KRITIK: Kebenaran bagi hermeneutika itu relatif. “Tidak ada kebenaran yang objektif dalam HERMENEUTIKA semuanya tergantung ruang dan waktu. JAWABAN: (1) Apa yang dimunculkan oleh hermeneutika dengan keniscayaan terlibatnya konteks dalam pemahaman dan penafsiran tersebut sebenarnya bukanlah sebuah asumsi yang semena-mena. Hermeneutika pada dasarnya hanyalah mengekspos realitas yang sebenarnya dari suatu pemahaman dan penafsiran. Disadari atau tidak seorang yang memahami itu pasti terkondisikan oleh konteks-konteks yang berhubungan dengan dirinya; baik konteks psikologis maupun konteks sosial budaya tempat ia berada. Dengan kata lain, seandainya—sekali lagi: seandainya—benar bahwa dalam pandangan hermeneutika makna itu menjadi relatif maka itu bukanlah 'salah' hermeneutika, tetapi kodrat manusialah yang menuntut pandangan semacam itu. Lanjutan: (2) 'Reproduksi' makna melalui pemahaman yang baru yang dilakukan oleh hermeneutika terhadap teks atau sesuatu yang diperlakukan sebagai teks itu tidak dapat dikatakan menciptakan satu makna baru yang sama sekali berbeda dan tidak berkaitan dengan makna atau pemahaman lama. Dalam hal ini hermeneutika hanyalah melakukan sebentuk "kontekstualisasi', dalam arti menyelaraskan pemahaman atau makna suatu teks dengan konteks ketika pemaknaan dan pemahaman tersebut berlangsung agar teks yang dimaksud dapat fungsional dan operasional. Dengan model semacam ini maka tidak dapat dikatakan bahwa makna dalam hermeneutika itu 'relatif", karena sebenarnya ada yang tidak berubah, yaitu teks dan makna esensial dari teks itu sendiri, hanya saja pemahaman dan pemaknaan 'baru' yang dilakukan terhadapnya mengalami penyesuaian. BUKTI PRAKTIK HERMENEUTIK TELAH DILAKUKAN OLEH UMAT ISLAM SEJAK LAMA KHUSUSNYA KETIKA MENGHADAPI AL-QUR’AN:
1. Problematika Hermeneutik itu senantiasa dialami dan dikaji, meski
tidak ditampilkan secara definitif. Hal ini terbukti dari kajian-kajian mengenai asbabun nuzul dan nasakh mansukh. 2. Perbedaan antara komentar-komentar yang aktual terhadap al-Qur’an (tafsir) dengan aturan, teori atau metode penafsiran telah ada sejak mulai munculnya literatur-literatur tafsir yang disusun dalam bentuk ilmu tafsir. 3. Tafsir tradisional itu selalu dimasukkan dalam kategori-kategori, misalnya tafsir syi'ah, tafsir mu'tazilah, tafsir hukum, tafsir filsafat, dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan adanya kelompok- kelompok tertentu, ideologi-ideologi tertentu, periode-periode tertentu, maupun horison-horison sosial tertentu dari tafsir. Meskipun demikian, operasionalisasi hermeneutika secara utuh seringkali ditentang oleh umat Islam tradisional, karena hermeneutika ini setidaknya membawa tiga macam implikasi yang bertentangan dengan pendirian para ilmuwan muslim konvensional: 1. Hermeneutika membawa implikasi bahwasanya tanpa konteks, teks itu tidak berharga dan bermakna; sementara ide tradisional menyatakan bahwa makna yang sebenarnya itu adalah apa yang dimaksud oleh Allah. 2. Hermeneutika memberi penekanan kepada manusia sebagai 'perantara' yang menghasilkan makna, sementara ide tradisional menyatakan bahwa Rabblah sebenarnya yang menganugerahkan pemahaman yang benar terhadap seseorang. 