NIM: 2021.01.069 Jrsn/Smst: 3 PAI A Makul: Tafsir Dosen: Arif Iman Mauliddin, M.A
PARADIGMA TAFRSIR KONTEMPORER
Perkembangan tafsir kontemporer tidak dapat begitu saja dilepaskan dengan
perkembangannya di masa modern. Paling tidak, gagasan-gagasan yang berkembang pada masa kontemporer ini sudah bermula sejak zaman modern, yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridla yang sangat kritis melihat produk-produk Penafsiran Al Qur'an. Paradigma tafsir kontemporer dapat diartikan sebagai sebuah model atau cara pandang, totalitas premis-premis dan metodologis yang dipergunakan dalam penafsiran Al-Qur'an di era kekinian. Meskipun masing-masing paradigma tafsir me- miliki karakteristiknya sendiri, namun ada beberapa karakteristik yang menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer, antara lain: Memosisikan Al-Qur'an sebagai Kitab Petunjuk Upaya untuk memosisikan Al-Qur'an sebagai kitab petunjuk ini berawal dari kegelisahan Muhammad Abduh terhadap produk-produk penafsiran Al-Qur'an masa lalu. Menurutnya, kitab-kitab tafsir yang berkembang pada masa-masa sebelumnya umumnya telah kehilangan fungsinya sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia. Sebagian besar dari kitab-kitab tafsir klasik dinilai oleh Abduh hanya berkutat pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi frab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kelfahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat Oleh karena itu, kebanyakan kitab-kitab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis di bidang kebahasaan. Menurut Abduh, tafsir harus berfungsi menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk (mashdar al-hidayah),"bukan untuk membela ideologi tertentu”. Hal inilah yang kemudian mendorong Abduh dan Rasyid Ridha untuk menulis kitab tafsir yang berbeda coraknya dengan tafsir-tafsir klasik sebelumnya, yakni tafsir Al-Manar yang bercorak adahi- ijtimai. Para mufassir kontemporer sedikit banyak terpengaruh oleh gagasan Abduh dalam hal keinginannya untuk mengembalikan Al-Qur'an sebagai kitab petunjuk. Inilah yang kemudian menjadi ciri utama dari penafsiran-penafsiran kontemporer, baik yang dikembang kan melalui metode tematik-kontekstual maupun yang dikembang-kan melalui pendekatan historis, sosiologis, hermeneutis, dan bahkan juga yang menggunakan pendekatan interdisipliner. Dalam rangka mengembalikan Al-Qur'an sebagai kitab petunjuk, para mufassir kontemporer tidak lagi menjadikan Al-Qur'an sebagai wahyu yang "mati" sebagaimana yang dipahami oleh para mufassir klasik-tradisional. Para mufassir kontemporer menganggap wahyu yang berupa teks Al-Qur'an itu sebagai sesuatu yang "hidup". Dengan demikian, mereka pun mengembangkan model pembacaan dan penafsiran yang lebih kritis dan produktif (al-qira'ah al-muntijah), bukan "pembacaan yang mati" (al-qira'ah al-mayyitah) dan ideologis, meminjam istilah Ali Harb. Pembacaan kritis, menurutnya, adalah pembacaan atas teks Al-Qur'an yang tak terbaca dan ingin menyingkapkan kembali apa yang tak terbaca tersebut. Di sisi lain, Al-Qur'an harus dipahami sebagai kitab suci yang kemunculannya tidak lepas dari konteks kesejarahan umat manu- sia. Ia tidak diwahyukan dalam ruang hampa, tetapi justru hadir dalam zaman dan ruang yang sarat budaya-kultur tertentu. Oleh karena itu, bisa dimaklumi jika Nashr Hamid Abu Zayd menyebut Al-Qur'an sebagai muntaj tsaqafi ("produk budaya"), yakni teks yang muncul dalam sebuah struktur budaya Arab abad ketujuh, selama lebih dari dua puluh tahun dan ditulis dengan berpijak pada aturan-aturan budaya tersebut." Petunjuk-petunjuk Al-Qur'an yang bersifat universal juga dapat dirumuskan dengan mempertim- bangkan situasi sosio-historis vang muncul ketika itu, untuk kemu- dian ditarik ke dalam konteks kekinian.