Anda di halaman 1dari 21

PENDEKATAN HERMENEUTIS UNTUK PENAFSIRAN AL QURAN :

Sebuah Penawaran Dari Barat

Penerjemah :
Andi Permana
NIM. 2111000943

ABSTRACT

This article will present the general description of hermeneutical approach,


including historical background and phenomenon in understanding the text as
well as the Qur‟ân. This article will try to portray hermeneutical approach in
interpreting Qur‟ân which has been discussed by many scholars. It found that
hermeneutical approach is an alternative method to understand Qur‟ân or
even Hadis. It may give a new spirit in developing Qur‟ân in terms of its long-
lasting values. Many modern scholars have undoubtedly struggled to show
that Qur‟ân will be more „up-to date‟ and compatible with the current issues
in modern life if we are open to new approach to it. However, not all scholars
agree with this method since they believe that Qur‟ân is a sacred book which
cannot be approached by whatever Western methods, especially hermeneutics.
Even, they condemn that the people apply such a method can be categorized
as infidel.

Keywords: Hermeneutics; Qur‟ânic Exegesis; the West.

ABSTRAK

Artikel ini akan menyajikan gambaran umum tentang pendekatan


hermeneutis, termasuk latar belakang dan fenomena sejarah dalam
memahami teks dan juga al-Qur‟an. Artikel ini akan mencoba
menggambarkan pendekatan hermeneutis dalam menafsirkan al-
Qur‟an yang telah dibahas oleh banyak ilmuwan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pendekatan hermeneutis adalah metode alternatif
untuk memahami Al-Qur‟an atau bahkan Hadis. Hal ini memberi
semangat baru dalam mengembangkan Alquran dalam nilai-nilai yang

161
bertahan lama. Banyak ilmuwan modern berjuang untuk menunjukkan
bahwa Alquran akan lebih „up to date‟ dan sesuai dengan isu terkini
dalam kehidupan modern jika kita terbuka terhadap pendekatan baru
terhadapnya. Namun, tidak semua ilmuwan setuju dengan metode
ini karena mereka percaya bahwa Alquran adalah kitab suci yang tidak
dapat didekati dengan metode Barat manapun, terutama hermeneutika.
Bahkan, mereka menyatakan bahwa orang menerapkan metode semacam
itu bisa dikategorikan sebagai orang kafir.

Kata kunci: Barat; Hermeneutika; Penafsiran al-Qur‟an

A. PENDAHULUAN
Al-Qur'an umumnya diyakini sebagai kitab suci yang diturunkan oleh
Allah kepada Muhammad melalui Jibril selama sekitar dua puluh tiga
tahun. Wahyu yang diturunkan dari Allah secara lisan oleh Jibril
kepada Muhammad ini akhirnya disusun dalam sebuah buku berjudul
Mushaf yang dapat memudahkan umat Islam mengaksesnya. Namun,
transmisi Al-Qur'an dari tradisi lisan ke teks tertulis membawa
konsekuensi logis yang beragam, terutama dalam menafsirkan kitab
suci semacam itu. Secara umum diketahui bahwa Al-Qur'an memiliki
bentuk yang sempurna tetapi dipahami secara berbeda oleh banyak
ulama. Pertanyaannya adalah mengapa setiap orang memahami kitab
suci itu dengan cara yang berbeda. Mungkin karena latar belakang dan
cara berpikir yang berbeda.
Paul Ricoeur (Ricoeur, 1913), dengan jelas menyebutkan beberapa
macam proses distansiasi karena definisinya bahwa 'teks adalah
wacana yang difiksasi ke dalam tulisan'. distansiasi ini terkait dengan
perbedaan mencolok antara komunikasi lisan dan tertulis (Thomson
(ed.), 1990: 131). Dalam komunikasi lisan, pembicara dan pendengar
mungkin berada di tempat dan waktu yang sama sehingga dapat

