Anda di halaman 1dari 20

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam

Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.

Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

Anisa Rosi Oktaviana


UIN Sunan Kalijaga
anissarosi689@gmail.com

This work is licensed under creative a Commons Attribution 4.0 International license

Abstract: At the beginning of the emergence of hermeneutic studies, its characters used this
approach to interpret the Bible. Then the more this science began to develop, finally a thought
emerged that the exegetical methods applied to the Bible could also be applied to other books. In
other words, other holy books can also be interpreted using the hermeneutic approach. In the
postmodernism era, Muslim figures and their thoughts emerged. One of them is Mohammed
Arkoun, because he has lived in France for a long time and has been appointed as a lecturer at
Sorbonne University, many of his thoughts are oriented to figures, especially western linguistic
figures. He tried to interpret the Qur'an using the Hermeneutic method. The research method
used is descriptive qualitative research, where the data source is in the form of documents related
to this research. The result is Arkoun's phenomenal thinking about the interpretation of the Al-
Qur'an. He considers that the Al-Qur'an that we have today is not the original revelation / text,
this article will discuss the concepts that underlie Arkoun's thoughts on the interpretation of
revelation.
Keywords: Concept of Revelation, Hermeneutic Approach, Mohammed Arkoun.
Abstrak: Pada awal kemunculan studi Hermeneutika, para tokoh-tokohnya menggunakan
pendekatan ini untuk menafsirkan Bibel. Lalu semakin mulai berkembangnya ilmu ini, akhirnya
muncul sebuah pemikiran bahwa metode penafsiran yang diaplikasikan kepada Bibel juga bisa
diaplikasikan pada buku lain. Dengan kata lain, kitab-kitab suci lainnya pun dapat diinterpretasi
menggunakan pendekatan Hermeneutika. Pada masa postmodernisme, muncul tokoh-tokoh
muslim dengan berbagai pemikiran-pemikirannya. Salah satunya adalah Mohammed Arkoun,
karena beliau lama tinggal di Prancis dan pernah diangkat menjadi dosen di Universitas
Sorbonne, pemikiran-pemikirannya banyak berkiblat pada tokoh-tokoh linguistik barat. Dia
mencoba menginterpretasi al-Qur’an menggunakan metode Hermeneutika. Metode penelitian
yang digunakan adalah penelitian kualitatif deskriptif, dimana sumber data berupa dokumen-
dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini. Hasil yang ditemukan adalah pemikiran
fenomenal Arkoun mengenai penafsiran “wahyu” di dalam Al-Qur’an. Beliau beranggapan
bahwa Al-Qur’an yang sekarang ada pada kita bukanlah wahyu/nash yang asli. Artikel ini akan
membahas konsep-konsep yang mendasari pemikiran Arkoun terhadap interpretasi wahyu.
Kata Kunci: Konsep Wahyu, Mohammed Arkoun, Pendekatan Hermeneutika.

Pendahuluan

Dewasa ini Hermeneutika mulai banyak dilirik oleh para ilmuwan, walaupun kata
ini sudah lama dikenal namun tidak diragukan lagi pengertiannya terus mengalami

161
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

perkembangan. Kemunculannya kembali di tengah-tengah masyarakat tidak lepas dari


tokoh-tokoh yang umumnya memiliki aliran postmodernisme, seperti Nasr Hamid Abu
Zaid, Mohammed Arkoun dan Hasan Hanafi.1 Bagi kritikus pemikiran Islam seperti
mereka, mengemas hermeneutika secara elegan adalah dengan mencangkupkan
perpaduan tradisi, modernitas dan juga upaya-upaya pembaharuan dalam Islam.2
Pada awalnya, menurut pemikiran Yunani dan Barat, secara umum Hermeneutika
memang hanya digunakan untuk menafsir kitab suci Bibel. Hermeneutika juga hanya
sebuah pemahaman luas yang mengarah pada prinsip-prinsip interpretasi Bibel.3 Definisi
ini juga memiliki dasar sejarah, karena tampaknya penggunaan modern muncul dalam
buku-buku yang menjelaskan tentang kaidah eksegesis4 kitab suci.5 Kemudian
rasionalisme dikembangkan pada abad ke-18 yang berdampak besar pada hermeneutika
alkitabiah. Pada masa itu, metode kritik sejarah muncul dalam teologi, baik itu mazhab
sintaksis penafsiran alkitab maupun mazhab sejarah. Kedua aliran pemikiran ini percaya
bahwa metode penafsiran yang diterapkan pada Alkitab juga dapat diterapkan pada buku-
buku lain.6
Dengan adanya postmodernisme serta munculnya tokoh-tokoh muslim, mereka
berharap dapat mengembangkan penelitian dengan re-interpretasi sistematis terhadap al-
Quran melalui ilmu pengetahuan kontemporer yang masih bertumpu pada keilmuan Islam
klasik. Interpretasi kontemporer (tafsir) al-Qur’an memiliki tiga poin yaitu, (1) sikap
Muslim terhadap tradisi, (2) sikap Muslim terhadap modernitas Barat, dan (3) sikap
Muslim terhadap realitas.7 Hal ini diperlukan karena pembacaan terhadap al-Qur’an baik
yang berpotensi melampaui berbagai keterbatasan metodologis kajian-kajian al-Qur’an
oleh sarjana-sarjana Barat, seperti metode-metode baru yang diperkenalkan dan dirintis
oleh tokoh-tokoh postmodernisme tersebut, antara lain oleh Muhammad Arkoun, Hasan
Hanafi dan Fazlur Rahman.

1
Ali Akbar, “Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan Alquran,” Wacana, Journal of the
Humanities of Indonesia 7, no. 1 (2005): 50.
2
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan (Bandung: Teraju, 2002). Hal.2
3
Akbar, “Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan Alquran,” 51.
4
(pengertian dalam Hayes and Holladay 2006:1-4)
5
Zaenuddin, “Analisis Hermeneutika dan Tekstualisme Al-Qur’an (dari Klasik Hingga
Kontemporer),” al-Ifkar Journal for Islamic Studies 3, no. 1 (2020): 137–163.
6
Akbar, “Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan Alquran.”
7
Zaenuddin, “Analisis Hermeneutika Dan Tekstualisme Al-Qur’an (Dari Klasik Hingga
Kontemporer).”

162
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.

