Penerjemah :
Andi Permana
NIM. 2111000943
ABSTRACT
ABSTRAK
161
bertahan lama. Banyak ilmuwan modern berjuang untuk menunjukkan
bahwa Alquran akan lebih „up to date‟ dan sesuai dengan isu terkini
dalam kehidupan modern jika kita terbuka terhadap pendekatan baru
terhadapnya. Namun, tidak semua ilmuwan setuju dengan metode
ini karena mereka percaya bahwa Alquran adalah kitab suci yang tidak
dapat didekati dengan metode Barat manapun, terutama hermeneutika.
Bahkan, mereka menyatakan bahwa orang menerapkan metode semacam
itu bisa dikategorikan sebagai orang kafir.
A. PENDAHULUAN
Al-Qur'an umumnya diyakini sebagai kitab suci yang diturunkan oleh
Allah kepada Muhammad melalui Jibril selama sekitar dua puluh tiga
tahun. Wahyu yang diturunkan dari Allah secara lisan oleh Jibril
kepada Muhammad ini akhirnya disusun dalam sebuah buku berjudul
Mushaf yang dapat memudahkan umat Islam mengaksesnya. Namun,
transmisi Al-Qur'an dari tradisi lisan ke teks tertulis membawa
konsekuensi logis yang beragam, terutama dalam menafsirkan kitab
suci semacam itu. Secara umum diketahui bahwa Al-Qur'an memiliki
bentuk yang sempurna tetapi dipahami secara berbeda oleh banyak
ulama. Pertanyaannya adalah mengapa setiap orang memahami kitab
suci itu dengan cara yang berbeda. Mungkin karena latar belakang dan
cara berpikir yang berbeda.
Paul Ricoeur (Ricoeur, 1913), dengan jelas menyebutkan beberapa
macam proses distansiasi karena definisinya bahwa 'teks adalah
wacana yang difiksasi ke dalam tulisan'. distansiasi ini terkait dengan
perbedaan mencolok antara komunikasi lisan dan tertulis (Thomson
(ed.), 1990: 131). Dalam komunikasi lisan, pembicara dan pendengar
mungkin berada di tempat dan waktu yang sama sehingga dapat
163
dalam memahami Al-Qur'an.
Orang lain berpendapat bahwa Al-Qur'an harus menjelaskan dirinya
sendiri (istanthiq Qur'ân). Dalam teori sastra, yang pertama disebut
interpretasi yang berpusat pada pengarang yang berarti memberikan
hak pemahaman teks kepada Tuhan, sedangkan yang kedua disebut
interpretasi yang berpusat pada teks yang berarti interpretasi
berdasarkan teks, misalnya dengan menganalisis bahasa. , tata bahasa,
dan struktur. Teori yang terakhir ini langsung dikritik karena teks itu
diam, tergantung pada orang yang menafsirkan teks tersebut seperti
yang dikatakan Ali: “Qur'ân khaththun masthûrun bayna dafftaini la
yanthiqu, innamâ yatakallamu bih al-nâs” artinya Alquran adalah teks
tertulis yang tidak dapat berbicara, tetapi juru bahasa membuatnya
berbicara (Rahman, 2002).
Kritik sastra yang berkembang sekarang adalah interpretasi yang
berpusat pada pembaca. Peran pembaca dalam mencari dan
menafsirkan teks sangat penting. Namun, cara ini bisa saja
menyesatkan pembaca dan hanya memanfaatkan minatnya untuk
menafsirkan teks karena prasangka pembaca selalu ada. Bultmann
seperti dikutip Yusuf Rahman berpendapat bahwa tidak ada
interpretasi tanpa praduga pembaca. Maksudnya di sini adalah bahwa
pembaca harus berpikiran terbuka ketika dikritik oleh teks saat
membaca. Namun berbeda dengan asumsi ideologis yang dapat
menimbulkan subjektivitas pembaca. Ia hanya berusaha mencari
pembenaran atas ideologinya (Ibid). Oleh karena itu, sulit untuk
menemukan penafsiran yang tepat karena setiap penafsir
menggunakan konteks dan asumsinya masing-masing.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Hermeunetika
Hermeneutik berasal dari kata Yunani 'hermêneuine' dan 'hermênia'
yang berarti menafsirkan dan penafsiran. Kata itu dapat ditemukan
dalam berbagai teks kuno seperti Organon yang ditulis oleh
Aristoteles yang mencakup bab 'Peri Hermneias'. Itu juga dapat
dilihat dalam Oedipus di Colonus, beberapa karya Plato, serta
Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus.