3. Sangat berbeda dengan tradisi hermeneutik, ilmuwan muslim tradisional telah membuat pembedaan yang tidak terjembatani antara teks al-Qur’an dan tafsir serta penerimanya, teks al-Qur’an dianggap sangat sakral sehingga makna yang sebenarnya tidak mungkin bisa dicapai. Fazlur Rahman Double movement [Penafsiran Double movement dari Fazlurrahman adalah penafsiran dua arah, yaitu merumuskan visi Qur'an yang utuh dan kemudian menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi sekarang.] Penafsiran ‘Double Movement’ Fazlur Rahman Lanjutan… • Fazlurrahman sendiri agaknya telah berusaha merealisasikan konsepnya ini dengan menulis sebuah buku tafsir tematik yang diberinya judul Major Themes of The Qur’an. • Sementara itu bagi Arkoun penafsiran yang utuh adalah penafsiran yang melihat keterkaitan dimensi bahasa pemikiran dan sejarah. • Untuk menjalankan penafsiran yang hermeneutis ini, bagi Arkoun jalan pertama yang harus ditempuh adalah dengan memilah dan menunjukkan mana teks pertama atau teks pembentuk dan mana teks hermeneutis. Arkoun ingin mengembalikan pemikiran Islam kepada wacana Qur'an seperti sediakala yang terbuka terhadap berbagai pembacaan dan dengan demikian terbuka pula terhadap berbagai pemahaman. Kesulitan yang dirasakan Arkoun dalam proyeknya ini adalah kesulitan bahwa ternyata al-Qur’an sebagai teks pertama atau peristiwa pertama telah tertimbun sedemikian rupa oleh pemikiran Islam yang berwujud berbagai macam literatur yang merupakan teks-teks kedua atau teks-teks hermeneutis. Timbunan itu sedemikian rupa sehingga menghalangi untuk memahami al-Qur’an dalam keadaannya seperti sediakala. Lanjutan • Untuk mengatasi hal itu, Arkoun "meminjam" metode "dekonstruksi" atau "pembongkaran" Derrida dan juga analisa arkeologis yang dipakai dalam ilmu- ilmu mengenai benda-benda purbakala. Dengan analisis arkeologis ini diupayakan satu klarifikasi historis (al-idha'ah at-tarikhiyyah) terhadap teks-teks hermeneutis dari tradisi pemikiran tertentu, yaitu memperjelasnya dengan membersihkan "debu" ruang dan waktu yang menyelubunginya sehingga akan terlihat hubungan antara teks-teks dari fase sejarah tertentu dengan konteks sosial, generasi serta gerakan-gerakan pemikiran yang beragam dan berada dalam waktu yang sama. • Di samping menunjukkan adanya hubungan antara pemikiran dengan sejarah, Arkoun juga menunjukkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara pemikiran dengan bahasa. Setiap pemikiran keislaman, disamping merupakan "cermin" dari dinamika pergumulan realitas sosio-historis pada titik sejarah tertentu, juga terumuskan, terkonsepsikan dan terungkapkan dalam "bahasa" tertentu. Lanjutan… • Sementara itu berkait dengan penafsiran yang dengan intensif mengolah pemahaman terhadap teks, bisa dicatat nama Toshihiko Izutsu dan 'Aisyah Abdurrahman binti Syati'. Toshihiko Izutsu dengan bukunya Ethico Religius Concept in the Qur'an berusaha menerapkan metode semantik dalam mengolah teks al-Qur’an. Metode ini dilakukan dengan cara studi analisis terhadap perspektif-perspektif yang terkristalkan dalam kata- kata. Dengan demikian penafsiran al-Qur’an harus bertumpu pada kosakatanya, baik secara individual maupun secara rasional dalam jaring atau struktur tertentu. Analisis pengungkapan makna ini diorientasikan untuk memperoleh gambaran pandangan dunia (weltanschauung) al-Qur’an • Hal yang serupa dilakukan juga oleh Aisyah Abdurrahman binti as-Syati' dengan kitab tafsirnya yang berjudul Al-Tafsir al-Bayni li al-Qur’an al-Karim. Tafsir ini pada dasarnya merealisasikan ide suaminya, Amin Khuli berkenaan dengan penafsiran al-Qur’an yang