Salah satu kelemahan para teolog klasik adalah ketidakmampuannya menanggapi


semua tantangan nyata yang akan terjadi jika menghadapinya sejalan dengan peningkatan
realitas sosial empiris yang mengikuti perkembangan zaman. Sehingga literatur atau ide
yang ada ini sudah menjadi ciri agama terasa kering, kaku dan pengap. Selanjutnya, corak
penafsiran pada teolog kontemporer condong bersifat ‘reproduktif’ (lebih menonjolkan
porsi pengulangan-pengulangan khazanah intelektual klasik yang dianggap sakral) dan
kurang ‘produktif’ (lebih menonjolkan perlunya mereproduksi makna baru yang sesuai
dengan tantangan perubahan dan perkembangan konteks sosial-ekonomi, politik, dan
budaya yang melingkupi kehidupan umat islam kontemporer tanpa meninggalkan misi
utama makna moral dan pandangan hidup al-Qur’an).8
Bagi Arkoun, sosial humaniora kontemporer tidak hanya digunakan untuk
mempelajari masalah-masalah sosial, menurutnya sosial humaniora juga dapat digunakan
untuk mempelajari isu-isu yang mencerahkan. Dia menjelaskan perlunya kerangka yang
dapat menyajikan bentuk-bentuk historis, sosiologis, antropologis, dan psikologis dari
agama wahyu yang dapat diintegrasikan ke dalam pemikiran dan pengetahuan.9

Kehadiran Arkoun menjawab semua pertanyaan kekeringan yang terjadi lebih


dalam penerapan agama dalam kehidupan komunitas sosial umum dengan mencoba
membangun kembali. Dengan membaca ulang pemikiran Islam dalam kondisi bagus
terakhir terkait dengan konsep ketuhanan, Ibadah, masyarakat/ muamalat, dan masih
banyak lagi.10 Arkoun menolak sikap pengagungan yang berlebihan terhadap tradisi. Dia
menyibukkan diri dalam kurun waktu yang cukup lama dengan penafsiran terhadap teks
suci “Sesungguhnya tujuan yang masih berkelanjutan untuk teks suci ini, tersembunyi
dibalik makna akhir jauh dari jangkauan sejarah dalam penciptaan manusia”.11 Oleh
karena itu, ia mengajukan cara pembacaan baru dan mencoba membacanya kembali
secara kritis, termasuk penafsiran kembali terhadap al-Qur’an. Menurutnya, pendekatan
yang dilakukan oleh sebagian Islamolog Barat maupun Islam sendiri, masih sangat

8
M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Hal. 139
9
Anas, “Gagasan Baru Tentang Wahyu: Ke Arah Dialog Kritis Antaragama (Membangun
Masyarakat Kitab Bersama Mohammed Arkoun),” 64.
10
Ruslan Rasid and Hilman Djafar, “Konsep Pemikiran Mohammad Arkoun Dalam Aina Huwa Al-
Fikr Al-Islamy Al-Mu’ashir,” Humanika 19 (2019): 43–55.
11
Kaihil Musthofa, Al-Ansinah Wa Al-Ta’wil Fi Fikr Muhammad Arkun (Aljazair: Dar Al-Aman,
2011). Hal. 248

163
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

memprihatinkan, hal ini disinyalir oleh Fazlur Rahman bahwa tidak adanya metodologi
penafsiran al-Qur’an yang memadai terhadap penafsiran-penafsiran yang dilakukan umat
Islam, sehingga gagal menangkap pesan moral kitab suci tersebut.
Upaya-upaya seperti ini, bertujuan agar memperoleh kembali pemahaman al-
Qur’an yang dilakukan dalam rangka mencari solusi problem hermeneutis di dalam Islam
yang tidak dapat ditemukan dengan memperkenalkan unsur-unsur asing yang didasarkan
pada perspektif yang sama sekali tidak Qur’ani. Penafsiran al-Qur’an dilakukan untuk
mengintrodusir metode baru yang mendukung dan menjaga keterpeliharaan spirit
keagamaan yang sehat dan sensitif dalam proses pemahaman al-Qur’an.12
Tujuan penelitian ini adalah untuk memfokuskan pembahasan konsep
hermeneutika menurut Muhammad Arkoun serta pemikirannya yang fenomenal, yaitu
Arkoun yang mempertanyakan hakikat wahyu, sebagai doktrin transendental Tuhan, dan
kata-kata wahyu sebagai penjelmaan karam batin. Ilmu menafsirkan al-Qur’an di Barat
modern, seperti linguistik, sejarah, antropologi, dll, telah diadopsi secara luas oleh
Arkoun. Dia mengusulkan hermeneutika "Qur’an" dalam istilah kontemporer modern,
sehingga penjelasan yang dia berikan mengubah peran metode dalam "Tafsir Qur’an"
secara luas.13

Pengertian Hermeneutika

Pada awal abad ke-19 adalah permulaan munculnya Hermeneutika, dan masih
tetap menjadi pembahasan yang aktual hingga saat ini. Definisi sederhana hermeneutika
adalah disiplin filosofis, yang pusatnya adalah "pemahaman" teks (terutama teks dalam
Alkitab).14 Jadi tidak hanya sekedar memahami namun memahami pemahaman tersebut.
Para filsuf abad ke-20 yang menggeluti hermeneutika antara lain Dilthey, Heidegger,
Gadamer, Ricoeur, dan Derrida.
Istilah hermeneutika secara etimologi berasal dari Yunani “Hermenuin” yang
berarti menafsirkan, menjelaskan, dan menerjemahkan. Asal kata kerja istilah tersebut
yang dalam Bahasa Yunani banyak diartikan sebagai kata yang menjadi mengungkapkan

12
Muhammad ’Ata Al-Sid, Hermeneutical Problem of the Qur’an in Islamic History, Terj. Ilham
B. Saenong (Bandung: Teraju, 2004). Hal. 341
13
Nasrudin Nasrudin, “Manhaj Tafsir Muhammad Arkoun,” Maghza 1, no. 1 (2016): 85.
14
(Soekarba 2019:46-47)

164
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.

“to say”, menjelaskan “to explain”, dan menerjemahkan “to translate”.15 Pada prinsipnya
hermeneutika adalah ilmu yang membahas dan menjelaskan teori “theory of
interpretation”, dan juga bisa dimaknai sebagai interpreting dan understanding ketika
memahami suatu teks.16 Menurut L.Berkhof dalam Marhaban, hermeneutik adalah ilmu
yang mempelajari teori, aturan, dan cara mentafsir al-kitab. Sedangngkan menurut
Abdurrahman Al-Baghdadi, hermeneutik adalah ilmu yang mempelajari seluruh proses
penafsiran, yang paling penting dalam dimensi spiritual rohani penafsir.17
Istilah hermeneutika secara historis merujuk pada tokoh mitos dalam mitologi
Yunani bernama Hermès, seorang pembawa pesan yang misinya menyampaikan segala
informasi dari Jupiter kepada manusia. Dia menerjemahkan pesan para dewa di Olympus
ke dalam bahasa yang bisa dipahami manusia. Hermès harus bisa menafsirkan pesan
tersebut ke dalam bahasa yang digunakan oleh penontonnya.18 Dari sinilah mengapa
digunakan istilah hermeneutika, yang merujuk pada Dewa Hermès sebagai simbol karena
tugasnya menyampaikan pesan kepada manusia dengan Bahasa yang dapat mereka
pahami. Maka dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah metode untuk mentafsir
simbol yang berbentuk teks atau hal lain yang dibutuhkan tersebut lalu dicari maknanya.
Hermeneutika adalah metode yang dapat menjelaskan masa lalu yang tidak dialami dan
kemudian membawanya ke masa kini dan masa depan. Metode ini belum diterima secara
luas, namun setidaknya dapat mendukung pemahaman tentang kebenaran tafsir. Dapat
dimengerti bahwa pemahaman adalah seni, bukan seni umum hermeneutika.19
Hermeneutika adalah konsep ilmiah yang memahami dan menjelaskan teks dan
peristiwa masa lalu, serta dapat memahami maknanya secara utuh sehingga dapat
diterapkan di lingkungan saat ini. Mohseni berpendapat:
“hermeneuticist sees interpretation as a circular process whereby valid
interpretation can be achieved by a sustained, mutually qualifying
interplay between our progressive sense of the whole and our retrospective
understanding of its component parts”.

