Anda di halaman 1dari 15

.;. .,..

.~
, MENTERI KESEHATAN REPUBUK INDONESIA

..

~.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1799/MENKES/PERJXII/201 0 TENTANG INDUSTRI FARMASI DENGAN RAHMATTUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : -a. bahwa pengaturan tentang Industri Fannasl yang kemprehensif sangat . diperlukan dalam mengantisipasl penerapan perdaganganlnternasienal di bidang fannasl; b. bahwa Keputusan Menteri Kesehatan Nemer 245/Menkes/SKlX/1990 tentang Kelentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Fannasl sudah tidak sesuai. dengan perkembangan IImu pengetahuan dan teknelegi; . c. bahwa berdasarkan pertimbanjJan sebagaimana dimaksud daJam huruf a dan huruf b, perlu menelapkan Peraluran Menleri Kesehatan tentang Industri Fannasi; Mengingat 1. Ordenansi Obat Keras (Staatsblad Nemer 419 Tahun 1949); 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indenesia Tahun 1984 Nomer 22, Tambahan Lembaran Negara' Republik Indenesla Nemer 3274); 3. Undang-Undang Nemer'S Tahun 1997 lentang Psiketrepika (Lembaran Negara Republik Indenesia Tahun 1997 Nemer 10, Tambahan Lemba~n Negara Republik lndenesla Nemer 3671); 4. Undang-Undang Nemer 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan, Kensumen (Lem~aran Negara Republik Indenesla Tahun 1999 Nemer' 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indenesla Nemer 3821); . 5. Undang-Undang Nemoi' 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indenesia Tahun 2004 Nemer '125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indenesla Nemer 4437) sebagafmana telah beberapa kall dlubah lerakhlr dengan Undang-Undang Nemer 12 Tahun 2008 tentang Perubahan' Kedua Atas UndangUndang Nemer 32 Tahun 2004 tentang Pemerlntahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nemer 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indenesla Nemer 4844); .

.
'~

~ ,

MENTER" KESEHATAN
REPUSUK INDONESIA

6. Undang-Undang Nemor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia NOllJor 5062); 7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomer 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor . 5063); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3330); 9. Peraturan Pemerintah Nomor, 13 Tahun 1995 tentang lzin Usaha Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik ' Indonesia Nomor 3596); 10.Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasl dan AJat. Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 NOl)lor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781); 11.Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenls Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indone~ia Tahun 2009 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4975); 12.Peraturan Pemerintah Nomor51 Tahun 2009 tentang Peke~aan Kefarrriasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044); 13.Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nemer 60, Tambahan Lembaran Negara Reptiblik Indenesia Nemer 5126); 14.Keputusan Preslden Nemer 16 Tahun 1987 tentarig Penyederhanaan Pemberlan lzin Usaha Industri; . 15.Keputusan Preslden Nemer 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organlsasl, dan Tata. Ke~a Lembaga Pemerlntah Nen Departemen sebagaimana teJahbeberapa kali diubah terakhlr dengan Peraturan Preslden Nemor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan . Keenam Atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsl, Kewenangan Susunan Organlsasl dan Tata Ke~a Lembaga Pemerlntah Non Departe~en;
2

MENTERI KESEHATAN REPU6UK INDONESIA

16.Peraturan Preslden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan . Organisasi, Tugas, dan Fungsl Eselon I Kementerian Negara; 17.Peraturan Menteri Kes~hatan Nomor 1144/MenkeS/Perl VIII12010 tentang Organisasi dan Tata Ke~a Kementerian Kesehatan;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan

PERATURAN MENTER I KESEHATAN TENTANG INDUSTRI FARMASI.


