5. Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik
6. Pedagang eceran obat
7. Sertifikat pemberitahuan ekspor
8. Sertifikat bebas jual
9. Menteri
10. Direktur Jenderal.
TUJUAN Untuk menjamin penyaluran alat kesehatan dengan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan yang sesuai.
1. Penyaluran
MATERI / ASPEK
2. Persyaratan
UTAMA YANG
3. Ketentuan peralihan
DIATUR
4. Ketentuan penutup.
Definisi:
Penyaluran
1. Perizinian
 Persyaratan dan Tata Cara
 Izin Cabang PAK
 Toko Alat Kesehatan
2. Penyerahan Alat Kesehatan
MATERI FARMASI 3. Sarana dan Prasarana
4. Pemeriksaan
5. Pelaporan
6. Ekspor dan Impor.
Pembinaan dan pengawasan
1. Penarikan Kembali
2. Pemusnahan
3. Tindakan Administratif.
Pelanggaran dikenakan tindakan administratif oleh Direktur
Jenderal, kepala dinas kesehatan propinsi, dan kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota, berupa:
SANKSI
1. Teguran lisan
2. Teguran tertulis
3. Pencabutan izin.
ATURAN 1. Semua izin PAK, izin Cabang PAK,izin sub PAK dan izin toko
PERALIHAN / alat kesehatan yang telah ada masih tetap berlaku sampai
PENUTUP dengan habis masa berlakunya.
2. Izin PAK, izin Cabang PAK, izin sub PAK, dan izin toko alat
kesehatan yang telah habis masa berlakunya, disesuaikan
dengan peraturan ini.
3. Izin sub PAK yang diterbitkan mengikuti peraturan sebelumnya
dan tiodak memiliki masa berlaku dinyatakan tetap berlaku
oaling lama 3 tahun sejak peraturan ini.
4. Izin Sub PAK menyesuaikan dengan peraturan ini menjadi
PAK,cabang PAK atau toko alat kesehatan.
5. PMK No. 1184/MenKes/Per/X/2004 tentang Pengamanan Alat
Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
dinyatakan tidak berlaku lagi.
6. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
ASPEK PMK 75 tahun 2014
JUDUL PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT
LATAR a. Pusat Kesehatan Masyarakat sebagai salah satu jenis fasilitas
BELAKANG/ALASAN pelayanan kesehatan tingkat pertama memiliki peranan
DITERBITKAN penting dalam sistem kesehatan nasional, khususnya
subsistem upaya kesehatan; 
b. Penyelenggaraan Pusat Kesehatan Masyarakat perlu ditata
ulang untuk meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan
kualitas pelayanan dalam rangka meningkatkan derajat
masyarakat serta menyukseskan program jaminan sosial
nasional; 
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063); 
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587); 
3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3637);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 8737); 
5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang
Sistem Informasi Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5542);
6.  Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 184, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5570); 
7. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 193);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan
Perseorangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 122);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat Kesehatan
Masyarakat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 1118); 
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2013
tentang Kriteria Fasilitas Pelayanan Kesehatan Terpencil,
Sangat Terpencil, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang
Tidak Diminati (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 153); 
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
906);

KETENTUAN UMUM Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pusat Kesehatan


Masyarakat (Puskesmas), Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM),
Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP), Tenaga
Kesehatan, Registrasi, Akreditasi Puskesmas, Sistem
Rujukan, Pelayanan Kesehatan, Sistem Informasi
Puskesmas, Menteri,
TUJUAN Mewujudkan masyarakat yang: 
a. memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat; 
b. mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu 
c. hidup dalam lingkungan sehat; dan 
d. memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat.
MATERI Prinsip Penyelenggaraan, Tugas, Fungsi Dan Wewenang,
MUATAN/ASPEK YANG Kategori Puskesmas, Perizinan Dan Registrasi,
DIATUR Penyelenggaraan, Pendanaan, Sistem Informasi
Puskesmas, Sistem Informasi Puskesmas, Ketentuan
Peralihan, Ketentuan Penutup
MATERI FARMASI tenaga kefarmasian.Pelayanan kefarmasian di Puskesmas,
Ruang farmasi, 
SANKSI -
ATURAN Ketentuan Peralihan :
PERALIHAN/PENUTUP Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: 
a. lokasi dan bangunan Puskesmas yang telah berdiri
sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini, dianggap telah
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri ini.
b. Puskesmas yang telah ada harus menyesuaikan dengan
Peraturan Menteri ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak
Peraturan Menteri ini diundangkan.
Penutup :
 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku,
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar
Pusat Kesehatan Masyarakat, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.

ASPEK Peraturan Menteri Kesehatan No. 02.02.068 Tahun 2010

JUDUL Kewajiban Menggunakan Obat Generik Di Fasilitas


Pelayanan Kesehatan Pemerintah
LATAR BLKG/ ALASAN 1. Untuk mendorong penggunaan obat generik di fasilitas
DITERBITKAN pelayanan kesehatan pemerintah
2. Agar penggunaan obat generic dapat berjalan efektif
maka perlu mengatur kembali ketentuan Kewajiban
Menuliskan resep dan/atau Menggunakan Obat Generik
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah dengan
PMK.

DASAR HUKUM UU Obat Keras (1949), UU No. 29 Tahun 2004, UU No. 32


Tahun 2004, UU No. 35 Tahun 2009, UU No. 36 Tahun
2009, UU No. 44 Tahun 2009, PP No. 32 Tahun 1996, PP
No. 72 Tahun 1998, PP No. 38 Tahun 2007, UU No. 51
Tahun 2009, Keputusan Menteri Kesehatan No. 068 Tahun
2006, Keputusan Menteri Kesehatan No. 189 Tahun 2006,
Keputusan Menteri Kesehatan No. 791 Tahun 2008.
KETENTUAN UMUM Definisi: Obat Paten, Obat Generik Obat Generik Bermerk,
Obat Esensial, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, Dokter, Apotek.
TUJUAN Untuk meningkatkan penggunaan obat generik di fasilitas
pelayanan kesehatan. 
MATERI Tugas dan Kewajiban, Pembinaan dan Pengawasan.
MUATAN/ASPEK YANG
DIATUR
MATERI FARMASI Definisi: Obat Paten, Obat Generik Obat Generik Bermerk,
Obat Esensial, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Instalasi
Farmasi Rumah Sakit, Dokter, Apotek.
Kewajiban pengadaan obat generik di instalasi pelayanan
kesehatan, penggantian obat bermerk menjadi obat generik
oleh apoteker.
SANKSI Sanksi Administratif

ATURAN 1. Pada saat PMK ini berlaku maka PMK No. 085 Tahun
PERALIHAN/PENUTUP 1989 dinyatakan tidak berlaku.

ASPEK Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


56 Tahun 2014
JUDUL Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit
LATAR BELAKANG a. Bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah
DITERBITKAN/ALASAN sakit, perlu dilakukan penyempurnaan sistrm perizinan
DITERBITKAN dan klasifikasi rumah sakit sebagaimana diamanatkan
oleh Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit;
b. Bahwa peraturan Menteri Kesehatan Nomor
147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit
dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
340/Menkes/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit
belum mencakup semua jenis rumah sakit sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 28
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Kesehatan tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah
Sakit;
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembar Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaomana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesioa Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072);
4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan
Tata Nkerja Kementerian Kesehatan (BErita Negara
Reoublik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 741);
KETENTUAN UMUM Definisi:
1. Rumah Sakit
2. Rumah Sakit Umum
3. Rumah Sakit Khusus
4. Izin Mendirikan Rumah Sakit
5. Izin Operasional Rumah Sakit
6. Pemerintah Pusat
7. Menteri
8. Pemerintah Daerah
TUJUAN a. Untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit
b. Untuk mengatur klasifikasi rumah sakit mencakup
semua jenis rumah sakit
MATERI MUATAN/ ASPEK 1. KETENTUAN
YANG DIATUR 2. PENDIRIAN DAN PENYELENGGARAAN
3. BENTUK RUMAH SAKIT
4. KLASIFIKASI RUMAH SAKIT
5. PERIZINAN RUMAH SAKIT
6. REGISTRASI DAN AKREDITASI RUMAH SAKIT
7. PENAMAAN RUMAH SAKIT
8. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
9. KETENTUAN PERALIHAN
10. KETENTUAN PENUTUP
MATERI FARMASI 1. TENAGA KEFARMASIAN
SANKSI Hukuman pidana dan sanksi administratif
KETENTUAN A. KETENTUAN PERALIHAN
PERALIHAN/PENUTUP
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Semua Rumah Sakit yang telah memiliki izin
berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit dan
telah diperoleh penetapan kelas, tetap berlaku sampai habis
masa berlakunya izin;
b. Permohonan izin Rumah Sakit yang sedang dalam
proses, tetap dilaksanakan sesuai ketentuan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/Per/I/2010 tentang
Perizinan Rumah Sakit;
c. Rumah Sakit yang telah memiliki izin berdasarkan
ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit
tetapi belum ditetapkan kelasnya harus mengajukan
permohonan Izin Operasional berdasarkan Peraturan
Menteri ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan
Menteri ini diundangkan;
d. Rumah Sakit Khusus yang menggunakan nama
kekhususan selain yang ditentukan dalam pasal 59 ayat (1)
dan Rumah Sakit yang menggunakan nama sebagaimana
dimaksud dalampasal 77 ayat (1) harus menyesuaikan
dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling
lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini
diundangkan;
e. Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh
Pemerintah, termasuk instansi Pemerintah lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) yang belum
berbentuk unit pelaksana teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 harus menyesuaikan diri paling lambat 2
(dua) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan;
A. KETENTUAN PENUTUP
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit;
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomoe
340/Menkes/per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah sakit,
kecuali lampiran II kriteria Klasifikasi Rumah Sakit Khusus
sepanjang belum diganti;
c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
2264/Menkes/SK/XI/2011 tentang Pelaksanaan Petizinan
Rumah Sakit; dan
d. Semua peraturan pelaksanaan yang terkait dengan
klasifikasi, perizinan, dan penamaan Rumah Sakit
sepanjang bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini;
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
ASPEK PERMENKES RI NO. 3 TAHUN 2020
JUDUL KLASIFIKASI DAN PERIZINAN RUMAH SAKIT

LATAR BELAKANG a. Mendukung upaya kesehatan dalam rangkaian


pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu;
b. Menyesuaikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30
Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit
dengan perkembangan dan kebutuhan hukum;
c. Melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (4) dan Pasal 28
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

DASAR HUKUM 1. Pasal 17 ayat (3) UUD RI                      Tahun 1945;


2. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
3. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
4. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit;
5. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
6. UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;
7. PP No. 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan
Kesehatan;
8. PP No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik;
9. PMK No. 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun
2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan;

KETENTUAN UMUM Definisi: Rumah Sakit, Perizinan Berusaha Terintegrasi


Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS),
Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS, Izin
Mendirikan Rumah Sakit, Izin Operasional Rumah Sakit,
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Kementerian
Kesehatan, Menteri, dan Direktur Jenderal.
TUJUAN a. Mendukung upaya kesehatan dalam rangkaian
pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu;
b. Menyesuaikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30
Tahun 2019 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit
dengan perkembangan dan kebutuhan hukum;
c. Melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (4) dan Pasal 28
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

MATERI Bentuk dan Jenis Pelayanan, Klasifikasi, Perizinan,


MUATAN/ASPEK YANG Penyelenggaraan, Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan
DIATUR Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
MATERI FARMASI Pelayanan kefarmasian, sumber daya manusia, tenaga
kefarmasian, dan perizinan 
SANKSI Sanksi Pidana
KETENTUAN Ketentuan Peralihan
PERALIHAN/PENUTUP (1) Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
a. Rumah Sakit yang telah memiliki Izin Mendirikan dan
Izin Operasional berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018, atau Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019, tetap berlaku sampai
habis masa berlakunya izin;
b. Rumah Sakit yang sedang dalam proses pengajuan Izin
Mendirikan dan/atau Izin Operasional baru atau
perpanjangan Izin Operasional berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 atau Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019, tetap diberikan
Izin Mendirikan dan/atau Izin Operasional sesuai dengan
ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun
2018 atau Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun
2019;
c. Rumah Sakit yang telah memiliki Izin Mendirikan dan
Izin Operasional berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 56 Tahun 2014, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 26 Tahun 2018, atau Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 30 Tahun 2019 harus menyesuaikan dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat 1
(satu) tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan;
d. Reviu kelas Rumah Sakit yang telah memiliki Izin
Operasional berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan
Perizinan Rumah Sakit dan/atau Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor
Kesehatan, tetap dilakukan menggunakan klasifikasi Rumah
Sakit yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan
Rumah Sakit atau Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit;
dan
e. Reviu kelas Rumah Sakit yang telah memiliki Izin
Operasional berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019 tetap dilakukan
menggunakan klasifikasi Rumah Sakit yang diatur dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019,
(2) Ketentuan reviu kelas rumah sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e hanya untuk
jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan
Menteri ini diundangkan.
(3) Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c tidak berlaku bagi Rumah Sakit yang sudah
memiliki Izin Operasional tetapi bangunan tidak
terintegrasi  dan tidak saling terhubung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2).

Ketentuan Penutup
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2019
tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan
ASPEK PMK No. 889 TAHUN 2011
Jo. PMK No. 31 TAHUN 2016
Judul Registrasi, izin praktik, dan izin kerja tenaga kefarmasian

Latar Untuk melaksanakan ketentuan pasal 37 ayat (4), pasal 42 ayat (4), pasal 50
Belakang/ ayat (3) peraturan pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan
Alasan kefarmasian, perlu menetapkan peraturan menteri kesehatan tentang
Diterbitkan registrasi, izin praktik, dan izin kerja tenaga kefarmasian

Dasar Hukum 1. Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah


(lembaran negara Republik Indonesia tahun 2004 nomor 125, tambahan
lembaran negara Republik Indonesia nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan undang-undang nomor 12 tahun
2008 (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2008 nomor 59,
tambahan lembaran negara Republik Indonesia nomor 4844)

2. Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan (lembaran


negara Republik Indonesia tahun 2009 nomor 144, tambahan lembaran
negara Republik Indonesia nomor 5063)

3. Undang-Undang nomor 44 tahun 2009 tentang rumah sakit (lembaran


negara Republik Indonesia tahun 2009 nomor 153, tambahan lembaran
negara Republik Indonesia nomor 5072)
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah
diubah beberapa kali terakhir dengan UndangUndang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679)

5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607)

6. Peraturan Presiden nomor 24 tahun 2010 tentang kedudukan, tugas,


dan fungsi kementerian negara serta susunan organisasi, tugas, dan fungsi
eselon I kementerian negara

7. Peraturan Presiden nomor 35 Tahun 2015 tentang Kementerian


Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 59)

8. Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan


(lembaran negara Republik Indonesia tahun 1996 nomor 49, tambahan
lembaran negara Republik Indonesia nomor 3637)

9. Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1998 tentang pengamanan


sediaan farmasi dan alat kesehatan (lembaran negara Republik Indonesia
tahun 1998 nomor 138, tambahan lembaran negara Republik Indonesia
nomor 3781)

10. Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian


urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota (lembaran negara Republik Indonesia
tahun 2007 nomor 82, tambahan lembaran negara Republik Indonesia nomor
4737)

11. Peraturan Pemerintah nomor 51 tahun 2009 tentang pekerjaan


kefarmasian (lembaran negara Republik Indonesia tahun 2009 nomor 124,
tambahan lembaran negara Republik Indonesia nomor 5044)
12. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang
Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 322)
13. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 64 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508)

14. Peraturan Menteri Kesehatan nomor 1144/menkes/per/VIII/2010


tentang organisasi dan tata kerja kementerian kesehatan

Ketentuan Definisi : 
Umum 1. Pekerjaan kefarmasian
2. Tenaga kefarmasian, apoteker
3. Tenaga teknis kefarmasian
4. Sertifikat kompetensi profesi
5. Registrasi, registrasi ulang, surat tanda registrasi apoteker (STRA)
6. Surat tanda registrasi apoteker khusus (STRA Khusus)
7. Surat tanda registrasi tenaga teknis kefarmasian (STRTTK)
8. Surat izin praktek apoteker (SIPA)
9. Surat izin kerja apoteker (SIKA)
10. Surat izin kerja tenaga teknis kefarmasian (SIKTTK)
11. Komite farmasi nasional (KFN)
12. Organisasi profesi
13. Direktur jenderal
14. Menteri
Menyesuaikan dan memastikan legalitas tenaga kefarmasian yang
Tujuan menjalankan pekerjaan kefarmasian telah teregistrasi, memiliki izin praktik
dan izin kerja sesuai dengan persyaratan dan standar hokum yang telah
ditentukan 

Materi Muatan Registrasi, izin praktik dan izin kerja, komite farmasi nasional, pembinaan
/  dan pengawasan
Aspek Yang
Diatur
Materi Definisi : pekerjaan kefarmasian, tenaga kefarmasian, apoteker, tenaga teknis
Farmasi kefarmasian, sertifikat kompetensi profesi, registrasi, registrasi ulang, surat
tanda registrasi apoteker (STRA), surat tanda registrasi apoteker khusus
(STRA Khusus), surat tanda registrasi tenaga teknis kefarmasian (STRTTK),
surat izin praktek apoteker (SIPA), surat izin kerja apoteker (SIKA), surat
izin kerja tenaga teknis kefarmasian (SIKTTK), komite farmasi nasional
(KFN), organisasi profesi, direktur jenderal, menteri

Sanksi -

Aturan Ketentuan Peralihan


Peralihan / Pasal 34
Penutup 1. Apoteker yang telah memiliki surat penugasan atau surat izin kerja
berdasarkan peraturan menteri kesehatan nomor 184/MENKES/PER/
II/1995 tentang penyempurnaan pelaksanaan masa bakti dan ijin kerja
apoteker sebagaimana telah diubah dengan peraturan menteri kesehatan
nomor 695/MENKES/PER/VI/2007, dianggap telah memiliki STRA,
SIPA, atau SIKA berdasarkan peraturan menteri ini
2. Asisten apoteker dan analis farmasi yang telah memiliki surat izin asisten
apoteker dan surat izin kerja asisten apoteker berdasarkan peraturan
menteri kesehatan nomor 679/MENKES/SK/V/2003 tentang registrasi
dan izin kerja asisten apoteker, dianggap telah memiliki STRTTK DAN
SIKTTK berdasarkan peraturan menteri ini
3. Apoteker atau asisten apoteker dan analis farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) wajib mengganti surat penugasan, surat izin
kerja, surat izin asisten apoteker, atau surat izin kerja asisten apoteker
dengan STRA dan SIPA/SIKA atau STRTTK dan SIKTTK paling
lambat 31 agustus 2011 sesuai dengan peraturan menteri ini

Pasal 35
1. Dalam rangka mengganti surat penugasan dan/atau SIK dengan STRA
sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (3), dilakukan dengan cara
mendaftar melalui website KFN
2. Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
selambatlambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal 31 agustus 2011
dengan melampirkan:
a. fotokopi kartu tanda penduduk/surat izin mengemudi/paspor
b. fotokopi ijazah apoteker
c. sik atau surat penugasan
d. pas foto terbaru berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar
dan ukuran 2x3 cm sebanyak 2 (dua) lembar
3. Setelah mendapatkan STRA untuk pertama kalinya, apoteker wajib
mengurus SIPA dan SIKA di dinas kesehatan kabupaten/kota tempat
pekerjaan kefarmasian dilakukan

Pasal 36
1. Dalam rangka mengganti SIAA atau SIK asisten apoteker dengan strttk
sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (3), dilakukan dengan cara
mendaftar melalui dinas kesehatan provinsi
2. Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan selambat-
lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tanggal 31 Agustus 2011 dengan
melampirkan:
a. fotokopi kartu tanda penduduk/surat izin mengemudi/paspor
b. fotokopi ijazah tenaga teknis kefarmasian
c. SIAA atau SIK asisten apoteker
d. pas foto terbaru berwarna ukuran 4x6 cm sebanyak 2 (dua) lembar
dan ukuran 2x3 cm sebanyak 2 (dua) lembar
3. Setelah mendapatkan STRTTK untuk pertama kalinya, tenaga teknis
kefarmasian wajib mengurus SIKTTK di dinas kesehatan kabupaten/kota
tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan

Pasal 37
Masa berlaku STRA, STRTTK, SIPA, SIKA, dan SIKTTK sebagaimana
dimaksud dalam pasal 35 dan pasal 36 diberikan berdasarkan tanggal
kelahiran apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang bersangkutan.

Ketentuan Penutup
1. Pada saat peraturan menteri ini mulai berlaku, maka;
a. peraturan menteri kesehatan nomor 184/MENKES/PER/II/1995
tentang penyempurnaan pelaksanaan masa bakti dan izin kerja apoteker
b. keputusan menteri kesehatan nomor 679/MENKES/SK/V/2003
tentang registrasi dan izin kerja asisten apoteker
c. peraturan menteri kesehatan nomor 695/MENKES/PER/VI/2007
tentang perubahan kedua atas peraturan menteri kesehatan nomor
184/MENKES/PER/II/1995 tentang penyempurnaan pelaksanaan masa bakti
dan izin kerja apoteker, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
2. Peraturan ini mulai berlaku sejak diundangkan

No. Aspek PMK Nomor 9 Tahun 2014


1. Judul Klinik
2. Latar Belakang Untuk implementasi pengaturan penyelenggaraan klinik sesuai
perkembangan dan perlindungan kepada masyarakat, perlu
dilakukan perubahan terhadap Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik, dan
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klinik.
3.  Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
tentang Pengeloaan Sampah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan,
Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
363/Menkes/Per/IV/1998 tentang Pengujian dan Kalibrasi Alat
Kesehatan Pada Sarana Pelayanan Kesehatan, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam
Medis, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
657/Menkes/Per/VIII/2009 tentang Pengiriman dan Penggunaan
Spesimen Klinik, Materi Biologik dan Muatan Informasinya,
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 411/Menkes/Per/III/2010
tentang Laboratorium Klinik, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 001 Tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan
Kesehatan Perorangan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36
Tahun 2012 tentang Rahasia Kedokteran, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga
Kesehatan.
4.  Ketentuan Umum Definisi klinik, tenaga kesehatan, instalasi farmasi, pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dan menteri.
5.  Tujuan Untuk mengatur dan menetapkan peraturan tentang klinik.
6.  Materi Jenis klinik, persyaratan klinik, perizinan klinik, penyelenggaraan
Muatan/Aspek yang klinik, pembinaan dan pengawasan klinik.
Diatur
7. Materi Farmasi Klinik kefarmasian, instalasi farmasi, tenaga kesehatan
kefarmasian.
8.  Sanksi Tidak dicantumkan.
9. Aturan 1. Klinik yang diselenggarakan berdasarkan Keputusan Menteri
Peralihan/Penutup Kesehatan Nomor 666/Menkes/SK/VI/2007 tentang Klinik
Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar, tetap dapat
menyelenggarakan pelayanan sampai habis masa berlakunya
izin, perpanjangan izin klinik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan
Menteri ini.
2. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 tentang
Klinik dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
666/MENKES/SK/VI/2007 tentang Klinik Rawat Inap
Pelayanan Medik Dasar, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
3. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal di
undangkan.
ASPEK PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA  NOMOR 44 TAHUN 2016
JUDUL  PEDOMAN MANAJEMEN PUSKESMAS

LATAR
BELAKANG /
ALASAN 1.  Puskesmas sebagai tulang punggung penyelenggaraan upaya
DITERBITKAN pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat di wilayah
kerjanya berperan menyelenggarakan upaya kesehatan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap penduduk agar memperoleh derajat
kesehatan yang optimal

2. melaksanakan upaya kesehatan baik upaya kesehatan


masyarakat tingkat pertama dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama dibutuhkan manajemen Puskesmas yang dilakukan
secara terpadu dan berkesinambungan agar menghasilkan kinerja
Puskesmas yang efektif dan efisien 
DASAR HUKUM  1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah 
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan 
4. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional 
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang
Pusat Kesehatan Masyarakat 
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan 
KETENTUAN -
UMUM
TUJUAN  1. Bertujuan agar puskesmas sebagai penyelenggaraan upaya
pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat di wilayah
kerjanya berperan menyelenggarakan upaya kesehatan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap penduduk agar memperoleh derajat
kesehatan yang optimal

2. Terciptanya upaya kesehatan baik upaya kesehatan


masyarakat tingkat pertama dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama dibutuhkan manajemen Puskesmas yang dilakukan
secara terpadu dan berkesinambungan agar menghasilkan kinerja
Puskesmas yang efektif dan efisien 
MATERI 1. Perencanaan
MUATAN / ASPEK 2. Penggerakan dan Pelaksanaan
YANG DIATUR 3. Pengawasan, Pengadilan, dan Penilaian Kinerja
4. Dukungan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Dalam Manajemen
Puskesmas
MATERI FARMASI Perencanaan

SANKSI -

ATURAN Pedoman ini bersifat dinamis, sehingga daerah dapat melakukan


PERALIHAN / pengembangan dan penyesuaian berdasarkan kondisi daerah dan
PENUTUP  perkembangan kebijakan dan ilmu pengetahuan, dengan tetap
memperhatikan prinsip-prinsip pelaksanaan manajemen Puskesmas.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan (1
September 2016)
ASPEK Peraturan Menteri Kesehatan No. 34 Tahun 2017
Akreditasi Rumah Sakit
Latar Belakang / 1. Untuk melindungi masyarakat terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit
Alasan dan melaksanakan amanat ketentuan Pasal 40 ayat (4) Undang-
Diterbitkan Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, diperlukan
penyempurnaan terhadap penyelenggaraan Akreditasi Rumah Sakit
2. Karena Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 012 Tahun 2012 tentang
Akreditasi Rumah Sakit sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
rumah sakit dan pelayanan kesehatan
Dasar Hukum 1. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 
2. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 
3. Perpres No. 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit 
4. PMK No. 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit 
5. PMK No. 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan 
Ketentuan Definisi : 
Umum 1. Akreditasi Rumah Sakit 
2. Standar Akreditasi 
3. Rumah Sakit 
4. Pemerintah Pusat
5. Pemerintah Daerah 
6. Menteri 
7. Direktur Jendral 
Tujuan Bertujuan untuk : 
1. Meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit dan melindungi
keselamatan pasien rumah sakit; 
2. Meningkatkan perlindungan bagi masyarakat, sumber daya manusia di
rumah sakit dan rumah sakit sebagai institusi; 
3. Mendukung program pemerintah di bidang kesehatan; dan 
4. Meningkatkan profesionalisme rumah sakit indonesia di mata
internasional. 
Materi 1. Ketentuan Umum
Muatan / Aspek 2. Penyelenggaraan Akreditasi 
Yang Diatur 3. Kewajiban Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah 
4. Pembinaan dan Pengawasan 
5. Ketentuan Peralihan 
6. Ketentuan Penutup 
Materi Farmasi Rumah sakit, pelayanan rumah sakit. Meningkatkan
perlindungan bagi masyarakat, sumber daya manusia di
Rumah Sakit dan Rumah Sakit sebagai institusi 
Sanksi - 
Aturan 1. Rumah Sakit yang belum terakreditasi harus menyesuaikan dengan
Peralihan / ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat 2 (dua) tahun
Penutup sejak diundangkan 
2. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 012 Tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 413), dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku. 