15
Hery Musnur and Muhammad Damanhuri, Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 14–16.
16
Ahmad Zayyadi, “Pendekatan Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer Nashr Hamid Abu Zaid,”
MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir 2, no. 1 (2018): 1–22.
17
Marhaban, “Memahami Teks Al-Qur’an Dengan Pendekatan Hermeneutika (Sebuah Analisis
Filosofis),” At-Tibyan II, no. 1 (1377): 40–57.
18
Akbar, “Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan Alquran,” 51.
19
Rudy Alhana, Menimbang Paradigma Hermeneutik Dalam Mentafsir Al-Qur’an, ed. Husniatus
Salamah Zainiyah, 1st ed. (Surabaya: Revka Petra Media, 2014).

165
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

Hermetisisme melihat interpretasi sebagai proses melingkar dimana interpretasi


yang valid dapat dicapai dengan interaksi yang berkelanjutan dan saling memenuhi antara
pengertian progresif secara keseluruhan dan pemahaman retrospektif tentang bagian-
bagian komponennya.20

Biografi Mohammed Arkoun

Muhammad atau Mohammed Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di


Tourirt-Mimoun, Kabiliah, Aljazair. Kabiliah adalah daerah pegunungan dengan banyak
orang Berber yang mencari nafkah dengan bertani, berdagang, beternak, dan kerajinan
tangan.21 Suku Berber merupakan sebutan untuk penduduk yang tersebar di daerah Afrika
Utara. Namun ia meninggalkan daerah tersebut ketika umur 9 untuk ikut berdagang
dengan ayahnya yang memiliki sebuah toko yang menjual beberapa barang di daerah inti
Arab (sebuah desa dimana banyak penduduknya dari orang Perancis dekat dengan kota
Oran).22
Arkoun dibesarkan di wilayah Kabiliah dan sangat akrab dengan bahasa tak
tertulis ini, telah menjadi sarana untuk mengekspresikan tradisi dan nilai ribuan tahun.
Karena tinggal di daerah Aljazair ia juga dapat berbahasa Arab dengan baik. Selain itu
dalam juga dididik dengan tradisi Prancis sebagai alat untuk Arkoun mempelajari nilai-
nilai dan tradisi keilmuan yang ada di Barat.23 Diceritakan bahwa ia hanya mengetahui
bahasa Perancis dan bahasa Amazigh dan belum mempelajari bahasa Arab kecuali setelah
keluar dari Kabiliah yaitu ketika ia memulai untuk membantu ayahnya dalam berdagang.
Pendidikannya dimulai dari sekolah dasar yang diperoleh di desanya, dan sekolah
menengah ia peroleh di Oran daerah yang sangat jauh dari Kabiliah, yaitu Aljazair Barat.
Di Oran ia tinggal bersama beberapa keluarga Prancis.24 Selanjutnya pada tahun 1952 ia
telah menyelesaikan kuliah sarjananya di bidang Bahasa dan Sastra Arab di Universitas
Al-Jir sambil mengajar di sebuah sekolah menengah di Al-Herrach. Pada tahun 1961

20
Tahereh Mohseni, “The Comparative Study of Qur’an Interpretation & Classic Hermeneutics,”
International Journal of Business and Social Science 5, no. 9 (2014): 185.
21
Waryono Abdul Ghafur, Al-Qur’an Dan Tafsirnya Dalam Perspektif Arkoun, Dalam Studi Al-
Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metode Tafsir (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), 168.
22
Muhammad Ibn Sa’id As-Sarhany, “Al-Atsar Al-Istisyraqy Fi Mauqif Muhammad Arkoun Min
Al-Qur’an Al-Karim,” n.d. Hal. 8
23
Suadi Putro, Mohammed Arkhoun Tentang Islam & MOdernitas (Jakarta: Paramadina, 1998).
24
(Zuhri 2008:127)

166
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.

Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbonne, disana jagalah ia memperoleh


gelar dalam bidang Sastra pada tahun 1969. Yang akhirnya membuat ia menetap di
Perancis.25
Selain bergulat di dunia pendidikan, sebagai seorang ilmuwan, Arkoun juga aktif
menulis artikel dan jurnal. dia juga aktif menjalin hubungan dengan minoritas muslim –
sebagian berasal dari Maghrib/ Maroko- yang tinggal di Prancis. Menurut Meuleman,
beberapa buku karangan Arkoun diantara nya: Traite d'éthique (traduction francaise avec
introduction et notes du Tahdhib al-Akhlaq de Miskawaih) tahun 1969, tulisan tentang
Etika (terjemahan Prancis dengan Pengantar dan Catatan dari Tahdzib al-Akhlaq karya
Miskawaih); Contribution a l’etude de L'humanisme arabe au IV/X siècle: Miskawayh
philosophe et historien, yaitu sumbangan pada pembahasan Humanisme Arab Abad
IV/X: Miskawaih sebagai Filsuf dan Sejarawan tahun 1970; La Pansee Arabe, yakni
Pemikiran Arab tahun 1975; dan lain sebagainya.26 Karena dia berinteraksi erat dengan
ketiga bahasa tersebut (Kabiliah sebagai the mother tongue, Perancis menjadi the second
language, dan Arab menjadi the third language) dalam Lee “Overcoming Tradition,
hal.146”27 Hal ini memudahkannya untuk mempelajari penelitian terbaru tentang bahasa
dengan ilmuwan, filsuf, dan teolog dari Barat. Dari sini, penelitiannya menggunakan
metode ilmu sosial dan humaniora modern, khususnya metode sejarah, antropologi, dan
linguistik, untuk memahami Islam sebagai agama setelah masyarakat modern.28
Arkoun29 dalam proses pencarian makna lain yang tersembunyi berupaya dengan
membaca teks klasik di dalamnya, dari sinilah studi-studinya menggunakan pendekatan
ilmu-ilmu sosial dan humaniora modern, khususnya dalam sejarah, antropologi, dan
linguistic. Oleh karena itu untuk menuju isi konteks tidak lepas pada tahap kajian teks
yang terbaca. Orientasinya adalah memposisikan isi teks yang awalnya teologis menjadi
historis dan antropologis.30