BASI

KETENTUAN UMUM
Pasal1 Dalam Peraturan inJyang dimaksud dangan: 1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologl yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologl atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. 2. Bahan obat adalah bahan balk yang berkhasiat maupun tidak berkhaslat.yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagal bahan baku farmasl. 3. Industri FarmasJ adalah badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan keglatan pembuatan obat atau bahan oba!. 4. Pembuatan obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputl pengadaan bahan awal dan bahan pengemas: produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan. . 5. Cara Pembuatan Obat yang Baik, yang selanjutnya dlsingkat CPOB adalah cara pembuatan obat yang bertujuan untuk memastikan agar mulu obat yang dihasilkan sesuai dengan persyaratan dan tujuan penggunaannya. 6. Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tenlang. pendeteksian, penilalan (assessment), pemahaman, dan pel)cegahan erek samping atau masalah lalnnya terkait dengan penggunaan obat. 7. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang selanjutnya dlsebut Kepala Badan adalah Kepala Badan yang tugas dan tanggung jawabnya dl bldang pengawasan oba! dan makanan. .

. 3

MENTER! KESEHATAN REPUBUK INDONESIA

8. Direktur Jenderal adalah Dlrektur Jenderal pad a Kementerian Ke~ehatad n yan gt l tugas dan tanggung jawabnya di bidang pembinaan kefarmaslan an a a kesehatan. 9. Menteri adalah menterl yang menyelenggarakan bldang kesehatan. urusan pemerintahan di

BAB II
IZIN INDUSTRI FARMASI Baglan Kesatu

Umum
Pasal2
(1) Proses pembuatan

obat danlatau bahan obat hanya dapat dilakukan oleh

Industri Farmasi. (2) Selain Industri Farmasl sebagaimana dimaksud pad a aya! (1), Instalasi Farmasl Rumah Saki! dapa! melakukan proses pembua!an obat untuk keperluanpelaksanaan pelayanan kesehalan di rumah saki! yang bersangkutan. (3) Instalasi Farmasi Rumah Saki! sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terlebih dahulu memenuhi persyaratan. CPOB yang dibuktikan deng?fl sertifikat CPOB. PasaJ3

(1) Industri Farmasi dapat melakukan kegiatan proses pembualan obat danlatau
bahan obat untuk: a. semua tahapan; danlatau b. sebagian tahapan. .

(2) Industri Farmasl yang melakuk.an kegiatan proses pembualan obat danlatau bahan obat untuk sebaglan tahapan sebagafmana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus berdasarkan penelitlan dan pengembangan yang menyangkut produk sebagaJ hasll kemajuan i1ml! pengetahuan dan !eknologl. (3) Produk hasil penelitlan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan proses pembuatan sebaglan tahapan oleh Industri Farmasi dllndonesia. . Pasal4
(1)

Setiap pendirian Industri Farmasf w:ajib memperoleh izin industrl farmasi dari Dlrektur Jenderal. . .

'

4 .

."
. I

MENTERI KESEHATAN REPUB!.JK INDONESIA .

(2) Industri Fannasl yang membual obat danlalau bahan obal yang tennasu~

dalam golongan narkotika wajib memperoleh izin khusus untuk memproduksl .narkotika sesual dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal5 (1) Persyaratan untuk memperoleh lzin lnduslrl fannasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal4 ayat (1) terdiri alas: a. berbadan usaha berupa perseroan terbalas; b. memllikl rencana inveslasi dan kegialan pembualan obal; c. memilikl Nomor Pokok Wajib Pajak; d. memiliki secara lelap paling sedikil 3 (liga) orang apoleker Warga Negara Indonesia maslng-masing sebagal penanggung jawab pemastian mulu, produksl, dan pengawasan mulu; dan e. komisarls dan dlreksJ tidak pemah lerlibal, balk langsung alau tidak langsung dalam pelanggaran peraluran perundang-undangan dl bidang kefannasian. (2) Dikecualikan darl persyaralan sebagaimana dimaksud pada ayal (1) huruf a dan huruf b, bagi pemohon lZln fndl!stri fannas( milik Tenlara Nasional Indonesia dan Kepollslan Negara Republik Indonesia.. Pa'sal6 (1) Untuk memperoleh lzin induslrl fannas/ diperlukan persetujuan prlnsip. (2) Pennohonan persetujuan prlnsip ~ebagaimana dlmaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Dlrektur Jenderal.
(3) Dalam