berupaya melakukan eksplorasi linguistik sekaligus melacak kronologi pewahyuan tema- tema yang dibahas dan didukung riwayat-riwayat yang berkaitan. Ini dimaksudkan untuk dapat memahami konteksnya. Lanjutan.. • Apa yang dilakukan oleh Rahman, Arkoun, Aisyah Abdurrahman, Toshiko, juga Abu Zayd adalah contoh- contoh bagaimana "mengolah" Al-Quran dengan alat hermeneutika. Hermeneutika, sebagaimana disinggung di atas, merupakan satu metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa yang kemudian melangkah kepada analisa psikologis, historis dan sosiologis. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dalam rangka menghadapi realitas sosial. Tiga hal yang menjadi asumsi dasar dalam penafsiran yang bercorak hermeneutik ini, termasuk penafsiran al-Qur’an:
1. Para penafsir itu adalah manusia
• Asumsi ini menyatakan bahwasanya seorang yang menafsirkan teks kitab suci itu tetaplah manusia biasa yang lengkap dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan asumsi ini diharapkan bisa dimengerti bahwasanya manusia itu tidak akan bisa melepaskan diri dari ikatan historis kehidupan dan pengalamannya, dimana ikatan tersebut sedikit banyak akan membawa pengaruh dan mewarnai corak penafsirannya. Asumsi ini dimaksudkan untuk tidak memberikan vonis "mutlak" benar atau salah kepada suatu penafsiran, namun lebih mengarah untuk melakukan analisa kritis terhadap satu penafsiran. • Para penafsir adalah manusia yang membawa "muatan-muatan" kondisi kemanusiaan yang mereka alami. Artinya, setiap generasi muslim sejak masa Nabi Muhammad, sambil membawa "muatan"-nya itu, telah memproduksi komentar- komentar mereka sendiri terhadap al-Qur’an. Maka tidaklah mengherankan jika akhirnya ada beragam interpretasi dari setiap generasi. Lanjutan.. 2. Penafsiran itu tidak dapat lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi • Segala aktivitas penafsiran pada dasarnya merupakan satu partisipasi dalam proses historis-linguistik dan tradisi yang berlaku, dimana partisipasi ini terjadi dalam ruang dan waktu tertentu. Pergulatan umat Islam dengan al-Qur’an juga berada dalam "kurungan" ini. Seseorang tidak mungkin bisa melepaskan diri dari bahasa, budaya dan tradisi dimana mereka hidup. Para pemikir reformis sering menyatakan bahwasanya krisis yang terjadi di dunia Islam serta ketidakmampuan umat Islam untuk memberikan satu kontribusi yang berguna bagi dunia kontemporer adalah dikarenakan tradisi. Jalan keluar yang dianjurkan oleh para reformis itu seringkali adalah dengan meninggalkan ikatan tradisi dan "kembali kepada al-Qur’an". Pernyataan tersebut sebenarnya tidak selaras dengan fakta bahwasanya satu penafsiran itu tidak bisa secara sepenuhnya mandiri berdasarkan teks, tetapi pasti berkaitan dengan muatan historisnya. Lanjutan… 3. Tidak ada teks yang menjadi wilayah bagi dirinya sendiri • Nuansa sosio-historis dan linguistik dalam pewahyuan al-Qur’an itu tampak dalam isi, bentuk, tujuan dan bahasa yang dipakai al-Qur’an. Hal ini tampak pula misalnya dalam pembedaan antara ayat-ayat makkiyah dan ayat-ayat madaniyah. Dalam hubungannya dengan proses pewahyuan, bahasa dan isi di satu sisi: serta dengan komunitas masyarakat yang menerimanya di sisi yang lain, al-Qur’an tidaklah "unik". Wahyu selalu saja merupakan komentar terhadap satu kondisi masyarakat tertentu. • Patut diperhatikan bahwasanya al-Qur’an dalam perspektif hermeneutika ini lebih dipahami