ASPEK PMK NOMOR 73 TAHUN 2016


JUDUL  STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
1. bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
LATAR BELAKANG/ Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
ALASAN DITERBITKAN tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek masih
belum memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat
sehingga perlu dilakukan perubahan.
2. perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek;
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan 
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan 
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan 
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian 
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika 
8. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen, sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 145 Tahun -3-
2015 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan
Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian 
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
1508);
Definisi tentang Apotek, Standar Pelayanan Kefarmasian,
Pelayanan Kefarmasian, Resep, Sediaan Farmasi, Obat, Alat
KETENTUAN UMUM Kesehatan, Bahan Medis Habis Pakai, Apoteker, Tenaga
Teknis Kefarmasian, Direktur Jenderal, Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan, Menteri, 
1. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian
2. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
TUJUAN 3. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
(patient safety).
Definisi, Tujuan, Standar Pelayanan Kefarmasian, Pengelolaan
MATERI Sediaan Farmasi, Pelayanan farmasi klinik, Sumber Daya
MUATAN/ASPEK Kefarmasian, Evaluasi mutu Pelayanan Kefarmasian, laporan
YANG DIATUR Pelayanan Kefarmasian,Pembinaan dan Pengawasan, Sanksi,
Aturan Peralihan.
MATERI FARMASI 1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alkes dan Bahan Medis
Habis Pakai: perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemusnahan, pengendalian dan pencatatan
dan pelaporan
2. Pelayanan farmasi klinik: pengkajian Resep, dispensing,
Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, Pelayanan
Kefarmasian di rumah (home pharmacy care), Pemantauan
Terapi Obat (PTO), dan Monitoring Efek Samping Obat
(MESO).
3. Sumber daya kefarmasian: sumber daya manusia, sarana
dan prasarana
4. Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian
secara berjenjang kepada dinas kesehatan kabupaten/kota,
dinas kesehatan provinsi, dan kementerian kesehatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1. peringatan tertulis;
SANKSI 2. penghentian sementara kegiatan
3. pencabutan izin.  
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1162) sebagaimana telah diubah
ATURAN
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016
PERALIHAN/PENUTUP
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
1169), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Katalog PMK Nomor 26 Tahun 2020 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
1. Definisi
Definisi Pelayanan  kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab
kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien

Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah unit


pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja

2. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan BMHP


Sub Aspek Pengelolaan Sediaan Farmasi dan BMHP di Puskesmas, meliputi:
a. Perencanaan kebutuhan
Pengelolaan b. Permintaan 
c. Penerimaan 
d. Penyimpanan
e. Pendistribusian
f. Pengendalian 
g. Pencatatan, pelaporan, pengarsipan; dan
Pemantauan dan evaluasi pengelolaan
Pemilihan/ Proses seleksi sediaan farmasi dan BMHP dilakukan dengan
Seleksi mempertimbangkan pola penyakit, pola konsumsi sediaan farmasi
periode sebelumnya, data mutasi sediaan farmasi, dan rencana
pengembangan 

Proses seleksi sediaan farmasi dan BMHP juga harus mengacu pada
Daftar Obat Esensial Nasional dan Formularium Nasional
Perencanaan Proses perencaan per tahun dilakukan secara: berjenjang (bottom-up)
Puskesmas diminta untuk menyediakan data pemakaian obat dengan
menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO)
Pengadaan/ Permintaan diajukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, sesuai
Permintaan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan
pemerintahan daerah setempat
Penerimaan Tenaga kefarmasian wajib melakukan pengecekan terhadap sediaan
farmasi dan BMHP yang diserahkan, mencakup: jumlah kemasan/peti,
jenis dan jumlah sediaan farmasi, bentuk sediaan sesuai dengan isi
dokumen LPLPO, ditandatangani oleh tenaga kefarmasian, dan diketahui
oleh Kepala Puskesmas 
Apabila tidak sesuai, maka dapat mengajukan keberatan
Masa kedaluwarsa minimal disesuaikan dengan pengelolaan di
Puskesmas ditambah satu bulan
Penyimpanan Penyimpanan harus mempertimbangkan:
a. Bentuk dan jenis sediaan
b. Kondisi yang dipersyaratkan dalam penandaan di kemasan,
seperti suhu penyimpanana, cahaya, dan kelembaban
c. Mudah atau tidaknya meledak
d. Narkotika dan psikotropika disimpan sesuai dengan ketentuan
peraturan per-uu-an
Tempat penyimpanan tidak dipakai untuk menyimpan barang lain
Pendistribusian Distribusi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sediaan farmasi di sub-
unit pelayanan dengan jenis, mutu, jumlah, dan waktu yang tepat
Pendistribusian ke sub unit dilakukan dengan cara pemberian obat sesuai
resep yang diterima (floor stock), pemberian obat per sekali minum
(dispensing dosis unit), atau kombinasi
Pendistribusian ke jaringan puskesmas dilakukan dengan penyerahan
obat sesuai dengan kebutuhan
Pemusnahan dan Penarikan sediaan farmasi dilakukan bila:
Penarikan 1. Tidak memenuhi standar berdasarkan perintah BPOM
(mandatory recall) atau berdasarkan inisiatif pemilik izin edar
(voluntary recall)
2. Produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri

Pemusnahan dilakukan apabila:


1. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu
2. Telah kedaluwarsa
3. Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
Kesehatan
Dicabut izin edarnya
Tahapan pemusnahan:
1. Membuat daftar sediaan farmasi dan BMHP yang akan
dimusnahkan
2. Menyiapkan berita acara pemusnahan
3. Mengoordinasikan jadwal, metode, dan tempat pemusnahan kepada
pihak terkait
4. Menyiapkan tempat pemusnahan; dan
Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan
serta peraturan yang berlaku
Pengendalian Pengendalian sediaan farmasi terdiri dari:
1. Pengendaliaan persediaan
2. Pengendalian penggunaan
Penanganan sediaan farmasi hilang, rusak, dan kadaluwarsa
Pencatatan dan Pencatatan dan pelaporan terhadap seluruh rangkaian kegiatan dalam
Pelaporan pengelolaan sediaan farmasi dan BMHP yang diterima, disimpan,
didistribusikan, dan digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya.

3. Farmasi Klinik
Farmasi Pelayanan farmasi klinik di puskesmas meliput:
Klinik a. Pengkajian resep, penyerahan obat, dan pemberian informasi obat
b. Pelayanan informasi obat (PIO)
c. Konseling
d. Ronde/visite pasien (khusus puskesmas rawat inap)
e. Pemantauan dan pelaporan efek samping obat
f. Pemantauan terapi obat
g. Evaluasi penggunaan obat

4. Sumber Daya Manusia


Sumber Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di
Daya Puskesmas dilaksanakan di ruang farmasi yang dipimpin oleh seorang Apoteker
Manusia sebagai penanggung jawab. Dalam penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas, Apoteker penanggung jawab tersebut dapat dibantu oleh Apoteker,
Tenaga Teknis Kefarmasian dan/atau tenaga kesehatan lainnya berdasarkan
kebutuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam hal Puskesmas belum memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab,
penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara terbatas dilakukan oleh Tenaga
Teknis Kefarmasian di bawah pembinaan dan pengawasan Apoteker yang
ditunjuk oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Semua tenaga kefarmasian harus memiliki surat tanda registrasi (STRA) dan
surat izin praktik (SIPA) untuk melaksanan pelayanan kefarmasian di
puskesmas
Jumlah apoteker di puskesmas bila memungkinkan diupayakan 1 (satu)
apoteker untuk 50 pasien per hari
5. Sarana dan Prasarana
Sarana dan Prasarana Sarana yang diperlukan:
 Ruang penerimaan resep
 Ruang pelayanan resep dan peracikan 
 Ruang penyerahan obat
 Ruang konseling
 Ruang penyimpanan obat dan BMHP
 Ruang arsip 

ASPEK PERMENKES NOMOR 74 TAHUN 2016


JUDUL STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS
LATAR Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar
BELAKANG/ALASAN Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, sebagaimana telah diubah
DITERBITKAN dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas masih belum
memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat
DASAR HUKUM UU 5/2009, UU 36/2009, UU 23/2014, UU 36/2014, PP 51/2009, PP
40/2013, Kepres 103/2001, PMK 75/2014, PMK 64/2015
KETENTUAN UMUM Definisi: Pusat kesehatan masyarakat, standar pelayanan kefarmasian,
pelayanan kefarmasian, sediaan farmasi, obat, bahan medis habis pakai,
apoteker, tenaga teknis kefarmasian, kepala BPOM, Menteri
TUJUAN 1. Meningkatkan Mutu Pelayanan Kefarmasian
2. Menjamin Kepastian Hukum Bagi Tenaga Kefarmasian
3. Melindungi Pasien dan Masyarakat dari Penggunaan Obat yang
tidak rasional Dalam Rangka Keselamatan Pasien
MATERI Pengelolaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai, pelayanan
MUATAN/ASPEK YANG farmasi klinik, sumber daya kefarmasian, pengendalian mutu pelayanan
DIATUR kefarmasian
MATERI FARMASI 1. Definisi: standar pelayanan kefarmasian, pelayanan
kefarmasian, sediaan farmasi, obat, bahan medis habis pakai,
apoteker, tenaga teknis kefarmasian
2. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis Pakai
meliputi : 
a. Perencanaan kebutuhan sediaan farmasi dan bahan medis habis
pakai: untuk menentukan jenis dan jumlah sediaan farmasi,
meningkatkan penggunaan obat secara rasional, dan meningkatkan
efisiensi penggunaan obat 
b. Permintaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai:
memenuhi kebutuhan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai
sesuai dengan perencanaan. Permintaan diajukan kepada Dinkes
kab./kota
c. Penerimaan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai:
menerima sediaan farmasi dan BMHP dari instalasi farmasi kab./kota
atau hasil pengadaan puskesmas secara mandiri. Tenaga kefarmasian
bertanggung jawab atas penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan dan
penggunaan obat dan BMHP. Tenaga Kefarmasian wajib melakukan
pengecekan mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan jumlah Sediaan
Farmasi, bentuk Sediaan Farmasi sesuai dengan isi dokumen LPLPO
d. Penyimpanan sediaan farmasi dan bahan medis habis pakai
mempertimbangkan: bentuk dan jenis sediaan; kondisi yang
dipersyaratkan, mudah atau tidak meledak/terbakar, narkotika dan
psikotropika disimpan sesuai peraturan, tempat penyimpanan tidak
dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya.
e. Pendistribusian: untuk memenuhi kebutuhan Sediaan Farmasi
sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas
dengan jenis, mutu, jumlah dan waktu yang tepat
f. Pemusnahan dan penarikan: penarikan sediaan farmasi
dilakukan untuk yang tidak memenuhi ketentuan, penarikan BMHP
terhadap produk izin edar dicabut menteri
g. Pengendalian:terhadap persediaan, penggunaan, seddiaan
farmasi hilang, rusak dan kadaluwarsa
h. Administrasi:pencatatan dan pelaporan terhadap seluruh
rangkaian kegiatan dalam pengelolaan Sediaan Farmasi dan Bahan
Medis Habis Pakai
i. Pemantauan dan evaluasi: harus dilaksanakan sesuai SOP
3. Pelayanan Farmasi Klinik
a. Pengkajian dan pelayanan resep: seleksi persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik dan persyaratan klinis
b. Pelayanan Informasi Obat(PIO): memberikan informasi secara
akurat, jelas dan terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya dan pasien
c. Konseling: memberikan pemahaman yang benar mengenai Obat
kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal
pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda
toksisitas, cara penyimpanan dan penggunaan Obat
d. Ronde/Visite Pasien: kunjungan ke pasien rawat inap yang
dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya
e. MESO: pemantauan setiap respon terhadap Obat yang
merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang
digunakan
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO): memastikan bahwa seorang
pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping
g. Evaluasi Penggunaan Obat: menjamin Obat yang digunakan
sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional).
4. Sumber Daya Kefarmasian
a. Pendidikan dan pelatihan : upaya peningkatan pengetahuan dan
keterampilan di bidang kefarmasian atau bidang yang berkaitan dengan
kefarmasian
b. Sarana dan Prasarana: ruang penerimaan resep, ruang pelayanan
resep dan peracikan atau produksi sediaan, ruang penyerahan obat,
ruang konseling, ruang penyimpanan obat dan BMHP, ruang arsip
5. Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian
Kegiatan: Perencanaan, Pelaksanaan, tindakan hasil monitoring
dan evaluasi
SANKSI Sanksi Administratif
ATURAN PERALIHAN/ Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang Standar
PENUTUP Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 906) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 36 Tahun 2016 tentang Perubahan
atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 1170), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku

Aspek  Peraturan Menteri Kesehatan No 3 Tahun 2015


Judul  PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN, DAN
PELAPORAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN PREKURSOR
FARMASI
Latar Belakang/ Menyesuaikan peraturan Menteri Kesehatan Nomor
Alasan Diterbitkan 28/Menkes/Per/I/1978 , Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997, Nomor
912/Menkes/Per/VIII/1997, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun
2010, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
Dasar Hukum  UU No 5/1997
 UU No 35/2009
 UU No 36/2009
 UU No 44/2009
 PP No 72/1998
 PP No 51/2009
 PP No 44/2010
 PP No 40/2013
 PP No 27/2014
 PMK No 1144/2010
 PMK No 1799/2010
 PMK No 1148/2011
 PMK No 10/2013
 PMK No. 9/2014
Ketentuan Umum Definisi : Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi, Penyaluran,
Penyerahan, Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Instalasi
Farmasi Pemerintah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi
Klinik, Apotek, Toko Obat, Lembaga Ilmu Pengetahuan, . Importir
Terdaftar Psikotropika, Importir Terdaftar Prekursor Farmasi, Kepala
Balai, Kepala Badan, Direktur Jenderal, Menteri. 
Tujuan  Untuk mengimplementasikan peraturan Menteri Kesehatan tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
Materi muatan/ Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, Pencatatan dan Pelaporan,
Aspek yang diatur Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan peralihan, Ketentuan penutup
Materi farmasi Definisi: Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi, Industri Farmasi,
Pedagang Besar Farmasi, 
Sanksi Sanksi administratif 
Aturan Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: 
peralihan/Penutup  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/1978
tentang Penyimpanan Narkotika
 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 688/Menkes/Per/VII/1997
tentang Peredaran Psikotropika dan 
 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 912/Menkes/Per/VIII/1997
tentang Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan Psikotropika,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

ASPEK PERATURAN MENTERI KESEHATAN 


NOMOR 44 TAHUN 2016
JUDUL Pedoman Manajemen Puskesmas
LATAR 1. Puskesmas sebagai tulang punggung penyelenggaraan upaya
BELAKANG / pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat di wilayah kerjanya
ALASAN berperan menyelenggarakan upaya kesehatan untuk
DITERBITKAN meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap penduduk agar memperoleh derajat kesehatan yang
optimal
2. Untuk melaksanakan upaya Kesehatan, baik upaya kesehatan
masyarakat tingkat pertama dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dibutuhkan manajemen Puskesmas yang
dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan agar
menghasilkan kinerja Puskesmas yang efektif dan efisien
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah 
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan 
4. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional 
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 75 Tahun 2014 tentang
Pusat Kesehatan Masyarakat 
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan 
KETENTUAN 1. Pusat Kesehatan Masyarakat
UMUM 2. Manajemen
3. Analisis Hubungan dalam Program dan Antar Program
4. Urgency, Seriousness, Growth (USG)
5. Keterpaduan Lintas Program
6. Pengawasan Internal
7. Pengendalian
8. Penilaian Kinerja Puskesmas
TUJUAN 1. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap penduduk agar memperoleh derajat kesehatan yang
optimal
2. Melaksanakan upaya Kesehatan, baik upaya kesehatan
masyarakat tingkat pertama dan upaya kesehatan perseorangan
tingkat pertama, dibutuhkan manajemen Puskesmas yang
dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan agar
menghasilkan kinerja Puskesmas yang efektif dan efisien
MATERI MUATAN / 1. Perencanaan
ASPEK YANG 2. Penggerakan dan Pelaksanaan
DIATUR 3. Pengawasan, Pengendalian, dan Penilaian Kinerja
4. Dukungan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Dalam Manajemen
Puskesmas
MATERI FARMASI 1. Data Kinerja Puskesmas
2. Perencanaan
3. Penggerakan dan Pelaksanaan
4. Pengawasan, Pengendalian, dan Penilaian Kinerja
5. Manajemen
SANKSI Tidak ada

ATURAN 1. Pedoman Manajemen Puskesmas dapat dijadikan acuan bagi


PERALIHAN / lintas program dan lintas sektor terkait dalam pengelolaan
PENUTUP Puskesmas
2. Pedoman Manajemen Puskesmas bersifat dinamis, sehingga
daerah dapat melakukan pengembangan dan penyesuaian
berdasarkan kondisi daerah dan perkembangan kebijakan dan
ilmu pengetahuan, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip
pelaksanaan manajemen Puskesmas
ASPEK PMK NO 4 TAHUN 2014
JUDUL KLINIK
LATAR Implementasi pengaturan penyelenggaraan klinik sesuai
BELAKANG/ALASAN perkembangan dan perlindungan kepada masyarakat
DITERBITKAN
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
2.  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengeloaan
Sampah
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan
7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
8. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin
Lingkungan
9. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
363/Menkes/Per/IV/1998 tentang Pengujian dan Kalibrasi
Alat Kesehatan Pada Sarana Pelayanan Kesehatan; 
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
657/Menkes/Per/VIII/2009 tentang Pengiriman dan
Penggunaan Spesimen Klinik, Materi Biologik dan Muatan
Informasinya;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
411/Menkes/Per/III/2010 tentang Laboratorium Klinik;
15. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor1144/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
16. Peraturan Menteri KesehatanNomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
17. Peraturan Menteri KesehatanNomor 36 Tahun 2012 tentang
Rahasia Kedokteran
18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang
Registrasi Tenaga Kesehatan
KETENTUAN UMUM Definisi: Klinik, Tenaga Kesehatan, Instalasi Farmasi,
Pemeintah Pusat (Presiden), Pemerintah daerah (Gubernur),
Menteri
TUJUAN Untuk mengimplementasikan pengaturan penyelenggaraan klinik
sesuai perkembangan dan perlindungan kepada masyarakat
MATERI MUATAN/ Jenis Klinik, Persyaratan (lokasi, bangunan, prasarana,
ASPEK YANG DIATUR ketenagaan, kefarmasian, laboratorium), Perizinan,
Penyelenggaraan, Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan
Peralihan, Ketentuan Penutup.
MATERI FARMASI  Klinik rawat jalan tidak wajib melaksanakan pelayanan
farmasi
 Klinik rawat jalan yang menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian wajib memiliki apoteker yang memiliki Surat
Izin Praktik Apoteker (SIPA) sebagai penanggung jawab atau
pendamping.
 Klinik rawat inap wajib memiliki instalasi farmasi yang
diselenggarakan apoteker.
 Instalasi farmasi melayani resep dari dokter Klinik yang
bersangkutan, serta dapat melayani resep dari dokter praktik
perorangan maupun Klinik lain
 Klinik yang menyelenggarakan pelayanan rehabilitasi medis
pecandu narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya wajib
memiliki instalasi farmasi yang diselenggarakan oleh
apoteker

SANKSI -
ATURAN PERALIHAN  Klinik yang diselenggarakan berdasarkan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 666/Menkes/SK/VI/2007 tentang Klinik
Rawat Inap Pelayanan Medik Dasar, tetap dapat
menyelenggarakan pelayanan sampai habis masa berlakunya
izin. 
 Perpanjangan izin klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri
ini.
 Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Klinik yang telah
terselenggara berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang Klinik, tetap
dapat menyelenggarakan pelayanan sampai habis masa
berlakunya izin
 Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Klinik yang sedang
dalam proses pengajuan izin baru atau perpanjangan izin dan
telah memenuhi persyaratan berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang
Klinik, tetap diberikan izin Klinik dan rekomendasi
operasional Klinik.
 Klinik yang diselenggarakan berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 028/MENKES/PER/I/2011 Tentang
Klinik, harus menyesuaikan dengan Peraturan ini paling
lambat 2 (dua) tahun sejak diundangkan.