Kata itu terkait dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan Tuhan
yang memiliki tugas untuk menyampaikan dan menafsirkan pesan
Tuhan yang tidak jelas ke dalam bahasa manusia (Saenong, 2002: 23).
Menurut Husen Nasr, sebagaimana dikutip Komaruddin Hidayat,
Hermes dipercaya sebagai Idrîs, yang pekerjaannya menjahit dan
menenun (Hidayat, 1996: 126). Dapat disimpulkan bahwa Idris selalu
menjahit dan menenun firman Tuhan.
Gerhard Ebeling, sebagaimana dikemukakan Saenong, membuat
165
proses interpretasi Hermes. Ada tiga langkah hermeneutika dasar.
Pertama, mengungkap pengertian-pengertian yang sebelumnya ada
dalam gagasan dengan menggunakan kata-kata (berbicara). Kedua,
menjelaskan pesan yang tidak jelas secara rasional untuk dipahami.
Terakhir, menerjemahkan dari bahasa asing ke bahasa yang dapat
dipahami oleh manusia. Ketiga langkah tersebut secara singkat dapat
dianggap sebagai kegiatan penafsiran atau pemahaman (Saenong: 24).
Dalam pandangan sejarah, hermeneutik sebagai semacam
pendekatan telah muncul sejak abad ke-17 tetapi belum
didefinisikan secara filosofis. Istilah hermeneutik didefinisikan
secara jelas oleh JC Daahauer dalam Hermeneutika Sacra Sive
Methodus Exponendarums Sacrarum Litterarum pada tahun 1654.
Ruang lingkup definisi itu berkaitan dengan penafsiran Alkitab.
Sekarang, bisa diterapkan di semua teks termasuk Al-Qur'an.
167
Austin dan Searle. Tindakan wacana, menurut pendapat mereka,
dicakup oleh hierarki tindakan bawahan yang didistribusikan pada
tiga tingkatan (Ibid: 133).
1. tingkat tindakan lokusi atau promosi, tindakan mengatakan
2. tingkat tindakan ilokusi (atau memaksa) apa yang kita
lakukan dalam mengatakan
3. tingkat tindakan perlokusi, apa yang kita lakukan dengan
fakta bahwa kita berbicara.
Tindak lokusi dieksteriorisasikan dalam kalimat qua
proposisi. Karena proposisi begini dan begitulah kalimat itu dapat
diidentifikasi dan diidentifikasi kembali sebagai kalimat yang sama.
Sebuah kalimat dengan demikian muncul sebagai ucapan, mampu
disampaikan kepada orang lain dengan arti ini dan itu.
Tindak ilokusi juga dapat dieksteriorisasikan melalui
paradigma gramatikal dan prosedur lain yang menandai kekuatan
ilokusi sebuah kalimat dan dengan demikian memungkinkannya
untuk diidentifikasi dan diidentifikasi ulang.
169
dan historis untuk membenarkan pendekatan kontekstual terhadap al-
Qur'an itu sendiri dan peran manusia dalam mengelaborasi
maknanya. Pendekatan ini telah memungkinkan banyak Islamis
progresif di Afrika Selatan untuk melibatkan rezim apartheid secara
bermakna dalam solidaritas dengan agama lain (Farid Esack, 1997:
49).
Lebih dari empat belas abad setelah diturunkannya Al-
Qur'an, di ujung selatan Afrika, orang-orang yang beriman kepada
Al-Qur'an telah membuka hidup mereka dan berjuang untuk makna
pesannya. Mereka telah meminta teks untuk memasuki konteks
penindasan dan perjuangan mereka untuk kebebasan. Isu
hermeneutika muncul dari perjumpaan antara teks dan konteks ini,
implikasinya bagi munculnya hermeneutika al-Qur'an sebagai
disiplin kontemporer dan hubungannya dengan tradisi (Ibid: 50).
Perbedaan antara menafsirkan sesuatu di satu sisi, dan
aturan dan masalah interpretasi di sisi lain adalah sesuatu yang
telah diketahui sejak awal studi alkitabiah dan Al-Qur'an. Jadi,
sementara istilah 'hermeneutika' sendiri baru muncul pada abad
ketujuh belas, operasi eksegesis tekstual dan teori interpretasi—
agama, sastra, dan hukum—berasal dari zaman kuno. Menurut
Palmer, dua aliran besar dapat dilihat dalam pencarian definisi
hermeneutika. Aliran pertama menganggap hermeneutik sebagai
kumpulan prinsip-prinsip metodologis yang mendasari interpretasi,
sedangkan aliran kedua memandangnya sebagai eksplorasi filosofis
tentang karakter dan kondisi yang diperlukan untuk semua
pemahaman.