Konsep Hermeneutika menurut Muhammad Arkoun

25
Musthofa, Al-Ansinah Wa Al-Ta’wil Fi Fikr Muhammad Arkoun. Hal. 23-24
26
Mahrus El-Mawa, “Ketika Mohammed Arkoun Membincang Wahyu,” ULUL ALBAB Jurnal
Studi Islam 8, no. 2 (2018): 194–195.
27
(Zuhri 2008:128)
28
Nasrudin, “Manhaj Tafsir Muhammad Arkoun,” 86.
29
(Maulida and Nurmajah 2019:3)
30
(Zuhri 2008:136)

167
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

Al-Qur’an dan As-Sunnah menjadi bagian dari tema pokok dalam studi Islam,
dari kedua sumber tersebut menjadi latar pemikiran Arkoun tentang Al-Quran tidak bisa
diabaikan tanpa perlu diulas. Karena problem kesalahpahaman dalam proses interpretasi
Al-Qur’an yang dilatarbelakangi watak kemodernan, Arkoun tergugah untuk menelaah
Al-Qur’an. Ia menunjukkan bagaimana metodologi studi Al-Qur’an yang menggunakan
dasar kemodernan tidak mampu memahami berbagai fenomena yang olehnya disebut
sebagai agama dan masyarakat kitab-kitab.31
“Islamologi Terapan” menjadi tujuan yang akan dibangun oleh Arkoun, melalui
percobaan dengan menerapkan metodologi ilmiah pada Al-Qur’an, yang juga diterapkan
kepada teks-teks Bibel. Yaitu menjadikan teks keagamaan sebagai tes kritik atas historis
komparatif, analisis dekonstruksi, juga pemikiran filosofis mengenai produksi makna. Ia
memfokuskan konsepnya kepada kebutuhan dalam memahami Al-Qur’an dengan terbuka
untuk manusia, khususnya orang-orang yang mengimaninya.32 Karena adanya Islamologi
Klasik yang merupakan penelitian dan pemahaman orang Barat atas agama Islam,
menurut Arkoun Islamologi Klasik mempersempit berbagai ruang studinya.33
Karya hermeneutik selalu mencakup tiga serangkai, terdiri dari tiga topik yang
saling terkait, yaitu dunia tulis-menulis, dunia penulis, dan dunia pembaca.34 mengatakan
bahwa Arkoun membuat rumusan pola pembacaan Al-Qur’an. Rumusan tersebut
terbentuk dari latar sosial Arkoun, karena ia selalu melakukan dialog dan interaksi dengan
kelompok/komunitas lain. Dari dialog dan interaksi menunjukkan realitas hakiki sebuah
dinamika pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat yang berada dalam ranah
diskursus keilmuan secara dominan yaitu linguistik dan strukturalisme, atau lebih tepat
merupakan tradisi keilmuan yang berkembang di Perancis.
Berikutnya adalah hermeneutika Arkoun terhadap teks al-Qur’an, yang bertujuan
untuk menemukan makna lain yang belum terungkap atau tersembunyi di dalamnya.
untuk menuju rekonstruksi (konteks), harus ada dekonstruksi (teks). Seperti yang kita
ketahui bersama, Arkoun adalah seorang intelektual muslim yang tidak berani
menafsirkan al-Qur’an melalui tradisi Islam, tetapi menggunakan metodologi Barat.

31
(Zuhri 2008:254-255)
32
Rasid and Djafar, “Konsep Pemikiran Mohammad Arkoun dalam Aina Huwa Al-Fikr Al-Islamy
Al-Mu’ashir.”
33
Ajahari, “Pemikiran Fazlur Rahman Dan Muhammad Arkoun” Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat 12 (2016): 232–262.
34
(Zuhri 2008:256)

168
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.

Pemikiran dan karya-karyanya yang kental oleh pengaruh gerakan post-strukturalis


Perancis, yang merujuk pada para pemikir post strukturalis Perancis, Misalnya: De
Saussure (linguistik), Levi-Strauss (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (semiologi),
Derrida (tata bahasa), dsb.35 Dari para tokoh-tokoh ini, dia terinspirasi dan menghasilkan
konsep tafsir dengan pendekatan Hermeneutika sebagai berikut:
1. Historis-Antropologis
Dalam bukunya “Tarikhiyyah AL-Fikr Al-Araby Al-Islami”, Ini bermaksud
untuk melihat semua fenomena sosial dan budaya dari perspektif sejarah, dan
pencarian sejarah sejarah harus dibatasi menurut urutan kronologis dan fakta
nyata. Artinya, historisisme berperan penting dalam metode rekonstruksi makna
yang menghilangkan relevansi antara teks dan konteks. Hasilnya, teks-teks ini
mungkin mengandung makna baru. 36. Arkoun percaya bahwa "Quran" memiliki
banyak arti yang potensial, sehingga masih ada kesempatan untuk mengetahui dan
memahami arti dari "Quran" 37.
Secara umum, ia membedakan dua bentuk tradisional. Dalam karya
Prancisnya. Pada saat yang sama, dia menggunakan kata "tradisi" dan "turats".
Perbedaannya terletak pada penulis huruf T. Pertama (Tradition/ Turats) adalah
tradisi yang transenden, tradisi yang ideal yang berasal dari Tuhan, dan bersifat
absolut. Kedua, (Tradisi / Turats) adalah tradisi yang dibentuk oleh sejarah dan
budaya manusia. Dari sinilah ia mengambil tujuan kedua sebagai tujuan dan objek
penelitian yang akan dilakukannya, yaitu turats yang dibentuk oleh kondisi
sejarah (ruang dan waktu).38
Membaca turats berarti membaca teks. Menurut Arkoun, salah satu tujuan
membaca (menafsirkan) teks (khususnya teks suci) adalah untuk mengapresiasi
teks dalam proses perubahan yang terus-menerus. Dengan kata lain, doktrin
agama yang bersumber dari kitab suci harus selalu menyesuaikan dengan berbagai

35
Mohamad Anas, “Gagasan Baru Tentang Wahyu: Ke Arah Dialog Kritis Antaragama
(Membangun Masyarakat Kitab Bersama Mohammed Arkoun),” Islamic Insights Journal 1, no. 1 (2019):
61–81.
36
Hashim Shalih, Mohammed Arkoun “Tarikhiyyah Al-Fikr Al-Araby Al-Islamy” Terj., 2nd ed.
(Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1996), 14.
37
M Arkhoun, Rethingking Islam Today (Wasington D.C: Center for Contemporary Arab Studies,
1987).
38
Zaglul Fitrian Djalal, “Pembacaan Al- Qur’an Dalam Perspektif Mohammed Arkoun” (n.d.).