hal pennohonan perselujuan' prlnsip dilakukan oleh /ndustri Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Neger!, pemohon harus memperoJeh Surat Persetujuan'Penanaman Modal dari inslans/ yang menyelenggarakan urusan penanaman modal sesua/ ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Dfrektur Jenderal setelah pemohon memperoleh persetujuan Rencana Induk Pcmbangunan (RIP) darl Kepala Badan. (5) Dalam hal pennohonan persetujuan prinsip telah dfberikan, pemohon dapat langsung melakukan pers/apan, pembangunan, pengadaan, pemasangan, dan lnslalasl peralalan, tennasuk produksl percobaan dengan memperhatikan ketenluan peraturan perundang-undangan. Pasal7 Setiap pendirian Industrl Fannasl wajib memenuhl ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dl bldang lala ruang dan IIngkungan hIdup.

...

MENTERI KESEHATAN REPU6LtK INDONESIA

PasalS
(1)

Industri Farmasl wajib memenuhi persyaratan CPOB.

(2) Pemenuhari persyaratan CPOB sebagalmana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat CPOB. (3) Sertifikat CPOB berlaku selama 5 (lima) tahun sepanjang memenuhi persyaratan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenal persyaratan dan tata cara sertifikasi CPOB diatur oleh Kepala Badan. Pasal9 (1) Selain wajib memenuhl ketentuan sebagaimana dimaksud dalam PasalS ayat (1), Industri Farmasl wajib melakukan farmakovigilans. (2) Apabila dalam melakukan farmakovigilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Industrl Farmasl menemukan obat dan/atau bahan obat hasll produksinya yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiaUkemanfaatan dan mutu, Industri Farmasi wajib melaporkan hal tersebut kepada KepaJaBadan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai farmakovigilans diatur ofeh Kepala Badan. Pasal10 (1) Pembuatan sediaan radiofarmaka hanya dapat dllakukan oleh Industn Farmasi dan/atau lembaga setelah mendapat pertimbangan dari lembaga yang berwenang dl bidang atom. (2) Pembuatan sebagalmana dimaksod pada ayat (1) harus memenuhl persyaratan CPOS. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenaJpembuatan sediaan radiofarmaka dlatur oleh Menteri. Bagian Kedua Tata Cara Pemberian Persetujuan Prlnslp Pasal11 (1) Permohonan persetujuan prinslp diajukan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepa/a Badan dan kepala dinas kesehatan provinsl denga" menggunakan contoh sebagaimana tercimtum dalam Formul!r 1 ter/ampir. (2) Sebelum pengajuan permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dfmaksud pada ayat (1), pemohon wajib mengajukan permohonan persetujuan Rencana . Induk Pembangunan (RIP) kepada K~pala Badan dengan menggunakan contoh sebagalmana tereantum da/am Formulir 2 terlampir.
6.

MENTERI KESEHATAN REPUBUK INDONESIA

(3) Persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) diberikan oleh Kepala Badan paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) harl kerja sejak pennohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Fonnulir 3 terlamplr. (4) Pennohonan persetuJuan prinslp sebagaimana dlmaksud pada ayat (1) diajukan dengan kelengkapan sebagai berikut: a. fotokopi akta pendirian badan hukum yang sah sesual ketentuan peraturan perundang-undangan; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk/identitas direksi dan komisaris perusahaan; c. susunan dlreksi dan komisarls; d. pemyataan direksi dan komisaris tidak pernah terlibat pelanggaran peraturan perundang-undangan dl bidang farmasl; e. fotokopl sertifikat tanah/bukti kepemllikan tanah; f. fotokopl Surat lzin Tempat Usaha berdasarkan Undang-Undang Gangguan

