This work is licensed under creative a Commons Attribution 4.0 International license
Abstract: At the beginning of the emergence of hermeneutic studies, its characters used this
approach to interpret the Bible. Then the more this science began to develop, finally a thought
emerged that the exegetical methods applied to the Bible could also be applied to other books. In
other words, other holy books can also be interpreted using the hermeneutic approach. In the
postmodernism era, Muslim figures and their thoughts emerged. One of them is Mohammed
Arkoun, because he has lived in France for a long time and has been appointed as a lecturer at
Sorbonne University, many of his thoughts are oriented to figures, especially western linguistic
figures. He tried to interpret the Qur'an using the Hermeneutic method. The research method
used is descriptive qualitative research, where the data source is in the form of documents related
to this research. The result is Arkoun's phenomenal thinking about the interpretation of the Al-
Qur'an. He considers that the Al-Qur'an that we have today is not the original revelation / text,
this article will discuss the concepts that underlie Arkoun's thoughts on the interpretation of
revelation.
Keywords: Concept of Revelation, Hermeneutic Approach, Mohammed Arkoun.
Abstrak: Pada awal kemunculan studi Hermeneutika, para tokoh-tokohnya menggunakan
pendekatan ini untuk menafsirkan Bibel. Lalu semakin mulai berkembangnya ilmu ini, akhirnya
muncul sebuah pemikiran bahwa metode penafsiran yang diaplikasikan kepada Bibel juga bisa
diaplikasikan pada buku lain. Dengan kata lain, kitab-kitab suci lainnya pun dapat diinterpretasi
menggunakan pendekatan Hermeneutika. Pada masa postmodernisme, muncul tokoh-tokoh
muslim dengan berbagai pemikiran-pemikirannya. Salah satunya adalah Mohammed Arkoun,
karena beliau lama tinggal di Prancis dan pernah diangkat menjadi dosen di Universitas
Sorbonne, pemikiran-pemikirannya banyak berkiblat pada tokoh-tokoh linguistik barat. Dia
mencoba menginterpretasi al-Qur’an menggunakan metode Hermeneutika. Metode penelitian
yang digunakan adalah penelitian kualitatif deskriptif, dimana sumber data berupa dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini. Hasil yang ditemukan adalah pemikiran
fenomenal Arkoun mengenai penafsiran “wahyu” di dalam Al-Qur’an. Beliau beranggapan
bahwa Al-Qur’an yang sekarang ada pada kita bukanlah wahyu/nash yang asli. Artikel ini akan
membahas konsep-konsep yang mendasari pemikiran Arkoun terhadap interpretasi wahyu.
Kata Kunci: Konsep Wahyu, Mohammed Arkoun, Pendekatan Hermeneutika.
Pendahuluan
Dewasa ini Hermeneutika mulai banyak dilirik oleh para ilmuwan, walaupun kata
ini sudah lama dikenal namun tidak diragukan lagi pengertiannya terus mengalami
161
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun
1
Ali Akbar, “Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan Alquran,” Wacana, Journal of the
Humanities of Indonesia 7, no. 1 (2005): 50.
2
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan (Bandung: Teraju, 2002). Hal.2
3
Akbar, “Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan Alquran,” 51.
4
(pengertian dalam Hayes and Holladay 2006:1-4)
5
Zaenuddin, “Analisis Hermeneutika dan Tekstualisme Al-Qur’an (dari Klasik Hingga
Kontemporer),” al-Ifkar Journal for Islamic Studies 3, no. 1 (2020): 137–163.
6
Akbar, “Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan Alquran.”
7
Zaenuddin, “Analisis Hermeneutika Dan Tekstualisme Al-Qur’an (Dari Klasik Hingga
Kontemporer).”
162
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.
8
M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Hal. 139
9
Anas, “Gagasan Baru Tentang Wahyu: Ke Arah Dialog Kritis Antaragama (Membangun
Masyarakat Kitab Bersama Mohammed Arkoun),” 64.
10
Ruslan Rasid and Hilman Djafar, “Konsep Pemikiran Mohammad Arkoun Dalam Aina Huwa Al-
Fikr Al-Islamy Al-Mu’ashir,” Humanika 19 (2019): 43–55.