dalam dimensi "relasional"-nya dari pada sebagai satu fenomena atau kategori keagamaan yang absolut. Sebagaimana William A. Graham dalam tulisannya Approaches to Islam in religious Studies, Esack berpendapat bahwasanya pemahaman yang lebih tepat dan berguna terhadap kitab suci adalah pemahaman yang disertai kesadaran bahwasanya kitab suci itu tidak hanya sekadar teks, tetapi selalu merupakan satu teks yang berhubungan dengan satu tradisi yang sedang berjalan, yakni berhubungan dengan pribadi-pribadi atau masyarakat-masyarakat normatif. Fazlur Rahman yang Pertama? • FAZLUR RAHMAN, Major Themes of the Qur'an. Chicago and Minneapolis: Biblioteca Islamica, 1980. xvi+180 pp. • JACQUES JOMIER, Les Grandes Themes du Coran. Paris: Le Centurion, 1978. 126 pp. • --diterjemah 1997, The Great Themes of the Qur'an (London: SCM Press) • -Content: Introduction; 1) what is the Qur'an?; 2) Mecca in the early Days of Islam; 3) Hymns to God the Creator; 4) Adam, father of humankind; 5) Abraham, the Muslim; 6) The Prophets who were 'Saved'; 7) Jesus, Son of Mary; 8) The Muslim Community; 9) Argument and Persuation. • Tidak disebut oleh Rahman. Pembaruan • Ebrahim Moosa dalam Pendahuluan, “Peralihan fokus Fazlur Rahman kepada Al-Qur'an” dimulai dari perpindahan ke Univ Chicago (1979?) --1978 meninggalkan Pakistan--dan setelah itu tidak lagi mengkaji filsafat. • Perubahan itu sudah tampak sebelum perpindahan ke Chicago: • “THE QUR'ĀNIC CONCEPT OF GOD, THE UNIVERSE AND MAN”, Islamic Studies, Vol. 6, No. 1 (MARCH 1967), pp. 1-19. • “THE QUR'ĀNIC SOLUTION OF PAKISTAN'S EDUCATIONAL PROBLEMS,” Islamic Studies, Vol. 6, No. 4 (DECEMBER 1967), pp. 315-326. • Dalam “THE QUR'ĀNIC CONCEPT OF GOD, THE UNIVERSE AND MAN”: • “The Qur'anic teaching is entirely oriented towards practice: it provides guidance for man. The interest of the Qur'an in pure, speculative theology is, therefore, negative. Doubtless, the Qur'an contains some theology, a certain amount of cosmology and psychology, etc., but these are all action-oriented and are meant to keep the attitude of man on correct lines, tuned up to the proper moral pitch and geared to a certain purpose. The Qur anic concept of God is, therefore, primarily--indeed, purely--functional. (p. 1) (Re)centering the Qur'an • (Re-)Centering the Qur'an • Etika al-Qur'an • Kajian al-Qur'an dan kehidupan Rasulullah memberi makna dan tujuan yang segar untuk meninjau kembali tradisi Islam. • Iqbal: al-Qur'an sebagai pusat ontologi atau philosophy of being umat Islam. • TTPQ: “kajian sintetik atas tema2 kunci”. Hermeneutika al-Qur'an • Pertama memperkenalkan “hermeneutika”. • Kritik terhadap Gadamer, “too subjetive”. • Apresiasi terhadap Emilio Betti. • Jalan ketiga: “Double Movement” • Dikembangkan dari “Qiyas” dan “Maqashid” (Syatibi). • “elan vital” atau “Ideal moral” al-Qur'an. • Memungkinkan kritik terhadap tradisi penafsiran dan keilmuan Islam, termasuk tafsir awal. Metode TTPQ • Dalam TTPQ: • “metode yang digunakan dalam mengombinasikan tema-tema tersebut bersifat “logis” daripada “kronologis.” • Konsep fondasional, seperti tauhid saat membahas Tuhan, semua gagasan tentang Tuhan mesti berakar dan ditinjau dari kerangka tersebut. • “Cara terbaik untuk membangun konsep sintetik tentang Tuhan.” • “Di luar itu, al-Qur'an mesti dibiarkan berbicara sendiri; tafsir digunakan sebatas jika dipergunakan untuk menautkan berbagai gagasan.” • “Pemaparan