(HO);

g. fotokopl Surat Tanda Daftar Pel\lsahaan : h. fotokopi Surat lzin Usaha Perdagangan: I. fotokopl Nomor Pokok WaJibPajak; J. persetujuan lokasl darl pemerintah daerah provinsi; k. persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) dari Kepala Badan; I. rencana Investasl dan keglatan pembuatan obat; m.asli sUrat pernyataan kesedlaan bekerja penuh dari maslng-maslng apoteker penanggung jawab produksl.. apoteker penanggung Jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu; dan n. fotokopl surat pengangkata.n bagi masing-maslng apoteker penanggung jawab produksi, apoteker penimggung. jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dari pimpInan'perusahaan. (5) Persetujuan prlnslp diberikan oieh Dlrektur Jenderal paling lama dalam waktu 14 (empat belas) harf kerja setelah pennohonan sebagalmana dimaksud pada ayat (1) diterfma dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Fonnulir 4 terlamplr atau me~olaknya dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Fonnulir 5 terlamplr. . (6) Pemohon IzIn Industrf fannasi dengan status Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Negerl yang telah mendapatkan Surat Persetujuan Penanaman Modal darllnstansl yang menyelenggarakan urusan penanaman modal, wajlb mengajukan pennohonan persetujuan prlnsip sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimal<suddalam Pasal in!. Pasal12 (1) Persetujuan prlnslp berlaku selama 3 (t1ga)tahun.

'.

MENTERI KESEHATAN REPUBUK INDONESIA

(2) Persetujuan prinsip dapat diubah berdasarkan pennohonan darl pemohon lzin industri fannas! yang bersangkutan. (3) Dalam hal tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian pembangunan fisik, atas pennohonan pemohon, jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dlmaksud pada' ayat (1) dapat diperpanjang oleh Dlrektur Jenderal untuk paling lama 1 (satu) tahun. (4) Pada saat pemohon IzIn industri fannasi mulai melakukan pembangunan fisik, yang bersangkutan dapat menyampalkan sural pennohonan impor mesinmesln dan peralatan lainnya tennasuk peralatan pengendalian pencemaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Selama melaksanakan pembanglJnan fisik, yang bersangkutan wajib menyampaikan laporan infonnasl kemajuan pembangunan fisik setlap 6 (enam) bulan sekaii kepada Dlrektur Jenderal dengan tembusan kepada Kepaia Badan dan kepala dinas kesehatan provinsi dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Fonnulir 6 terlamplr. (6) Perselujuan prinsip batal deml hukum apabila setelah jangka waktu 3 (liga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) danlatau selelah jangka waktu 1 (salu) tahun perpanjangan sebagalmana dimaksud pada ayat (3), pemohon beiym menyelesaikan pembangunan fislk, dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

Bagian Keliga Pennohonan Izln Induslri Fannasi Pasal 13 (1) Pemohon yang telah selesal mela~sanakan tahap persetujuan prinslp sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dapat mengajukan pennohonan IzIn industri fannasl. . (2) Surat pennohonan lzln industri fannasl harus ditandatangani oleh dlrektur utama dan apoteker penanggung jawab pemastian mutu dengan kelengkapan sebagai berikut: a. fotokopl persetujuan prinslp Industri Fannasi; b. surat Persetujuan Penanaman Modal untuk Industri Fannasi dalam rangka Penanaman Modal Asing atau Penanaman Modal Dalam Neger/; c. daftar peralatan dan mesln-mesin yang dlgunakan; d. jumlah tenaga ke~a dan kualifikasinya; e.fotokopi sertlfikat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan IAnalisis Mengenai Dampak Lingkungan; f. rE~komendaslkelengkapan adminls~atif izln Induslri fannasi darl kepala dlnas kesehatan provinsl; g. rekomendasl pemenuhan persyaratan CPOB darl Kepala Badan' h. daftar pustaka waJibsepertl Fannakope Indonesia edlsl terakhlr; ,
8