KETENTUAN  Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


PENUTUP 028/MENKES/PER/I/2011 tentang Klinik; dan
 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
666/MENKES/SK/VI/2007tentang Klinik Rawat Inap
Pelayanan Medik Dasar, sepanjang mengenai ketentuan
perizinan penyelenggaraan Klinik; dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku

ASPEK Peraturan Menteri Kesehatan No 56 Tahun 2014


JUDUL Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit
LATAR a. Bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit, perlu
BELAKANG / dilakukan penyempurnaan sistem perizinan dan klasifikasi rumah sakit
ALASAN DI sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No 44 Tahun 2009
TERBITKAN tentang Rumah Sakit
b. Bahwa Peraturan Menteri Kesehatan No
147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit dan Peraturan
Menteri Kesehatan No 340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi
Rumah Sakit belum mencakup semua jenis Rumah Sakit sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
c. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 28 Undang-
Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah
Sakit 
DASAR HUKUM  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437), sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844)
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063)
 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5072)
 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/
VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kemeterian
Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 585) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 741)
KETENTUAN Definisi : Rumah Sakit; Rumah Sakit Umum; Rumah Sakit Khusus;
UMUM Izin mendirikan; Izin Operasional Rumah Sakit; Pemerintah Pusat;
Menteri; Pemerintah Daerah
TUJUAN -
MATERI  Pendirian dan Penyelenggaraan
MUATAN /  Bentuk Rumah Sakit
ASPEK YANG  Klasifikasi Rumah Sakit
DIATUR  Perizinan Rumah Sakit
 Registrasi dan Akreditasi Rumah Sakit
 Penamaan Rumah Sakit
 Pembinaan dan Pengawasan
MATERI  Pelayanan kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi,
FARMASI alat kesehatan dan bahan medis habis pakai, dan pelayanan
farmasi klinik.
 Tenaga kefarmasian, dengan kualifikasi apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian dengan jumlah yang sesuai dengan
kebutuhan pelayanan kefarmasian Rumah Sakit.
SANKSI Tindakan Administratif : teguran lisan; teguran tertulis; publikasi
menggunakan media elektronik atau media cetak; penyesuaian Izin
Operasional (penurunan kelas rumah sakit); pemberhentian sementara
sebagian kegiatan Rumah Sakit; pencabutan izin praktik tenaga
kesehatan dan/atau pencabutan Izin Operasional.
ATURAN Ketentuan Peralihan :
PERALIHAN / Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: 
PENUTUP a. Semua Rumah Sakit yang telah memiliki izin berdasarkan
ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/Per/I/2010
dan telah memperoleh penetapan kelas, tetap berlaku sampai habis
masa berlakunya izin; 
b. Permohonan izin Rumah Sakit yang sedang dalam proses, tetap
dilaksanakan 
c. Rumah Sakit yang telah memiliki izin berdasarkan ketentuan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/Per/I/2010  tetapi
belum ditetapkan kelasnya harus mengajukan permohonan Izin
Operasional berdasarkan Peraturan Menteri ini paling lambat 2 (dua)
tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan;
d. Rumah Sakit Khusus harus menyesuaikan dengan ketentuan
dalam Peraturan Menteri ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak
Peraturan Menteri ini diundangkan; 
e. Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh Pemerintah, termasuk
instansi Pemerintah lainnya yang belum berbentuk unit pelaksana
teknis  harus menyesuaikan diri paling lambat 2 (dua) tahun sejak
Peraturan Menteri ini diundangkan;
Ketentuan Penutup :
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: 
a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/Per/I/2010
tentang Perizinan Rumah Sakit; 
b. b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, kecuali
Lampiran II Kriteria Klasifikasi Rumah Sakit Khusus sepanjang belum
diganti; 
c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
2264/Menkes/SK/XI/2011 tentang Pelaksanaan Perizinan Rumah
Sakit; dan 
d. semua peraturan pelaksanaan yang terkait dengan klasifikasi,
perizinan, dan penamaan Rumah Sakit sepanjang bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini; 
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku

ASPEK Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


75 Tahun 2014
JUDUL Pusat Kesehatan Masyarakat
LATAR BELAKANG a. bahwa Pusat Kesehatan Masyarakat sebagai salah
DITERBITKAN/ALASAN satu jenis fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
DITERBITKAN pertama memiliki peranan penting dalam sistem
kesehatan nasional, khususnya subsistem upaya
kesehatan; 
b. bahwa penyelenggaraan Pusat Kesehatan
Masyarakat perlu ditata ulang untuk meningkatkan
aksesibilitas, keterjangkauan, dan kualitas pelayanan
dalam rangka meningkatkan derajat masyarakat serta
menyukseskan program jaminan sosial nasional; 
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesioa Nomor 5063);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); 
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang
Sistem Informasi Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 126,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5542); 
4. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 184, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5570);
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pusat
Kesehatan Masyarakat (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 1118); 
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2013
tentang Kriteria Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Terpencil, Sangat Terpencil, dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan yang Tidak Diminati (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 153); 
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 906); 
KETENTUAN UMUM Definisi:
1. Fasilitas pelayanan kesehatan
2. Pusat kesehatan masyarakat
3. Dinas kesehatan kabupaten/kota
4. Upaya kesehatan masyarakat
5. Upaya kesehatan perseorangan
6. Tenaga kesehatan
7. Registrasi
8. Akreditasi puskesmas
9. System rujukan
10. Pelayanan kesehatan
11. System informasi puskesmas
12. Menteri
TUJUAN a. Untuk mewujudkan masyarakat yang memiliki
perilaku sehat meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat
b. Mampu menjangkau pekayanan kesehatan
bermutu
c. Terwujudnya kecamatan sehat
MATERI MUATAN/ ASPEK 1. KETENTUAN UMUM
YANG DIATUR 2. PRINSIP PENYELENGGARAAN, TUGAS,
FUNGSI DAN WEWENANG
3. PERSYARATAN
4. KATEGORI PUSKESMAS
5. PERIZINAN DAN REGISTRASI
6. PENYELENGGARAAN
7. PENDANAAN
8. SISTEM INFORMASI PUSKESMAS
9. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
10. KETENTUAN PRALIHAN
11. KETENTUAN PENUTUP
MATERI FARMASI 1. TENAGA KEFARMASIAN
2. PELAYANAN KEFARASIAN DI PUSKESMAS
3. RUANG FARMASI
SANKSI Hukuman pidana dan sanksi administratif
KETENTUAN A. KETENTUAN PERALIHAN
PERALIHAN/PENUTUP
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. lokasi dan bangunan Puskesmas yang telah berdiri
sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini, dianggap
telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri ini.
b. Puskesmas yang telah ada harus menyesuaikan
dengan Peraturan Menteri ini paling lambat 3 (tiga) tahun
sejak Peraturan Menteri ini diundangkan. 
A. KETENTUAN PENUTUP
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 128/Menkes/SK/II/2004
tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
ASPEK Permenkes 72/2016

JUDUL Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit masih belum


LATAR BELAKANG /
memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat sehingga perlu
ALASAN
dilakukan perubahan atas PMK sebelumnya
DITERBITKAN

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


DASAR HUKUM Indonesia Tahun 1945; 
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4286); 
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia. Nomor 4297); 
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4756); 
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada
Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4555); 

Definisi Rumah sakit, standar pelayanan kefarmasian,


KETENTUAN UMUM pelayanan kefarmasian, resep, sediaan farmasi, obat, alat
kesehatan, bahan medis habis pakai, instalasi farmasi,
apoteker, tenaga teknis kefarmasian, direktur jendral, kepala
badan pengawas obat dan makanan, menteri

  Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian di RS


TUJUAN   Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian di RS
3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang
tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety)
di RS 

1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan


MATERI medis habis pakai
MUATAN/ASPEK 2. Pelayanan Farmasi Klinik
3. Sumber Daya Kefarmasian
YANG DIATUR 4. Pengorganisasian
5. Pengendalian Mutu Pelayanan Kefarmasian

Standar Pelayanan Kefarmasian, Pelayanan kefarmasian,


MATERI FARMASI Sediaan Farmasi, Instalasi farmasi, Apoteker, tenaga teknis
kefarmasian, Direktur Jendral pada Kementerian Kesehatan
yang bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat
kesehatan.

Berupa sanksi administratif


SANKSI

ATURAN
PERALIHAN / -
PENUTUP
Aspek PMK No. 919 Tahun 1993
Judul Kriteria Obat yang dapat Diserahkan tanpa Resep 
Latar 1. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya
Belakang/ sendiri guna mengatasi masalah kesehatan, dirasa perlu ditunjang
Alasan dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri
Diterbitkan secara tepat, aman dan rasional; 
2. Peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional
dapat dicapai melalui peningkatan penyediaan obat yang
dibutuhkan untuk pengobatan sendiri yang sekaligus menjamin
penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional 
3. Perlu ditetapkan kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep 

Dasar Hukum 1. OOK


2. UU No. 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika
3. UU No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan 
4. PMK No. 917 Tahun 1993 Tentang Wajib Daftar ObatJadi

Ketentuan Definisi: Resep, Rasio khasiat keamanan, dan Menteri


Umum
Tujuan 1. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong
dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan
2. Untuk peningkatan pengobatan sendiri yang sekaligus menjamin
penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional 
3. Perlu penetapan Kriteria Obat  yang dapat diserahkan tanpa resep

Materi Muatan/   Definisi, kriteria Obat yang dapat diserahkan tanpa resep 
Aspek Yang
Diatur

Materi 1. Obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi


Farmasi kriteria : 
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita
hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65
tahun 
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan
resiko pada kelanjutan penyakit. 
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus
yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan. 
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang
prevalensinya tinggi di Indonesia 
5. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang
dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri 
2. Penilaian terhadap obat yang dapat digolongkan menjadi obat
yang dapat diserahkan tanpa resep dilakukan secara terus menerus
dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebutuhan masyarakat. 

ASPEK PMK No. 3 Tahun 2015


JUDUL PEREDARAN, PENYIMPANAN, PEMUSNAHAN DAN
PELAPORAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN
PREKURSOR FARMASI
LATAR Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/1978 tentang
BELAKANG/ Penyimpanan Narkotika, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
ALASAN 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika, dan
DITERBITKAN Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 912/Menkes/Per/VIII/1997
tentang Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan Psikotropika perlu
disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3671)
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5062)
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063)
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5072)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3781)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5044)
7. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang
Prekursor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5126
8. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5419)
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5533)
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1144/Menkes/Per/lll/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 585) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2013 (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 741)
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 721)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 16 Tahun 2013 (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 442)
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 370)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 34 Tahun 2014 (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 585
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2013 tentang
Impor dan Ekspor Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013
Nomor 178)
14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Klinik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
232)
KETENTUAN Definisi : Narkotika, Psikotropika, Prekursor Farmasi, Penyaluran,
UMUM Penyerahan, Industri Farmasi, Pedagang Besar Farmasi, Instalasi
Farmasi Pemerintah, Instalasi Farmasi Klinik, Apotek, Toko Obat,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, Importir Terdaftar Psikotropika,
Importir Terdaftar Prekursor Farmasi, Kepala Balai, Kepala Badan,
Direktur Jenderal, Menteri
TUJUAN 1. Obat Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam
bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin
edar dari Menteri. Untuk mendapatkan izin edar Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi
sebagaimana dimaksud tersebut harus melalui pendaftaran pada
Badan Pengawas Obat dan Makanan.
2. Melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi
persyaratan, keamanan, mutu dan kemanfaatan
MATERI Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, Pencatatan dan Pelaporan,
MUATAN/ ASPEK Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan Peralihan
YANG DIATUR
MATERI Izin Peredaran, Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
FARMASI Farmasi. Surat Pesanan Narkotika dan Psikotropika atau Prekursor
Farmasi. Penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor. Farmasi
dalam Bentuk Ruahan dan Produk Obat Jadi. Instansi dan Lembaga
Resmi yang Boleh Menyalurkan atau Mendistribusikan Narkoba,
Psikotropika dan Prekursor Farmasi. Pengiriman Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor Farmasi serta Dokumen yang
melengkapinya. Penyerahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor
Farmasi. Tempat Penyimpanan Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor farmasi. Pemusnahan Narkotika, Psikotropika dan
Prekursor Farmasi. Pencatatan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika
dan Prekursor Farmasi.
SANKSI Pidana dan sanksi administratif
ATURAN Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
PERALIHAN/ 1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/ 1978
PENUTUP tentang Penyimpanan Narkotika;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 688/ Menkes/ Per/ VII/
1997 tentang Peredaran Psikotropika; dan
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 912/Menkes/Per/VIII/1997
tentang Kebutuhan Tahunan dan Pelaporan Psikotropika, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.

ASPEK PMK Nomor 73 Tahun 2016


JUDUL  Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek
LATAR BELAKANG/ 1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
ALASAN DITERBITKAN tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek masih
belum memenuhi kebutuhan hukum di masyarakat
sehingga perlu dilakukan perubahan.
2. Perlunya ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek;
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan 
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa
kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan 
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan 
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian 
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
DASAR HUKUM Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika 
8. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen, sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 145 Tahun -3-
2015 tentang Perubahan Kedelapan atas Keputusan
Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian 
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
1508);
Definisi tentang Apotek, Standar Pelayanan Kefarmasian,
Pelayanan Kefarmasian, Resep, Sediaan Farmasi, Obat, Alat
KETENTUAN UMUM Kesehatan, Bahan Medis Habis Pakai, Apoteker, Tenaga
Teknis Kefarmasian, Direktur Jenderal, Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan, Menteri, 
1. meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian
2. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
TUJUAN 3. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
(patient safety).
Definisi, Tujuan, Standar Pelayanan Kefarmasian, Pengelolaan
MATERI Sediaan Farmasi, Pelayanan farmasi klinik, Sumber Daya
MUATAN/ASPEK Kefarmasian, Evaluasi mutu Pelayanan Kefarmasian, laporan
YANG DIATUR Pelayanan Kefarmasian,Pembinaan dan Pengawasan, Sanksi,
Aturan Peralihan.
1. Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alkes dan Bahan Medis
Habis Pakai: perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemusnahan, pengendalian dan pencatatan
dan pelaporan
2. Pelayanan farmasi klinik: pengkajian Resep, dispensing,
Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, Pelayanan
Kefarmasian di rumah (home pharmacy care), Pemantauan
MATERI FARMASI Terapi Obat (PTO), dan Monitoring Efek Samping Obat
(MESO).
3. Sumber daya kefarmasian: sumber daya manusia, sarana
dan prasarana
4. Apotek wajib mengirimkan laporan Pelayanan Kefarmasian
secara berjenjang kepada dinas kesehatan kabupaten/kota,
dinas kesehatan provinsi, dan kementerian kesehatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
1. peringatan tertulis;
SANKSI 2. penghentian sementara kegiatan
3. pencabutan izin.  
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1162) sebagaimana telah diubah
ATURAN
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2016
PERALIHAN/PENUTUP
tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor
1169), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
HIRARKI

PP NO. 20 THN 1962


PP NO. 19 THN 2005
PP NO. 31 THN 2019
PP NO. 32 THN 1996
PP NO. 32 THN 2019
PP NO. 23 THN 2004 JO 10 THN 2018
PP NO. 24 THN 2018
PMK NO. 1190 THN 2010 JO 7 THN 2020
PMK NO. 1010 THN 2008
PMK NO. 007 THN 2012
PMK NO. 1176 THN 2010
PERATURAN PRESIDEN NO. 16 THN 2018
PMK NO. 1190 THN 2010 JO 26 THN 2018
PKaBPOM NO. 24 THN 2017
PKaBPOM NO. 25 THN 2017
PKaBPOM NO. 20 THN 2020
PKaBPOM NO. 15 THN 2019
PP NO. 47 TAHUN 2021
ASPEK PP NOMOR 20 TAHUN 1962

JUDUL LAFAL SUMPAH /JANJI APOTEKER

LATAR BELAKANG Perlu menetapkan lafal sumpah/ janji apoteker

DASAR HUKUM Pasal 5 ayat 2 UU Dasar, pasal 10 ayat (3) UU No.9 tahun 1960

KETENTUAN HUKUM PP tentang lafal sumpah / janji apoteker

TUJUAN Menetapkan lafal sumpah/ janji apoteker

ISI 1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan


perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan ;
2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui
karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai apoteker;
3. Sekalipun diancam , saya tidak akan mempergunakan
pengetahuan kefarmasian saya untuk sesuatu yang
bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian;
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berithiar
dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh
pertimbangan Keagamaan , Kebangsaan, Kesukuan, Politik,
Kepartaian atau Kedudukan Sosial;
6. Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh – sungguh
dan dengan penuh keinsyafan.
SANKSI -

KETENTUAN -
PERALIHAN /
PENUTUP
ASPEK PP NO. 19 TAHUN 2005

JUDUL Standar Nasional Pendidikan

LATAR Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat 4, Pasal 36 ayat 4,


BELAKANG / Pasal 37 ayat 3, Pasal 42 ayat 3, Pasal 43 ayat 2, Pasal 59 ayat 3, Pasal
ALASAN 60 ayat 4, dan Pasal 61 ayat 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
DITERBITKAN tentang Sistem Pendidikan Nasional
1. Pasal 5 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
DASAR HUKUM 2. UU RI No. 20 tahun 2003 (Lembaran Negara tahun 2003 No. 78
Tambahan lembaran Negara No. 4301).
Pengertian: standar nasional pendidikan, pendidikan formal, pendidikan
nonformal, standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses,
standar pendidik, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan,
standar pembiayaan, standar penilaian, biaya operasi satuan pendidikan,
KETENTUAN kurikulum, kerangka dasar kurikulum, kurikulum satuan tingkat
UMUM pendidikan, peserta didik, penilaian, evaluasi pendidikan, ualangan,
ujian, akreditasi, badan standar nasional pendidikan, departemen,
lembaga penjaminan mutu pendidikan, badan akreditasi nasional
sekolah/madrasah, badan akreditasi pendidikan non formal, badan
akreditasi nasional perguruan tinggi, menteri.
Sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
TUJUAN pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasioanl yang
bermutu.
- Standar isi
- Standar proses
- Standar kompetensi lulusan
- Standar pendidik dan tenaga kependidikan
- Standar sarana dan prasarana
MATERI - Standar pengelolaan
MUATAN/ASPEK - Standar pembiayaan
YANG DIATUR - Standar penilaian pendidikan
- Badan standar nasional pendidikan (BSNP)
- Evaluasi
- Akreditasi
- Sertifikasi
- Penjaminan mutu
MATERI
-
FARMASI

SANKSI -
ASPEK PP No. 31 Tahun 2019

JUDUL TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

Bahwa untuk melakseake ketentuan pasal 11, pasai 16, Pasal 2l ayat
LATAR (s), pasat 44 ayat (3), pasat 46 ayat (3), pasal 47 ayat (4), Pasal 52, dd
BELAKANG / pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2O14 tentang
ALASAN jaminan produk halal, perlu menetapkkan peraturan pemerintah
DITERBITKAN tentang peraturan pelaksanaan Undang- Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang jaminan Produk halal:

TUJUAN Perusahaan wajib memiliki sertifikat Halal

3. Pasal 5 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945


4. UU RI No. 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal (lembaran
DASAR HUKUM
negara repoblik Indonesia tahun 2014 nomor 295, tambahan
lembaran negara repoblik Indonesia Nomor 5604)
 Jaminan Produk Halal, yang selanjutnya disingkat JPH adalah
kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan
dengan sertifikat Halal
 Produk adalah barang dan atau/ jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk
rekayasa ginetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat.
 Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai
KETENTUAN
dengan syariat islam.
UMUM
 Produk halal, yang selanjutnya disingkat pph adalah rangkaian
kegiatan untuk menjamin kehalalan produk cangkupan penyediaan
bahan, pendistribusian , penjualan, dan penyajian produk.
 Serifikat halal adalah pengakuuan kehalalan suatu produk yang
dikeluarkan pleh badan penyelanggara jaminan produk halal
berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh majelis
Ulama Indinesia.

MATERI Dalam rangka pemberian pelayanan publik, pemerintah bertanggung


MUATAN/ASPEK jawab dalam menyelengarakan JPH, yang pelaksanaanya dilakukan
YANG DIATUR oleh BPJPH dan bekerja sama, antara lain dengan kementrian yang
menyelengarakan urusan urusan pemerintah dibidang perindustrian,
perdagangan, Kesehatan, pertanian, koperasi dan usaha kecil dan
menegah, luar negri, dan Lembaga pemerintah non kementrian atau
Lembaga nonstruktural yang melaksanakan tugas pemerintah dibidang
pengawasan obat dan makanan, standarrisasi dan penilaian kesesuaia,
dan akreditasi serta LPH dan MUI.
Ketentuan yang mengenai kerja sama internasional dalam bidang JPH,
dalam bentuk pengembangan, JPH, penilaian kesesuaian, dan atau
pengakuan sertifikat Halal.

MATERI
-
FARMASI

SANKSI -
Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan
pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur
KETENTUAN
mengenai JPH dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait,
PENUTUP
dinyatakan msih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam peraturan pemerintah ini.
ASPEK PP NO 32 TH 1996
JUDUL Tenaga Kesehatan
LATAR BELAKANG Pelaksanaan ketentuan UU No. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan, dipandang perlu menetapkan PP
DASAR HUKUM Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, UU NO. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan
KETENTUAN UMUM Tenaga Kesehatan, Sarana Kesehatan, Upaya Kesehatan, Menteri
TUJUAN Menetapkan PP tentang Tenaga Kesehatan
ISI Jenis Tenaga Kesehatan, Persyaratan, Perencanaan, Pengadaan
dan Penempatan, Standar Profesi dan Perlindungan Hukum,
Ikatan Profesi, Tenaga Kesehatan WNA, Pembinaan dan
Pengawasan, Ketentuan Pidana
SANKSI Pidana denda
KETENTUAN 1. Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang
PENUTUP berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada
dinyatakan masih tetap berlaku, jika tidak bertentangan
dan/atau belum diganti
2. PP ini berlaku sejak tanggal diundangkan
ASPEK PP No 32 Tahun 2019
JUDUL RENCANA TATA RUANG LAUT
LATAR BELAKANG 1. Wilayah laut sebagai bagian terbesar wilayahIndonesia
merupakan modal strategis nasional untukpembangunan
yang perlu direncanakan dan dikelolasecara baik dan benar
2. Pengelolaan ruang laut yang meliputiperencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, danpengendalian dilakukan
untuk melindungi sumber dayadan lingkungan serta untuk
memanfaatkan potensisumber daya atau kegiatan di wilayah
laut yang berskalanasional dan internasional
3. Untuk melaksanakan pengelolaan ruang laut
4. Rencana tata ruang laut merupakan hasil dari proses
perencanaan tata ruang laut sebagaimana diaturdalam Pasal
43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2Ol4 tentang
Kelautan dan sebagai komplemendari Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional;
Dasar Hukum 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
RepublikIndonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentangPengesahan
United Nations Conuention on the Lana of theSea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentangHukum Laut
3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2OO7 tentang Penataan
Ruang
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2Ol4 tentang Kelautan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
KETENTUAN UMUM Definisi: Laut, Kelautan, Tata Ruang Laut, Struktur Ruang
Laut, Pola Ruang Laut, Rencana Tata Ruang Laut, Wilayah
Perairan, Wilayah Yurisdiksi, Wilayah Pertahanan Negara,
Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan
Strategis Nasional, Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
Benda Muatan Kapal Tenggelam, Cagar Budaya, Kawasan
Antarwilayah, Peraturan Pemanfaatan Ruang, Sentra Kelautan
dan Perikanan Terpadu, Pulau Kecil, Pulau-Pulau Kecil
Terluar, Alur Laut, Alur Pelayaran, Perikanan, Pergaraman,
Wisata Bahari, Pertambangan, Sumber Daya Kelautan, Sumber
Daya Ikan, Industri Maritim, Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, Pembudi Daya
Ikan Kecil, Ruang Penghidupan, Menteri
TUJUAN 1. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjangnasional
bidang Kelautan;
2. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah
nasional bidang Kelautan
3. Perwujudan keterpaduan dan keserasian pembangunan serta
kepentingan lintas sektor dan lintas wilayah dalam
memanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang Laut
4. Penetapan lokasi dan fungsi ruang Laut untuk kegiatanyang
bernilai strategis nasional
5. Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
6. Perencanaan zor,asi kawasan Laut; dan
7. Arahan dalam pemberian izin lokasi perairan dan izin
pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil serta di Laut
MATERI MUATAN/ Rencana Tata Ruang Laut Wilayah Perairan, Penetapan
ASPEK YANG DIATUR Kawasan Strategis Nasional Dan Kawasan Antar Wilayah,
Rencana Tata Ruang Laut Wilayah Yurisdiksi, Arahan
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Laut, Ketentuan Lain-Lain,
Ketentuan Penutup
MATERI FARMASI
SANKSI
ATURAN 1. RTRL ini berlaku selama 20 (dua puluh) tahun
PERALIHAN/PENUTUP 2. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan
ASPEK PP 10/2018
JUDUL Badan Nasional Sertifikasi Profesi
1. Karena dalam mewujudkan tenaga kerja profesional yang memiliki
keterampilan, keahlian, dan kompetensi perlu peningkatan kualitas
sumber daya manusia ketenagakerjaan yang berdayasaing dan memiliki
LATAR
standar global.
BELAKANG/
2. Karena saat ini telah ditetapkan PP 23/2OO4 tentang Badan Nasional
ALASAN
Sertifikasi Profesi sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UU
DITERBITKAN
13/2OO3 tentang Ketenagakerjaan.
3. Karena PP 23/2004 tentang Badan Nasional Sertilikasi Profesi perlu
dilakukan penyempurnaan untuk menyesuaikan kebutuhan saat ini.
1. Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945
DASAR HUKUM
2. UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
Berisi definisi dari: Sertifikasi Kompetensi Kerja, Badan Nasional
KETENTUAN
Sertifikasi Profesi (BNSP), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Lisensi,
UMUM
Profesi, Menteri.
1. Untuk mewujudkan tenaga kerja profesional yang memiliki
keterampilan, keahlian, dan kompetensi.
2. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UU 13/2OO3 tentang
TUJUAN
Ketenagakerjaan.
3. Untuk menyempurnakan PP 23/2004 tentang Badan Nasional Sertilikasi
Profesi agar sesuai dengan kebutuhan saat ini.
BAB I Ketentuan Umum (Pasal 1); BAB II Pembentukan dan Tugas (Pasal
2-4); BAB III Organisasi (Bagian I: Keanggotaan (Pasal 5-7), Bagian II:
MATERI
Sekretariat (Pasal 8), Bagian III: Kelompok Kerja dan Tenaga Ahli (Pasal
MUATAN/
9)); BAB IV Pengangkatan, Pemberhentian dan Penggantian (Pasal 10-19);
ASPEK YANG
BAB V Tata Kerja (Pasal 20-21); BAB VI Pembiayaan (Pasal 22); BAB
DIATUR
VII Ketentuan Lain-Lain (Pasal 23); BAB VIII Kententuan Peralihan
(Pasal 24); BAB IX Ketentuan Penutup (Pasal 25-26); Penjelasan.
Pasal 1 Angka 5 (Pengertian Profesi), Pasal 6 dan 7 (Keanggotaan BNSP),
MATERI Pasal 10-19 (Pengangkatan, Masa Jabatan, Hak, Pemberhentian,
FARMASI Penggantian Anggota BNSP, Masa Jabatan Anggota Pengganti, Kewajiban
dan Penilaian Kinerja Anggota BNSP).
SANKSI -
1. Semua peraturan pelaksanaan dari PP 23/2OO4 tentang Badan Nasional
ATURAN Sertifikasi Profesi sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
PERALIHAN/ Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkarrnya peraturan
PENUTUP pelaksanaan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
2. PP 23/2OO4 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi dinyatakan
dicabut dan tidak berlaku.
ASPEK PP 24 TAHUN 2018
JUDUL Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik
LATAR BELAKANG 1. bahwa dalam rangka percepatan dan
peningkatan penanaman modal dan berusaha,
perlu menerapkan pelayanan Perizinan Berusaha
terintegrasi secara elektronik;
2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 25 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal serta Pasal 6 dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua AtasUndang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik;
DASAR HUKUM 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
KETENTUAN UMUM Definisi:
Penerintah pusat, pemerintahan daerah, pemerintah
daerah, Perizinan Berusaha, OSS, Pelaku Usaha,
Pendaftaran, Izin Usah, Izin Komersial atau
Operasional, Komitmen, Lembaga Pengelola dan
Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga
OSS, Nomor Induk Berusaha, Nomor Pokok Wajib
Pajak, Tanda Daftar Perusahaan, Angka Pengenal
Importir, Nomor Induk Kependudukan, Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Izin Lokasi, Izin
Lokasi Perairan, Rencana Detail Tata Ruang, Izin
Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
UpayaPemantauan Lingkungan Hidup, Analisis
Dampak Lingkungan Hidup, RencanaPengelolaan
Lingkungan Hidup, Rencana Pemantauan Lingkungan
Hidup, Izin Mendirikan Bangunan, Pelayanan Terpadu
Satu Pintu, Dokumen Elektronik, Tanda Tangan
Elektronik
TUJUAN 1. Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
2. Kekuasaan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diuraikan dalam berbagai urusan
pemerintahan yang pelaksanaannya dilakukan
oleh kementerian negara dan penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
3. Urusan pemerintahansebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mencakup kewenangan pemberian
PerizinanBerusaha, fasilitas, dan/atau
kemudahan untuk pelaksanaan berusaha.
MATERI MUATAN/ASPEK YG 1. Izin, standar sebelum berlakunya peraturan
DIATUR pemerintah, izin usaha dan izin komersial atau
operasional setelah berlakunya peraturan
pemerintah ini
2. Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan
penyelenggaraan kewenangan pemberian
Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait.
3. Peraturan perundang-undangan lainnya yang
terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan peraturan perundang-undangan yang
mengatur kewenangan sektor atau kewenangan
daerah dalam Perizinan Berusaha sepanjang
tidak diatur dalam undang-undang dan tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
4. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) termasuk pemberian fasilitas dan/atau
kemudahan untuk pelaksanaan berusaha.
5. Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan
kewenangan pemberian Perizinan Berusaha.
MATERI FARMASI -
ATURAN PERALIHAN 1. Jenis, Pemohon, Penerbit Perizinan Berusaha
2. Pelaksanaan Perizinan Berusaha
3. Reformasi Perizinan Berusaha Sektor
4. Sistem OSS
5. Lembaga OSS
6. Pendanaan OSS
7. Insentif atau Disinsentif Pelaksanaan Perizinan
Berusaha melalui OSS
8. Penyelesaian permasalahan dan hambatan
Perizinan Berusaha melalui OSS dansanksi.
KETENTUAN PENUTUP Pada saaat peraturan ini mulai berlaku, PP 24 tahun
2018 tentang pelayanan perizinan berusaha terintegrasi
secara elektronik mengantur mengenai undang-undang,
perizinan, nomer izin, pelayanan, dan peraturan.
ASPEK PMK NO. 7 Tahun 2020