169
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

situasi. Intinya, apa yang Arkoun lakukan adalah memaksa al-Qur’an mengikuti
perkembangan zaman, bukan bahwa Alquran selalu menjadi pedoman.
2. Linguistik-Semiotika
Menurut Ferdinand De Saussure (1857-1913 M.), fenomena bahasa
direpresentasikan dengan istilah langage. Dalam bahasa, ada dua jenis, yaitu
parole dan langue. Parole adalah bahasa sebagai perbuatan berbicara oleh
seseorang pada waktu tertentu atau bersifat individual, parole sendiri lebih kepada
kaidah dan tata bahasanya. Sedangkan langue adalah sistem kode yang semua
anggota komunitas dalam komunitas tahu dan setuju dengan, atau dengan kata
lain, bahasa yang digunakan oleh komunitas.39 Saussure menyatakan bahwa setiap
bahasa yang diperoleh masyarakat adalah berdasarkan konvensi atau kesepakatan.
Secara semiotika, Arkoun berharap bisa menampilkan fakta sejarah dalam
bahasa dan isi al-Qur’an (al-Qur'an). Ia meyakini bahwa analisis semiotik al-
Qur’an pada dasarnya memiliki dua tujuan: pertama, untuk menunjukkan fakta
sejarah dalam bahasa al-Qur’an. Kedua, menjelaskan bagaimana memperoleh
makna baru dari teks al-Qur’an tanpa dibatasi oleh metode lain (seperti metode
pembelajaran tradisional).40
3. Teologis-Religius
Menurut Arkoun dalam bukunya Al-Islam wa Al-Tarikh wa Al-Hadatsah: 41
“Jika seseorang terus menganggap Al-Qur’an sebagai sebuah teks dari Tuhan
secara transendental, orang akan hanya berakhir pada masalah-masalah yang lebih
bersifat teologis Dia juga menunjukkan perlunya dilakukan dekonstruksi ortodoks
tertutup, yang hanya dapat mencari sejarah / kesejarahan bebas, dan ini tidak
mungkin dilakukan kecuali mencari sebuah sejarah yang bebas dan dapat
mengarahkan masuknya ide sekularisasi dalam Islam.
Salah satu ciri sekuler adalah memberikan tempat kepada Tuhan dalam
sejarah kehidupan manusia. Ketika memahami Alquran, ia mengatakan bahwa
Mushaf Usmani menunjukkan beberapa fakta sejarah yang bergantung pada
lingkungan luarnya, yaitu kondisi sosial dan politik, dan bukan murni atau mutlak
dari Tuhan.

39
Sakholid Nasution, Pengantar Linguistik Bahasa Arab, 1st ed. (Malang: Lisan Arabi, 2017), 39.
40
Djalal, “Pembacaan Al- Qur’an Dalam Perspektif Mohammed Arkoun,” 12.
41
Ibid., 13.

170
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.

4. Proposal Terakhir

Dengan rentetan teori yang digagas oleh Arkoun, ia menutupinya dengan


membuat sejumlah proposal. Tahapan ini menegaskan sebuah posisi perbedaan
historis dan epistemologis antara penalaran filosofis dan ilmiah seperti yang
dipraktekkan saat ini di Barat dan di tempat lain, serta penalaran Islam yang saat
ini menegaskan posisinya dalam tindakan politik, konteks hukum, sistem
pendidikan dan perilaku individu dan kolektif dibawah kepemimpinan ‘elit’
politik yang jelas tidak siap untuk memulai dan memandu kebijakan perubahan
intelektual dan budaya.

Selama logika Islam tentang perasaan dan emosi eksistensial mendominasi


tanggung jawab intelektual pikiran manusia, akan ada tempat untuk ‘Islam’ salah
satunya Encyclopedia of Islam dan bahkan lebih dari itu, yaitu pada Encyclopedia
of the Qur’an. Dalam konteks ini, hal ini merupakan sebuah ciri-ciri yang sah dari
pengalaman sejarah yang panjang, kaya dan spesifik, sedikit banyak bercampur,
dikondisikan oleh kekuatan pendorong yag subjektif, mitos, ideologis yang
melekat dalam setiap memori kolektif.42 Tugasnya tetap untuk menghasilkan
sebuah Ensiklopedia yang akan membantu mendamaikan persyaratan
pengetahuan kritis dan etos budaya yang tidak dapat direduksi secara sah.

Keinginannya tak lain untuk mewujudkan penerbitan Ensiklopedia al-Qur’an


ini akan berfungsi sebagai menara tempat berdiskusi, penambahan, revisi dan
penyelidikan intelektual. Ia juga menyarankan agar membaca al-Qur’an dengan
menempatkannya dalam pendekatan komparatif, yaitu tidak hanya dibandingkan
dalam tiga agama monoteistik, tetapi juga dalam antropologi sejarah dan
fenomena agama, yang tak lain sebagai bagian dari suasana geo-kultural
masyarakat Mediterania.43 Pada akhirnya, ia menyarankan agar semua pihak
tertarik dalam membuka makna al-Qur’an dan condong melihat ke arah kreatifitas
yang telah digunakan oleh salah satu ulama seperti Ibn al-‘Arabi.

42
Muhammad Arkoun, Islam: To Reform or To Subvert? (Saqi Essentials, 2004). Hal. 41.
43
Muhammad Arkoun, “The Unthought in Contemporary Islamic Thought,” in The American
Journal of Islamic Social Science (London: Saqi Books, 2002). Hal. 2

171
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

Di sisi lain, orang lain juga dapat mengetahui asal usul dan fungsi bahasa agama,
dan bahasa agama memegang peranan yang sangat penting dalam sejarah Islam. Kedua,
untuk konsep semiotika linguistik, teks dapat dipahami sebagai sistem hubungan internal.
Penggunaan analisis semiotik akan mampu mengungkap keterkaitan antara wacana,
realitas, dan persepsi yang dimainkan oleh bahasa. Ketiga, Arkoun bermaksud untuk
memasukkan konsep sekularisasi untuk menemukan sejarah yang bebas dan tidak
tertutup. Keempat, adalah pelengkap dari tiga konsep sebelumnya, untuk mewujudkan
sebuah Ensiklopedia al-Qur’an sebagai wadah berdiskusi, penambahan, revisi dan
penyelidikan intelektual.

Konteks ‘membaca’ al-Qur’an hari ini

‘Hari ini’ mengindikasikan bahwa setiap manusia perlu mengartikulasikan strategi


kognitif dan kritis yang digunakan oleh ilmu sosial sejak pergeseran epistemologis dari
klasik kerangka modernitas kepada perspektif meta-modern,44 antara lain:
1. Struktur dan bentuk al-Qur’an (bentuk dan makna).
2. Wahyu Mekkah awal dan wahyu Madinah sebagai corpora yang dibedakan.
3. Rasional, imajinatif, luar biasa (psikologi pengetahuan; malaikat jin,
keselamatan).
4. Munculnya orang yang bertanggung jawab (dosa, kebajikan, wakil, hukum,
hubungan interpersonal) konstruksi individu sebagai pencipta, pemeluk agama
agen sosial, subjek moral, hukum dan spiritual.
5. Masyarakat, hukum, budaya, pemerintah (otoritas, kontinuitas; non-kekerasan
dan kebenaran sebagai lawan dari kekerasan, kesakralan dan kebenaran; pria,
wanita, anak-anak, budak, peperangan dan perdagangan).