11
Kaihil Musthofa, Al-Ansinah Wa Al-Ta’wil Fi Fikr Muhammad Arkun (Aljazair: Dar Al-Aman,
2011). Hal. 248
163
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun
memprihatinkan, hal ini disinyalir oleh Fazlur Rahman bahwa tidak adanya metodologi
penafsiran al-Qur’an yang memadai terhadap penafsiran-penafsiran yang dilakukan umat
Islam, sehingga gagal menangkap pesan moral kitab suci tersebut.
Upaya-upaya seperti ini, bertujuan agar memperoleh kembali pemahaman al-
Qur’an yang dilakukan dalam rangka mencari solusi problem hermeneutis di dalam Islam
yang tidak dapat ditemukan dengan memperkenalkan unsur-unsur asing yang didasarkan
pada perspektif yang sama sekali tidak Qur’ani. Penafsiran al-Qur’an dilakukan untuk
mengintrodusir metode baru yang mendukung dan menjaga keterpeliharaan spirit
keagamaan yang sehat dan sensitif dalam proses pemahaman al-Qur’an.12
Tujuan penelitian ini adalah untuk memfokuskan pembahasan konsep
hermeneutika menurut Muhammad Arkoun serta pemikirannya yang fenomenal, yaitu
Arkoun yang mempertanyakan hakikat wahyu, sebagai doktrin transendental Tuhan, dan
kata-kata wahyu sebagai penjelmaan karam batin. Ilmu menafsirkan al-Qur’an di Barat
modern, seperti linguistik, sejarah, antropologi, dll, telah diadopsi secara luas oleh
Arkoun. Dia mengusulkan hermeneutika "Qur’an" dalam istilah kontemporer modern,
sehingga penjelasan yang dia berikan mengubah peran metode dalam "Tafsir Qur’an"
secara luas.13
Pengertian Hermeneutika
Pada awal abad ke-19 adalah permulaan munculnya Hermeneutika, dan masih
tetap menjadi pembahasan yang aktual hingga saat ini. Definisi sederhana hermeneutika
adalah disiplin filosofis, yang pusatnya adalah "pemahaman" teks (terutama teks dalam
Alkitab).14 Jadi tidak hanya sekedar memahami namun memahami pemahaman tersebut.
Para filsuf abad ke-20 yang menggeluti hermeneutika antara lain Dilthey, Heidegger,
Gadamer, Ricoeur, dan Derrida.
Istilah hermeneutika secara etimologi berasal dari Yunani “Hermenuin” yang
berarti menafsirkan, menjelaskan, dan menerjemahkan. Asal kata kerja istilah tersebut
yang dalam Bahasa Yunani banyak diartikan sebagai kata yang menjadi mengungkapkan
12
Muhammad ’Ata Al-Sid, Hermeneutical Problem of the Qur’an in Islamic History, Terj. Ilham
B. Saenong (Bandung: Teraju, 2004). Hal. 341
13
Nasrudin Nasrudin, “Manhaj Tafsir Muhammad Arkoun,” Maghza 1, no. 1 (2016): 85.
14
(Soekarba 2019:46-47)
164
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.
“to say”, menjelaskan “to explain”, dan menerjemahkan “to translate”.15 Pada prinsipnya
hermeneutika adalah ilmu yang membahas dan menjelaskan teori “theory of
interpretation”, dan juga bisa dimaknai sebagai interpreting dan understanding ketika
memahami suatu teks.16 Menurut L.Berkhof dalam Marhaban, hermeneutik adalah ilmu
yang mempelajari teori, aturan, dan cara mentafsir al-kitab. Sedangngkan menurut
Abdurrahman Al-Baghdadi, hermeneutik adalah ilmu yang mempelajari seluruh proses
penafsiran, yang paling penting dalam dimensi spiritual rohani penafsir.17
Istilah hermeneutika secara historis merujuk pada tokoh mitos dalam mitologi
Yunani bernama Hermès, seorang pembawa pesan yang misinya menyampaikan segala
informasi dari Jupiter kepada manusia. Dia menerjemahkan pesan para dewa di Olympus
ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia. Hermès harus bisa menafsirkan pesan
tersebut ke dalam bahasa yang digunakan oleh penontonnya.18 Dari sinilah mengapa
digunakan istilah hermeneutika, yang merujuk pada Dewa Hermès sebagai simbol karena
tugasnya menyampaikan pesan kepada manusia dengan Bahasa yang dapat mereka
pahami. Maka dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah metode untuk mentafsir
simbol yang berbentuk teks atau hal lain yang dibutuhkan tersebut lalu dicari maknanya.