162 Pendekatan Studi Islam – PPS IAID


Hermeneutical Approach For Qur‟ânic EXegesis: An Offer From The eest

menimbulkan komunikasi dua arah. Sedangkan dalam komunikasi


tertulis kasusnya berbeda dimana penulis dan pembaca mungkin
tinggal di tempat dan waktu yang berbeda. Oleh karena itu,
komunikasi akan menjadi komunikasi satu arah, artinya penulis dan
pembaca tidak dapat saling berhubungan secara langsung karena
penulis hanya berhubungan dengan teks sedangkan teks akan menjadi
media komunikasi bagi pembaca. Komunikasi itu bisa disebut juga
sebagai komunikasi impersonal karena media komunikasinya ada di
dalam teks itu sendiri. Akibatnya, jika pembaca tidak dapat
memahami teks dengan baik, sulit baginya untuk mendapatkan
penjelasan lebih lanjut apalagi jika penulis telah meninggal dunia jauh
dari pembaca. Distansiasi semacam ini disebut 'penjauhan dari teks
atau penulisnya.
Distansiasi lainnya adalah 'dari konteks'. Dalam sebuah dialog, setiap
komunikan dapat saling melihat dan mengklarifikasi apa yang tidak
sepenuhnya mereka pahami dari pasangannya, juga mereka dapat
langsung merujuk pada konteksnya. Di sisi lain, ketika membaca teks,
meskipun penulis telah cukup menutup konteks di dalam teks, sangat
mungkin untuk salah menafsirkan isi teks karena konteksnya sangat
terbatas atau tidak ada lagi.
Proses distansiasi juga terjadi dalam Al-Qur'an yang dapat
mengakibatkan salah tafsir. Distansiasi pertama adalah distansiasi
'dari Tuhan'. kita tidak bisa bertanya kepada Tuhan apa yang dia
inginkan untuk mengetahui secara mendalam isi Al-Qur'an. Oleh
karena itu, tidak bijaksana jika kita mengatakan bahwa kita tahu apa
yang Tuhan inginkan. Mungkin terlihat dalam banyak kasus bahwa
beberapa orang mengklaim bahwa ide mereka adalah yang terbaik

163
dalam memahami Al-Qur'an.
Orang lain berpendapat bahwa Al-Qur'an harus menjelaskan dirinya
sendiri (istanthiq Qur'ân). Dalam teori sastra, yang pertama disebut
interpretasi yang berpusat pada pengarang yang berarti memberikan
hak pemahaman teks kepada Tuhan, sedangkan yang kedua disebut
interpretasi yang berpusat pada teks yang berarti interpretasi
berdasarkan teks, misalnya dengan menganalisis bahasa. , tata bahasa,
dan struktur. Teori yang terakhir ini langsung dikritik karena teks itu
diam, tergantung pada orang yang menafsirkan teks tersebut seperti
yang dikatakan Ali: “Qur'ân khaththun masthûrun bayna dafftaini la
yanthiqu, innamâ yatakallamu bih al-nâs” artinya Alquran adalah teks
tertulis yang tidak dapat berbicara, tetapi juru bahasa membuatnya
berbicara (Rahman, 2002).
Kritik sastra yang berkembang sekarang adalah interpretasi yang
berpusat pada pembaca. Peran pembaca dalam mencari dan
menafsirkan teks sangat penting. Namun, cara ini bisa saja
menyesatkan pembaca dan hanya memanfaatkan minatnya untuk
menafsirkan teks karena prasangka pembaca selalu ada. Bultmann
seperti dikutip Yusuf Rahman berpendapat bahwa tidak ada
interpretasi tanpa praduga pembaca. Maksudnya di sini adalah bahwa
pembaca harus berpikiran terbuka ketika dikritik oleh teks saat
membaca. Namun berbeda dengan asumsi ideologis yang dapat
menimbulkan subjektivitas pembaca. Ia hanya berusaha mencari
pembenaran atas ideologinya (Ibid). Oleh karena itu, sulit untuk
menemukan penafsiran yang tepat karena setiap penafsir
menggunakan konteks dan asumsinya masing-masing.

164 Pendekatan Studi Islam – PPS IAID


Hermeneutical Approach For Qur‟ânic EXegesis: An Offer From The eest

Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini akan menyajikan gambaran


umum pendekatan hermeneutis termasuk latar belakang dan fenomena
sejarah dalam memahami teks maupun al-Qur'ân. Untuk mengetahui
lebih jauh mengenai permasalahan tersebut, tulisan ini akan mencoba
menggambarkan pendekatan hermeneutis dalam menafsirkan al-
Qur'ân yang telah dibahas oleh banyak ulama seperti Hasan Hanafi
(al-Turâts wa al-Tajdîd), Farid Esack (Qur'ân, Liberation &
Pluralisme), Nasr Hâmid Abû Zaid (Mafhûm al- Nash) dan
Muhammad Sahrûr (Al-Kitâb wa Qur'ân: Qirâ'ah Muâshirah).
Khusus dalam karya ini, saya hanya mengacu pada pandangan dan
contoh Abu Zaid untuk mendukung pendekatan ini secara singkat.