Arkoun mengatakan bahwa kategorisasi di atas akan berlaku untuk semua teks
agama, dan dalam jangka waktu yang lama. Menurutnya, sangat diperlukan dekonstruksi
awal untuk membuat tingkat frustasi dan signifikansi yang sebagian telah diabaikan oleh
beberapa tradisi terdahulu, dimana salah satunya adalah penafsiran dari Muslim
fundamentalis. Dan dikatakan pula bahwa sejak al-Qur’an ditulis sepanjang

44
Arkoun, Islam: To Reform or To Subvert?. Hal. 56

172
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.

penyebarannya dalam bentuk manuskrip hingga tercetak, terjadi kebangkitan ulama yang
tak terhindarkan ke dalam kekuasaan politik dan intelektual.

Adapun bidang baru dalam penyelidikan ilmiah atas fenomena al-Qur’an jelas
harus memenuhi dua persyaratan, yakni:

1) Cendekiawan Muslim harus didorong untuk berkontribusi pada pendekatan


baru terhadap teks-teks agama, dengan meningkatkan kemungkinan dan tempat
untuk saling bertukar dan konfrontasi pemikiran. Hal ini ditujukan untuk
membuat kemajuan yang pasti, dengan proses berfikir, mengetahui dan
bertindak.
2) Adanya ruang yang diberikan kepada penerima beasiswa sebelumnya dan
kepada umat Muslim kontemporer yang heterogen ini, yang menjadikan al-
Qur’an sebagai penyampaian lisan, bacaan liturgi, sebagai teks, sekaligus
Firman Tuhan yang diturunkan. Tak lain ditujukan untuk memisahkan data-
data yang dinyatakan objektif dari beban psikologi dan isi keimanan.45

Konsep Wahyu Mohammad Arkoun

Bagi Arkoun, sosial humaniora kontemporer tidak hanya digunakan untuk


mempelajari masalah-masalah sosial, menurutnya sosial humaniora juga dapat digunakan
untuk mempelajari isu-isu yang mencerahkan. Dia menjelaskan perlunya kerangka yang
dapat menyajikan bentuk-bentuk historis, sosiologis, antropologis, dan psikologis dari
agama wahyu yang dapat diintegrasikan ke dalam pemikiran dan pengetahuan.46

Arkoun memahami wahyu sebagai sejenis informasi, yang begitu kaya dan luas
sehingga dapat diberikan makanan tertentu dalam setiap situasi berbeda yang dialami
manusia. Pandangan publik Arkoun terhadap teks al-Qur’an adalah sesuatu yang dapat
ditafsirkan secara bebas. Dia secara terbuka menyatakan bahwa teks tersebut tetap
terbuka dan tidak dibatasi karena penafsiran tersebut dapat memperkaya makna teks. Ia
mengutip Hans George Gadamer47.

45
Ibid.. 58-61
46
Anas, “Gagasan Baru Tentang Wahyu: Ke Arah Dialog Kritis Antaragama (Membangun
Masyarakat Kitab Bersama Mohammed Arkoun),” 64.
47
Ishak Hariyanto, “HERMENEUTIKA AL-QUR'AN MUHAMMED” 1 (2018): 11.

173
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

Jika kita melihat kembali pada salah satu konsep hermeneutika Arkoun
Linguistik-Semiotika, Arkoun beranggapan "al-Quran" yang dijamah umat manusia
hanyalah satu sisi dari bahasa wahyu Tuhan, karena memiliki sifat yang luar biasa, dan
umat manusia tidak dapat menyentuh parole dari Tuhan.48 Menurutnya, wahyu yang
selama ini dikenal dan dipahami umat Islam berbeda fakta dan klaim sejarahnya. Wahyu
yang absolute bagi Arkoun adalah saat wahyu masih berada dalam lauh mahfudz.
Sedangkan saat wahyu verbal bertransformasi menjadi mushaf maka sisi dan dimensi
wahyu telah berubah, faktor pengubahnya dikarenakan tindakan, respon, dan interaksi
manusia terhadap wahyu. Hal ini bisa dianggap bahwa nilai keotentikan wahyu telah
berubah karena berada dalam ruang lingkup sejarah dan sosial antropologi manusia.49

Arkoun menerapkan semiotika Ferdinand De Saussure pada pengertian wahyu.


Untuk mengetahui posisi al-Qur'an saat ini. Menurut Arkoun, makna "wahyu" dibagi
menjadi tiga tingkatan: Pertama, wahyu adalah pembebasan bersyarat, transendensi dan
ketidakterbatasan Allah (Kalam, kata-kata dan kata-kata)., yang disebut juga Al-Lauh Al-
Mahfudz atau Ummul Kitab.50 Kedua, wahyu dalam sejarah yang menunjuk kepada
sebuah realitas tentang Nabi Muhammad SAW sebagai penerima wahyu dari Allah yang
berbahasa Arab selama lebih dari 20 tahun. Lapisan kedua mengacu pada bahasa lange
dalam al-Qur’an dan perlu juga dicatat bahwa pada tahap kedua, al-Qur’an masih dalam
bentuk lisan melintasi realitas sejarah yang disebut dengan religious discourse. Wahyu
51
inilah yang bisa diakses manusia, oleh Arkoun diistilahkan dengan “wahyu dunia” .
Jenis wahyu yang dapat digunakan umat manusia ini disebut "wahyu dunia" oleh Arkoun.
Ketiga, wahyu yang disebut korpus tertutup/ resmi absolut, atau wahyu yang sudah
dikenal dengan mushaf dengan huruf dan tanda baca di setiap hurufnya. Ini adalah wahyu
sebagai parole Tuhan dan kemudian sejarah ke langue.

Pemikiran Arkoun menciptakan sebuah paradigma /pemikiran baru tentang


hakekat al-Qur’an. Namun pendekatan historisnya justru mendorongnya untuk
menyimpulkan sesuatu yang “ahistoris”, yaitu kebenaran wahyu hanya pada level di luar
jangkauan manusia. Dia mengakui kebenaran wahyu Al-Qur’an hanya pada Tuhan

48
Djalal, “Pembacaan Al- Qur’an Dalam Perspektif Mohammed Arkoun.”
49
(Saputra and Latipah 2019:48)
50
Mohammad Arkoun, Exploration and Responses, n.d., 526.
51
Muhammad Rikza Muqtada, “UTOPIA KHILĀFAH ISLĀMIYYAH : Studi Tafsir Politik
Mohammed Arkoun” 28, no. 1 (2017): 148.