Hermeneutika adalah metode yang dapat menjelaskan masa lalu yang tidak dialami dan
kemudian membawanya ke masa kini dan masa depan. Metode ini belum diterima secara
luas, namun setidaknya dapat mendukung pemahaman tentang kebenaran tafsir. Dapat
dimengerti bahwa pemahaman adalah seni, bukan seni umum hermeneutika.19
Hermeneutika adalah konsep ilmiah yang memahami dan menjelaskan teks dan
peristiwa masa lalu, serta dapat memahami maknanya secara utuh sehingga dapat
diterapkan di lingkungan saat ini. Mohseni berpendapat:
“hermeneuticist sees interpretation as a circular process whereby valid
interpretation can be achieved by a sustained, mutually qualifying
interplay between our progressive sense of the whole and our retrospective
understanding of its component parts”.
15
Hery Musnur and Muhammad Damanhuri, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 14–16.
16
Ahmad Zayyadi, “Pendekatan Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer Nashr Hamid Abu Zaid,”
MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 2, no. 1 (2018): 1–22.
17
Marhaban, “Memahami Teks Al-Qur’an Dengan Pendekatan Hermeneutika (Sebuah Analisis
Filosofis),” At-Tibyan II, no. 1 (1377): 40–57.
18
Akbar, “Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan Alquran,” 51.
19
Rudy Alhana, Menimbang Paradigma Hermeneutik Dalam Mentafsir Al-Qur’an, ed. Husniatus
Salamah Zainiyah, 1st ed. (Surabaya: Revka Petra Media, 2014).
165
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun
20
Tahereh Mohseni, “The Comparative Study of Qur’an Interpretation & Classic Hermeneutics,”
International Journal of Business and Social Science 5, no. 9 (2014): 185.
21
Waryono Abdul Ghafur, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Dalam Perspektif Arkoun, Dalam Studi Al-
Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metode Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 168.
22
Muhammad Ibn Sa’id As-Sarhany, “Al-Atsar Al-Istisyraqy Fi Mauqif Muhammad Arkoun Min
Al-Qur’an Al-Karim,” n.d. Hal. 8
23
Suadi Putro, Mohammed Arkhoun Tentang Islam & MOdernitas (Jakarta: Paramadina, 1998).
24
(Zuhri 2008:127)
166
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.
25
Musthofa, Al-Ansinah Wa Al-Ta’wil Fi Fikr Muhammad Arkoun. Hal. 23-24
26
Mahrus El-Mawa, “Ketika Mohammed Arkoun Membincang Wahyu,” ULUL ALBAB Jurnal
Studi Islam 8, no. 2 (2018): 194–195.
27
(Zuhri 2008:128)
28
Nasrudin, “Manhaj Tafsir Muhammad Arkoun,” 86.
29
(Maulida and Nurmajah 2019:3)
30
(Zuhri 2008:136)
167
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun
Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi bagian dari tema pokok dalam studi Islam,
dari kedua sumber tersebut menjadi latar pemikiran Arkoun tentang Al-Quran tidak bisa
diabaikan tanpa perlu diulas. Karena problem kesalahpahaman dalam proses interpretasi
Al-Qur’an yang dilatarbelakangi watak kemodernan, Arkoun tergugah untuk menelaah
Al-Qur’an. Ia menunjukkan bagaimana metodologi studi Al-Qur’an yang menggunakan
dasar kemodernan tidak mampu memahami berbagai fenomena yang olehnya disebut
sebagai agama dan masyarakat kitab-kitab.31
“Islamologi Terapan” menjadi tujuan yang akan dibangun oleh Arkoun, melalui
percobaan dengan menerapkan metodologi ilmiah pada Al-Qur’an, yang juga diterapkan
kepada teks-teks Bibel. Yaitu menjadikan teks keagamaan sebagai tes kritik atas historis
komparatif, analisis dekonstruksi, juga pemikiran filosofis mengenai produksi makna. Ia
memfokuskan konsepnya kepada kebutuhan dalam memahami Al-Qur’an dengan terbuka
untuk manusia, khususnya orang-orang yang mengimaninya.32 Karena adanya Islamologi
Klasik yang merupakan penelitian dan pemahaman orang Barat atas agama Islam,
menurut Arkoun Islamologi Klasik mempersempit berbagai ruang studinya.33
Karya hermeneutik selalu mencakup tiga serangkai, terdiri dari tiga topik yang
saling terkait, yaitu dunia tulis-menulis, dunia penulis, dan dunia pembaca.34 mengatakan
bahwa Arkoun membuat rumusan pola pembacaan Al-Qur’an. Rumusan tersebut
terbentuk dari latar sosial Arkoun, karena ia selalu melakukan dialog dan interaksi dengan
kelompok/komunitas lain. Dari dialog dan interaksi menunjukkan realitas hakiki sebuah
dinamika pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat yang berada dalam ranah
diskursus keilmuan secara dominan yaitu linguistik dan strukturalisme, atau lebih tepat
merupakan tradisi keilmuan yang berkembang di Perancis.