MENTER! KESEHATAN REPUBUK INDONESIA

I. asli surat' pemyataan kesedlaan beke~a penuh dari masing-masing apoteker. penanggung jawab produksl, 'apoteker pena~ggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker penanggungjawab pemasban mutu; j. fotokopl surat pengangkatan bagl maslng-rnasing apoteker penanggung jawab produksl, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu, dan apoteker.penanggung jawab pemastian mutu darl plmpinan perusahaan; k. fotokopl ljazah dan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) darl maslngmasing'apoteker penanggungjawab produksl, apoteker penanggung jawab pengawasan mutu dan apoteker penanggungjawab pemastian mutu; dan I. Surat pernyataan komlsarls dan direksHidak pernah terlibat, baik langsung atau tidak langsung dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang kefarmaslan. (3) Permohonan lzin industrl farmasl sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direktur Jenden:lIdengan tembusan kepada Kepala Badan dan kepala dlnas kesehatan provlnsl setempat dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam rormulir 7 terlampir.
.(4)

Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari ke~a sejak diterimanya tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Badan melakukan audit pemenuhan persyaratan CPOS.

(5) Paling lama dalam waktu 20 (dua puluh) hari. kerja sejak diterimanya tembusan permohonan sebagalmana dlmaksud pada ayat (3), kepala dinas kesehatan provinsi melakukan verifikasl. kelengkapan persyaratan administratif. (6) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan niemenuhl persyaratan CPOS, Kepala Sadan mengeluarkan rekomendasl pemenuhan persyaratan CPOS kepada Dlrektur Jenderal dengan tembusan kepada kepala dinas kesehatan provinsl dan pemohon dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 8 terlampir. (7) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja sejak dinyatakan memenuhi kelengkapan persyaratan administratif, kepala dinas kesehatan provinsf mengeluarkan rekomendasl pemenuhan persya~atan administratif kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan dan pemohon dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formullr 9 terlampir. (8) Paling lama dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) serta persyaratan lainnya, Direktur Jenderal menerbitkan izin industri farmasi dengan menggunakan contoh sebagalmana tercantum dalam. Formulir 1b terlamplr. .

...

MENTERI KESEHATAN RE?lJBUK INDONESIA

Pasal14 (1) Terhadap permohonan persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), pemberian persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), dan Permohonan izin industrl farmasi sebagalmana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dikenai biaya sebagai penerimaan negara bukan pajak sesual dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; . (2) Dalam hal permohonan atau persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak; maka biaya yang telah dibayarkan tidakdapat ditarik kemball.

BAB III PENYELENGGARAAN


Pasal15 Industrl Farmasl mempunyai fung.sl: a. pembuatan obat dan/atau bahan obat; b. pendidikari dim pelatihan; dan c. penelitian dan pengembangan.

Pasal 16 (1) Izin industrl farmasi berlaku untuk set~rusnya selama Industrl Farmas! yang bersangkutan maslh berproduksl dan memenuhl ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Industrl Farmas! yang akan melakukan perubahan bermakna terhadap pemenuhan persyaratan CPOS, balk untuk perubahan kapasitas dan/atau fasilitas produksi wajlb melapor dan mendapat persetujuan sesual ketentuan peraturan perundang-undangan. . Pasal17 (1) Setiap perubahan alamat dl lokasl yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasl, perubahan peminggung jawab, atau nama industri harus dilakukan perubahan lzin. (2) Perubahan terhadap akte pendirian perseroan terbatas harus dilaporkan kepada Dlrektur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Sadan dan kepala dinas kesehatan provinsl.