Perubahan Atas Peraturan Mentri Kesehatan No. 51 Tahun


2014 Tentang Pemasukan Alat Kesehatan Melalui Mekanisme
JUDUL Jalur Khusus (Special Access Shceme)

1.Ketentuan pemasukan alat kesehatan melalui mekanisme


jalur khusus yang telah diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 51 Tahun 2014 tentang Pemasukan Alat
Kesehatan melalui Mekanisme Jalur Khusus (Special Access
Scheme) perlu disesuaikan dengan kebutuhan penanggulangan
wabah dan/atau kedaruratan kesehatan masyarakat
LATAR BELAKANG
2. Perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Perubahan atas PMK Nomor 51 Tahun 2014 tentang
Pemasukan Alat Kesehatan melalui Mekanisme Jalur Khusus
(Special Access Scheme)

DASAR HUKUM 1)Pasal 17 ayat (3) UUD Tahun 1945;

2)Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah


Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3273)

3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063)

4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang


Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6236)

5) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang


Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781)

6) Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang


Kementerian Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 59)

7) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2014 tentang


Pemasukan Alat Kesehatan melalui Mekanisme Jalur Khusus
(Special Access Scheme) (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 1184)

8) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 30 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara
Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 945)

Mekanisme Jalur khusus (Special Access Shceme) yang


selanjutnya disingkat SAS, Izin SAS, Alat Kesehetan, SAS
KETENTUAN HUKUM
Donasi, SAS non donasi, Kejadian Luar Biasa yang
selanjutnya disingkat KLB, Direktur Jendral, Mentri

untuk memenuhi alat kesehatan pada keadaan tertentu perlu


mengatur pemasukan dengan menggunakan mekanisme jalur
TUJUAN
khusus tanpa mengurangi jaminan atas keamanan, mutu dan
kemanfaatan bagi pengguna;

Ruang Lingkup pengaturan meliputi kriteria, Izin SAS,


MATERI ATAU MUATAN persyaratan dan tata cara pemasukan, pengawasan, dan
ASPEK YANG DIATUR pelaporan Alat Kesehatan yang dimasukkan melalui SAS
Donasi dan SAS Non Donasi,

A. Menambahkan 1 Pasal yang terdiri dari 3 poin diantara


pasal 6 dan 7, diantaranya berbunyi (1. Alat Kesehatan yang
dimasukkan melalui SAS untuk keperluan penanggulangan
Wabah dan/atau Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dapat
beredar tanpa memiliki Izin sebagaimana dimaksud dalam
MATERI PERUBAHAN
Pasal 5 dan Pasal 6, 2) Pemasukan Alat Kesehatan
ASPEK
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan pengecualian tata niaga impor sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan, 3)Alat
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri
SANKSI Sanksi administratif

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


1379A/Menkes/SK/XI/2002 tentang Pengelolaan dan
KETENTUAN/ Penggunaan Obat, Alat dan Makanan Kesehatan Khusus,
PERALIHAN DAN sepanjang yang mengatur mengenai Pemasukan Alat
PENUTUP Kesehatan melalui SAS dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pemberlakuan PMK No. 7 Tahun 2020

  *** (mengacu pada PMK No. 51 Tahun 2014)***


ASPEK PMK NO 1010 th 2008

JUDUL REGISTRASI OBAT

LATAR BELAKANG 1. Melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak


/ ALASAN memenuhi persyaratan, keamanan dan mutu
DITERBITKAN 2. Permenkes No. 949/Menkes/Per/VI/2000 perlu disederhanakan
dan disesuaikan dengan perkembangan globalisasi dan kebijakan
pemerintah
3. Perlu diatur kembali registrasi obat dengan Peraturan Menteri
Kesehatan

DASAR HUKUM Ordonansi Obat Keras (Stbl. 1949 No. 419), UU No.23 Tahun 1992,
UU No. 5 Tahun 1997, UU No.22 Tahun 1997, UU No.8 Tahun
1999, PP No.72 Tahun 1998, PP No.38 Tahun 2007, PP No.9 Tahun
2005, Permenkes No.1575/Menkes/Per/XI/2005

KETENTUAN Definisi : Izin edar, Obat, Produk Biologi, Registrasi, Obat Kontrak,
UMUM Pemberi kontrak, Penerima kontrak, Obat impor, Penandaan, Obat
palsu, Psikotropika, Narkotika, Peredaran, Produk yang dilindungi
paten, Menteri, Kepala Badan

TUJUAN 1. Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus


dilakukan registrasi untuk memperoleh Izin Edar
2. Melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak
memenuhi persyaratan, keamanan, mutu dan kemanfaatan

MATERI MUATAN / Persyaratan registrasi, Tata cara memperoleh izin edar, Pelaksanaan
ASPEK YANG izin edar, Evaluasi kembali
DIATUR

MATERI FARMASI Registrasi Obat narkotika, Registrasi obat kontrak, Registrasi obat
impor, Registrasi obat khusus ekspor, Registrasi obat yang
dilindungi paten,

SANKSI Pidana & sanksi administratif

ATURAN 1. Tetap diproses sesuai dengan Permenkes


PERALIHAN / No.949/MENKES/PER/VI/2000
PENUTUP 2. Registrasi obat jadi yang habis masa berlakunya setelah
ditetapkan peraturan ini, dapat diperpanjang paling lama 2 tahun
3. Dengan berlakunya peraturan ini, maka Permenkes
No.949/MENKES/PER/VI/2000 tentang Registrasi obat jadi dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi
4. Peraturan berlaku pada tanggal ditetapkan

ASPEK PMK RI NO.007 TAHUN 2012

JUDUL REGISTRASI OBAT TRADISIONAL


LATAR PMK No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang izin usaha Industri Obat
BELAKANG / Tradisional dan pendaftaran Obat Tradisonal sudah tidak sesuai lagi
ALASAN dengan perkembangaan IPTEK serta kebutuhan hukum
DITERBITKAN

DASAR HUKUM UU No.8 /1999 ; PMK 246/Menkes/Per/V/1990; UU No.36/2009; PP


51/2009; Keppres No.103/2001; PP 24/2010; KMK
381/Menkes/SK/III/2007; PMK 1144/2010

KETENTUAN Definisi Obat Tradisonal, Izin edar, Registrasi, Importir,


UMUM CPOTB,Industri Obat Tradisonal (IOT), Usaha Kecil Obat Tradisonal
(UKOT), Usaha Mikro Obat Tradisonal (UMOT), Usaha Jamu Racikan,
Usaha Jamu Gendong, Simplisia, Sediaan Galenik, Obat tradisional
produksi dalam Negeri, Obat Tradisional Kontrak, Obat Tradisional
lisensi, Obat Tradisional Impor,Pemberi kontrak, Penerima kontrak,
Sertifikat, CPOTB, Menteri, Kepala BPOM.
TUJUAN Melindungi masyarakat dari peredaran obat tradisional yang tidak
memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu.

MATERI Registrasi Obat Tradisional, izin edar, persyaratan dan registrasi, tata
MUATAN / cara registrasi, evaluasi kembali,kewajiban pemegang nomor izin edar,
ASPEK YANG sanksi.
DIATUR

MATERI Registrasi Obat Tradisional, izin edar, persyaratan dan registrasi, tata
FARMASI cara registrasi, evaluasi kembali,kewajiban pemegang nomor izin
edar, sanksi.

SANKSI Sanksi Administratif


-pembatalan izin edar.
-penarikan dari peredaran dan/atau pemusnahan obat tradisonal yang
tidak memenuhi standard dan/atau persyaratan.

ATURAN 1. PMK No.246/Menkes/Per/1990 tentang izin usaha Industri Obat


PERALIHAN / Tradisional dan pendaftaran Obat Tradisional.
PENUTUP 2. Izin diperbaharui paling lama 2 tahun sejak PMK diundangkan.
ASPEK PMK NO. 1176 Tahun 2010

JUDUL NOTIFIKASI KOSMETIKA

LATAR BELAKANG 1. Bahwa masyarakat perlu dilindungi dari peredaran dan


penggunaan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu
, keamanan dan kemanfaatan;
2. Bahwa peraturan Menteri Kesehatan Nomor
140/Menkes/Per/III/1991 tentang Wajib Daftar Alat Kesehatan,
Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga sudah
tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan no 1 dan nomor 2 maka
perlu menetapkan peraturan Menteri Kesehatan tentang
Notifikasi Kosmetika

DASAR HUKUM UU NO 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU NO 32/2004


Tentang Pemerintahan Daerah, UU NO 36/2009 Tentang
Kesehatan, PP No 72/1998 tentang pengamanan Sediaaan Farmasi
dan Alat kesehatan.

KETENTUAN Definisi: Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksud


UMUM untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (Epidermis
rambut,Kuku , bibir dan organ genital bagian luar), atau gigi dan
mukosa mulut terutama untuk memberdihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memeliharan tubuh pada kondisi baik

TUJUAN Agar setiap kosmetik yag beredar memenuhi standar dan /atau
persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan sesuai ketentuan
peraturan perundang undangan.

MATERI MUATAN Menetapkan CPKB, Memenuhi persyaratan teknis, yang meliputi


peryaratan keamanan, bahan,penandaan, dan klaim

SANKSI Sanksi administratif berupa:


1. Peringatan tertulis
2. Larangan mengedarkan kosmetika untuk sementara
3. Penarikan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan
4. Pemusnahan kosmetika
5. Penghentian sementara kegiatan produksi dan atau peredaran
kosmetika
ASPEK Peraturan Presiden No 16 Tahun 2018
JUDUL Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah
LATAR BELAKANG
a. bahwa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mempunyai peran
penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional untuk
peningkatan pelayanan publik dan pengembangan perekonomian
nasional dan daerah;
b. bahwa untuk mewujudkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu pengaturan Pengadaan
Barang/Jasa yang memberikan pemenuhan nilai manfaat yang
sebesar-besarnya (value for money) dan kontribusi dalam
peningkatan penggunaan produk dalam negeri, peningkatan peran
Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah serta
pembangunan berkelanjutan;
c. bahwa Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun
2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah masih
terdapat kekurangan dan belum menampung perkembangan
kebutuhan Pemerintah mengenai pengaturan atas Pengadaan
Barang/Jasa yang baik;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Presiden
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

DASAR HUKUM 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5601);

KETENTUAN Definisi : Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut


UMUM Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh
APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai
dengan serah terima hasil pekerjaan; Kementerian Negara yang
selanjutnya disebut Kementerian; Lembaga; Perangkat Daerah;
Pemerintah Daerah; Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang selanjutnya disingkat LKPP; Pengguna Anggaran
yang selanjutnya disingkat PA; Kuasa Pengguna Anggaran pada
Pelaksanaan APBN yang selanjutnya disingkat KPA; Kuasa Pengguna
Anggaran pada Pelaksanaan APBD yang selanjutnya disingkat KPA;
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK; Unit
Kerja Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat UKPBJ;
Kelompok Kerja Pemilihan yang selanjutnya disebut Pokja Pemilihan;
Pejabat Pengadaan; Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan yang
selanjutnya disingkat PjPHP; Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan yang
selanjutnya disingkat PPHP; Agen Pengadaan; Penyelenggara
Swakelola; Pengelola Pengadaan Barang/Jasa; Rencana Umum
Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat RUP; E-
marketplace Pengadaan Barang/Jasa;Layanan Pengadaan Secara
Elektronik ; Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang selanjutnya
disingkat APIP; Pengadaan Barang/Jasa melalui Swakelola yang
selanjutnya disebut Swakelola; Organisasi Kemasyarakatan yang
selanjutnya disebut Ormas;Kelompok Masyarakat;Pengadaan
Barang/Jasa melalui Penyedia;Pelaku Usaha;Penyedia Barang/Jasa
Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia;Barang;Pekerjaan
Konstruksi;Jasa Konsultansi;Jasa Lainnya;Harga Perkiraan Sendiri
yang selanjutnya disingkat HPS;Penelitian; Pembelian secara
Elektronik yang selanjutnya disebut E-purchasing;
Tender;Seleksi;Tender/Seleksi Internasional;Penunjukan
Langsung;Pengadaan Langsung Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa
Lainnya;Pengadaan Langsung Jasa Konsultansi;E-reverse
Auction;Dokumen Pemilihan;Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang
selanjutnya disebut Kontrak;Usaha Mikro;Usaha Kecil;Usaha
Menengah;Surat Jaminan yang selanjutnya disebut Jaminan;Sanksi
Daftar Hitam;Pengadaan Berkelanjutan;Konsolidasi Pengadaan
Barang/Jasa; Keadaan Kahar; Kepala Lembaga.
TUJUAN Pengadaan Barang/Jasa bertujuan untuk:
a. menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang
dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya,
lokasi, dan Penyedia;
b. meningkatkan penggunaan produk dalam negeri;
c. meningkatkan peran serta Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha
Menengah;
d. meningkatkan peran pelaku usaha nasional;
e. mendukung pelaksanaan penelitian dan pemanfaatan barang/jasa
hasil penelitian;
f. meningkatkan keikutsertaan industri kreatif;
g. mendorong pemerataan ekonomi; dan
h. mendorong Pengadaan Berkelanjutan.

MATERI KETENTUAN UMUM ; TUJUAN, KEBIJAKAN, PRINSIP, DAN


MUATAN/ASPEK ETIKA PENGADAAN BARANG/JASA; PELAKU PENGADAAN
YANG DIATUR BARANG/JASA; PERENCANAAN PENGADAAN; PERSIAPAN
PENGADAAN BARANG/JASA; PELAKSANAAN PENGADAAN
BARANG/JASA
MELALUI SWAKELOLA; PELAKSANAAN PENGADAAN
BARANG/JASA MELALUI PENYEDIA;PENGADAAN KHUSUS;
USAHA KECIL, PRODUK DALAM NEGERI,
DAN PENGADAAN BERKELANJUTAN;PENGADAAN
BARANG/JASA SECARA ELEKTRONIK; SUMBER DAYA
MANUSIA DAN KELEMBAGAAN; PENGAWASAN,
PENGADUAN, SANKSI, DAN PELAYANAN HUKUM;
KETENTUAN LAIN-LAIN;KETENTUAN
PERALIHAN;KETENTUAN PENUTUP.
MATERI FARMASI -
SANKSI PIDANA DAN DENDA
ATURAN Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
PERALIHAN Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
KETENTUAN/ Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, semua peraturan
PENUTUP pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti
dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini.
ASPEK PMK no. 1190 th 2010 jo 26 Thn 2018
JUDUL Tentang Izin Edar Alkes dan PKRT
LATAR BELAKANG a. Memberi pengamanan dan melindungi masyarakat
b. Ketentuan izin edar alkes & PKRT perlu disesuaikan dgn
perkembangan dan kebutuhan hukum

DASAR HUKUM 1. UU no.8-1999 ttg Perlindungan Konsumen


2. UU no.32-2004 ttg Pemda, dgn perubahannya yg ke-2 yaitu
UU no.12-2008
3. UU no.36-2009 ttg Kesehatan
4. PP no.72-1998 ttg Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alkes
5. PP no.38-2007 ttg Pembagian Urusan Pemerintah antara
Pemprov dan Pemda
6. PP no.13-2009 ttg Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Bukan Pajak yg berlaku pada Depkes
7. PP no.24-2010 ttg Kedudukan, Tugas dan Fungsi
Kementeria Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas dan
Fungsi Eselon 1 Kementerian Negara
8. PMK no.1575-2015 ttg Organisasi dan Tata Kerja Depkes,
dgn perubahannnya yg kedua no.439-2009

KETENTUAN UMUM Alat kesehatan adalah instrumen, apparatus, mesin dan/atau implan
yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau
membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat
PKRT adalah alat, bahan, atau campuran bahan untuk pemeliharaan
dan perawatan kesehatan untuk manusia, pen
TUJUAN 1. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
2. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
3. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
(patient safety).
MATERI MUATAN Izin Edar, Penandaan, Iklan, Pemeliharaan Mutu, Ekspor dan Impor,
Perselisihan Keagenan, Peran Serta Masyarakat, Binwas, Ketentuan
Peralihan, Ketentuan Penutup.
MATERI FARMASI Alkes, PKRT, PAK, Izin Edar, Surat Ket.Impor dan Ekspor,
penandaan Etiket/Label
SANKSI  Sanksi Administratif terdiri berupa, Peringatan lisan;
Peringatan tertulis; Pencabutan izin.
 Sanksi pidana, bila pelanggaran mengakibatkan seseorang
mengalami gangguan kesehatan yg serius.

ATURAN PERALIHAN  Pada saat Peraturan ini mulai berlaku:


a. izin edar alat kesehatan dan PKRT yang telah
diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1184/MenKes/Per/X/2004 tentang Pengamanan
Alat Kesehatan Dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan
habis masa berlakunya;
b. permohonan izin edar yang sedang dalam proses
diselesaikan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1184/MenKes/Per/X/2004 tentang
Pengamanan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga.
 Penyesuaian terhadap ketentuan Peraturan ini dilaksanakan
paling lambat dalam jangka waktu 1 ( satu ) tahun sejak
ditetapkannya Peraturan ini.

KETENTUAN/PENUTUP Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1184/Menkes/Per/X/2004 tentang Pengamanan Alat
Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga sepanjang
mengatur mengenai izin edar alat kesehatan dan PKRT dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
ASPEK PKaBPOM No. 24 Thn 2017
JUDUL KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT
LATAR BELAKANG a. melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak
memenuhi persyaratan khasiat, keamanan, dan mutu perlu
dilakukan registrasi obat sebelum diedarkan;
b. ketentuan kriteria dan tata laksana registrasi obat

DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang


Psikotropika
2. . Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
5. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang Registrasi Obat
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1120/MENKES/PER/XII/2008 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi
8. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.01.23.12.11.10217 Tahun 2011 tentang
Obat Wajib Uji Ekivalensi
9. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang
Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik
10.Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang
Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik
11.Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan
Makanan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan
Makanan

KETENTUAN UMUM Registrasi Obat yang selanjutnya disebut Registrasi adalah


prosedur pendaftaran dan evaluasi Obat untuk mendapatkan
persetujuan.
1. Registrasi baru
2. Registrassi variasi
3. Registrasi ulang

TUJUAN untuk melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak


memenuhi persyaratan khasiat, keamanan, dan mutu perlu
dilakukan registrasi obat sebelum diedarkan
MATERI MUATAN Definisi, persyaratan kriteria, kategori registrasi,registrasi
obat impor, registrasi narkotik, Registrasi Obat Lisensi,
Registrasi Obat Khusus Ekspor, Registrasi Obat yang
Dilindungi Paten, Registrasi Obat Pengembangan Baru,
Registrasi Obat Generik, Registrasi Orphan Drug, Tata
Laksana Registrasi, Dokumen Registrasi, Tanggung Jawab
Pendaftar, Praregistrasi, Jalur Evaluasi, Registrasi Baru,
Registrasi Variasi, Registrasi Ulang, Contoh Obat dan Baku
Pembanding, Evaluasi, Pemberian Keputusan, Persetujuan,
Penolakan, Peninjauan Kembali, Pengajuan Kembali
Registrasi, Masa Berlaku Izin Edar, Pelaksanaan Izin Edar,
Penilaian Kembali, Sanksi, Ketentuan Lain-Lain, Ketentuan
Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
MATERI FARMASI persyaratan kriteria, kategori registrasi,registrasi obat impor,
registrasi narkotik, Registrasi Obat Lisensi, Registrasi Obat
Khusus Ekspor, Registrasi Obat yang Dilindungi Paten,
Registrasi Obat Pengembangan Baru, Registrasi Obat
Generik, Registrasi Orphan Drug, Tata Laksana Registrasi,
Dokumen Registrasi, Tanggung Jawab Pendaftar,
Praregistrasi, Jalur Evaluasi, Registrasi Baru, Registrasi
Variasi, Registrasi Ulang, Contoh Obat dan Baku
Pembanding, Evaluasi, Pemberian Keputusan, Persetujuan,
Penolakan, Peninjauan Kembali, Pengajuan Kembali
Registrasi, Masa Berlaku Izin Edar, Pelaksanaan Izin Edar,
Penilaian Kembali, Sanksi.
SANKSI sanksi administrative:
 peringatan tertulis;
 pembatalan proses Registrasi;
 pembekuan Izin Edar Obat;
 pencabutan Izin Edar Obat; dan/atau
 larangan untuk melakukan pendaftaran selama 2 (dua)
tahun.

ATURAN PERALIHAN Jika Pendaftar melakukan Registrasi yang memiliki lebih dari
1 (satu) kekuatan Zat Aktif, maka harus memiliki perbedaan
spesifikasi antara lain ukuran, bentuk, dan/atau warna.
KETENTUAN/PENUTUP Peraturan Kepala Badan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Kepala Badan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia
ASPEK PKaBPOM No 25/2017
JUDUL TATA CARA SERTIFIKASI CARA DISTRIBUSI OBAT YANG
BAIK
LATAR BELAKANG Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara
Distribusi Obat yang Baik, perlu menetapkan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Tata Cara Sertifikasi
Cara Distribusi Obat yang Baik;
DASAR HUKUM 1. Ordonansi Obat Keras (Sterkwerkende Geneesmiddelen
Ordonnantie, Staatsblad 1949:419);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3671);
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5062); - 2 - 4.
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3781);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5419);
8. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 180);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1148/MENKES/PER/VI/2011 Tahun 2011 tentang
Pedagang Besar Farmasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 370) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 Tahun
2011 tentang Pedagang Besar Farmasi (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1097);
10. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.34.11.1.7542 Tahun 2012 tentang
Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1268);
11. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelaksana Teknis (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 1714);
12. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 74);
13. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.4231
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan;

KETENTUAN UMUM 1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi yang digunakan untuk memengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk
manusia.
2. Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun
tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat
dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi
termasuk baku pembanding.
3. Cara Distribusi Obat yang Baik yang selanjutnya disingkat
CDOB adalah cara distribusi/penyaluran Obat dan/atau
Bahan Obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang
jalur distribusi/penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan
penggunaannya.
4. Pedagang Besar Farmasi yang selanjutnya disingkat PBF
adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki
izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran Obat
dan/atau Bahan Obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
5. PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki
pengakuan untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, dan
penyaluran Obat dan/atau Bahan Obat dalam jumlah besar
sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
6. Sertifikat CDOB adalah dokumen sah yang merupakan
bukti bahwa PBF atau PBF Cabang telah memenuhi
persyaratan CDOB dalam mendistribusikan Obat dan/atau
Bahan Obat.
7. Pemohon adalah PBF atau PBF Cabang sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
8. Audit Pemenuhan Persyaratan CDOB yang selanjutnya
disebut Pemeriksaan adalah pemeriksaan secara langsung
terhadap sarana distribusi/penyaluran untuk mengetahui
pemenuhan persyaratan CDOB.

TUJUAN Bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran


sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya.
MATERI MUATAN Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi
yang digunakan untuk memengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi untuk manusia. Bahan Obat adalah bahan baik yang
berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam
pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku
farmasi termasuk baku pembanding.