174
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.

sendiri. Arkoun juga mengakui kredibilitas bentuk lisan Al-Qur’an, namun menurutnya
bentuk itu sudah hilang selamanya dan tidak mungkin ditemukan kembali. Padahal
sepanjang zaman kaum muslim menunjukkan secara fakta historis sejak dulu hingga
sekarang dan akan datang selalu meyakini kebenaran Al-Qur’an dalam versi mushaf
utsmani. Allah SWT berfirman:

‫ُوحى ِبإ ِ ْذنِ ِهۦ‬ ً ‫س‬


ِ ‫وَّل في‬ ُ ‫ب أ ْو ي ُْر ِسل ر‬ ِ ٓ‫ٱَّللُ ِإ هَّل و ْحيًا أ ْو ِمن ورا‬
ٍ ‫ئ ِحجا‬ ‫وما كان ِلبش ٍر أن يُك ِلمهُ ه‬
ٌّ ‫ما يشا ٓ ُء ۚ ِإنههۥُ ع ِل‬
‫ى ح ِكيم‬

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia
kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus
seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia
kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Q.S Asy Syura:51)

Menurut Arkoun, kata “wahyu” sulit diartikan sebagai bahasa manusia yang tidak
sakral dalam kalimat di atas, sehingga dia tidak mengartikan kata “wahyu”. Dia hanya
mengatakan bahwa wahyu "Quran" adalah sejenis bacaan yang diucapkan dalam bahasa
manusia, dan kemudian secara langsung atau tidak langsung, yaitu melalui perantara
malaikat kepada nabi.52

Arkoun percaya bahwa wahyu al-Qur’an telah direvisi dan diganti.53 Dalam
meningkatkan makna al-Qur’an, Arkoun berusaha menjauhi potensi untuk membangun
“makna sebenarnya” dari al-Qur’an. Dalam arti tertentu, tidak ada interpretasi Alquran
yang mencapai akhir (secara mutlak). Penjelasan yang bersifat eksplanatif tidak dapat
mencakup seluruh isi Alquran, karena salah satu ciri Al-Qur'an adalah makna yang
majemuk. Arkoun mengungkapkan pandangannya tentang bagaimana membaca
(menafsirkan) al-Qur’an. Menurutnya, umat Islam saat ini dapat hidup dengan al-Qur’an
sebagai pembebasan bersyarat, meskipun saat ini dalam bentuk teks. Ini memberikan cara
khusus dalam membaca atau qira'ah, yaitu strategi qira'ah yang menghasilkan dan
mengungkapkan makna sebanyak-banyaknya dengan mengenali dan membiasakan
simbol (termasuk bentuk kata, kalimat dan simbol). Oleh karena itu, dia tidak hanya

52
Djalal, “Pembacaan Al- Qur’an Dalam Perspektif Mohammed Arkoun.”
53
Muqtada, “UTOPIA KHILĀFAH ISLĀMIYYAH : Studi Tafsir Politik Mohammed Arkoun,”
149.

175
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

menganalisis teks, tetapi juga menganalisis teks elemen grafis pada teks. Berikut ini
adalah contoh cara membaca alfabet Al-Fatihah yang dibagi menjadi dua tahap54:

1. Tahap Analisis Linguistik

Arkoun menganalisis elemen bahasa seperti ism ma'rifah, dhamir, fi'il, ism dan
struktur tata bahasa. Ia menemukan bahwa semua ism ma'rifah dalam al-Qur’an
berhubungan dengan kata Tuhan. Namun ternyata kata Allah masih belum jelas. Siapakah
istilah "Allah" dalam surat itu? Bagi umat Islam saat ini, pertanyaan ini mungkin tidak
diperlukan, tetapi bagi orang-orang di abad ketujuh, pertanyaan ini muncul secara alami.
Untuk alasan ini, Arkoun menyarankan untuk menyebutkan lafadz Allah di surat
sebelumnya.

Berikut adalah susunan kalimat Arkoun, termasuk empat huruf Perancis (wahdat
li al-qira'at alqa'idiyah) dan tujuh predikat (lafdzat ikhbariyah) huruf Al-Fatihah:

⮚ Leksis

1. ‫بسم هللا‬
2. ‫الحمد هلل‬
3. ‫إياك نعبد وإياك نستعين‬
4. ‫إهدنا الصراط المستقيم‬
⮚ Predikat

1. ‫الرحمن الرحيم‬
2. ‫رب العالمين‬
3. ‫الرحمن الرحيم‬
4. ‫مالك يوم الدين‬
5. ‫صراط الذين أنعمت عليهم‬
6. ‫عليهم غير المغضوب‬
7. ‫وَّل الضالين‬

2. Tahap “Analisis Hubungan Kritis”.

54
(Mohammed Arkoun, n.d.:76-77)

176
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.

Menurut Arkoun, tahapan sebelumnya masih belum cukup. Posisi


pembaca masih marjinal, teks terlalu fokus dan ditekankan tanpa memperhatikan
hubungan antara pembaca dan bacaan. Yang diusulkan adalah "hubungan kunci",
yaitu dengan menemukan dan menentukan keberadaan (representasi yang
bermakna), yang merupakan tanda pamungkas. Ada dua cara untuk menemukan
tanda akhir, yaitu eksplorasi sejarah dan eksplorasi antologi. Tujuan eksplorasi
sejarah adalah membaca kembali harta penafsiran klasik dan mencari tanda-tanda
akhirnya. Sejarah adalah sebuah historiografi, yang berarti suatu kegiatan
mentafsir berbagai fakta mulai dari tingkat yang masih “buram” sampai pada
tingkat “jelas”. Sejarah selalu berhubungan dengan konteks-konteks lain dimana
ia dibuat, maka menurut Arkoun sejarah selalu menjadi worldview dari suatu masa
dimana ia ditulis.55 Eksplorasi antropologi dapat dilakukan dengan menemukan
tanda-tanda akhir melalui teori mitologi, yaitu bagaimana menggunakan bahasa
dalam berbagai simbol.

Simpulan

Penjelasan Arkoun yang kaya tidak terlepas dari semua aspek sains modern,
seperti ilmu sosial dan humaniora, seperti linguistik, antropologi, dan filsafat. Meski
mendapat banyak kritik dari pemikirannya, tidak dapat dipungkiri bahwa Arkoun berhasil
menarik sebagian besar orientalis dan menjadikan Alquran sebagai objek penelitian. Dan
berhasil fokus pada pandangan Islam yang dapat diterima di lingkungan ilmiah Barat.

Dari uraian di atas, dapat dilihat, bahwa menurut Arkoun, al-Qur’an yang ada
sekarang merupakan teks untuk dikaji ulang dengan menggunakan berbagai pendekatan
ilmiah. Dia secara energik menyarankan penggunaan metode multidisipliner untuk al-
Qur’an termasuk ilmu sejarah, ilmu-ilmu sosial, psikologi, antropologi, linguistik, dan
semiotika. Hal ini dapat menjadi sebuah pengharapan positif terhadap al-Qur’an,
khususnya karena kaum muslim menganggap al-Qur’an sebagai petunjuk dalam semua
segi kehidupan dan Islam sebagai pandangan hidupnya.

Pemikirannya tentang tradisi hermeneutika dapat mengembalikan wacana tekstual


dan esensi al-Qur’an, sedangkan al-Qur’an lebih mendasar, mendalam dan substansial.

55
Anas, “Gagasan Baru Tentang Wahyu: Ke Arah Dialog Kritis Antaragama (Membangun
Masyarakat Kitab Bersama Mohammed Arkoun).”