B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Hermeunetika
Hermeneutik berasal dari kata Yunani 'hermêneuine' dan 'hermênia'
yang berarti menafsirkan dan penafsiran. Kata itu dapat ditemukan
dalam berbagai teks kuno seperti Organon yang ditulis oleh
Aristoteles yang mencakup bab 'Peri Hermneias'. Itu juga dapat
dilihat dalam Oedipus di Colonus, beberapa karya Plato, serta
Xenophon, Plutarch, Euripides, Epicurus, Lucretius, dan Longinus.
Kata itu terkait dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan Tuhan
yang memiliki tugas untuk menyampaikan dan menafsirkan pesan
Tuhan yang tidak jelas ke dalam bahasa manusia (Saenong, 2002: 23).
Menurut Husen Nasr, sebagaimana dikutip Komaruddin Hidayat,
Hermes dipercaya sebagai Idrîs, yang pekerjaannya menjahit dan
menenun (Hidayat, 1996: 126). Dapat disimpulkan bahwa Idris selalu
menjahit dan menenun firman Tuhan.
Gerhard Ebeling, sebagaimana dikemukakan Saenong, membuat
165
proses interpretasi Hermes. Ada tiga langkah hermeneutika dasar.
Pertama, mengungkap pengertian-pengertian yang sebelumnya ada
dalam gagasan dengan menggunakan kata-kata (berbicara). Kedua,
menjelaskan pesan yang tidak jelas secara rasional untuk dipahami.
Terakhir, menerjemahkan dari bahasa asing ke bahasa yang dapat
dipahami oleh manusia. Ketiga langkah tersebut secara singkat dapat
dianggap sebagai kegiatan penafsiran atau pemahaman (Saenong: 24).
Dalam pandangan sejarah, hermeneutik sebagai semacam
pendekatan telah muncul sejak abad ke-17 tetapi belum
didefinisikan secara filosofis. Istilah hermeneutik didefinisikan
secara jelas oleh JC Daahauer dalam Hermeneutika Sacra Sive
Methodus Exponendarums Sacrarum Litterarum pada tahun 1654.
Ruang lingkup definisi itu berkaitan dengan penafsiran Alkitab.
Sekarang, bisa diterapkan di semua teks termasuk Al-Qur'an.

2. Fungsi Heurmeunetika Distansi


Ricoeur, lebih lanjut, menguraikan gagasan teks dalam
pandangan yang membuktikan fungsi positif dan produktif dari
distanciation di jantung historisitas pengalaman manusia
(Ricoeur:131). Untuk memulainya, ia menjelaskan secara gamblang
realisasi bahasa sebagai wacana.
Wacana bahkan dalam bentuk lisan, kata Ricoeur,
menampilkan jenis distansiasi primitif yang merupakan kondisi
kemungkinan semua karakteristik. Wacana diartikan sebagai suatu
peristiwa, jadi sesuatu terjadi ketika seseorang berbicara. Gagasan
wacana sebagai suatu peristiwa menjadi sangat penting ketika
bagian dipindahkan dari linguistik bahasa atau kode ke linguistik

166 Pendekatan Studi Islam – PPS IAID


Hermeneutical Approach For Qur‟ânic EXegesis: An Offer From The eest

wacana atau pesan (Ibid: 132).


Makna peristiwa dapat dipahami dari berbagai sudut:
1. wacana diwujudkan secara temporal dan pada masa kini,
sedangkan sistem bahasa bersifat maya dan di luar waktu.
Karakter peristiwa terkait dengan orang yang berbicara,
peristiwa itu terdiri dari fakta bahwa seseorang berbicara,
seseorang mengekspresikan dirinya dalam mengambil
pidato.
2. tanda bahasa hanya mengacu pada tanda-tanda lain di dalam
sistem yang sama sehingga bahasa tidak lagi memiliki dunia
yang memiliki waktu dan subjek, sedangkan wacana selalu
tentang sesuatu. Peristiwa di sini adalah munculnya dunia
dalam bahasa melalui wacana. Kemudian, dalam karya
Scleiermacher dan eilhelm Dilthey, hermeneutika diberikan
secara filosofis. Scleiermacher, dikutip Ricoeur, menyatakan
bahwa hermeneutika adalah cara untuk membawa filologi
dan metode interpretasi lainnya ke tingkat 'kunstlehre' yaitu
teknologi yang tidak terbatas pada kumpulan operasi yang
tidak berhubungan belaka. Selanjutnya mereka
mengembangkan hermeneutika lebih dalam dengan
memanfaatkannya sebagai landasan metodologis humaniora
3. Wacana tidak hanya memiliki dunia tetapi juga memiliki
orang lain, orang lain, lawan bicara yang dituju. Peristiwa
adalah fenomena temporal pertukaran, pembentukan dialog
yang dapat dimulai, dilanjutkan atau ditafsirkan.
Hermeneutika harus menarik tidak hanya untuk linguistik
tetapi juga untuk teori tindak tutur, seperti yang dinyatakan oleh