MATERI FARMASI -
SANKSI sanksi administrative:
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Kepala
Badan ini dapat dikenai sanksi administratif berupa: a.
peringatan secara tertulis; b. penghentian sementara
kegiatan; dan/atau c. pencabutan Sertifikat CDOB.
(2) PBF atau PBF Cabang dapat dikenai sanksi administratif
berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, apabila PBF atau PBF
Cabang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. telah
memiliki izin PBF atau pengakuan sebagai PBF Cabang
lebih dari 12 (dua belas) bulan dan belum mengajukan
permohonan Sertifikat CDOB; b. permohonan Sertifikat
CDOB ditolak; c. telah mendapatkan persetujuan
pembaharuan izin atas perubahan nama, lokasi dan/atau
lingkup kegiatan penyaluran Obat dan/atau Bahan Obat
lebih dari 6 (enam) bulan dan belum mengajukan
permohonan perubahan Sertifikat CDOB; d. telah
mendapatkan persetujuan penambahan atau perubahan
gudang lebih dari 6 (enam) bulan dan belum mengajukan
permohonan perubahan Sertifikat CDOB; atau - 13 - e.
masa berlaku Sertifikat CDOB habis dan belum
mengajukan resertifikasi CDOB.
(3) PBF atau PBF Cabang dapat dikenai sanksi administratif
berupa pencabutan Sertifikat CDOB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, apabila PBF atau PBF Cabang
memenuhi kriteria sebagai berikut: a. terjadi penyimpangan
penerapan CDOB yang mengakibatkan penyalahgunaan
pendistribusian Obat dan/atau Bahan Obat; b. dengan
sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan tidak
terlaksanakannya CDOB; c. tidak melakukan kegiatan
pengadaan dan penyaluran selama 6 (enam) bulan berturut-
turut; dan/atau d. izin PBF atau pengakuan sebagai PBF
Cabang sudah tidak berlaku atau dicabut.
(4) Dalam hal Sertifikat CDOB dicabut sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), PBF dan PBF Cabang dilarang melakukan
kegiatan pengadaan dan penyaluran.

ATURAN PERALIHAN Pasal 23 Sertifikat CDOB yang telah diterbitkan sebelum


berlakunya Peraturan Kepala Badan ini tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya masa berlaku Sertifikat CDOB.
KETENTUAN/PENUTUP Peraturan Kepala Badan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Kepala Badan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia
ASPEK Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Nomor 20 Tahun 2020
JUDUL Bahan Penolong Dalam Pengolahan Pangan
LATAR BELAKANG 1. Bahwa ketentuan mengenai golongan, jenis, dan penggunaan bahan
penolong sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 28 Tahun 2019 tentang Bahan
Penolong dalam Pengolahan Pangan, perlu disesuaikan dengan
perkembangan ketentuan teknis di bidang bahan penolong pada
tingkat internasional serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sehingga perlu diubah;
2. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan tentang Perubahan atas Peraturan Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor 28 Tahun 2019 tentang Bahan Penolong
dalam PengolahanPangan;
DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor -2- 227, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan
Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor
249, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6442);
3. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 180);
4. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 26 Tahun
2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan
Makanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1745);
5. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun
2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di
Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 784) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 29 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun 2018 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 1274);
6. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 28 Tahun
2019 tentang Bahan Penolong dalam Pengolahan Pangan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1213);
KETENTUAN UMUM Peraturan badan pengawas obat dan makanan tentang perubahan atas
peraturan badan pengawas obat dan makanan nomor 28 tahun 2019
tentang bahan penolong dalam pengolahan pangan.
TUJUAN Melindungi masayarakat dari obat maupun makanan yang berbahaya
dan sejenisnya.
MATERI MUATAN Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 28 Tahun 2019 tentang Bahan Penolong dalam
Pengolahan Pangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 1213), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (1) Pasal 4 diubah, sehingga Pasal 4berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Golongan Bahan Penolong sebagaimana dimaksuddalam Pasal 3
huruf a meliputi:
a. bahan pemucat, pencuci, dan/atau pengelupaskulit;
b. bahan penjernih, penyaring, adsorben, dan/ataupenghilang
warna;
c. bahan tambahan untuk air pada ketel uap;
d. enzim;
e. flokulan (flocculating agent);
f. katalis;
g. nutrisi untuk mikroba;
h. pengontrol pertumbuhan mikroorganisme;
i. penjerap enzim;
j. resin penukar ion;
k. Bahan Penolong lainnya;
l. bahan antibuih;
m. bahan kontak pendingin dan pembeku;
n. bahan desikan dan antikempal;
o. bahan pelumas dan antilengket; dan
p. pelarut pengekstrak.
(2) Golongan Bahan Penolong sebagaimana dimaksudpada ayat (1)
memuat jenis Bahan Penolong.
2. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 5 (lima) pasalyakni
Pasal 15A, Pasal 15B, Pasal 15C, Pasal 15D, danPasal 15E
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
Penggunaan Bahan Penolong golongan bahan antibuih sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l yang diizinkan digunakan
dalam proses pengolahan Pangan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Badan ini.
Pasal 15B
Penggunaan Bahan Penolong golongan bahan kontak pendingin dan
pembeku sebagaimana dimaksud dalamPasal 4 ayat (1) huruf m yang
diizinkan digunakan dalamproses pengolahan Pangan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Pasal 15C
Penggunaan Bahan Penolong golongan bahan desikan dan antikempal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf n yang diizinkan
digunakan dalam proses pengolahan Pangan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Pasal 15D
Penggunaan Bahan Penolong golongan bahan pelumas dan antilengket
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf o yang diizinkan
digunakan dalam proses pengolahan Pangan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Pasal 15E
Penggunaan Bahan Penolong golongan pelarut pengekstrak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf p yang diizinkan
digunakan dalam proses pengolahan Pangan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Pasal II
1. Bahan Penolong dan Pangan yang menggunakan Bahan
Penolong yang telah memiliki persetujuan pendaftaran sebelum
Peraturan Badan ini mulai berlaku, harus menyesuaikan dengan
ketentuan dalam Peraturan Badan ini paling lama 12 (dua belas)
bulan terhitung sejak Peraturan Badan ini diundangkan.
2. Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

MATERI FARMASI -
SANKSI -
ATURAN PERALIHAN Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor
28 Tahun 2019 Tentang Bahan Penolong Dalam Pengolahan Pangan
KETENTUAN / PENUTUP -

ASPEK Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan


Nomor 15 Tahun 2019
JUDUL Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Registrasi
Obat
LATAR BELAKANG 3. bahwa untuk dapat terwujudnya percepatan pelayanan publik,
ketentuan mengenai kriteria dan tata laksana registrasi obat
khususnya mengenai jalur evaluasi obat dan surat pemberitahuan
persetujuan (approvable letter) sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24
Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat
sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Obat
sehingga perlu diubah;
4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 tentang
Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat;
DASAR HUKUM 7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
8. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 180);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008
tentang Registrasi Obat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1120/Menkes/Per/XII/2008 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat;
10. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 26 Tahun
2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan
Makanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1745);
KETENTUAN UMUM Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1692)
TUJUAN
MATERI MUATAN Pasal I
Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1692) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37 (1) Jalur evaluasi terdiri atas:
q. jalur 7 (tujuh) Hari meliputi Registrasi Obat khusus ekspor;
r. jalur 10 (sepuluh) Hari meliputi Registrasi Ulang;
s. jalur 40 (empat puluh) Hari meliputi Registrasi Variasi Minor;
t. jalur 50 (lima puluh) Hari meliputi Registrasi pertama Obat
Pengembangan Baru oleh industri farmasi yang melakukan
investasi di Indonesia;
u. jalur 75 (tujuh puluh lima) Hari meliputi Registrasi pertama
Obat Generik Pertama oleh industri farmasi yang melakukan
investasi di Indonesia dan Registrasi Variasi Obat Baru dan
Produk Biologi terkait mutu yang telah disetujui paling sedikit
di 1 (satu) negara dengan sistem evaluasi yang telah dikenal
baik;
v. jalur 100 (seratus) Hari meliputi:
1. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang
diindikasikan untuk terapi penyakit serius yang mengancam nyawa
manusia (life saving), dan/atau mudah menular kepada orang lain,
dan/atau belum ada atau kurangnya pilihan terapi lain yang aman
dan efektif;
2. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang berdasarkan
justifikasi diindikasikan untuk penyakit serius dan langka (Orphan
Drug) di Indonesia;
3. Registrasi Baru Obat Baru, Produk Biologi, Obat Generik, dan
Obat Generik Bermerek ditujukan untuk program kesehatan
nasional yang dilengkapi dengan dokumen penunjang kebutuhan
program atau hasil prakualifikasi Badan Kesehatan Dunia (World
Health Organization);
4. Registrasi pertama Obat Baru dan Produk Biologi oleh industri
farmasi yang melakukan investasi di Indonesia;
5. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang telah
melalui proses Obat
MATERI FARMASI Pasal 51
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a
diberitahukan secara tertulis kepada Pendaftar berupa:
a. Izin Edar;
b. persetujuan khusus ekspor; atau
c. persetujuan Registrasi Variasi. - 7
(2) Izin Edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan
apabila hasil pembuatan Obat skala komersial memenuhi persyaratan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, Obat yang belum dibuat dalam skala komersial dapat
diterbitkan Surat pemberitahuan persetujuan (approvable letter) dalam
rangka persiapan pembuatan Obat skala komersial.
SANKSI -
ATURAN PERALIHAN Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Tentang Perubahan
Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 24
Tahun 2017 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Registrasi Obat
KETENTUAN / PENUTUP -
ASPEK Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2021
JUDUL Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan
LATAR Bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 61 dan pasal 15 huruf b
BELAKANG Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yentang Cipta Kerja, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang
Perumahsakitan
DASAR HUKUM 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
2. Undang-Undang nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072)
3. Undang0Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
(Lembaga Negara Republik Indonesia tahun 2020 Nomor 245,
Tambahan Lembaran Negara Repubik Indoneisa Nomor 6573)
KETENTUAN Undang-undang No. 11 Tahun 2020
HUKUM Tentang Cipta Kerja
TUJUAN Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Perumah Sakitan
MATERI 1. Klasifikasi Rumah Sakit
MUATAN 2. Kemampuan Pelayanan
3. Fasilitas Kesehatan dan Sarana Penunjang
4. Sumberdaya Manusia
5. Perubahan Kelas
MATERI Pasal 9
FARMASI Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2)
huruf c terdiri atas:
a. Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi dan Bahan Habis Pakai
yang dilakukan oleh instalasi farmasi satu pintu.
b. Pelayanan Farmasi Klinik
Pasal 9
Huruf a yang dimaksud dengan “Pengelolaan Alat Kesehatan oleh
Instalasi Farmasi sistem satu pintu” adalah pengolahan alat medis habis
pakai atau peralatan non elektro medik antara lain: alat kontrasepsi IUDI,
alat pemicu jantung, implan dan stent.
SANKSI Sanksi administratif
ATURAN Rumah Sakit tetap dapat menyelenggarakan pelayanan rawat inap sesuai
PERALIHAN/ dengan kelas perawatan yang dimiliki sampai diselenggarakannya
PENUTUP pelayanan rawat inap kelas standar sebagaimana dimaksud dalam pasal
18.
Pelayanan rawat inap kelas standar ditetapkan paling lambat 1 Januari
2023.

HIRARKI

PP NO. 20 THN 1962


PP NO. 19 THN 2005
PP NO. 31 THN 2019
PP NO. 32 THN 1996
PP NO. 32 THN 2019
PP NO. 23 THN 2004 JO 10 THN 2018
PP NO. 24 THN 2018
PMK NO. 1190 THN 2010 JO 7 THN 2020
PMK NO. 1010 THN 2008
PMK NO. 007 THN 2012
PMK NO. 1176 THN 2010
PERATURAN PRESIDEN NO. 16 THN 2018
PMK NO. 1190 THN 2010 JO 26 THN 2018
PKaBPOM NO. 24 THN 2017
PKaBPOM NO. 25 THN 2017
PKaBPOM NO. 20 THN 2020
PKaBPOM NO. 15 THN 2019
PP NO. 47 TAHUN 2021
ASPEK PP NOMOR 20 TAHUN 1962

JUDUL LAFAL SUMPAH /JANJI APOTEKER

LATAR BELAKANG Perlu menetapkan lafal sumpah/ janji apoteker

DASAR HUKUM Pasal 5 ayat 2 UU Dasar, pasal 10 ayat (3) UU No.9 tahun 1960

KETENTUAN HUKUM PP tentang lafal sumpah / janji apoteker

TUJUAN Menetapkan lafal sumpah/ janji apoteker

ISI 7. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan


perikemanusiaan, terutama dalam bidang kesehatan ;
8. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui
karena pekerjaan saya dan keilmuan saya sebagai apoteker;
9. Sekalipun diancam , saya tidak akan mempergunakan
pengetahuan kefarmasian saya untuk sesuatu yang
bertentangan dengan hukum perikemanusiaan;
10. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian;
11. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berithiar
dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh
pertimbangan Keagamaan , Kebangsaan, Kesukuan, Politik,
Kepartaian atau Kedudukan Sosial;
12. Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh – sungguh
dan dengan penuh keinsyafan.
SANKSI -

KETENTUAN -
PERALIHAN /
PENUTUP
ASPEK PP NO. 19 TAHUN 2005

JUDUL Standar Nasional Pendidikan

LATAR Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 35 ayat 4, Pasal 36 ayat 4,


BELAKANG / Pasal 37 ayat 3, Pasal 42 ayat 3, Pasal 43 ayat 2, Pasal 59 ayat 3, Pasal
ALASAN 60 ayat 4, dan Pasal 61 ayat 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
DITERBITKAN tentang Sistem Pendidikan Nasional
5. Pasal 5 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945
DASAR HUKUM 6. UU RI No. 20 tahun 2003 (Lembaran Negara tahun 2003 No. 78
Tambahan lembaran Negara No. 4301).
Pengertian: standar nasional pendidikan, pendidikan formal, pendidikan
nonformal, standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses,
standar pendidik, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan,
standar pembiayaan, standar penilaian, biaya operasi satuan pendidikan,
KETENTUAN kurikulum, kerangka dasar kurikulum, kurikulum satuan tingkat
UMUM pendidikan, peserta didik, penilaian, evaluasi pendidikan, ualangan,
ujian, akreditasi, badan standar nasional pendidikan, departemen,
lembaga penjaminan mutu pendidikan, badan akreditasi nasional
sekolah/madrasah, badan akreditasi pendidikan non formal, badan
akreditasi nasional perguruan tinggi, menteri.
Sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
TUJUAN pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasioanl yang
bermutu.
- Standar isi
- Standar proses
- Standar kompetensi lulusan
- Standar pendidik dan tenaga kependidikan
- Standar sarana dan prasarana
MATERI - Standar pengelolaan
MUATAN/ASPEK - Standar pembiayaan
YANG DIATUR - Standar penilaian pendidikan
- Badan standar nasional pendidikan (BSNP)
- Evaluasi
- Akreditasi
- Sertifikasi
- Penjaminan mutu
MATERI
-
FARMASI

SANKSI -
ASPEK PP No. 31 Tahun 2019

JUDUL TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

Bahwa untuk melakseake ketentuan pasal 11, pasai 16, Pasal 2l ayat
LATAR (s), pasat 44 ayat (3), pasat 46 ayat (3), pasal 47 ayat (4), Pasal 52, dd
BELAKANG / pasal 67 ayat (3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2O14 tentang
ALASAN jaminan produk halal, perlu menetapkkan peraturan pemerintah
DITERBITKAN tentang peraturan pelaksanaan Undang- Undang Nomor 33 Tahun
2014 tentang jaminan Produk halal:

TUJUAN Perusahaan wajib memiliki sertifikat Halal

7. Pasal 5 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945


8. UU RI No. 33 tahun 2014 tentang jaminan produk halal (lembaran
DASAR HUKUM
negara repoblik Indonesia tahun 2014 nomor 295, tambahan
lembaran negara repoblik Indonesia Nomor 5604)
 Jaminan Produk Halal, yang selanjutnya disingkat JPH adalah
kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan
dengan sertifikat Halal
 Produk adalah barang dan atau/ jasa yang terkait dengan makanan,
minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk
rekayasa ginetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau
dimanfaatkan oleh masyarakat.
 Produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai
KETENTUAN
dengan syariat islam.
UMUM
 Produk halal, yang selanjutnya disingkat pph adalah rangkaian
kegiatan untuk menjamin kehalalan produk cangkupan penyediaan
bahan, pendistribusian , penjualan, dan penyajian produk.
 Serifikat halal adalah pengakuuan kehalalan suatu produk yang
dikeluarkan pleh badan penyelanggara jaminan produk halal
berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh majelis
Ulama Indinesia.

MATERI Dalam rangka pemberian pelayanan publik, pemerintah bertanggung


MUATAN/ASPEK jawab dalam menyelengarakan JPH, yang pelaksanaanya dilakukan
YANG DIATUR oleh BPJPH dan bekerja sama, antara lain dengan kementrian yang
menyelengarakan urusan urusan pemerintah dibidang perindustrian,
perdagangan, Kesehatan, pertanian, koperasi dan usaha kecil dan
menegah, luar negri, dan Lembaga pemerintah non kementrian atau
Lembaga nonstruktural yang melaksanakan tugas pemerintah dibidang
pengawasan obat dan makanan, standarrisasi dan penilaian kesesuaia,
dan akreditasi serta LPH dan MUI.
Ketentuan yang mengenai kerja sama internasional dalam bidang JPH,
dalam bentuk pengembangan, JPH, penilaian kesesuaian, dan atau
pengakuan sertifikat Halal.

MATERI
-
FARMASI

SANKSI -
Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan
pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur
KETENTUAN
mengenai JPH dan peraturan perundang-undangan lain yang terkait,
PENUTUP
dinyatakan msih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam peraturan pemerintah ini.
ASPEK PP NO 32 TH 1996
JUDUL Tenaga Kesehatan
LATAR BELAKANG Pelaksanaan ketentuan UU No. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan, dipandang perlu menetapkan PP
DASAR HUKUM Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, UU NO. 23 Tahun 1992 Tentang
Kesehatan
KETENTUAN UMUM Tenaga Kesehatan, Sarana Kesehatan, Upaya Kesehatan, Menteri
TUJUAN Menetapkan PP tentang Tenaga Kesehatan
ISI Jenis Tenaga Kesehatan, Persyaratan, Perencanaan, Pengadaan
dan Penempatan, Standar Profesi dan Perlindungan Hukum,
Ikatan Profesi, Tenaga Kesehatan WNA, Pembinaan dan
Pengawasan, Ketentuan Pidana
SANKSI Pidana denda
KETENTUAN 3. Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang
PENUTUP berhubungan dengan tenaga kesehatan yang telah ada
dinyatakan masih tetap berlaku, jika tidak bertentangan
dan/atau belum diganti
4. PP ini berlaku sejak tanggal diundangkan
ASPEK PP No 32 Tahun 2019
JUDUL RENCANA TATA RUANG LAUT
LATAR BELAKANG 5. Wilayah laut sebagai bagian terbesar wilayahIndonesia
merupakan modal strategis nasional untukpembangunan
yang perlu direncanakan dan dikelolasecara baik dan benar
6. Pengelolaan ruang laut yang meliputiperencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, danpengendalian dilakukan
untuk melindungi sumber dayadan lingkungan serta untuk
memanfaatkan potensisumber daya atau kegiatan di wilayah
laut yang berskalanasional dan internasional
7. Untuk melaksanakan pengelolaan ruang laut
8. Rencana tata ruang laut merupakan hasil dari proses
perencanaan tata ruang laut sebagaimana diaturdalam Pasal
43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2Ol4 tentang
Kelautan dan sebagai komplemendari Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional;
Dasar Hukum 6. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
RepublikIndonesia Tahun 1945
7. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentangPengesahan
United Nations Conuention on the Lana of theSea
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentangHukum Laut
8. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2OO7 tentang Penataan
Ruang
9. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2Ol4 tentang Kelautan
10. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
KETENTUAN UMUM Definisi: Laut, Kelautan, Tata Ruang Laut, Struktur Ruang
Laut, Pola Ruang Laut, Rencana Tata Ruang Laut, Wilayah
Perairan, Wilayah Yurisdiksi, Wilayah Pertahanan Negara,
Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan
Strategis Nasional, Kawasan Strategis Nasional Tertentu,
Benda Muatan Kapal Tenggelam, Cagar Budaya, Kawasan
Antarwilayah, Peraturan Pemanfaatan Ruang, Sentra Kelautan
dan Perikanan Terpadu, Pulau Kecil, Pulau-Pulau Kecil
Terluar, Alur Laut, Alur Pelayaran, Perikanan, Pergaraman,
Wisata Bahari, Pertambangan, Sumber Daya Kelautan, Sumber
Daya Ikan, Industri Maritim, Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Nelayan Kecil, Nelayan Tradisional, Pembudi Daya
Ikan Kecil, Ruang Penghidupan, Menteri
TUJUAN 8. Penyusunan rencana pembangunan jangka panjangnasional
bidang Kelautan;
9. Penyusunan rencana pembangunan jangka menengah
nasional bidang Kelautan
10. Perwujudan keterpaduan dan keserasian pembangunan serta
kepentingan lintas sektor dan lintas wilayah dalam
memanfaatkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang Laut
11. Penetapan lokasi dan fungsi ruang Laut untuk kegiatanyang
bernilai strategis nasional
12. Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
13. Perencanaan zor,asi kawasan Laut; dan
14. Arahan dalam pemberian izin lokasi perairan dan izin
pengelolaan perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil serta di Laut
MATERI MUATAN/ Rencana Tata Ruang Laut Wilayah Perairan, Penetapan
ASPEK YANG DIATUR Kawasan Strategis Nasional Dan Kawasan Antar Wilayah,
Rencana Tata Ruang Laut Wilayah Yurisdiksi, Arahan
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Laut, Ketentuan Lain-Lain,
Ketentuan Penutup
MATERI FARMASI
SANKSI
ATURAN 3. RTRL ini berlaku selama 20 (dua puluh) tahun
PERALIHAN/PENUTUP 4. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan
ASPEK PP 10/2018
JUDUL Badan Nasional Sertifikasi Profesi
4. Karena dalam mewujudkan tenaga kerja profesional yang memiliki
keterampilan, keahlian, dan kompetensi perlu peningkatan kualitas
sumber daya manusia ketenagakerjaan yang berdayasaing dan memiliki
LATAR
standar global.
BELAKANG/
5. Karena saat ini telah ditetapkan PP 23/2OO4 tentang Badan Nasional
ALASAN
Sertifikasi Profesi sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UU
DITERBITKAN
13/2OO3 tentang Ketenagakerjaan.
6. Karena PP 23/2004 tentang Badan Nasional Sertilikasi Profesi perlu
dilakukan penyempurnaan untuk menyesuaikan kebutuhan saat ini.
3. Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945
DASAR HUKUM
4. UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
Berisi definisi dari: Sertifikasi Kompetensi Kerja, Badan Nasional
KETENTUAN
Sertifikasi Profesi (BNSP), Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Lisensi,
UMUM
Profesi, Menteri.
4. Untuk mewujudkan tenaga kerja profesional yang memiliki
keterampilan, keahlian, dan kompetensi.
5. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (5) UU 13/2OO3 tentang
TUJUAN
Ketenagakerjaan.
6. Untuk menyempurnakan PP 23/2004 tentang Badan Nasional Sertilikasi
Profesi agar sesuai dengan kebutuhan saat ini.
BAB I Ketentuan Umum (Pasal 1); BAB II Pembentukan dan Tugas (Pasal
2-4); BAB III Organisasi (Bagian I: Keanggotaan (Pasal 5-7), Bagian II:
MATERI
Sekretariat (Pasal 8), Bagian III: Kelompok Kerja dan Tenaga Ahli (Pasal
MUATAN/
9)); BAB IV Pengangkatan, Pemberhentian dan Penggantian (Pasal 10-19);
ASPEK YANG
BAB V Tata Kerja (Pasal 20-21); BAB VI Pembiayaan (Pasal 22); BAB
DIATUR
VII Ketentuan Lain-Lain (Pasal 23); BAB VIII Kententuan Peralihan
(Pasal 24); BAB IX Ketentuan Penutup (Pasal 25-26); Penjelasan.
Pasal 1 Angka 5 (Pengertian Profesi), Pasal 6 dan 7 (Keanggotaan BNSP),
MATERI Pasal 10-19 (Pengangkatan, Masa Jabatan, Hak, Pemberhentian,
FARMASI Penggantian Anggota BNSP, Masa Jabatan Anggota Pengganti, Kewajiban
dan Penilaian Kinerja Anggota BNSP).
SANKSI -
3. Semua peraturan pelaksanaan dari PP 23/2OO4 tentang Badan Nasional
ATURAN Sertifikasi Profesi sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
PERALIHAN/ Pemerintah ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkarrnya peraturan
PENUTUP pelaksanaan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
4. PP 23/2OO4 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi dinyatakan
dicabut dan tidak berlaku.
ASPEK PP 24 TAHUN 2018
JUDUL Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik
LATAR BELAKANG 3. bahwa dalam rangka percepatan dan
peningkatan penanaman modal dan berusaha,
perlu menerapkan pelayanan Perizinan Berusaha
terintegrasi secara elektronik;
4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 25 Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal serta Pasal 6 dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua AtasUndang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik;
DASAR HUKUM 4. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah
KETENTUAN UMUM Definisi:
Penerintah pusat, pemerintahan daerah, pemerintah
daerah, Perizinan Berusaha, OSS, Pelaku Usaha,
Pendaftaran, Izin Usah, Izin Komersial atau
Operasional, Komitmen, Lembaga Pengelola dan
Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga
OSS, Nomor Induk Berusaha, Nomor Pokok Wajib
Pajak, Tanda Daftar Perusahaan, Angka Pengenal
Importir, Nomor Induk Kependudukan, Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing, Izin Lokasi, Izin
Lokasi Perairan, Rencana Detail Tata Ruang, Izin
Lingkungan, Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
UpayaPemantauan Lingkungan Hidup, Analisis
Dampak Lingkungan Hidup, RencanaPengelolaan
Lingkungan Hidup, Rencana Pemantauan Lingkungan
Hidup, Izin Mendirikan Bangunan, Pelayanan Terpadu
Satu Pintu, Dokumen Elektronik, Tanda Tangan
Elektronik
TUJUAN 4. Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
5. Kekuasaan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diuraikan dalam berbagai urusan
pemerintahan yang pelaksanaannya dilakukan
oleh kementerian negara dan penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
6. Urusan pemerintahansebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mencakup kewenangan pemberian
PerizinanBerusaha, fasilitas, dan/atau
kemudahan untuk pelaksanaan berusaha.
MATERI MUATAN/ASPEK YG 6. Izin, standar sebelum berlakunya peraturan
DIATUR pemerintah, izin usaha dan izin komersial atau
operasional setelah berlakunya peraturan
pemerintah ini
7. Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan
penyelenggaraan kewenangan pemberian
Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini dan peraturan
perundang-undangan lainnya yang terkait.
8. Peraturan perundang-undangan lainnya yang
terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan peraturan perundang-undangan yang
mengatur kewenangan sektor atau kewenangan
daerah dalam Perizinan Berusaha sepanjang
tidak diatur dalam undang-undang dan tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
9. Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) termasuk pemberian fasilitas dan/atau
kemudahan untuk pelaksanaan berusaha.
10. Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan
kewenangan pemberian Perizinan Berusaha.
MATERI FARMASI -
ATURAN PERALIHAN 9. Jenis, Pemohon, Penerbit Perizinan Berusaha
10. Pelaksanaan Perizinan Berusaha
11. Reformasi Perizinan Berusaha Sektor
12. Sistem OSS
13. Lembaga OSS
14. Pendanaan OSS
15. Insentif atau Disinsentif Pelaksanaan Perizinan
Berusaha melalui OSS
16. Penyelesaian permasalahan dan hambatan
Perizinan Berusaha melalui OSS dansanksi.
KETENTUAN PENUTUP Pada saaat peraturan ini mulai berlaku, PP 24 tahun
2018 tentang pelayanan perizinan berusaha terintegrasi
secara elektronik mengantur mengenai undang-undang,
perizinan, nomer izin, pelayanan, dan peraturan.
ASPEK PMK NO. 7 Tahun 2020