sintetik (synthetic exposition) ini merupakan satu-satunya cara untuk menyajikan cita-rasa asli (genuine taste) al-Qur'an, sebagai Kalam Tuhan bagi manusia.” Metode TTPQ • Pemisahan “descriptive meaning” dan “psychological intention”. Al-Qur'an bukan hanya informatif tapi juga preskriptif, menggerakkan jiwa untuk melakukan sesuatu, mengubah karakter. {bukan dalam pendahuluan, tapi dalam pembahasan ttg Manusia sebagai individu). • “Last, but not least in significance, it must be constantly remembered that the Qur’ān is not just descriptive but is primarily prescriptive. Both the content of its message and the power of the form in which it is conveyed are designed not so much to "inform" men in any ordinary sense of the word as to change their character. The psychological impact and the moral import of its statements, therefore, have a primary role. Phrases like "God has sealed their hearts, blinded their eyes, deafened them to truth” in the Qur’ān do have a descriptive meaning in terms of the psychological processes described earlier; but even more primarily in such contexts, they have a definite psychological intention: to change the ways of men in the right direction. Thus, all our clarifications and interpretations of such usages in the Qur’ān—psychological (in the sense of both a process and an intended effect), factual, and moral—operate jointly and must be properly understood and assigned proportionate roles. • Apakah Fazlur Rahman menerapkan “double movement” dalam TTPQ? • --> Tidak tampak “doble movement” dipergunakan, setidaknya secara ketat. Kata-kata kunci (double movement, ideal moral, elan vital [ada: basic elan/real elan, hanya dalam pembahasan tentang kenabian]) tidak muncul. • -->Tapi jelas sekali “elan vital/basic elan/real elan” dan “ideal moral” al-Qur'an ditekankan pada semua tema, yang itu dipergunakan untuk mengritik pemahaman yang menurutnya kurang/tidak pas. • -->Lebih menunjukkan Rahman sebagai teolog dan filosof. • --> Why? Mungkin karena “Tema-tema Pokok”, tidak memungkinkannya menerapkan metode “double movement”. • Justru tampak diterapkan dalam: “THE QUR'ĀNIC SOLUTION OF PAKISTAN'S EDUCATIONAL PROBLEMS,” Islamic Studies, Vol. 6, No. 4 (DECEMBER 1967), pp. 315-326. Kontribusi Lain • Menjadikan al-Qur'an sebagai fondasi dan sumber dalam pembaruan dan perubahan sosial. • Humanisasi kitab suci. • --bukan dalam makna menjadikan Qur'an produk manusia, tapi proses pewahyuan melibatkan agensi Nabi Muhammad sebagai manusia berjiwa dan berakal; Nabi bukan seperti corong pengeras suara. • --Al-Qur'an respons terhadap manusia (sejarah, budaya, problem). • Teologi Baru • Modernist historicism. Islam historis dan islam normatif. 'spirit-murni islam' diperkenalkan kembali, dan untuk menilai tradisi. • Pentingnya sejarah, pengalaman manusia, dan subjektivitas manusia yang terus berubah dalam perubahan nilai-nilai sosial. Pengaruh Hermeneutika Fazlur Rahman • Double movement diterapkan oleh, atau menginspirasi, sarjana- sarjana lain, walau dengan apropriasi masing-masing: • Internasional: Amina Wadud, Nasr Abu Zayd, Farid Esack, Abdullah Saeed, Asma Barlas, Mehmet Pacaci, dll. • Indonesia: Nurcholish Madjid, Syafii Ma'arif, Taufik Adnan Amal, Syamsu Rijal Panggabean, Amin Abdullah, Siti Musdah Mulia, dll. Penutup “I would say that it is this critical awareness, stepped in love for Islam, that we both share.” ~Asma Barlas