171
5. Pendekatan Hermeneutis Dalam Pandangan Nasr Abu Zaid
Abu Zaid selalu mengawali pandangannya tentang tekstualitas
Al-Qur'an dengan memaparkan perdebatan antara Asy'rites dan
Mu'tazilites tentang firman Allah (kalâm allâh) terkait dengan
pertanyaan apakah Al-Qur'an 'dibuat' atau tidak. Menurut Asy'arites,
bahasa diberikan oleh Tuhan kepada manusia, bukan penemuan
mereka. Oleh karena itu, hubungan antara 'penanda' dan 'petanda'
ditentukan oleh Tuhan. Al-Qur'an berdasarkan alur penalaran itu
harus menjadi bagian dari sifat-sifat ketuhanan yang akan tetap ada
selama-lamanya.
Di sisi lain, Mu'tazilah berpendapat bahwa bahasa diciptakan
oleh manusia sebagai konvensi sosial tentang hubungan antara suara
dan maknanya. Bahasa tidak selalu mengacu langsung pada realitas
yang sebenarnya, tetapi pada realitas yang dipahami yang
disimbolkan melalui sistem suara. Oleh karena itu, mereka percaya
bahwa Tuhan tidak lagi berperan dalam kasus seperti itu yang
mengakibatkan pernyataan bahwa Al-Qur'an diciptakan dalam
konteks khusus (Ichwan, 2003: 63-63). Dalam hal ini, Abu Zaid
sangat setuju dengan gagasan yang dapat menempatkan Al-Qur'an
sejajar dengan teks-teks lainnya.
Abu Zaid memiliki teori tentang teks. Meski tidak
menjelaskan secara gamblang makna 'teks' dalam bukunya 'Mafhûm
al-nash', namun Abu Zaid memberikan gambaran yang baik
tentang perbedaan antara teks (nash) dan kitab (mushhaf). Teks
adalah 'makna' sedangkan buku adalah 'sesuatu' dengan kata lain,
teks dalam bahasa sedangkan buku dipegang di tangan. Teorinya
173
(Rahman, 2001:122):
“Pengamat mengirimkan pesan kepada penerima. Agar dapat
berfungsi, pesan memerlukan konteks yang dirujuk (“mengacu”
dalam istilah lain, agak ambigu, nomenklatur), dapat dipahami oleh
penerima, dan baik verbal atau mampu diungkapkan secara verbal;
sebuah kode sepenuhnya atau setidaknya sebagian, umum untuk
penerima dan penerima (atau dengan kata lain, untuk encoder dan
decoder pesan), dan, akhirnya, kontak, saluran fisik dan koneksi
psikologis antara pengirim dan penerima, memungkinkan keduanya
untuk masuk dan tetap berkomunikasi.”
Abu Zaid memperlakukan Al-Qur'an, menurut Jakobson,
sebagai bentuk komunikasi, wahy, yang terdiri dari enam elemen:
pesan (risalah), penyampai (mukhâtib), penerima (mukhâtab),
kontak ('alaqah ittishâl).), kode (shifrah), dan konteks (wâqi ').
Dari faktor-faktor tersebut, dimungkinkan untuk menggambarkan
gagasannya tentang teks, seperti yang dilakukan Yusuf Rahman,
sebagai “pesan yang dikirim oleh seorang penyampai kepada
seorang penerima dalam konteks tertentu melalui sebuah kontak
dengan menggunakan kode khusus”. Dan dalam hal Al-Qur'an,
wahyu adalah pesan yang diturunkan oleh Allah kepada utusan-Nya
melalui wahyu dalam konteks tertentu dengan menggunakan bahasa
Arab (Ibid: 123).
Muhammad
Allah Sebagai Alquran
Sebagai
Alamat Sebagai Pesan
Penerima
Jibril
Sebagai
Penyampai
Bahasa Arab
Sebagai Kode
177
BIBLIOGRAPHY
McGill University
179
-----------, „Kajian Hermeneutik Pluralitas Tafsir Quran‟, Jawa Pos, Sunday, 13
January 2002
-----------, „Sakralitas Teks-teks Agama‟, Kompas, Friday, 18 January 2002
Saenong, Ilham S., 2002, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: Teraju
Sumaryono, E., 1999, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius
Syahrur, Muhammad, 1990, Al-Kitab wa Qur‟ân Qiraah Mu‟ashirah,
Damaskus: Al-Ahali
Thomson, John B., 1990, Paul Ricoeur Hermeneutics & The Human Sciences,
Cambridge: Cambridge University Press
181