Perubahan Atas Peraturan Mentri Kesehatan No. 51 Tahun


2014 Tentang Pemasukan Alat Kesehatan Melalui Mekanisme
JUDUL Jalur Khusus (Special Access Shceme)

1.Ketentuan pemasukan alat kesehatan melalui mekanisme


jalur khusus yang telah diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 51 Tahun 2014 tentang Pemasukan Alat
Kesehatan melalui Mekanisme Jalur Khusus (Special Access
Scheme) perlu disesuaikan dengan kebutuhan penanggulangan
wabah dan/atau kedaruratan kesehatan masyarakat
LATAR BELAKANG
2. Perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Perubahan atas PMK Nomor 51 Tahun 2014 tentang
Pemasukan Alat Kesehatan melalui Mekanisme Jalur Khusus
(Special Access Scheme)

DASAR HUKUM 1)Pasal 17 ayat (3) UUD Tahun 1945;

2)Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah


Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3273)

3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5063)

4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang


Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 6236)

5) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang


Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781)

6) Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2015 tentang


Kementerian Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 59)

7) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2014 tentang


Pemasukan Alat Kesehatan melalui Mekanisme Jalur Khusus
(Special Access Scheme) (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 1184)

8) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang


Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1508)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 30 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara
Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 945)

Mekanisme Jalur khusus (Special Access Shceme) yang


selanjutnya disingkat SAS, Izin SAS, Alat Kesehetan, SAS
KETENTUAN HUKUM
Donasi, SAS non donasi, Kejadian Luar Biasa yang
selanjutnya disingkat KLB, Direktur Jendral, Mentri

untuk memenuhi alat kesehatan pada keadaan tertentu perlu


mengatur pemasukan dengan menggunakan mekanisme jalur
TUJUAN
khusus tanpa mengurangi jaminan atas keamanan, mutu dan
kemanfaatan bagi pengguna;

Ruang Lingkup pengaturan meliputi kriteria, Izin SAS,


MATERI ATAU MUATAN persyaratan dan tata cara pemasukan, pengawasan, dan
ASPEK YANG DIATUR pelaporan Alat Kesehatan yang dimasukkan melalui SAS
Donasi dan SAS Non Donasi,

A. Menambahkan 1 Pasal yang terdiri dari 3 poin diantara


pasal 6 dan 7, diantaranya berbunyi (1. Alat Kesehatan yang
dimasukkan melalui SAS untuk keperluan penanggulangan
Wabah dan/atau Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dapat
beredar tanpa memiliki Izin sebagaimana dimaksud dalam
MATERI PERUBAHAN
Pasal 5 dan Pasal 6, 2) Pemasukan Alat Kesehatan
ASPEK
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan pengecualian tata niaga impor sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan, 3)Alat
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri
SANKSI Sanksi administratif

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


1379A/Menkes/SK/XI/2002 tentang Pengelolaan dan
KETENTUAN/ Penggunaan Obat, Alat dan Makanan Kesehatan Khusus,
PERALIHAN DAN sepanjang yang mengatur mengenai Pemasukan Alat
PENUTUP Kesehatan melalui SAS dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pemberlakuan PMK No. 7 Tahun 2020

  *** (mengacu pada PMK No. 51 Tahun 2014)***


ASPEK PMK NO 1010 th 2008

JUDUL REGISTRASI OBAT

LATAR BELAKANG 1. Melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak


/ ALASAN memenuhi persyaratan, keamanan dan mutu
DITERBITKAN 2. Permenkes No. 949/Menkes/Per/VI/2000 perlu disederhanakan
dan disesuaikan dengan perkembangan globalisasi dan kebijakan
pemerintah
3. Perlu diatur kembali registrasi obat dengan Peraturan Menteri
Kesehatan

DASAR HUKUM Ordonansi Obat Keras (Stbl. 1949 No. 419), UU No.23 Tahun 1992,
UU No. 5 Tahun 1997, UU No.22 Tahun 1997, UU No.8 Tahun
1999, PP No.72 Tahun 1998, PP No.38 Tahun 2007, PP No.9 Tahun
2005, Permenkes No.1575/Menkes/Per/XI/2005

KETENTUAN Definisi : Izin edar, Obat, Produk Biologi, Registrasi, Obat Kontrak,
UMUM Pemberi kontrak, Penerima kontrak, Obat impor, Penandaan, Obat
palsu, Psikotropika, Narkotika, Peredaran, Produk yang dilindungi
paten, Menteri, Kepala Badan

TUJUAN 1. Obat yang diedarkan di wilayah Indonesia, sebelumnya harus


dilakukan registrasi untuk memperoleh Izin Edar
2. Melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak
memenuhi persyaratan, keamanan, mutu dan kemanfaatan

MATERI MUATAN / Persyaratan registrasi, Tata cara memperoleh izin edar, Pelaksanaan
ASPEK YANG izin edar, Evaluasi kembali
DIATUR

MATERI FARMASI Registrasi Obat narkotika, Registrasi obat kontrak, Registrasi obat
impor, Registrasi obat khusus ekspor, Registrasi obat yang
dilindungi paten,

SANKSI Pidana & sanksi administratif

ATURAN 1. Tetap diproses sesuai dengan Permenkes


PERALIHAN / No.949/MENKES/PER/VI/2000
PENUTUP 2. Registrasi obat jadi yang habis masa berlakunya setelah
ditetapkan peraturan ini, dapat diperpanjang paling lama 2 tahun
3. Dengan berlakunya peraturan ini, maka Permenkes
No.949/MENKES/PER/VI/2000 tentang Registrasi obat jadi dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi
4. Peraturan berlaku pada tanggal ditetapkan

ASPEK PMK RI NO.007 TAHUN 2012

JUDUL REGISTRASI OBAT TRADISIONAL


LATAR PMK No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang izin usaha Industri Obat
BELAKANG / Tradisional dan pendaftaran Obat Tradisonal sudah tidak sesuai lagi
ALASAN dengan perkembangaan IPTEK serta kebutuhan hukum
DITERBITKAN

DASAR HUKUM UU No.8 /1999 ; PMK 246/Menkes/Per/V/1990; UU No.36/2009; PP


51/2009; Keppres No.103/2001; PP 24/2010; KMK
381/Menkes/SK/III/2007; PMK 1144/2010

KETENTUAN Definisi Obat Tradisonal, Izin edar, Registrasi, Importir,


UMUM CPOTB,Industri Obat Tradisonal (IOT), Usaha Kecil Obat Tradisonal
(UKOT), Usaha Mikro Obat Tradisonal (UMOT), Usaha Jamu Racikan,
Usaha Jamu Gendong, Simplisia, Sediaan Galenik, Obat tradisional
produksi dalam Negeri, Obat Tradisional Kontrak, Obat Tradisional
lisensi, Obat Tradisional Impor,Pemberi kontrak, Penerima kontrak,
Sertifikat, CPOTB, Menteri, Kepala BPOM.
TUJUAN Melindungi masyarakat dari peredaran obat tradisional yang tidak
memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu.

MATERI Registrasi Obat Tradisional, izin edar, persyaratan dan registrasi, tata
MUATAN / cara registrasi, evaluasi kembali,kewajiban pemegang nomor izin edar,
ASPEK YANG sanksi.
DIATUR

MATERI Registrasi Obat Tradisional, izin edar, persyaratan dan registrasi, tata
FARMASI cara registrasi, evaluasi kembali,kewajiban pemegang nomor izin
edar, sanksi.

SANKSI Sanksi Administratif


-pembatalan izin edar.
-penarikan dari peredaran dan/atau pemusnahan obat tradisonal yang
tidak memenuhi standard dan/atau persyaratan.

ATURAN 1. PMK No.246/Menkes/Per/1990 tentang izin usaha Industri Obat


PERALIHAN / Tradisional dan pendaftaran Obat Tradisional.
PENUTUP 2. Izin diperbaharui paling lama 2 tahun sejak PMK diundangkan.
ASPEK PMK NO. 1176 Tahun 2010

JUDUL NOTIFIKASI KOSMETIKA

LATAR BELAKANG 1. Bahwa masyarakat perlu dilindungi dari peredaran dan


penggunaan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan mutu
, keamanan dan kemanfaatan;
2. Bahwa peraturan Menteri Kesehatan Nomor
140/Menkes/Per/III/1991 tentang Wajib Daftar Alat Kesehatan,
Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga sudah
tidak sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan hukum;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan no 1 dan nomor 2 maka
perlu menetapkan peraturan Menteri Kesehatan tentang
Notifikasi Kosmetika

DASAR HUKUM UU NO 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen, UU NO 32/2004


Tentang Pemerintahan Daerah, UU NO 36/2009 Tentang
Kesehatan, PP No 72/1998 tentang pengamanan Sediaaan Farmasi
dan Alat kesehatan.

KETENTUAN Definisi: Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksud


UMUM untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (Epidermis
rambut,Kuku , bibir dan organ genital bagian luar), atau gigi dan
mukosa mulut terutama untuk memberdihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memeliharan tubuh pada kondisi baik

TUJUAN Agar setiap kosmetik yag beredar memenuhi standar dan /atau
persyaratan mutu, keamanan dan kemanfaatan sesuai ketentuan
peraturan perundang undangan.

MATERI MUATAN Menetapkan CPKB, Memenuhi persyaratan teknis, yang meliputi


peryaratan keamanan, bahan,penandaan, dan klaim

SANKSI Sanksi administratif berupa:


1. Peringatan tertulis
2. Larangan mengedarkan kosmetika untuk sementara
3. Penarikan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan
4. Pemusnahan kosmetika
5. Penghentian sementara kegiatan produksi dan atau peredaran
kosmetika
ASPEK Peraturan Presiden No 16 Tahun 2018
JUDUL Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah
LATAR BELAKANG
e. bahwa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mempunyai peran
penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional untuk
peningkatan pelayanan publik dan pengembangan perekonomian
nasional dan daerah;
f. bahwa untuk mewujudkan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu pengaturan Pengadaan
Barang/Jasa yang memberikan pemenuhan nilai manfaat yang
sebesar-besarnya (value for money) dan kontribusi dalam
peningkatan penggunaan produk dalam negeri, peningkatan peran
Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah serta
pembangunan berkelanjutan;
g. bahwa Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun
2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor
54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah masih
terdapat kekurangan dan belum menampung perkembangan
kebutuhan Pemerintah mengenai pengaturan atas Pengadaan
Barang/Jasa yang baik;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Presiden
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

DASAR HUKUM 4. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5601);

KETENTUAN Definisi : Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut


UMUM Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa oleh
Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah yang dibiayai oleh
APBN/APBD yang prosesnya sejak identifikasi kebutuhan, sampai
dengan serah terima hasil pekerjaan; Kementerian Negara yang
selanjutnya disebut Kementerian; Lembaga; Perangkat Daerah;
Pemerintah Daerah; Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah yang selanjutnya disingkat LKPP; Pengguna Anggaran
yang selanjutnya disingkat PA; Kuasa Pengguna Anggaran pada
Pelaksanaan APBN yang selanjutnya disingkat KPA; Kuasa Pengguna
Anggaran pada Pelaksanaan APBD yang selanjutnya disingkat KPA;
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK; Unit
Kerja Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat UKPBJ;
Kelompok Kerja Pemilihan yang selanjutnya disebut Pokja Pemilihan;
Pejabat Pengadaan; Pejabat Pemeriksa Hasil Pekerjaan yang
selanjutnya disingkat PjPHP; Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan yang
selanjutnya disingkat PPHP; Agen Pengadaan; Penyelenggara
Swakelola; Pengelola Pengadaan Barang/Jasa; Rencana Umum
Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disingkat RUP; E-
marketplace Pengadaan Barang/Jasa;Layanan Pengadaan Secara
Elektronik ; Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang selanjutnya
disingkat APIP; Pengadaan Barang/Jasa melalui Swakelola yang
selanjutnya disebut Swakelola; Organisasi Kemasyarakatan yang
selanjutnya disebut Ormas;Kelompok Masyarakat;Pengadaan
Barang/Jasa melalui Penyedia;Pelaku Usaha;Penyedia Barang/Jasa
Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia;Barang;Pekerjaan
Konstruksi;Jasa Konsultansi;Jasa Lainnya;Harga Perkiraan Sendiri
yang selanjutnya disingkat HPS;Penelitian; Pembelian secara
Elektronik yang selanjutnya disebut E-purchasing;
Tender;Seleksi;Tender/Seleksi Internasional;Penunjukan
Langsung;Pengadaan Langsung Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa
Lainnya;Pengadaan Langsung Jasa Konsultansi;E-reverse
Auction;Dokumen Pemilihan;Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang
selanjutnya disebut Kontrak;Usaha Mikro;Usaha Kecil;Usaha
Menengah;Surat Jaminan yang selanjutnya disebut Jaminan;Sanksi
Daftar Hitam;Pengadaan Berkelanjutan;Konsolidasi Pengadaan
Barang/Jasa; Keadaan Kahar; Kepala Lembaga.
TUJUAN Pengadaan Barang/Jasa bertujuan untuk:
i. menghasilkan barang/jasa yang tepat dari setiap uang yang
dibelanjakan, diukur dari aspek kualitas, jumlah, waktu, biaya,
lokasi, dan Penyedia;
j. meningkatkan penggunaan produk dalam negeri;
k. meningkatkan peran serta Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha
Menengah;
l. meningkatkan peran pelaku usaha nasional;
m.mendukung pelaksanaan penelitian dan pemanfaatan barang/jasa
hasil penelitian;
n. meningkatkan keikutsertaan industri kreatif;
o. mendorong pemerataan ekonomi; dan
p. mendorong Pengadaan Berkelanjutan.

MATERI KETENTUAN UMUM ; TUJUAN, KEBIJAKAN, PRINSIP, DAN


MUATAN/ASPEK ETIKA PENGADAAN BARANG/JASA; PELAKU PENGADAAN
YANG DIATUR BARANG/JASA; PERENCANAAN PENGADAAN; PERSIAPAN
PENGADAAN BARANG/JASA; PELAKSANAAN PENGADAAN
BARANG/JASA
MELALUI SWAKELOLA; PELAKSANAAN PENGADAAN
BARANG/JASA MELALUI PENYEDIA;PENGADAAN KHUSUS;
USAHA KECIL, PRODUK DALAM NEGERI,
DAN PENGADAAN BERKELANJUTAN;PENGADAAN
BARANG/JASA SECARA ELEKTRONIK; SUMBER DAYA
MANUSIA DAN KELEMBAGAAN; PENGAWASAN,
PENGADUAN, SANKSI, DAN PELAYANAN HUKUM;
KETENTUAN LAIN-LAIN;KETENTUAN
PERALIHAN;KETENTUAN PENUTUP.
MATERI FARMASI -
SANKSI PIDANA DAN DENDA
ATURAN Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
PERALIHAN Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang
Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
KETENTUAN/ Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, semua peraturan
PENUTUP pelaksanaan dari Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti
dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini.
ASPEK PMK no. 1190 th 2010 jo 26 Thn 2018
JUDUL Tentang Izin Edar Alkes dan PKRT
LATAR BELAKANG c. Memberi pengamanan dan melindungi masyarakat
d. Ketentuan izin edar alkes & PKRT perlu disesuaikan dgn
perkembangan dan kebutuhan hukum

DASAR HUKUM 9. UU no.8-1999 ttg Perlindungan Konsumen


10. UU no.32-2004 ttg Pemda, dgn perubahannya yg ke-2 yaitu
UU no.12-2008
11. UU no.36-2009 ttg Kesehatan
12. PP no.72-1998 ttg Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alkes
13. PP no.38-2007 ttg Pembagian Urusan Pemerintah antara
Pemprov dan Pemda
14. PP no.13-2009 ttg Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan
Bukan Pajak yg berlaku pada Depkes
15. PP no.24-2010 ttg Kedudukan, Tugas dan Fungsi
Kementeria Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas dan
Fungsi Eselon 1 Kementerian Negara
16. PMK no.1575-2015 ttg Organisasi dan Tata Kerja Depkes,
dgn perubahannnya yg kedua no.439-2009

KETENTUAN UMUM Alat kesehatan adalah instrumen, apparatus, mesin dan/atau implan
yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat
orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau
membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat
PKRT adalah alat, bahan, atau campuran bahan untuk pemeliharaan
dan perawatan kesehatan untuk manusia, pen
TUJUAN 4. Meningkatkan mutu Pelayanan Kefarmasian;
5. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
6. Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan Obat
yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
(patient safety).
MATERI MUATAN Izin Edar, Penandaan, Iklan, Pemeliharaan Mutu, Ekspor dan Impor,
Perselisihan Keagenan, Peran Serta Masyarakat, Binwas, Ketentuan
Peralihan, Ketentuan Penutup.
MATERI FARMASI Alkes, PKRT, PAK, Izin Edar, Surat Ket.Impor dan Ekspor,
penandaan Etiket/Label
SANKSI  Sanksi Administratif terdiri berupa, Peringatan lisan;
Peringatan tertulis; Pencabutan izin.
 Sanksi pidana, bila pelanggaran mengakibatkan seseorang
mengalami gangguan kesehatan yg serius.

ATURAN PERALIHAN  Pada saat Peraturan ini mulai berlaku:


c. izin edar alat kesehatan dan PKRT yang telah
diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1184/MenKes/Per/X/2004 tentang Pengamanan
Alat Kesehatan Dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan
habis masa berlakunya;
d. permohonan izin edar yang sedang dalam proses
diselesaikan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1184/MenKes/Per/X/2004 tentang
Pengamanan Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga.
 Penyesuaian terhadap ketentuan Peraturan ini dilaksanakan
paling lambat dalam jangka waktu 1 ( satu ) tahun sejak
ditetapkannya Peraturan ini.

KETENTUAN/PENUTUP Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1184/Menkes/Per/X/2004 tentang Pengamanan Alat
Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga sepanjang
mengatur mengenai izin edar alat kesehatan dan PKRT dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
ASPEK PKaBPOM No. 24 Thn 2017
JUDUL KRITERIA DAN TATA LAKSANA REGISTRASI OBAT
LATAR BELAKANG a. melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak
memenuhi persyaratan khasiat, keamanan, dan mutu perlu
dilakukan registrasi obat sebelum diedarkan;
b. ketentuan kriteria dan tata laksana registrasi obat

DASAR HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang


Psikotropika
2. . Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
5. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang Registrasi Obat
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1120/MENKES/PER/XII/2008 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat.
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 16 Tahun 2013 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi
8. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.01.23.12.11.10217 Tahun 2011 tentang
Obat Wajib Uji Ekivalensi
9. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang
Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik
10.Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang
Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik
11.Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan
Makanan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan
Makanan

KETENTUAN UMUM Registrasi Obat yang selanjutnya disebut Registrasi adalah


prosedur pendaftaran dan evaluasi Obat untuk mendapatkan
persetujuan.
4. Registrasi baru
5. Registrassi variasi
6. Registrasi ulang

TUJUAN untuk melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak


memenuhi persyaratan khasiat, keamanan, dan mutu perlu
dilakukan registrasi obat sebelum diedarkan
MATERI MUATAN Definisi, persyaratan kriteria, kategori registrasi,registrasi
obat impor, registrasi narkotik, Registrasi Obat Lisensi,
Registrasi Obat Khusus Ekspor, Registrasi Obat yang
Dilindungi Paten, Registrasi Obat Pengembangan Baru,
Registrasi Obat Generik, Registrasi Orphan Drug, Tata
Laksana Registrasi, Dokumen Registrasi, Tanggung Jawab
Pendaftar, Praregistrasi, Jalur Evaluasi, Registrasi Baru,
Registrasi Variasi, Registrasi Ulang, Contoh Obat dan Baku
Pembanding, Evaluasi, Pemberian Keputusan, Persetujuan,
Penolakan, Peninjauan Kembali, Pengajuan Kembali
Registrasi, Masa Berlaku Izin Edar, Pelaksanaan Izin Edar,
Penilaian Kembali, Sanksi, Ketentuan Lain-Lain, Ketentuan
Peralihan, dan Ketentuan Penutup.
MATERI FARMASI persyaratan kriteria, kategori registrasi,registrasi obat impor,
registrasi narkotik, Registrasi Obat Lisensi, Registrasi Obat
Khusus Ekspor, Registrasi Obat yang Dilindungi Paten,
Registrasi Obat Pengembangan Baru, Registrasi Obat
Generik, Registrasi Orphan Drug, Tata Laksana Registrasi,
Dokumen Registrasi, Tanggung Jawab Pendaftar,
Praregistrasi, Jalur Evaluasi, Registrasi Baru, Registrasi
Variasi, Registrasi Ulang, Contoh Obat dan Baku
Pembanding, Evaluasi, Pemberian Keputusan, Persetujuan,
Penolakan, Peninjauan Kembali, Pengajuan Kembali
Registrasi, Masa Berlaku Izin Edar, Pelaksanaan Izin Edar,
Penilaian Kembali, Sanksi.
SANKSI sanksi administrative:
 peringatan tertulis;
 pembatalan proses Registrasi;
 pembekuan Izin Edar Obat;
 pencabutan Izin Edar Obat; dan/atau
 larangan untuk melakukan pendaftaran selama 2 (dua)
tahun.

ATURAN PERALIHAN Jika Pendaftar melakukan Registrasi yang memiliki lebih dari
1 (satu) kekuatan Zat Aktif, maka harus memiliki perbedaan
spesifikasi antara lain ukuran, bentuk, dan/atau warna.
KETENTUAN/PENUTUP Peraturan Kepala Badan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Kepala Badan ini
dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia
ASPEK PKaBPOM No 25/2017
JUDUL TATA CARA SERTIFIKASI CARA DISTRIBUSI OBAT YANG
BAIK
LATAR BELAKANG Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.03.1.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara
Distribusi Obat yang Baik, perlu menetapkan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Tata Cara Sertifikasi
Cara Distribusi Obat yang Baik;
DASAR HUKUM 14. Ordonansi Obat Keras (Sterkwerkende Geneesmiddelen
Ordonnantie, Staatsblad 1949:419);
15. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3671);
16. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5062); - 2 - 4.
17. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
18. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3781);
19. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
20. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5419);
21. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan
Pengawas Obat dan Makanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 180);
22. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1148/MENKES/PER/VI/2011 Tahun 2011 tentang
Pedagang Besar Farmasi (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 370) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 34
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 Tahun
2011 tentang Pedagang Besar Farmasi (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1097);
23. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.34.11.1.7542 Tahun 2012 tentang
Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1268);
24. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelaksana Teknis (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 1714);
25. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 74);
26. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.4231
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan;

KETENTUAN UMUM 9. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi yang digunakan untuk memengaruhi atau
menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk
manusia.
10. Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun
tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat
dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi
termasuk baku pembanding.
11. Cara Distribusi Obat yang Baik yang selanjutnya disingkat
CDOB adalah cara distribusi/penyaluran Obat dan/atau
Bahan Obat yang bertujuan memastikan mutu sepanjang
jalur distribusi/penyaluran sesuai persyaratan dan tujuan
penggunaannya.
12. Pedagang Besar Farmasi yang selanjutnya disingkat PBF
adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki
izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran Obat
dan/atau Bahan Obat dalam jumlah besar sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
13. PBF Cabang adalah cabang PBF yang telah memiliki
pengakuan untuk melakukan pengadaan, penyimpanan, dan
penyaluran Obat dan/atau Bahan Obat dalam jumlah besar
sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
14. Sertifikat CDOB adalah dokumen sah yang merupakan
bukti bahwa PBF atau PBF Cabang telah memenuhi
persyaratan CDOB dalam mendistribusikan Obat dan/atau
Bahan Obat.
15. Pemohon adalah PBF atau PBF Cabang sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
16. Audit Pemenuhan Persyaratan CDOB yang selanjutnya
disebut Pemeriksaan adalah pemeriksaan secara langsung
terhadap sarana distribusi/penyaluran untuk mengetahui
pemenuhan persyaratan CDOB.