Berikutnya adalah hermeneutika Arkoun terhadap teks al-Qur’an, yang bertujuan
untuk menemukan makna lain yang belum terungkap atau tersembunyi di dalamnya.
untuk menuju rekonstruksi (konteks), harus ada dekonstruksi (teks). Seperti yang kita
ketahui bersama, Arkoun adalah seorang intelektual muslim yang tidak berani
menafsirkan al-Qur’an melalui tradisi Islam, tetapi menggunakan metodologi Barat.
31
(Zuhri 2008:254-255)
32
Rasid and Djafar, “Konsep Pemikiran Mohammad Arkoun dalam Aina Huwa Al-Fikr Al-Islamy
Al-Mu’ashir.”
33
Ajahari, “Pemikiran Fazlur Rahman Dan Muhammad Arkoun” Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat 12 (2016): 232–262.
34
(Zuhri 2008:256)
168
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.
35
Mohamad Anas, “Gagasan Baru Tentang Wahyu: Ke Arah Dialog Kritis Antaragama
(Membangun Masyarakat Kitab Bersama Mohammed Arkoun),” Islamic Insights Journal 1, no. 1 (2019):
61–81.
36
Hashim Shalih, Mohammed Arkoun “Tarikhiyyah Al-Fikr Al-Araby Al-Islamy” Terj., 2nd ed.
(Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1996), 14.
37
M Arkhoun, Rethingking Islam Today (Wasington D.C: Center for Contemporary Arab Studies,
1987).
38
Zaglul Fitrian Djalal, “Pembacaan Al- Qur’an Dalam Perspektif Mohammed Arkoun” (n.d.).
169
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun
situasi. Intinya, apa yang Arkoun lakukan adalah memaksa al-Qur’an mengikuti
perkembangan zaman, bukan bahwa Alquran selalu menjadi pedoman.
2. Linguistik-Semiotika
Menurut Ferdinand De Saussure (1857-1913 M.), fenomena bahasa
direpresentasikan dengan istilah langage. Dalam bahasa, ada dua jenis, yaitu
parole dan langue. Parole adalah bahasa sebagai perbuatan berbicara oleh
seseorang pada waktu tertentu atau bersifat individual, parole sendiri lebih kepada
kaidah dan tata bahasanya. Sedangkan langue adalah sistem kode yang semua
anggota komunitas dalam komunitas tahu dan setuju dengan, atau dengan kata
lain, bahasa yang digunakan oleh komunitas.39 Saussure menyatakan bahwa setiap
bahasa yang diperoleh masyarakat adalah berdasarkan konvensi atau kesepakatan.
Secara semiotika, Arkoun berharap bisa menampilkan fakta sejarah dalam
bahasa dan isi al-Qur’an (al-Qur'an). Ia meyakini bahwa analisis semiotik al-
Qur’an pada dasarnya memiliki dua tujuan: pertama, untuk menunjukkan fakta
sejarah dalam bahasa al-Qur’an. Kedua, menjelaskan bagaimana memperoleh
makna baru dari teks al-Qur’an tanpa dibatasi oleh metode lain (seperti metode
pembelajaran tradisional).40
3. Teologis-Religius
Menurut Arkoun dalam bukunya Al-Islam wa Al-Tarikh wa Al-Hadatsah: 41
“Jika seseorang terus menganggap Al-Qur’an sebagai sebuah teks dari Tuhan
secara transendental, orang akan hanya berakhir pada masalah-masalah yang lebih
bersifat teologis Dia juga menunjukkan perlunya dilakukan dekonstruksi ortodoks
tertutup, yang hanya dapat mencari sejarah / kesejarahan bebas, dan ini tidak
mungkin dilakukan kecuali mencari sebuah sejarah yang bebas dan dapat
mengarahkan masuknya ide sekularisasi dalam Islam.
