Anda di halaman 1dari 22

Undang-Undang Farmasi

Disusun Oleh Kelompok 1 :

Adelia Unayah : 202151041


Ariska Nurchotimah : 202151065
Bagas Satrio Wibowo : 202151048
Fadhil Atthallah : 202151041
Maldino Akbar : 202151063
Yayang Putri Arini : 202151072

Dosen Pengampu : Emmy Cholida,Dra.M.H.,Apt.


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010
TENTANG INDUSTRI FARMASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTRI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
a. Pengaturan industri farmasi yg komprehensif bertujuan untuk mengantisipasi penerapan perdagangan
internasional di bidang farmasi
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 245/Menkes/SK/X/1990 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemberian Izin
Usaha Industri Farmasi
c. Pertimbangan yg dimaksu dlm huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Industri Farmasi

Mengingat :
d. Ordonansi Obat Keras (Staatsblad Nomor 419 Tahun 1949)
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16
TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI
KESEHATAN NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI
FARMASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
a. bahwa dalam rangka menjamin keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu obat dan/atau bahan obat serta
ketersediaannya bagi masyarakat, perlu memberikan landasan hukum yang memacu percepatan
pembaharuan izin industri farmasi sesuai ketentuan yang berlaku;
b. bahwa industri farmasi masih banyak yang belum melakukan pembaharuan izin sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1799/Menkes/Per/ XII/2010 tentang Industri Farmasi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi;
Mengingat :
1. Ordonansi Obat Keras (Staatsblad Nomor 419 Tahun 1949);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
6. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062);
7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan
Pengembangan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 23, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3330);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3596);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3781);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4975);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5126);
14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285);

15. Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1987 tentang Penyederhanaan Pemberian Izin Usaha
Industri;

16. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan
Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen;

17. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian
Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;

18. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/ Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585);

19. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799/Menkes/ Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 721);
MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN


MENTERI KESEHATAN NOMOR 1799/MENKES/PER/XII/2010 TENTANG INDUSTRI FARMASI.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang
Industri Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 721), diubah sebagai
berikut:

1. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30

(1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, persetujuan prinsip yang telah dimiliki tetap
berlaku sebagai salah satu tahap untuk memperoleh izin industri farmasi berdasarkan Peraturan
Menteri ini.
(2) Permohonan izin industri farmasi yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri
ini tetap diproses berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 245/Menkes/SK/X/1990
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi.

(3) Izin industri farmasi yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
245/Menkes/SK/X/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha
Industri Farmasi dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2013.

(4) Izin industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diperbaharui berdasarkan
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lambat tanggal 31 Desember 2013.

(5) Dalam hal Industri Farmasi tidak melakukan pembaharuan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), maka Industri Farmasi yang bersangkutan harus mengajukan permohonan izin industri
farmasi sesuai ketentuan dalam Bab II Peraturan Menteri ini.
2. Di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 30A, yang berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 30A
(1) Permohonan pembaharuan izin industri farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4)
harus diajukan oleh pemohon dengan kelengkapan sebagai berikut:
a. surat permohonan kepada Direktur Jenderal yang ditandatangani oleh direktur utama dan
apoteker penanggung jawab pemastian mutu;
b. surat izin industri farmasi sebelumnya yang asli;
c. fotokopi sertifikat CPOB berdasarkan bentuk sediaan;
d. daftar kapasitas produksi pertahun dan bentuk sediaan yang diproduksi;
e. surat persetujuan penanaman modal untuk Industri Farmasi dalam rangka Penanaman Modal
Asing atau Penanaman Modal Dalam Negeri;
f. daftar peralatan dan mesin yang digunakan;
g. daftar dan jumlah tenaga kerja dan kualifikasinya;
h. fotokopi sertifikat izin lingkungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
i. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
j. rekomendasi pembaharuan izin dari Kepala Dinas Kesehatan Provinsi;
k. daftar pustaka wajib antara lain Farmakope Indonesia edisi terakhir;
l. surat pernyataan yang asli mengenai kesediaan bekerja penuh dari masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker
penanggung jawab pemastian mutu;
m. fotokopi surat pengangkatan bagi masing-masing apoteker penanggung jawab produksi,
apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu
dari pimpinan perusahaan;
n. fotokopi ijazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) dari masing-masing apoteker
penanggung jawab produksi, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker
penanggung jawab pemastian mutu; dan
o. surat pernyataan komisaris dan direksi tidak pernah terlibat baik langsung atau tidak langsung
dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang kefarmasian.