177
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

Dalam pandangannya, menurut kehendak Tuhan tanda transendental merupakan aspek


makna yang sebenarnya. Ia kemudian menawarkan metode yang mengedepankan
produktivitas makna melalui kreativitas penafsiran. Di era post-modern, al-Qur’an
dianggap sebagai teks terbuka, belum lengkap dan masih perlu dijelaskan dengan tata
bahasa, aspek semantik, dan kode-kode budaya yang mengelilinginya.

Sebuah pemikiran tidak akan lepas dari pro-kontra, demikian halnya dengan ide-
ide liberal Mohammed Arkoun. Diantara pemikiran Arkoun yang liberal adalah membuat
paradigma baru tentang hakikat teks al-Qur’an. Kebenaran wahyu hanya ada pada level
di luar jangkauan manusia. Muhammad Arkoun mengakui kebenaran umm al-kitab,
hanya ada pada Tuhan sendiri. Ia juga mengakui kebenaran dan kredibilitas bentuk lisan
al-Qur’an, tetapi bentuk itu sudah hilang selama-lamanya dan tidak mungkin ditemukan
kembali.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2006.
Ajahari. “Pemikiran Fazlur Rahman Dan Muhammad Arkoun” Jurnal Studi Agama dan
Masyarakat 12 (2016): 232–262.
Akbar, Ali. “Tawaran Hermeneutika Untuk Menafsirkan Alquran.” Wacana, Journal of
the Humanities of Indonesia 7, no. 1 (2005): 50.
Al-Sid, Muhammad ’Ata. Hermeneutical Problem of the Qur’an in Islamic History, Terj.
Ilham B. Saenong. Bandung: Teraju, 2004.
Alhana, Rudy. Menimbang Paradigma Hermeneutik Dalam Mentafsir Al-Qur’an. Edited
by Husniatus Salamah Zainiyah. 1st ed. Surabaya: Revka Petra Media, 2014.
Anas, Mohamad. “Gagasan Baru Tentang Wahyu: Ke Arah Dialog Kritis Antaragama
(Membangun Masyarakat Kitab Bersama Mohammed Arkoun).” Islamic Insights
Journal 1, no. 1 (2019): 61–81.
Arkhoun, M. Exploration and Responses, n.d.
———. Rethingking Islam Today. Wasington D.C: Center for Contemporary Arab
Studies, 1987.
Arkhoun, Mohammed. Nalar Islami Dan Nalar Modern Berbagai Tantangan Dan Jalan

178
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 12 No. 2 (July-December) 2021, p. 161-180.

Baru. 1st ed. INIS, n.d.


Arkoun, Muhammad. Islam: To Reform or To Subvert? Saqi Essentials, 2004.
———. “The Unthought in Contemporary Islamic Thought.” In The American Journal
of Islamic Social Science. London: Saqi Books, 2002.
As-Sarhany, Muhammad Ibn Sa’id. “Al-Atsar Al-Istisyraqy Fi Mauqif Muhammad
Arkun Min Al-Qur’an Al-Karim,” n.d.
Djalal, Zaglul Fitrian. “Pembacaan Al- Qur’an Dalam Perspektif Mohammed Arkoun”
(n.d.).
El-Mawa, Mahrus. “Ketika Mohammed Arkoun Membincang Wahyu.” ULUL ALBAB
Jurnal Studi Islam 8, no. 2 (2018): 189–215.
Ghafur, Waryono Abdul. Al-Qur’an Dan Tafsirnya Dalam Perspektif Arkhoun, Dalam
Studi Al-Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metode Tafsir. Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2002.
Hariyanto, Ishak. “HERMENEUTIKA AL-QUR ’ AN MUHAMMED” 1 (2018): 130–
144.
Hayes, Jhon H., and Carl R. Holladay. Pedoman Penafsiran Alkitab. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2006.
Marhaban. “Memahami Teks Al-Qur’an Dengan Pendekatan Hermeneutika (Sebuah
Analisis Filosofis).” At-Tibyan II, no. 1 (1377): 40–57.
Maulida, Lutfi, and Siti Nurmajah. “RELASI WAHYU DALAM TIGA AGAMA
SAMAWI” 18, no. 1 (2019): 1–11.
Mohseni, Tahereh. “The Comparative Study of Qur’an Interpretation & Classic
Hermeneutics.” International Journal of Business and Social Science 5, no. 9
(2014): 184–189.
Muqtada, Muhammad Rikza. “UTOPIA KHILĀFAH ISLĀMIYYAH : Studi Tafsir
Politik Mohammed Arkoun” 28, no. 1 (2017): 145–164.
Musnur, Hery, and Muhammad Damanhuri. Hermeneutika Teori Baru Mengenai
Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Musthofa, Kaihil. Al-Ansinah Wa Al-Ta’wil Fi Fikr Muhammad Arkun. Aljazair: Dar Al-
Aman, 2011.
Nasrudin, Nasrudin. “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun.” Maghza 1, no. 1 (2016): 85.
Nasution, Sakholid. Pengantar Linguistik Bahasa Arab. 1st ed. Malang: Lisan Arabi,

179
Anisa Rosi Oktaviana: Konsep Hermeneutika Menurut Mohammed Arkoun

2017.
Putro, Suadi. Mohammed Arkhoun Tentang Islam & MOdernitas. Jakarta: Paramadina,
1998.
Rasid, Ruslan, and Hilman Djafar. “Konsep Pemikiran Mohammad Arkoun Dalam Aina
Huwa AlFikr Al-Islamy Al-Mu’ashir.” Humanika 19 (2019): 43–55.
Saenong, Ilham B. Hermeneutika Pembebasan. Bandung: Teraju, 2002.
Saputra, D M, and N Latipah. “KONSEP HISTORISITAS TEKS AL-QUR’AN: Telaah
Atas Pembacaan Kontemporer Muhammad Arkoun.” Jurnal Al-Dirayah 2, no. 1
(2019): 47–61. http://jurnal.stiqlathifiyyah.ac.id/index.php/dirayah/article/view/25.
Shalih, Hashim. Mohammed Arkhoun “Tarikhiyat Al-Fikr Al-Araby Al-Islamy” Terj. 2nd
ed. Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qawmi, 1996.
Soekarba, Siti Rohmah. Dekonstruksi Dan Pemikiran Mohammed Arkoun. Edited by
Rengganik. Depok: LSM Males Arts Studio Pusat Dokumentasi Seni Indonesia,
2019.
Zaenuddin. “Analisis Hermeneutika Dan Tekstualisme Al-Qur’an (Dari Klasik Hingga
Kontemporer).” al-Ifkar Journal for Islamic Studies, no. 1 (2020): 137–163.
Zayyadi, Ahmad. “Pendekatan Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer Nashr Hamid Abu
Zaid.” MAGHZA: Jurnal Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, no. 1 (2018): 1–22.
Zuhri. Studi Islam Dalam Tafsir Sosial. Telaah Sosial Gagasan Keislaman Fazlul
Rahman Dan Mohammed Arkoun. Yogyakarta: Bidang Akademiik UIN Sunan
Kalijaga, 2008.

180

Anda mungkin juga menyukai