Salah satu ciri sekuler adalah memberikan tempat kepada Tuhan dalam
sejarah kehidupan manusia. Ketika memahami Alquran, ia mengatakan bahwa
Mushaf Usmani menunjukkan beberapa fakta sejarah yang bergantung pada
lingkungan luarnya, yaitu kondisi sosial dan politik, dan bukan murni atau mutlak
dari Tuhan.
39
Sakholid Nasution, Pengantar Linguistik Bahasa Arab, 1st ed. (Malang: Lisan Arabi, 2017), 39.
40
Djalal, “Pembacaan Al- Qur’an Dalam Perspektif Mohammed Arkoun,” 12.
41
Ibid., 13.
170
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.
4. Proposal Terakhir
42
Muhammad Arkoun, Islam: To Reform or To Subvert? (Saqi Essentials, 2004). Hal. 41.
43
Muhammad Arkoun, “The Unthought in Contemporary Islamic Thought,” in The American
Journal of Islamic Social Science (London: Saqi Books, 2002). Hal. 2
171
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun
Di sisi lain, orang lain juga dapat mengetahui asal usul dan fungsi bahasa agama,
dan bahasa agama memegang peranan yang sangat penting dalam sejarah Islam. Kedua,
untuk konsep semiotika linguistik, teks dapat dipahami sebagai sistem hubungan internal.
Penggunaan analisis semiotik akan mampu mengungkap keterkaitan antara wacana,
realitas, dan persepsi yang dimainkan oleh bahasa. Ketiga, Arkoun bermaksud untuk
memasukkan konsep sekularisasi untuk menemukan sejarah yang bebas dan tidak
tertutup. Keempat, adalah pelengkap dari tiga konsep sebelumnya, untuk mewujudkan
sebuah Ensiklopedia al-Qur’an sebagai wadah berdiskusi, penambahan, revisi dan
penyelidikan intelektual.
Arkoun mengatakan bahwa kategorisasi di atas akan berlaku untuk semua teks
agama, dan dalam jangka waktu yang lama. Menurutnya, sangat diperlukan dekonstruksi
awal untuk membuat tingkat frustasi dan signifikansi yang sebagian telah diabaikan oleh
beberapa tradisi terdahulu, dimana salah satunya adalah penafsiran dari Muslim
fundamentalis. Dan dikatakan pula bahwa sejak al-Qur’an ditulis sepanjang
44
Arkoun, Islam: To Reform or To Subvert?. Hal. 56
172
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.
penyebarannya dalam bentuk manuskrip hingga tercetak, terjadi kebangkitan ulama yang
tak terhindarkan ke dalam kekuasaan politik dan intelektual.
Adapun bidang baru dalam penyelidikan ilmiah atas fenomena al-Qur’an jelas
harus memenuhi dua persyaratan, yakni:
Arkoun memahami wahyu sebagai sejenis informasi, yang begitu kaya dan luas
sehingga dapat diberikan makanan tertentu dalam setiap situasi berbeda yang dialami
manusia. Pandangan publik Arkoun terhadap teks al-Qur’an adalah sesuatu yang dapat
ditafsirkan secara bebas. Dia secara terbuka menyatakan bahwa teks tersebut tetap
terbuka dan tidak dibatasi karena penafsiran tersebut dapat memperkaya makna teks. Ia
mengutip Hans George Gadamer47.
45
Ibid.. 58-61
46
Anas, “Gagasan Baru Tentang Wahyu: Ke Arah Dialog Kritis Antaragama (Membangun
Masyarakat Kitab Bersama Mohammed Arkoun),” 64.
47
Ishak Hariyanto, “HERMENEUTIKA AL-QUR'AN MUHAMMED” 1 (2018): 11.
173
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun
Jika kita melihat kembali pada salah satu konsep hermeneutika Arkoun
Linguistik-Semiotika, Arkoun beranggapan "al-Quran" yang dijamah umat manusia
hanyalah satu sisi dari bahasa wahyu Tuhan, karena memiliki sifat yang luar biasa, dan
umat manusia tidak dapat menyentuh parole dari Tuhan.48 Menurutnya, wahyu yang
selama ini dikenal dan dipahami umat Islam berbeda fakta dan klaim sejarahnya. Wahyu
yang absolute bagi Arkoun adalah saat wahyu masih berada dalam lauh mahfudz.