(2) Paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya permohonan
pembaharuan izin industri farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dinyatakan lengkap,
Direktur Jenderal menerbitkan izin industri farmasi dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 10 terlampir.
Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Februari 2013 MENTERI


KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

NAFSIAH MBOI

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Maret 2013 MENTERI HUKUM


DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN
BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN


MAKANAN

NOMOR 34 TAHUN 2018

TENTANG

PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG


BAIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN,
Menimbang :

a. bahwa Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik sebagaimana telah


diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara
Pembuatan Obat yang Baik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 13 Tahun 2018 tentang
Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman
Cara Pembuatan Obat yang Baik, perlu disesuaikan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pembuatan obat dan bahan obat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
perlu menetapkan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang
Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik;

Mengingat :

1. Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat


dan Makanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
180);

2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799/ MENKES/PER/XII/2010


tentang Industri Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 721) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 16 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 442);
3. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 26 Tahun 2017
tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1745);

4. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun 2018


tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2018 Nomor 784);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN


MAKANAN TENTANG PEDOMAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG
BAIK.
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan:

1. Cara Pembuatan Obat yang Baik yang selanjutnya disingkat CPOB adalah cara pembuatan obat
dan/atau bahan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mutu obat dan/atau bahan obat yang
dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaan.
2. Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.
3. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk
manusia.
4. Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam
pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi.
5. Sertifikat CPOB adalah dokumen sah yang merupakan bukti bahwa industri farmasi atau sarana
telah memenuhi persyaratan CPOB dalam membuat Obat dan/atau Bahan Obat.
6. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

BAB II

CPOB

Pasal 2

(1) Pedoman CPOB wajib menjadi acuan bagi industri farmasi dan sarana yang melakukan kegiatan
pembuatan Obat dan Bahan Obat.
(2) Pedoman CPOB meliputi:
a. sistem mutu industri farmasi;
b. personalia;
c. bangunan-fasilitas;
d. peralatan;
e. produksi;
f. cara penyimpanan dan pengiriman obat yang baik;
g. pengawasan mutu;
h. inspeksi diri;
i. keluhan dan penarikan produk;
j. dokumentasi;
k. kegiatan alih daya;
l. kualifikasi dan validasi;
m. pembuatan produk steril;
n. pembuatan bahan dan produk biologi untuk penggunaan manusia;
o. pembuatan gas medisinal;
p. pembuatan inhalasi dosis terukur bertekanan;
q. pembuatan produk darah;
r. pembuatan obat uji klinik;
s. system komputerisasi;
t. cara pembuatan bahan baku aktif obat yang baik;
u. pembuatan radiofarmaka;
v. penggunaan radiasi pengion dalam pembuatan obat;
w. sampel pembanding dan sampel pertinggal;
x. pelulusan real time dan pelulusan parametris; dan
y. manajemen risiko mutu.
(3) Pedoman CPOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

(4) Industri farmasi dan sarana yang tidak mengikuti acuan Pedoman CPOB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sebagai berikut:
a. peringatan;
b. peringatan keras;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. pembekuan Sertifikat CPOB;
e. pencabutan Sertifikat CPOB; dan/atau
f. rekomendasi pencabutan izin industri farmasi.

(5) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 3

Sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi:


a. lembaga yang melakukan proses pembuatan sediaan radiofarmaka dan telah mendapat
pertimbangan dari lembaga yang berwenang di bidang pengawasan tenaga nuklir; dan/atau
b. instalasi farmasi rumah sakit yang melakukan proses pembuatan obat untuk keperluan
pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah sakit yang bersangkutan.

Pasal 4

(1) Penerapan pedoman CPOB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibuktikan dengan
sertifikat CPOB.
(2) Penerbitan Sertifikat CPOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 5

Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang
Baik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 122) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 13 Tahun 2018 tentang Perubahan Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang
Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 985) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 6

Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar Setiap Orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Badan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
TerimaKasih

Anda mungkin juga menyukai