10

MENTERI KEsEHATAN REPUBUK INDONESIA

P.asal18 (1) Industri Fannasi yang melakukan perubahan alamat dan pindah .Jokasiwajib mengajukan pennohonan perubahan lzin kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala B~dan dan kepala dinas kesehatan provinsl setempat dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Fonnulir 11 terlamplr.. . (2) Tata cara pennoho.nan perubahal'! lzin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikutl ketentuan sebagalmana dimaksud dalam Pasal13. Pasal19 (1) Industri Fannasi yang melakukan perubahan penanggung jawab, alamat dl lokasi yang sama, atau nama Industri, wajib IT'.~ngajukan pennohonan perubahan lzin kepada Dlrektur Jenderal dengan tembusan kepada Kepa!a 8adan dan kepala dinas kesehatan provinsl setempat dengan menggunakan contoh sebagalmana tercantum dalam Fonnulir 12 terlamplr. (2) Ketentuan mengenai pennohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menglkutl tata cara permohonan lzin sebagaimana dimaksud dalam Pasal13 ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8). (3) Direktur Jenderal setelah menerima rekomendasl darl kepala dinas kesehatan provlnsl mengeluarkan perubahan izln. Pasal20 . . (1) Industri Fannasl yang menghasllkan obat dapat mendistribuslkan atau menyalurkan hasll produksinya langsung kepada pedagang besar farmasl, apotek, instalasi fannasi rumah saki~ pusat kesehatan masyarakat, k1lnlk,dan toko obat sesual dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Induslrl Fannasi yang menghasilkan bahan.obat dapat mendlstribuslkan atau menyalurkan hasil produkslnya langsung kepada pedagang besar bahan baku farmasl, dan (nstalasl fannasi rumah sakit sesua] dengan ketentuan peratur~m perundang-undangan. Pasal21 (1) Industri FarmasJdapat membuat ebat secara konlrak kepada fndustrl Farmasi lain yang telah menerapkan CPOB. (2) Industrl Fannasi pemberi kontrak wajib memilikllzin industri fannasl dan paling sedikit memJlikl 1 (satu) fasllitas produksl sedlaan yang telah memenuhl persyaratan CPOS. . (3) Industrl Farmasl pemberl kontrak .dan Industrl Farmasl penerlma kontrak bertanggung Jawab terhadap keamanan,.khas!atlkemanfaatan, dan mutu obat 11

I'

MENTERI KESEHATAN
i'\cPUSLlK INDONESIA

(4) Ketentuan leblh lanjut mengenal pembuatan obat kontrak ditetapkan oleh Kepala Badan. Pasal22 (1) Industri Farmasl dapat melakukan pe~anjian dengan perorangan atau badan usaha yang memiliki hak kekayaan intelektual di bidang obat danlatau bahan obat untuk membuat obat danlatau bahan obat. (2) Pe~anjian sebagalmana dimaksud pada ayat (1) harus memuat ketentuan bahwa izin edar obat yang dipe~anjikan dimlliki oleh Industri Farmasl.

BAB IV PELAPORAN Pasiil23. (1) Industri Farmasi wajib menyampaikan laporan industri secara berkala mengenai kegiatan usahanya: a. sekali dalam 6 (enam) bulan, meliputi jumlah dan nilai produksi setiap obat atau bahan obat yang dihasilkan denga(l menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 13 terlampir; dan b. sekall dalam 1 (satu) tahun dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 14 terlampJr. (2) Laporan Industri Farmasi sebagalmana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Kepala Badan. (3) Laporan Industri Farmasl sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dlsampalkan paling lambat tanggal 15 Januari dan tanggal15 Juli.
(4)

Laporan Industri Farmasi sebagalmana dimaksud pada ayat (1) hurut. b disampaikan paling lambat tanggal 15 Januari.

(5) Laporan sebagaimana dlmaksud' pada ayat (1) dapat dilaporkan secara elektronik. (6) Direktur Jenderal dapat mengubah bentuk dan lsi formullr laporan sesual kebutuhan.