Sedangkan saat wahyu verbal bertransformasi menjadi mushaf maka sisi dan dimensi
wahyu telah berubah, faktor pengubahnya dikarenakan tindakan, respon, dan interaksi
manusia terhadap wahyu. Hal ini bisa dianggap bahwa nilai keotentikan wahyu telah
berubah karena berada dalam ruang lingkup sejarah dan sosial antropologi manusia.49
48
Djalal, “Pembacaan Al- Qur’an Dalam Perspektif Mohammed Arkoun.”
49
(Saputra and Latipah 2019:48)
50
Mohammad Arkoun, Exploration and Responses, n.d., 526.
51
Muhammad Rikza Muqtada, “UTOPIA KHILĀFAH ISLĀMIYYAH : Studi Tafsir Politik
Mohammed Arkoun” 28, no. 1 (2017): 148.
174
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.
sendiri. Arkoun juga mengakui kredibilitas bentuk lisan Al-Qur’an, namun menurutnya
bentuk itu sudah hilang selamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Padahal
sepanjang zaman kaum muslim menunjukkan secara fakta historis sejak dulu hingga
sekarang dan akan datang selalu meyakini kebenaran Al-Qur’an dalam versi mushaf
utsmani. Allah SWT berfirman:
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia
kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus
seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Asy Syura:51)
Menurut Arkoun, kata “wahyu” sulit diartikan sebagai bahasa manusia yang tidak
sakral dalam kalimat di atas, sehingga dia tidak mengartikan kata “wahyu”. Dia hanya
mengatakan bahwa wahyu "Quran" adalah sejenis bacaan yang diucapkan dalam bahasa
manusia, dan kemudian secara langsung atau tidak langsung, yaitu melalui perantara
malaikat kepada nabi.52
Arkoun percaya bahwa wahyu al-Qur’an telah direvisi dan diganti.53 Dalam
meningkatkan makna al-Qur’an, Arkoun berusaha menjauhi potensi untuk membangun
“makna sebenarnya” dari al-Qur’an. Dalam arti tertentu, tidak ada interpretasi Alquran
yang mencapai akhir (secara mutlak). Penjelasan yang bersifat eksplanatif tidak dapat
mencakup seluruh isi Alquran, karena salah satu ciri Al-Qur'an adalah makna yang
majemuk. Arkoun mengungkapkan pandangannya tentang bagaimana membaca
(menafsirkan) al-Qur’an. Menurutnya, umat Islam saat ini dapat hidup dengan al-Qur’an
sebagai pembebasan bersyarat, meskipun saat ini dalam bentuk teks. Ini memberikan cara
khusus dalam membaca atau qira'ah, yaitu strategi qira'ah yang menghasilkan dan
mengungkapkan makna sebanyak-banyaknya dengan mengenali dan membiasakan
simbol (termasuk bentuk kata, kalimat dan simbol). Oleh karena itu, dia tidak hanya
52
Djalal, “Pembacaan Al- Qur’an Dalam Perspektif Mohammed Arkoun.”
53
Muqtada, “UTOPIA KHILĀFAH ISLĀMIYYAH : Studi Tafsir Politik Mohammed Arkoun,”
149.
175
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun
menganalisis teks, tetapi juga menganalisis teks elemen grafis pada teks. Berikut ini
adalah contoh cara membaca alfabet Al-Fatihah yang dibagi menjadi dua tahap54:
Arkoun menganalisis elemen bahasa seperti ism ma'rifah, dhamir, fi'il, ism dan
struktur tata bahasa. Ia menemukan bahwa semua ism ma'rifah dalam al-Qur’an
berhubungan dengan kata Tuhan. Namun ternyata kata Allah masih belum jelas. Siapakah
istilah "Allah" dalam surat itu? Bagi umat Islam saat ini, pertanyaan ini mungkin tidak
diperlukan, tetapi bagi orang-orang di abad ketujuh, pertanyaan ini muncul secara alami.
Untuk alasan ini, Arkoun menyarankan untuk menyebutkan lafadz Allah di surat
sebelumnya.