167
Austin dan Searle. Tindakan wacana, menurut pendapat mereka,
dicakup oleh hierarki tindakan bawahan yang didistribusikan pada
tiga tingkatan (Ibid: 133).
1. tingkat tindakan lokusi atau promosi, tindakan mengatakan
2. tingkat tindakan ilokusi (atau memaksa) apa yang kita
lakukan dalam mengatakan
3. tingkat tindakan perlokusi, apa yang kita lakukan dengan
fakta bahwa kita berbicara.
Tindak lokusi dieksteriorisasikan dalam kalimat qua
proposisi. Karena proposisi begini dan begitulah kalimat itu dapat
diidentifikasi dan diidentifikasi kembali sebagai kalimat yang sama.
Sebuah kalimat dengan demikian muncul sebagai ucapan, mampu
disampaikan kepada orang lain dengan arti ini dan itu.
Tindak ilokusi juga dapat dieksteriorisasikan melalui
paradigma gramatikal dan prosedur lain yang menandai kekuatan
ilokusi sebuah kalimat dan dengan demikian memungkinkannya
untuk diidentifikasi dan diidentifikasi ulang.

3. Hubungan berbicara dan menulis


Berbicara dan Menulis tampaknya hanya memperkenalkan
faktor eksternal dan material murni: fiksasi, yang melindungi
peristiwa wacana dari kehancuran. Faktanya, fiksasi hanyalah
penampilan luar dari suatu masalah yang jauh lebih penting, dan
yang mempengaruhi semua sifat wacana. eriting membuat teks
menjadi otonom sehubungan dengan maksud penulis. Jika makna
teks tidak lagi sesuai dengan makna pengarang, maka makna
tekstual dan makna psikologis memiliki nasib yang berbeda.

168 Pendekatan Studi Islam – PPS IAID


Hermeneutical Approach For Qur‟ânic EXegesis: An Offer From The eest

Bagian dari berbicara ke menulis mempengaruhi wacana dalam


beberapa cara. Secara khusus, fungsi referensi sangat berubah
ketika tidak mungkin lagi mengidentifikasi hal yang dibicarakan
sebagai bagian dari situasi umum lawan bicara (Ibid: 139-140).
Apa yang terjadi pada referensi ketika wacana menjadi teks?
pertanyaan Farid Esack. menulis dan semua struktur pekerjaan
memodifikasi referensi ke titik rendering itu sepenuhnya
bermasalah. Dalam wacana lisan, masalah tersebut pada akhirnya
diselesaikan dengan fungsi ostensif wacana. Referensi ditentukan
oleh kemampuan untuk menunjuk pada realitas yang umum bagi
lawan bicara. Jika seseorang tidak dapat menunjuk pada hal yang
dibicarakannya, setidaknya ia dapat menempatkannya dalam
kaitannya dengan jaringan spatio-temporal unik yang dimiliki oleh
lawan bicaranya.
dengan menulis, hal-hal sudah mulai berubah. Tidak ada lagi
situasi umum bagi penulis dan pembaca dan tidak ada lagi kondisi
konkret dari tindakan tersebut. Penghapusan sifat rujukan yang
menonjol ini tidak diragukan lagi memungkinkan terjadinya
fenomena yang disebut sastra, yang dapat menghapuskan semua
rujukan pada suatu realitas tertentu (Ibid: 141).
4. Antara Teks dan Konteks
Keyakinan kami akan relevansi abadi Al-Qur'an tidak sama
dengan teks yang tak lekang oleh waktu dan tanpa ruang. Untuk
menghubungkan makna Al-Qur'an dengan wadah Afrika Selatan,
kaum Islamis progresif terpaksa menghubungkannya dari beberapa
momen sejarah. Al-Qur'an tidak mungkin merupakan wahyu jika
tidak juga merupakan peristiwa yang penting. Ada landasan teologis