TUJUAN Bertujuan memastikan mutu sepanjang jalur distribusi/penyaluran


sesuai persyaratan dan tujuan penggunaannya.
MATERI MUATAN Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi
yang digunakan untuk memengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,
pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan
kontrasepsi untuk manusia. Bahan Obat adalah bahan baik yang
berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam
pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku
farmasi termasuk baku pembanding.

MATERI FARMASI -
SANKSI sanksi administrative:
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Kepala
Badan ini dapat dikenai sanksi administratif berupa: a.
peringatan secara tertulis; b. penghentian sementara
kegiatan; dan/atau c. pencabutan Sertifikat CDOB.
(6) PBF atau PBF Cabang dapat dikenai sanksi administratif
berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, apabila PBF atau PBF
Cabang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. telah
memiliki izin PBF atau pengakuan sebagai PBF Cabang
lebih dari 12 (dua belas) bulan dan belum mengajukan
permohonan Sertifikat CDOB; b. permohonan Sertifikat
CDOB ditolak; c. telah mendapatkan persetujuan
pembaharuan izin atas perubahan nama, lokasi dan/atau
lingkup kegiatan penyaluran Obat dan/atau Bahan Obat
lebih dari 6 (enam) bulan dan belum mengajukan
permohonan perubahan Sertifikat CDOB; d. telah
mendapatkan persetujuan penambahan atau perubahan
gudang lebih dari 6 (enam) bulan dan belum mengajukan
permohonan perubahan Sertifikat CDOB; atau - 13 - e.
masa berlaku Sertifikat CDOB habis dan belum
mengajukan resertifikasi CDOB.
(7) PBF atau PBF Cabang dapat dikenai sanksi administratif
berupa pencabutan Sertifikat CDOB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, apabila PBF atau PBF Cabang
memenuhi kriteria sebagai berikut: a. terjadi penyimpangan
penerapan CDOB yang mengakibatkan penyalahgunaan
pendistribusian Obat dan/atau Bahan Obat; b. dengan
sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan tidak
terlaksanakannya CDOB; c. tidak melakukan kegiatan
pengadaan dan penyaluran selama 6 (enam) bulan berturut-
turut; dan/atau d. izin PBF atau pengakuan sebagai PBF
Cabang sudah tidak berlaku atau dicabut.
(8) Dalam hal Sertifikat CDOB dicabut sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), PBF dan PBF Cabang dilarang melakukan
kegiatan pengadaan dan penyaluran.

ATURAN PERALIHAN Pasal 23 Sertifikat CDOB yang telah diterbitkan sebelum


berlakunya Peraturan Kepala Badan ini tetap berlaku sampai
dengan berakhirnya masa berlaku Sertifikat CDOB.
KETENTUAN/PENUTUP Peraturan Kepala Badan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Kepala Badan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia
ASPEK Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Nomor 20 Tahun 2020
JUDUL Bahan Penolong Dalam Pengolahan Pangan
LATAR BELAKANG 5. Bahwa ketentuan mengenai golongan, jenis, dan penggunaan bahan
penolong sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 28 Tahun 2019 tentang Bahan
Penolong dalam Pengolahan Pangan, perlu disesuaikan dengan
perkembangan ketentuan teknis di bidang bahan penolong pada
tingkat internasional serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sehingga perlu diubah;
6. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan tentang Perubahan atas Peraturan Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor 28 Tahun 2019 tentang Bahan Penolong
dalam PengolahanPangan;
DASAR HUKUM 11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor -2- 227, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan
Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor
249, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6442);
13. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 180);
14. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 26 Tahun
2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan
Makanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1745);
15. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun
2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di
Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 784) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor 29 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun 2018 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2019 Nomor 1274);
16. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 28 Tahun
2019 tentang Bahan Penolong dalam Pengolahan Pangan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1213);
KETENTUAN UMUM Peraturan badan pengawas obat dan makanan tentang perubahan atas
peraturan badan pengawas obat dan makanan nomor 28 tahun 2019
tentang bahan penolong dalam pengolahan pangan.
TUJUAN Melindungi masayarakat dari obat maupun makanan yang berbahaya
dan sejenisnya.
MATERI MUATAN Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 28 Tahun 2019 tentang Bahan Penolong dalam
Pengolahan Pangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019
Nomor 1213), diubah sebagai berikut:
3. Ketentuan ayat (1) Pasal 4 diubah, sehingga Pasal 4berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 4
(3) Golongan Bahan Penolong sebagaimana dimaksuddalam Pasal 3
huruf a meliputi:
w. bahan pemucat, pencuci, dan/atau pengelupaskulit;
x. bahan penjernih, penyaring, adsorben, dan/ataupenghilang
warna;
y. bahan tambahan untuk air pada ketel uap;
z. enzim;
aa. flokulan (flocculating agent);
bb. katalis;
cc. nutrisi untuk mikroba;
dd. pengontrol pertumbuhan mikroorganisme;
ee. penjerap enzim;
ff. resin penukar ion;
gg. Bahan Penolong lainnya;
hh. bahan antibuih;
ii. bahan kontak pendingin dan pembeku;
jj. bahan desikan dan antikempal;
kk. bahan pelumas dan antilengket; dan
ll. pelarut pengekstrak.
(4) Golongan Bahan Penolong sebagaimana dimaksudpada ayat (1)
memuat jenis Bahan Penolong.
4. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 5 (lima) pasalyakni
Pasal 15A, Pasal 15B, Pasal 15C, Pasal 15D, danPasal 15E
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15A
Penggunaan Bahan Penolong golongan bahan antibuih sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l yang diizinkan digunakan
dalam proses pengolahan Pangan sesuai dengan ketentuan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Badan ini.
Pasal 15B
Penggunaan Bahan Penolong golongan bahan kontak pendingin dan
pembeku sebagaimana dimaksud dalamPasal 4 ayat (1) huruf m yang
diizinkan digunakan dalamproses pengolahan Pangan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Pasal 15C
Penggunaan Bahan Penolong golongan bahan desikan dan antikempal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf n yang diizinkan
digunakan dalam proses pengolahan Pangan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Pasal 15D
Penggunaan Bahan Penolong golongan bahan pelumas dan antilengket
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf o yang diizinkan
digunakan dalam proses pengolahan Pangan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Pasal 15E
Penggunaan Bahan Penolong golongan pelarut pengekstrak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf p yang diizinkan
digunakan dalam proses pengolahan Pangan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Pasal II
3. Bahan Penolong dan Pangan yang menggunakan Bahan
Penolong yang telah memiliki persetujuan pendaftaran sebelum
Peraturan Badan ini mulai berlaku, harus menyesuaikan dengan
ketentuan dalam Peraturan Badan ini paling lama 12 (dua belas)
bulan terhitung sejak Peraturan Badan ini diundangkan.
4. Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

MATERI FARMASI -
SANKSI -
ATURAN PERALIHAN Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor
28 Tahun 2019 Tentang Bahan Penolong Dalam Pengolahan Pangan
KETENTUAN / PENUTUP -

ASPEK Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan


Nomor 15 Tahun 2019
JUDUL Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan
Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Registrasi
Obat
LATAR BELAKANG 7. bahwa untuk dapat terwujudnya percepatan pelayanan publik,
ketentuan mengenai kriteria dan tata laksana registrasi obat
khususnya mengenai jalur evaluasi obat dan surat pemberitahuan
persetujuan (approvable letter) sebagaimana telah diatur dalam
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24
Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat
sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Obat
sehingga perlu diubah;
8. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan
Makanan tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 tentang
Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat;
DASAR HUKUM 17. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
18. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas
Obat dan Makanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 180);
19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/Menkes/Per/XI/2008
tentang Registrasi Obat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1120/Menkes/Per/XII/2008 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat;
20. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 26 Tahun
2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan
Makanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1745);
KETENTUAN UMUM Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1692)
TUJUAN
MATERI MUATAN Pasal I
Beberapa Ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
1692) diubah sebagai berikut:
2. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37 (1) Jalur evaluasi terdiri atas:
mm. jalur 7 (tujuh) Hari meliputi Registrasi Obat khusus
ekspor;
nn. jalur 10 (sepuluh) Hari meliputi Registrasi Ulang;
oo. jalur 40 (empat puluh) Hari meliputi Registrasi Variasi Minor;
pp. jalur 50 (lima puluh) Hari meliputi Registrasi pertama Obat
Pengembangan Baru oleh industri farmasi yang melakukan
investasi di Indonesia;
qq. jalur 75 (tujuh puluh lima) Hari meliputi Registrasi pertama
Obat Generik Pertama oleh industri farmasi yang melakukan
investasi di Indonesia dan Registrasi Variasi Obat Baru dan
Produk Biologi terkait mutu yang telah disetujui paling sedikit
di 1 (satu) negara dengan sistem evaluasi yang telah dikenal
baik;
rr. jalur 100 (seratus) Hari meliputi:
1. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang
diindikasikan untuk terapi penyakit serius yang mengancam nyawa
manusia (life saving), dan/atau mudah menular kepada orang lain,
dan/atau belum ada atau kurangnya pilihan terapi lain yang aman
dan efektif;
2. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang berdasarkan
justifikasi diindikasikan untuk penyakit serius dan langka (Orphan
Drug) di Indonesia;
3. Registrasi Baru Obat Baru, Produk Biologi, Obat Generik, dan
Obat Generik Bermerek ditujukan untuk program kesehatan
nasional yang dilengkapi dengan dokumen penunjang kebutuhan
program atau hasil prakualifikasi Badan Kesehatan Dunia (World
Health Organization);
4. Registrasi pertama Obat Baru dan Produk Biologi oleh industri
farmasi yang melakukan investasi di Indonesia;
5. Registrasi Baru Obat Baru dan Produk Biologi yang telah
melalui proses Obat
MATERI FARMASI Pasal 51
(1) Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf a
diberitahukan secara tertulis kepada Pendaftar berupa:
a. Izin Edar;
b. persetujuan khusus ekspor; atau
c. persetujuan Registrasi Variasi. - 7
(2) Izin Edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan
apabila hasil pembuatan Obat skala komersial memenuhi persyaratan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, Obat yang belum dibuat dalam skala komersial dapat
diterbitkan Surat pemberitahuan persetujuan (approvable letter) dalam
rangka persiapan pembuatan Obat skala komersial.
SANKSI -
ATURAN PERALIHAN Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Tentang Perubahan
Atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 24
Tahun 2017 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Registrasi Obat
KETENTUAN / PENUTUP -
ASPEK Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2021
JUDUL Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan
LATAR Bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 61 dan pasal 15 huruf b
BELAKANG Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 yentang Cipta Kerja, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang
Perumahsakitan
DASAR HUKUM 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
2. Undang-Undang nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072)
3. Undang0Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaga
Negara Republik Indonesia tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran
Negara Repubik Indoneisa Nomor 6573)
KETENTUAN Undang-undang No. 11 Tahun 2020
HUKUM Tentang Cipta Kerja
TUJUAN Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Bidang Perumah Sakitan
MATERI 1. Klasifikasi Rumah Sakit
MUATAN 2. Kemampuan Pelayanan
3. Fasilitas Kesehatan dan Sarana Penunjang
4. Sumberdaya Manusia
5. Perubahan Kelas
MATERI Pasal 9
FARMASI Pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2)
huruf c terdiri atas:
a. Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi dan Bahan Habis Pakai
yang dilakukan oleh instalasi farmasi satu pintu.
b. Pelayanan Farmasi Klinik

Pasal 9
Huruf a yang dimaksud dengan “Pengelolaan Alat Kesehatan oleh Instalasi
Farmasi sistem satu pintu” adalah pengolahan alat medis habis pakai atau
peralatan non elektro medik antara lain: alat kontrasepsi IUDI, alat pemicu
jantung, implan dan stent.
SANKSI Sanksi administratif
ATURAN Rumah Sakit tetap dapat menyelenggarakan pelayanan rawat inap sesuai
PERALIHAN/ dengan kelas perawatan yang dimiliki sampai diselenggarakannya
PENUTUP pelayanan rawat inap kelas standar sebagaimana dimaksud dalam pasal 18.
Pelayanan rawat inap kelas standar ditetapkan paling lambat 1 Januari
2023.
Aspek UU No.32 tahun 2004
Judul PEMERINTAH DAERAH
Latar belakang 1. UU No. 22 tahun 1999 tentang
pemerintah daerah tidak sesuai
dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan dan tuntutan
peyelenggaraan otoniomi daerah
sehingga perlu diganti
2. Pelaksanaan pelayanan
masyarakat yang menjadi ruang
lingkup tugasnya belum dapat
terlaksana pemerintah dasa atau
kelurahan .
3. Penyelenggaraan layanan dasar
lainnya yang belum dapat di
lakukan
Dasar hukum Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 18,
Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal20, Pasal 21,
Pasal 22 D , Pasal 23E ayat (2), Pasal
24A ayat(1), Pasal 31 ayat (4), Pasal 33,
Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,Pasal 13
danPasal 14 ayat (1) danayat (2)
Ketentuan umum Pemerintah pusat, Pemerintah daerah,
Dewan Perwakilan Rakya Daerah,
Otonomi daerah, DesentralisasiTugas
membantu peraturan daerah,Peraturan
kepala Daerah, Desa pertimbangan
keuangan antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah APBD
Tujuan Untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan, pelayanan, pemberdayaan,
dan peran serta masyarakat dapat
meningkatkand daya saing daerah
dengan memperhatikan prinsip
demokrasi, pemerintah, keadilan,
keistimewaan, dan kekhususan suatu
daerah dalam system Kesatuan Republik
Indonesia
Isi Pembetukan daerah dan Kawasan
khusus, pembagian urusan
pemerinta ,penyelenggaraan
pemerintah ,pengawasan daerah,
peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah, kesejahteraaan dan
penyelesaian perselisian ,Kawasan
perkotaan ,desa, pembinaan dan
pengawasan, pertimbangan dan
kebijakan otonomi daerah, ketentuan lain-
lain,ketentuan penutup
Sanksi Pidana
Ketentuan peralihan/penutup 1. Semua ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berkaitan dengan daerah otonom
wajib mendasarkan dan
menyesuaikan peraturan per UU
ini
2. UU ditetapkan 2 tahu sejak UU ini
di tetapkan
3. UU No 22 yahun 1999 tentang
pemerintah daerah dinyatakan
tidak berlaku lagi
PP No 38 tahun 2007

ASPEK UUd no 8 tahun 2005


Judul PENETAPAN PERATURAN
PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2005
TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN
2004 TENTANG PEMERINTAHAN
DAERAH MENJADI UNDANG-UNDANG
Latar belakang 1. peristiwa bencana alam,
kerusuhan, gangguan keamanan,
dan/atau gangguan lainnya di
seluruh atau sebagian wilayah
pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah dapat
mengakibatkan tidak dapat
dilaksanakan pemilihan Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah
sesuai dengan jadwa
2. untuk memberi landasan hukum
yang kuat dalam mengatasi
permasalahan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf
b Pemerintah telah menetapkan
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2005 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan
Daerah
Dasar hukum 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 dan
Pasal 22 UUD RI Tahun 1945;
2. 2. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah RI Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Nomor 4437)
Ketentuan umum mengenai penundaan penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang disebabkan oleh bencana
alam, kerusuhan, gangguan keamanan,
di seluruh atau ebagian wilayah
pemilihan. Penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah
perlu dilakukan dengan menerapkan
prinsip efisiensi dan efektivitas baik yang
berkaitan dengan pemanfaatan dana,
perlengkapan, personil, dengan
memperhatikan kondisi wilayah
Tujuan maka sesuai dengan ketentuan Pasal 22
ayat (1) UUD RI Tahun 1945, Presiden
teleh menetapkan PP Pengganti UU No 3
Tahun 2005 tentang Perubahan Atas UU
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, untuk memberi landasan hukum
yang kuat dalam mengatasi
permasalahan yang mendesak dalam
penyelenggaraan pemilihan kepala
daerah dan wakil kepala daerah. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD
RI Tahun 1945, Peraturan Pemerintah
Pengganti UU harus mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Isi Penundaan pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang berakibat
pemilihan tidak dapat dilaksanakan
sesuai dengan jadwal
Sanksi Pidana

KATALOG 4

KATALOG UU

ASPEK PP 36 TH 2014
JUDUL TENAGA KESEHATAN
LATAR BELAKANG - Kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan
kualitas
- kesehatan sebagai hak asasi manusiaharus diwujudkan dalam
bentuk pemberian berbagai pelayanan kesehtan kepada
seluruh masyarakat
- penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh
tenga kesehatan beryanggung jawab
- diperlukan UU tersendiri yang mengatur tenga kesehatan
secara komperhensif.
DASAR HUKUM - Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
- UU No 36 Th 2009 tentang Kesehatan
KETENTUA HUKUM Definisi: tenaga kesehatan; asisten tenaga kesehatan; fasilitas
pelyanan kesehatan; upaya kesehatan; kopetensi; uji
kopetensi; sertifikat kopetenssi; sertifikat profesi; registrasi;
surat tanda registrasi; SIP; tandr profesi; tandar pelayanan
profesi; standar prosedur oprasional; konsil tenaga keseharan;
organisasi profesi; kolegium; penerima pelayanan kesehatan;
pemerintah; mentri
TUJUAN  memenuhi kebutuhan masyarakat akan Tenaga Kesehatan
 mendayagunakan Tenaga Kesehatan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat
 memberikan pelindungan kepada masyarakat dalam
menerima penyelenggaraan Upaya Kesehatan
 mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan
Upaya Kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Kesehatan
 memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan
Tenaga Kesehatan.
MATERI MUATAN/ Tanggung jawab dan wewenang pemerintah; tenaga
ASPEK YANG kesehatan; asisten tenaga kesehatan; jenis-jenis tenaga
DIATUR kesehatan; perencanaan; pengadaan; dan pendayagunaan
tenaga kesehatan; konsil tenaga kesehatan RI; registrasi dan
perizinan tenaga kesehatan; organisasi profesi; tenag
kesehatan WNIlulusan luar negri; tenaga kesehatan WNA;
hak dan kewajiban tenaga kesehatan; standar profesi; standar
pelayanan profesi; pelindungan hukum; pembinaan dan
pengawsan.
MATERI FARMASI Definisi : Tenaga Kefarmasian
SANKSI Tegur lisan; peringatan tertulis; denda administratif;
pencabutan izin; pidana denda; pidana penjara.
ATURAN 1. Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur
PERALIHAN/ mengenai tenaga kesehatan dinyatakan maasih tetap berlaku,
PENUTUP jika tidak bertentangan.
2. PP No 32 Th 1996 dicabut
3. Sekertariat konsil kedokteran indonesia menjadi sekertariat
konsil tenaga kesehatan indonesia ssetelah terbentuknya
konsil tenaga kesehatan indonesia
4. Pasal 4 ayat (2), pasal 17, pasal 20 ayat (4), dan pasl 21 UU
No. 29 Th 2004 dicabut
ASPEK UU NO 13 TAHUN 2016
JUDUL PATEN
LATAR BELAKANG 1. Kekayaan intelektual yang diberikan oleh negara kepada
(MENIMBANG) inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi yang
mempunyai peranan strategis dalam mendukung
pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan
2. Perkembangan teknologi dalam berbagai bidang telah
sedemikian pesat sehingga diperlukan peningkatan
pelindungan bagi inventor dan pemegang paten
3. Peningkatan pelindungan paten sangat penting bagi
inventor dan pemegang paten karena dapat memotivasi
inventor untuk meningkatkan hasil karya, baik secara
kuantitas maupun kualitas untuk mendorong kesejahteraan
bangsa dan negara serta menciptakan iklim usaha yang
sehat
4. Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang paten sudah
tidak sesuai dengan perkembangan hukum, baik nasional
maupun internasional sehingga perlu diganti
5. Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk
undang-undang tentang paten.

DASAR HUKUM Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
KETENTUAN UMUM Definisi: Peten, Invensi, Inventor, Permohonan, Pemohon,
Pemegang Paten, Kuasa, Pemeriksa Paten, Tanggal
Penerimaan, Hak perioritas, Lisensi, Komisi Banding Paten,
Orang, Royalti, Imbalan, Hari, dan Menteri
MATERI MUATAN/ Lingkup Perlindungan Paten, Permohonan Paten, Pengumuman
ASPEK YANG DIATUR dan Pemeriksaan Substantif, Persetuuan atau Penolakkan
Permohonan, Komisi Banding Paten dan Permohon Banding,
Pengalihan Hak, Lisensi, dan Paten Sebagai Obek aminan
Fidusia, Pelaksanaan Paten Oleh Pemerintah, Paten Sederhana,
Dokumentasi dan Pelayanan Informasi Paten, Penghapusan
Paten, Penyelesaian Sengketa, Penetapan Sementara
Pengadilan, Penyidikan, Perbuatan yang Dilarang, Ketentuan
Pidana, Ketentuan Lain-lain, Ketentuan Peraliahan, Ketentuan
Penutup.
SANKSI Dipidana dengan pidana penjara dan Denda
KETENTUAN a. Permohonan Paten yang sudah diajukan dan telah diproses
PERALIHAN tetapi belum selesai, tetap diselesaikan berdasarkan
peraturan perundang-undangan di bidang Paten sebelum
berlakunya Undang-Undang ini;
b. Permohonan Paten sederhana yang diajukan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten, masa pelindungannya
dihitung sejak tanggal pemberian;
c. Paten yang telah diberikan berdasarkan:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten
sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten; dan
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

KETENTUAN - Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal


PENUTUP diundangkan
- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
UNDANG-UNDANG NO 23 TAHUN 1992

TENTANG KESEHATAN

Ketentuan Umum Pasal 1


Kesehatan adalah sejahtera dari badan,jiwa dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial ,ekonomis dan lain-lain.