Berikut adalah susunan kalimat Arkoun, termasuk empat huruf Perancis (wahdat
li al-qira'at alqa'idiyah) dan tujuh predikat (lafdzat ikhbariyah) huruf Al-Fatihah:
⮚ Leksis
1. بسم هللا
2. الحمد هلل
3. إياك نعبد وإياك نستعين
4. إهدنا الصراط المستقيم
⮚ Predikat
1. الرحمن الرحيم
2. رب العالمين
3. الرحمن الرحيم
4. مالك يوم الدين
5. صراط الذين أنعمت عليهم
6. عليهم غير المغضوب
7. وَّل الضالين
54
(Mohammed Arkoun, n.d.:76-77)
176
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.
Simpulan
Penjelasan Arkoun yang kaya tidak terlepas dari semua aspek sains modern,
seperti ilmu sosial dan humaniora, seperti linguistik, antropologi, dan filsafat. Meski
mendapat banyak kritik dari pemikirannya, tidak dapat dipungkiri bahwa Arkoun berhasil
menarik sebagian besar orientalis dan menjadikan Alquran sebagai objek penelitian. Dan
berhasil fokus pada pandangan Islam yang dapat diterima di lingkungan ilmiah Barat.
Dari uraian di atas, dapat dilihat, bahwa menurut Arkoun, al-Qur’an yang ada
sekarang merupakan teks untuk dikaji ulang dengan menggunakan berbagai pendekatan
ilmiah. Dia secara energik menyarankan penggunaan metode multidisipliner untuk al-
Qur’an termasuk ilmu sejarah, ilmu-ilmu sosial, psikologi, antropologi, linguistik, dan
semiotika. Hal ini dapat menjadi sebuah pengharapan positif terhadap al-Qur’an,
khususnya karena kaum muslim menganggap al-Qur’an sebagai petunjuk dalam semua
segi kehidupan dan Islam sebagai pandangan hidupnya.
55
Anas, “Gagasan Baru Tentang Wahyu: Ke Arah Dialog Kritis Antaragama (Membangun
Masyarakat Kitab Bersama Mohammed Arkoun).”
177
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun
Sebuah pemikiran tidak akan lepas dari pro-kontra, demikian halnya dengan ide-
ide liberal Mohammed Arkoun. Diantara pemikiran Arkoun yang liberal adalah membuat
paradigma baru tentang hakikat teks al-Qur’an. Kebenaran wahyu hanya ada pada level
di luar jangkauan manusia. Muhammad Arkoun mengakui kebenaran umm al-kitab,
hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan
al-Qur’an, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan
kembali.
Daftar Pustaka
178
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.
179
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun
2017.
Putro, Suadi. Mohammed Arkhoun Tentang Islam & MOdernitas. Jakarta: Paramadina,
1998.
Rasid, Ruslan, and Hilman Djafar. “Konsep Pemikiran Mohammad Arkoun Dalam Aina
Huwa AlFikr Al-Islamy Al-Mu’ashir.” Humanika 19 (2019): 43–55.
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan. Bandung: Teraju, 2002.
Saputra, D M, and N Latipah. “KONSEP HISTORISITAS TEKS AL-QUR’AN: Telaah
Atas Pembacaan Kontemporer Muhammad Arkoun.” Jurnal Al-Dirayah 2, no. 1
(2019): 47–61. http://jurnal.stiqlathifiyyah.ac.id/index.php/dirayah/article/view/25.
Shalih, Hashim. Mohammed Arkhoun “Tarikhiyat Al-Fikr Al-Araby Al-Islamy” Terj. 2nd
ed. Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1996.
Soekarba, Siti Rohmah. Dekonstruksi Dan Pemikiran Mohammed Arkoun. Edited by
Rengganik. Depok: LSM Males Arts Studio Pusat Dokumentasi Seni Indonesia,
2019.
Zaenuddin. “Analisis Hermeneutika Dan Tekstualisme Al-Qur’an (Dari Klasik Hingga
Kontemporer).” al-Ifkar Journal for Islamic Studies, no. 1 (2020): 137–163.
Zayyadi, Ahmad. “Pendekatan Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer Nashr Hamid Abu
Zaid.” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, no. 1 (2018): 1–22.
Zuhri. Studi Islam Dalam Tafsir Sosial. Telaah Sosial Gagasan Keislaman Fazlul
Rahman Dan Mohammed Arkoun. Yogyakarta: Bidang Akademiik UIN Sunan
Kalijaga, 2008.
180