BABV PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal24 (1) Pembinaan terhadap pengembangan Industri Farmasi dilakukan oleh Direktur ,Jenderal. '
12

'

.~

-.
MENTERI KESEHATAN I,E?UBUK INDONESIA

(2) Pedoman mengenal pembinaan' sebagaimana ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pasal25

dimaksud

pada ayat (1)

(1) Pengawasan terliadap Industri Farmasl sebagaimana diatur dalam Peraturan in! dilakukan oleh Kepala Badan. ' (2) Dalam melaksanakan peng3wasan sebagaimana dimaksud pad a ayat (1) tenaga pengawas dapat melakukan pemeriksaan dan: a. memasukl setlap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan pembuatan, penylmpanan, peogangkutan, dan perdagangan obat dan bahan obat untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan dalar:n keglatan pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan obat dan bahan obat; b. membuka dan menelitl kemasan obat dan bahan obat; c.' memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenal kegiatan pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan obat dan bahan obat, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; danlatau d. mengambll gambar (foto) seluruh atau sebagian fasilitas dan peralatan yang digunakan dalam pembuatan, penyimpanan, pengangkutan, danlatau perdagangan obat dan bahan oba,l ' Pasal26 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan inl dapat dlkenakan sanksi administratif berupa: . a. peringatan secara tertulis; b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali obat atau bah~n obat dari peredaran bagi obat atau bahan obat yang t1dak memenuhl standar dan persyaratan keamanan, khasiatlkemanfaatan, atau mutu; c. perintah pemusnahan obat atau bahan obat, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan keamanan, khaslatlkemanfaatan, atau mutu; d. penghentlan sementara keglatan; e. pembekuan izln industri farmasl; atau ' f. pencabutan izIn industrl farmasl. (2) Penghentlan sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dflpat dikenakan untuk seluruh kegiatan atau sebagian kegiatan .. (3) Sanksl administratif sebagaimana dlmaksud pad a ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dlberikan oleh Kepala Badan. (4) S.anksl administratif sebagalmana dimaksud pad a ayat (1) huruf e dan hUM f dlberlkan oleh Dlrektur Jenderal atas rekomendasl Kepala Badan.

13

'

.~

MENTERI KESEHATAN

REPUBUK INDONESIA

Pasal27 Setiap orang yang bertanggung jawab atas tempat dilakukannya pElmeriksaan oleh tenaga pengawas mempunyal hak untuk menolak pemeriksaan apablla tenaga pengawas yang bersangkutan tidak dilengkal?ldengan tanda pengenal d~n surat perintah pemeriksaan. . Pasal28 Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut. diduga adanya pelanggaran pldana di bldang obat dan/atau bahan obat, segera dllakukan penyldikan oleh Penyldlk Pegawai Negeri Sipil yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasai29 Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur oleh Kepala Badan.

BABVI KETENTUAN PERALIHAN


Pasal30 (1) Pada saat Peraturan in! mulal berlaku, persetujuan prinsip yangtelah dimiliki tetap berlaku sebagal salah satu tahap untuk memperoleh izin industrl farmasl berdasarkan Peraturan In!. (2) Permohonan Izln Industrl farmasl yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Inl tetap dlproses berdasarkan Keputusan Menter! Kesehatan Nomor 245/MenkeslSKlX/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izln Usaha Industrl Farmasl. (3) lzin Industrl farmasi yang dikeluarkan berdasarkan Keputusan Menter! Kesehatan Nomor 245/MenkeslSKlX/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian lzin Usaha Industrl Farmasl dinyatakan maslh tetap berlaku. . (4) lzin industrl farmasl sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diperbaharul sesual dengan persyaratan dalam Peraturan Inl paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal pengundangan. Pasal31 Pada saat Peraturan Inl mulal berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 245/MenkeslSKlX/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberlan lzin' Usaha Industrl Farmasl dlnyatakan masih tetap berlaku sepanJang t/dak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Inl dan/atau belum dillanti berda~arkanketentuan Peraturan Inf.

14

.~ .
:

-.

MENTER! KESEHATAN REPUBUK INDONESIA

BAB VII KEJENTUANPENUTUP Pasal32 Pada saat Peraturan in! mulai berlaku, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 245/Menkes/SKlX/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal33 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal dlundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan .Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

':l~';J ,
Diund.!lngkan di Jakarta pada tanggal 31 Desember 2010

G RAHAYU SEDYANINGSIH

~~::'

DAN:: :KASASI

MANUSL',

PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 721

.15

Anda mungkin juga menyukai