Sosial dan tujuan Pasal 2 pembangunan kesehatan


diselenggarakan berasaskan perikemanusiaan
yang berdasarkan keTuhanan yang maha
esa ,manfaat usaha bersama dan
kewargaan,adil dan merata,perikehidupan
dalam keseimbangan serta kepercayaan akan
emampuan dan kekuatan sendiri,dll

Hak dan kewajiban Pasal 4


Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

Tugas dan tanggung jawab Pasal 6


Pemerinta bertugas,mengatur,membina dan
mengevaluasi penyelenggaraan upaya
kesehatan

Pembinaan dan pengawasan bagian pertama Pasal 79


pembinaan Pemerintah melakukan pembinaan terhadap
semua kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggara upaya kesehatan

Ketentuan pidana Pasal 80


Barang siapa dengan sengajah melakukan
tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil
yang tidak memeuni ketentuan sebagai mana
dimaksudpadapasal 15 ayt 1 dabn 2 dipida
dengan denda penjara paling lama 15 tahun
dan pida dendapaling banyak rp
500.000.000.00.
ASPEK UU NO. 23 THN 2019
JUDUL PENGELOLAAN SUMBER DAYA NASIONAL
LATAR BELAKANG 1). bahwa sistem pertahanan negara bersifat semesta yang
melibatkan seluruh sumber daya nasional yang dipersiapkan
secara dini oleh Pemerintah dan diselenggarakan secara total,
terpadu, terarah, dan berkelanjutan untuk menegakkan
kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman
DASAR HUKUM Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (3), Pasal 30 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
KETENTUAN UMUM 1). Sumber Daya Manusia adalah warga negara yang
memberikan daya dan usahanya untuk kepentingan bangsa dan
negara
2). Ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri yang bertentangan dengan Pancasila
dan mengancam atau membahayakan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
keselamatan segenap bangsa.
3) Mobilisasi adalah tindakan pengerahan dan penggunaan
secara serentak Sumber Daya Nasional serta Sarana dan
Prasarana Nasional yang telah dipersiapkan dan dibina sebagai
komponen kekuatan Pertahanan Negara untuk digunakan
secara tepat, terpadu, dan terarah bagi penanggulangan setiap
Ancaman, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta
kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesi.
TUJUAN 1). Memberikan mentransformasikan Sumber Daya Manusia,
Sumber Daya Alam, dan Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan
Prasarana Nasional menjadi kekuatan Pertahanan Negara yang
siap digunakan untuk kepentingan Pertahanan Negara.
MATERI 1). ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
MUATAN/ASPEK 2). BELA NEGARA
UTAMA YANG 3).KOMPONEN PENDUKUNG
DIATUR 4). KOMPONEN CADANGAN
5).MOBILISASI DAN DEMOBILISASI
6). PENDANAAN
7). PENGAWASAN
8). KETENTUAN PIDANA
9). KETENTUAN PENUTUP
MATERI FARMASI Pengabdian sesuai profesi
SANKSI Setiap pejabat yang dengan sengaja menyalahgunakan
kekuasaannya dengan tidak menyerahkan kembali Sumber Daya
Alam, Sumber Daya Buatan, dan/atau Sarana dan Prasarana
Nasional Komponen Cadangan yang telah digunakan dalam
Mobilisasi kepada pemilik semula sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun 4 (empat) bulan.
ATURAN Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
PERALIHAN/PENUTU Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
P pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesi
ANATOMI
UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Aspek UU. No. 13 Tahun 2003

Judul Ketenagakerjaan
Latar Belakang / Alasan a. pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka
Diterbitkan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur,
yang merata, baik materiil maupun spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja
mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat
penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan;
c. bahwa sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga
kerja, diperlukan pembangunan ketenagakerjaan untuk
meningkatkan kualitas tenaga kerja dan peransertanya
dalam pembangunan serta peningkatan perlindungan
tenaga kerja dan keluarganya sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan;
d. bahwa perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan
untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan
menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa
diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan
kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan
tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha;
e. bahwa beberapa undang undang di bidang
ketenagakerjaan dipandang sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan
ketenagakerjaan, oleh karena itu perlu dicabut dan/atau
ditarik kembali;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut
pada huruf a,b,c,d, dan e perlu membentuk Undang-
Undang tentang Ketenagakerjaan
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
Dasar Hukum dan Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945
Definisi : Ketenagakerjaan, Tenaga Kerja, Pekerja/Buruh,
Pemberi Kerja, Pengusaha, Perusahaan, Perencanaan Tenaga
Kerja, Informasi Ketenagakerjaan, Pelatihan Kerja,
Kompetensi kerja, Pemagangan, Pelayanan Penampatan
Tenaga Kerja, Tenaga Kerja Asing, Perjanjian Kerja,
Hubungan Kerja, Hubungan Industrial, Serikat Pekerja/Serikat
Ketentuan Umum
Buruh, Lembaga Kerjasama Bipartit, Lembaga Kerjasama
Tripartit, Peraturan Perusahaan, Perjanjian kerja, Perselisihan
Hubungan Industrial, Mogok Kerja, Penutupan Perusahaan,
Pemutusan Hubungan Kerja, Anak, Siang Hari, Satu Hari,
Seminggu, Upah, Kesejateraan Pekerja/Buruh, Pengawasan
Ketenagakerjaan, Menteri.
a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja
secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan
penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
Tujuan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan; dan
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan
keluarganya.
Landasan, Asas, dan Tujuan, Kesempatan dan Perlakuan yang
Sama, Perencanaan Tenaga Kerja dan Informasi
Materi Muatan / Aspek yang Ketenagakerjaan, Pelatihan Kerja, Penempatan Tenaga Kerja,
Diatur Perluasan Kesempatan Kerja, Penggunaan Tenaga Kerja Asing,
Hubungan Kerja, Perlindungan, Pengupahan dan
Kesejahteraan, Hubungan Industrial, Pemutusan Hubungan
Kerja, Pembinaan, Pengawasan, Penyidikan, Sanksi dan
Pidana.

Materi Farmasi Definisi Tenaga kerja (Pasal 1), Pelatihan Kerja (Pasal 18).

Sanksi Pidana dan Denda


Aturan Peralihan / Penutup Ketentuan Peralihan
Semua peraturan pelaksanaan yang mengatur ketenagakerjaan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum
diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang
undang ini.
Ketentuan Penutup
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, maka :
1. Ordonansi tentang Pengerahan Orang Indonesia Untuk
Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad
Tahun 1887 Nomor 8);
2. Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 Peraturan tentang
Pembatasan Kerja Anak Dan Kerja Malam Bagi Wanita
(Staatsblad Tahun 1925 Nomor 647);
3. Ordonansi Tahun 1926 Peraturan mengenai Kerja Anak
anak Dan Orang Muda Di Atas Kapal (Staatsblad
Tahun 1926 Nomor 87);
4. Ordonansi tanggal 4 Mei 1936 tentang Ordonansi untuk
Mengatur Kegiatan kegiatan Mencari Calon Pekerja
(Staatsblad Tahun 1936 Nomor 208);
5. Ordonansi tentang Pemulangan Buruh Yang Diterima
Atau Dikerahkan Dari Luar Indonesia (Staatsblad
Tahun 1939 Nomor 545);
6. Ordonansi Nomor 9 Tahun 1949 tentang Pembatasan
Kerja Anak anak (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 8);
7. Undang undang Nomor 1 Tahun 1951 tentang
Pernyataan Berlakunya Undang undang Kerja Tahun
1948 Nomor 12 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 2);
8. Undang undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang
Perjanjian Perburuhan Antara Serikat Buruh Dan
Majikan;
9. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang
Penempatan Tenaga Asing;
10. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib
Kerja;
11. Undang undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 tentang
Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock
Out) Di Perusahaan, Jawatan, dan Badan Yang Vital;
12. Undang undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang
Ketentuan ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja;
13. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang
Ketenagakerjaan;
14. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang
Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan;
15. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2000 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1998 tentang
Perubahan Berlakunya Undang-undang Nomor 25
Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Menjadi Undang-
undang, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
ASPEK UU No. 36 Th 2009
JUDUL KESEHATAN
LATAR 1. Kesehatan merupakan hak asasi manusia
BELAKANG 2. Terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar
3. Kesehatan masyarakat dan merupakan tanggungjawab semua
pihak
4. UU No.23 Th 2009 tidak sesuai lagi
DASAR HUKUM Pasal 20, Pasal 28H ayat (1) dan pasal 34 ayat (3) UUD 1945
KETENTU Definisi kesehatan, sumber daya di bidang kesehatan,
AN perbekalan kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan,
HUKUM tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, obat, obat
tradisional, teknologi kesehatan, upaya kesehatan, pelayanan
kesehatan promotif, pelayanan kesehatan preventif,
pelayanan kesehatan kuratif, pelayanan kesehatan kuratif,
pelayanan kesehatan rehabilitatif, pelayanan kesehatan
tradisional, pemerintah pusat, pemerintah daerah, menteri.
TUJUAN 1. Meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya
2. Investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang
produktif secara sosial dan ekonomis
ISI Hak dan kewajiban, tanggung jawab pemerintah, sumber
daya dibidang kesehatan, upaya kesehatan (17 upaya),
kesehatan khusus, gizi, kesehatan jiwa, penyakit menular
dan tidak menular, kesahatan lingkungan. Kesehatan kerja,
pengelolaan kesehatan, informasi
kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta masyarakat,
Badan pertimbangan kesehatan, pembinaan dan
pengawasan, penyidikan dan ketentuan pidana.
SANKSI Pidana Denda dan Penjara
KETENTUA 1. Berlaku 1 th
N 2. Peraturan pelaksanaan UU 23 th 1992 masih berlaku jika tak
PERALUHA bertentangan
N/ 3. UU no.23 th 1992 di cabut
PENUTUP

KATALOG UU

ASPEK UU 7 TH 1963
JUDUL FARMASI
LATAR BELAKANG Bahwa perlu ditetapkan peraturan perundang-undangan
dalam bidang farmasi sebagai pelaksanaan dari pada
Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan dan
Ketetapan M.P.R.S./1960 Lampiran B
DASAR HUKUM - UUD Pasal 5 dan 20 Pada Ayat 1
- UU Pokok-Pokok Kesehatan Pasal 4, 11, dan 14 (UU No.9
th 1960)
- UU No. 6 th 1950 Tentang Tenaga Kesehatan
- UU No. 10 th 1961 Tentang Barang
- UU No. 5 th 1962 Tentang Perusahaan Daerah
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
I/MPRS/1960 dan No. 10 Prp th 1960.
KETENTUA HUKUM Definisi: Perbekalan Kesehatan Dibidang Farmasi; Obat; Obat
Asli Indonesia; Alat Kesehatan; Pekerjaan Kefarmasian;
TUJUAN  Untuk kepentingan rakyat, pemerintah berusaha tercapai
harga obat dan alat kesehatan serendah-rendahnya.
MATERI MUATAN/ Penguasaan perbekalan kesehatan dibidang farmasi yang
ASPEK YANG berbahaya; Obat asli indonesia; Usaha swasta; Ketentuan
DIATUR penutup.
MATERI FARMASI Definisi : Farmasi
SANKSI -
ATURAN 1. Hal-hal yang tidak, belum atau belum cukup diatur dalam
PERALIHAN/ UU ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-
PENUTUP undangan;
2. Peraturan perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan
dibidang farmasi yang bertentangan dengan UU ini, tidak
berlaku lagi sejak diundangkan UU farmasi ini
3. UU ini telah dicabut dengan adanya UU No.23 th 1992.

KATALOG UU
ASPEK UU 7 TH 1963
JUDUL FARMASI
LATAR BELAKANG Bahwa perlu ditetapkan peraturan perundang-undangan
dalam bidang farmasi sebagai pelaksanaan dari pada
Undang-undang tentang Pokok-pokok Kesehatan dan
Ketetapan M.P.R.S./1960 Lampiran B
DASAR HUKUM - UUD Pasal 5 dan 20 Pada Ayat 1
- UU Pokok-Pokok Kesehatan Pasal 4, 11, dan 14 (UU No.9
th 1960)
- UU No. 6 th 1950 Tentang Tenaga Kesehatan
- UU No. 10 th 1961 Tentang Barang
- UU No. 5 th 1962 Tentang Perusahaan Daerah
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.
I/MPRS/1960 dan No. 10 Prp th 1960.
KETENTUA HUKUM Definisi: Perbekalan Kesehatan Dibidang Farmasi; Obat; Obat
Asli Indonesia; Alat Kesehatan; Pekerjaan Kefarmasian;
TUJUAN  Untuk kepentingan rakyat, pemerintah berusaha tercapai
harga obat dan alat kesehatan serendah-rendahnya.
MATERI MUATAN/ Penguasaan perbekalan kesehatan dibidang farmasi yang
ASPEK YANG berbahaya; Obat asli indonesia; Usaha swasta; Ketentuan
DIATUR penutup.
MATERI FARMASI Definisi : Farmasi
SANKSI -
ATURAN 4. Hal-hal yang tidak, belum atau belum cukup diatur dalam
PERALIHAN/ UU ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-
PENUTUP undangan;
5. Peraturan perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan
dibidang farmasi yang bertentangan dengan UU ini, tidak
berlaku lagi sejak diundangkan UU farmasi ini
6. UU ini telah dicabut dengan adanya UU No.23 th 1992.

ASPEK PKM 33 TAHUN 2014


JUDUL TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL
LATAR BELAKANG a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
b. bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan
menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan
pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi
dan digunakan masyarakat;
c. bahwa produk yang beredar di masyarakat belum semua terjamin
kehalalannya;
d. bahwa pengaturan mengenai kehalalan suatu produk pada saat ini
belum menjamin kepastian hukum dan perlu diatur dalam suatu
peraturan perundangundangan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-
Undang tentang Jaminan Produk Halal;
DASAR HUKUM Pasal 20, pasal 21, pasal 28H ayat (1), pasal 28J dan pasal 29 ayat (2),
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
KETENTUAN UMUM Definisi Produk, Produk Halal, Proses Produk Halal, Bahan, Jaminan
Produk Halal, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, Majelis
Ulama Indonesia, Lembaga Pemeriksa Halal, Auditor Halal, Sertifikat
Halal, Label Halal, Pelaku Usaha, Penyelia Halal, Setiap orang,
Menteri.
TUJUAN a. memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian
ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan
menggunakan Produk; dan
b. meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi
dan menjual Produk Halal.
MATERI MUATAN a. Penyelengaraan jaminan produk Halal
b. Bahan dan Produk Halal
c. Pelaku usaha
d. Tata Cara Memperoleh Sertifikat Halal
e. Kerja Sama internasional
f. Pengawasan
ASPEK UU NO. 44 THN 2009
JUDUL RUMAH SAKIT
LATAR BELAKANG 1). Bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi
oleh perkembangan
g. Peserta sertailmuMasyarakat
pengetahuan kesehatan, kemajuan
teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus
tetap h. Ketentuan
mampu Pidanapelayanan yang lebih bermutu dan
meningkatkan
terjangkau oleh masyarakat
i. Ketentuan Peralihan agar terwujud derajat Kesehatan
yang setinggi-tingginya.
j. Ketentuan
2). Bahwa pengaturanpenutup
mengenai rumah sakit belum cukup
memadai untuk dijadikan landasan hukum dalam
MATERI FARMASI Produk, Produk Halal, Proses Produk Halal, Bahan, Jaminan Produk
penyelenggaraan rumah sakit sebagai institusi pelayanan
Halalbagi masyarakat.
Kesehatan
DASAR HUKUM
SANKSI
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat
Peringatan tertulis, denda administrasi, pencabutan sertifikat halal.
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
ATURAN 1945; 1. Sertifikat Halal yang telah ditetapkan sebelumnya masih
KETENTUAN UMUM 1). Rumah Sakit
PERALIHAN/PENUTU berlaku
adalah institusi pelayanan Kesehatan yang
2. Sebelum
menyelenggarakan BPJPHKesehatan
pelayanan dibentuk,perorangan
pengajuansecara
permohonan atau
P paripurna yang perpanjangan
menyediakanSertifikat
pelayananHalal
rawatdilakukan
inap, rawatsesuai
jalan, dengan tata cara
dan gawat darurat.
memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelumnya
2). Pelayanan Kesehatan
3. MUI tetap Paripurna
menjalankanadalah pelayanan
tugasnya Kesehatan
di bidang Sertifikasi Halal
yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
sampai dengan BPJPH dibentuk
3). Pengertian Gawat Darurat, Pasien, Pemerintah Pusat,
Pemerintah 4. Daerah,
LPH yang sudah ada diakui sebagai LPH dan wajib
dan Menteri.
TUJUAN 1). Mempermudahmenyesuaikan paling lama
akses masyarakat untuk2mendapatkan
(dua) tahun terhitung sejak BPJPH
dibentuk.
pelayanan kesehatan
2). Memberikan perlindungan
5. Auditor terhadap
halal yang sudahkeselamatan pasien,
ada wajib menyesuaikan paling lama
masyarakat, lingkungan rumah
2 (dua) tahun sakit dan sumber daya manusia
rumah sakit
6. Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada wajib menyesuaikan
3). Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar
pelayanan rumahpaling lama 2 (dua) tahun
sakit
7. BPJPH
4). Memberikan kepastian harushukum
dibentuk paling
kepada lambat
pasien, 3 (tiga) tahun
masyarakat,
sumber daya8. manusia
Peraturan pelaksanaan
rumah sakit, danUndang-Undang
rumah sakit ini harus ditetapkan
MATERI paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini
MUATAN/ASPEK 1). Tugas dan fungsi RS
diundangkan
2). Tanggung Jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah
UTAMA YANG 9. semua Peraturan Perundang-undangan
3). Persyaratan RS : Umum, Lokasi, Bangunan, Prasarana,yangSDM,mengatur
DIATUR mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
Kefarmasian, Peralatan
bertentangan
4). Jenis dan Klasifikasi RS
5). Perizinan
10. Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan
6). Kewajiban diperdagangkan
dan Hak : RS dan Pasien
di wilayah Indonesia 4 mulai berlaku 5 (lima)
7). Penyelenggaraan : Pengorganisasian, pengelolaan klinik,
tahun
Akreditasi, jejaring dan sistem rujukan, keselamatan pasien,
11. jenis
perlindungan hukum Produk yang bersertifikat
RS, tanggung jawab hukumhalal
daandiatur
bentuksecara bertahap
8). Pembiayaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
9). Pencatatan dan Pelaporan
12. mulai berlaku pada tanggal diundangkan 17 Oktober 2014
10). Pembinaan dan Pengawasan : Umum, Dewas RS, dan Dewas
RS Indonesia.
MATERI FARMASI 1). Persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat,
aman dan terjangkau.
2). Pelayanan sediaan farmasi di Rumah Sakit harus mengikuti
standar pelayanan kefarmasian.
3). Pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan
habis pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi farmasi
system satu pintu.
4). Besaran harga perbekalan farmasi pada instalasi farmasi
ASPEK UU 35/2009
JUDUL NARKOTIKA
LATAR BELAKANG 1. Mewujudkan masyarakat Indonesia
yang sejahtera, adil dan makmur yang
merata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
2. Meningkatkan derajat kesehatan
sumber daya manusia Indonesia dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat
3. Narkotika di satu sisi merupakan
obat atau bahan
yang bermanfaat di bidang pengobatan
atau pelayanan kesehatan dan
pengembangan ilmu pengetahuan dan
di sisi lain dapat pula menimbulkan
ketergantungan yang sangat merugikan
apabila disalahgunakan
4. Tindak pidana Narkotika telah
bersifat
transnasional yang dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang
tinggi
DASAR HUKUM Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD
1945,UU 8/1976,UU 7/1997
KETENTUAN HUKUM Defenisi narkotika,bahan pembuat
narkotik,produk dn penyiapan,import
narkotik,eksport narkotik,peredaran
gelap narkotik,SPI,SPE,Pemindahan
narkotik,pbf,industry farmasi,transit
narkotik,pecandu
narkotika,ketergantungan
narkotik,penyalagunaan narkotik,rehab
medis,rehab social
TUJUAN a. Menjamin ketersediaan Narkotika
untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. Mencegah, melindungi, dan
menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
d. Menjamin pengaturan upaya
rehabilitasi medis dan social bagi
Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.
MATERI MUATAN / ASPEK UTAMA RUANG LINGKUP, PENGADAAN,
YANG DIATUR IMPOR DAN EKSPOR, PEREDARAN,
LABEL DAN PUBLIKASI, PREKURSOR
NARKOTIKA, PENGOBATAN DAN
REHABILITASI, PEMBINAAN DAN
PENGAWASAN, PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN, PENYIDIKAN,
PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI
SIDANG PENGADILAN, PERAN SERTA
MASYARAKAT, PENGHARGAAN,
KETENTUAN PIDANA
MATERI FARMASI Narkotika hanya dapat disalurkan oleh
Industri Farmasi,
pedagang besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan
farmasi.narkotik dapat diserahkan oleh
dekter untuk menjalankan praktik
dokter,
SANKSI Pidana dan penjara
ATURANPERALIHAN/PENUTUP UU5/1997 dan UU 22/1997, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku diganti UU
35/2009
ASPEK UU NO. 23 THN 2019
JUDUL PENGELOLAAN SUMBER DAYA NASIONAL
LATAR BELAKANG 1). bahwa sistem pertahanan negara bersifat semesta yang
melibatkan seluruh sumber daya nasional yang dipersiapkan
secara dini oleh Pemerintah dan diselenggarakan secara total,
terpadu, terarah, dan berkelanjutan untuk menegakkan
kedaulatan negara, menjaga keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman
DASAR HUKUM Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 27 ayat (3), Pasal 30 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
KETENTUAN UMUM 1). Sumber Daya Manusia adalah warga negara yang
memberikan daya dan usahanya untuk kepentingan bangsa dan
negara
2). Ancaman adalah setiap usaha dan kegiatan, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri yang bertentangan dengan Pancasila
dan mengancam atau membahayakan kedaulatan negara,
keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan
keselamatan segenap bangsa.
3) Mobilisasi adalah tindakan pengerahan dan penggunaan
secara serentak Sumber Daya Nasional serta Sarana dan
Prasarana Nasional yang telah dipersiapkan dan dibina sebagai
komponen kekuatan Pertahanan Negara untuk digunakan
secara tepat, terpadu, dan terarah bagi penanggulangan setiap
Ancaman, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri yang
membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta
kelangsungan hidup bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesi.
TUJUAN 1). Memberikan mentransformasikan Sumber Daya Manusia,
Sumber Daya Alam, dan Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan
Prasarana Nasional menjadi kekuatan Pertahanan Negara yang
siap digunakan untuk kepentingan Pertahanan Negara.
MATERI 1). ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
MUATAN/ASPEK 2). BELA NEGARA
UTAMA YANG 3).KOMPONEN PENDUKUNG
DIATUR 4). KOMPONEN CADANGAN
5).MOBILISASI DAN DEMOBILISASI
6). PENDANAAN
7). PENGAWASAN
8). KETENTUAN PIDANA
9). KETENTUAN PENUTUP
MATERI FARMASI Pengabdian sesuai profesi
SANKSI Setiap pejabat yang dengan sengaja menyalahgunakan
kekuasaannya dengan tidak menyerahkan kembali Sumber Daya
Alam, Sumber Daya Buatan, dan/atau Sarana dan Prasarana
Nasional Komponen Cadangan yang telah digunakan dalam
Mobilisasi kepada pemilik semula sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun 4 (empat) bulan.
ATURAN Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
PERALIHAN/PENUTU Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
P pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesi
 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004 TENTANG
PRAKTIK KEDOKTERAN

NO ASPEK UU NO. 29 TAHUN 2004

1. JUDUL Praktik Kedokteran

1. Pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan


kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam
bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh
masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan
LATAR yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
2. BELAKANG/ALASAN 3. Penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari
berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus
DITERBITKAN dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki etik dan
moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-
menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan
pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta
pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan
praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi
4. Untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada
penerima pelayanan kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan
pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik kedokteran.

3. DASAR HUKUM Pasal 20 dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

Definisi : Praktik kedokteran, Dokter dan dokter gigi, Konsil


Kedokteran Indonesia, Sertifikat kompetensi, Registrasi, Registrasi
ulang, Surat izin praktik, Surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi,
Sarana pelayanan kesehatan, Pasien, Profesi kedokteran atau
4. KETENTUAN UMUM kedokteran gigi, Organisasi profesi, Kolegium kedokteran Indonesia
dan kolegium kedokteran gigi

Indonesia, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan


Menteri.

5. TUJUAN 1. Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan


didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan,
keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.
2. Praktik kedokteran bertujuan memberikan perlindungan kepada
pasien.
3. Pengaturan praktik kedokteran bertujuan mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter
dan dokter gigi.
4. Pengaturannya memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,
dokter dan dokter gigi.

KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA, STANDAR PENDIDIKAN


MATERI PROFESI KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN GIGI,
6. MUATAN/ASPEK PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEDOKTERAN DAN
KEDOKTERAN GIGI, REGISTRASI DOKTER DAN DOKTER
YANG DIATUR GIGI, PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN,
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN.

Definisi : Sarana pelayanan kesehatan dan Pasien

Penyelenggaraan praktik kedokteran : Kewenangan praktik


kedokteran, Rekam medis dan Rahasia kedokteran

Pasal 35 : Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda
7. MATERI FARMASI
registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai
dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, beberapa
diantaranya adalah : menulis resep obat dan alat kesehatan,
menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan, meracik dan
menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil
yang tidak ada apotek.

8. SANKSI Pidana denda dan Penjara

Pasal 75 :

(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan
praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan
sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda
registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 76 :
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

Pasal 77 :

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar


atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-
olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter
gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah).

Pasal 78 :

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara
lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang
menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat
tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 79 :

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau


denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap
dokter atau dokter gigi yang : a. dengan sengaja tidak memasang
papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1); b. dengan
sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 46 ayat (1); atau c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, atau huruf e.

Pasal 80 :

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau


dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau
dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

9 KETENTUAN 1. Pada saat diundangkannya Undang-undang ini semua peraturan


PERALIHAN/PENUTUP perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan
dengan pelaksanaan praktik kedokteran, masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan
Undang-undang ini.
2. Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki surat penugasan
dan/atau surat izin praktik, dinyatakan telah memiliki surat tanda
registrasi dan surat izin praktik berdasarkan Undang-undang ini.
Surat penugasan dan surat izin praktik sebagaimana dimaksud
pada harus disesuaikan dengan surat tanda registrasi dokter, surat
tanda registrasi dokter gigi, dan surat izin praktik berdasarkan
Undang-undang ini paling lama 2 (dua) tahun setelah Konsil
Kedokteran Indonesia terbentuk.
3. Pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat
belum terbentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia ditangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi di
Tingkat Pertama dan Menteri pada Tingkat Banding. Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi dan Menteri dalam menangani pengaduan
sebagaimana dimaksud membentuk Tim yang terdiri dari unsur-
unsur profesi untuk memberikan pertimbangan. Putusan
berdasarkan pertimbangan Tim dilakukan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi atau Menteri sesuai dengan fungsi dan
tugasnya.
4. Untuk pertama kali anggota Konsil Kedokteran Indonesia
diusulkanoleh Menteri dan diangkat oleh Presiden. Keanggotaan
Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud berlaku
untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun sejak diangkat.
5. Dengan disahkannya Undang-undang ini maka Pasal 54 Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang berkaitan
dengan dokter dan dokter gigi, dinyatakan tidak berlaku lagi.
6. Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
84 harus dibentuk paling lama 6 (enam) bulan sejak
Undangundang ini diundangkan.
7. Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 harus dibentuk paling lambat 1 (satu) bulan sebelum masa
jabatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam
8. Undang-undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal
diundangkan.

Anda mungkin juga menyukai