169
dan historis untuk membenarkan pendekatan kontekstual terhadap al-
Qur'an itu sendiri dan peran manusia dalam mengelaborasi
maknanya. Pendekatan ini telah memungkinkan banyak Islamis
progresif di Afrika Selatan untuk melibatkan rezim apartheid secara
bermakna dalam solidaritas dengan agama lain (Farid Esack, 1997:
49).
Lebih dari empat belas abad setelah diturunkannya Al-
Qur'an, di ujung selatan Afrika, orang-orang yang beriman kepada
Al-Qur'an telah membuka hidup mereka dan berjuang untuk makna
pesannya. Mereka telah meminta teks untuk memasuki konteks
penindasan dan perjuangan mereka untuk kebebasan. Isu
hermeneutika muncul dari perjumpaan antara teks dan konteks ini,
implikasinya bagi munculnya hermeneutika al-Qur'an sebagai
disiplin kontemporer dan hubungannya dengan tradisi (Ibid: 50).
Perbedaan antara menafsirkan sesuatu di satu sisi, dan
aturan dan masalah interpretasi di sisi lain adalah sesuatu yang
telah diketahui sejak awal studi alkitabiah dan Al-Qur'an. Jadi,
sementara istilah 'hermeneutika' sendiri baru muncul pada abad
ketujuh belas, operasi eksegesis tekstual dan teori interpretasi—
agama, sastra, dan hukum—berasal dari zaman kuno. Menurut
Palmer, dua aliran besar dapat dilihat dalam pencarian definisi
hermeneutika. Aliran pertama menganggap hermeneutik sebagai
kumpulan prinsip-prinsip metodologis yang mendasari interpretasi,
sedangkan aliran kedua memandangnya sebagai eksplorasi filosofis
tentang karakter dan kondisi yang diperlukan untuk semua
pemahaman.

170 Pendekatan Studi Islam – PPS IAID


Hermeneutical Approach For Qur‟ânic EXegesis: An Offer From The eest

Hermeneutika berasumsi bahwa setiap orang sampai pada


sebuah teks dengan membawa pertanyaan dan harapannya sendiri
dan bahwa akan 'tidak masuk akal untuk menuntut dari penafsir
mana pun untuk mengesampingkan subjektivitasnya dan
menafsirkan sebuah teks tanpa pra-pemahaman dan pertanyaan-
pertanyaan yang diprakarsai olehnya, karena tanpa ini, teks menjadi
bisu. Dalam bentuk tunggal, 'hermeneutik' pengakuan sadar asumsi-
asumsi ini dibawa ke depan (Ibid: 50-51).
Selanjutnya, prinsip wahyu progresif sebagaimana terlihat
dari disiplin asbâb al-nuzl dan naskh, mencerminkan gagasan
tentang kehadiran Entitas Ilahi yang mewujudkan kehendak-Nya
dalam hal keadaan umat-Nya, yang berbicara kepada mereka dalam
istilah-istilah. realitas mereka dan yang kata-katanya dibentuk oleh
realitas itu.
Murid-murid naskh dan asbâb al-nuzl keduanya datang
untuk membentuk elemen penting dalam upaya kontemporer untuk
mengontekstualisasikan pesan Al-Qur'an, untuk merebut kembali
wilayah dari pemikiran Islam yang terus berkembang. Mereka
dirangkul sebagai elemen kunci dalam permadani brader dari
relevansi historis, kontekstualitas dan keadilan. Para sarjana
reformis semuanya setuju bahwa tugas penafsiran hari ini harus
mempertimbangkan waktu, lokasi dan pemahaman tentang
bagaimana prinsip dan arahan menanggapi konteks kontemporer.
Mereka juga berbagi komitmen terhadap kesatuan batin Al-Qur'an
dan penolakan terhadap kutipan acak dan selektif (Ibid: 60).

171
5. Pendekatan Hermeneutis Dalam Pandangan Nasr Abu Zaid
Abu Zaid selalu mengawali pandangannya tentang tekstualitas
Al-Qur'an dengan memaparkan perdebatan antara Asy'rites dan
Mu'tazilites tentang firman Allah (kalâm allâh) terkait dengan
pertanyaan apakah Al-Qur'an 'dibuat' atau tidak. Menurut Asy'arites,
bahasa diberikan oleh Tuhan kepada manusia, bukan penemuan
mereka. Oleh karena itu, hubungan antara 'penanda' dan 'petanda'
ditentukan oleh Tuhan. Al-Qur'an berdasarkan alur penalaran itu
harus menjadi bagian dari sifat-sifat ketuhanan yang akan tetap ada
selama-lamanya.
Di sisi lain, Mu'tazilah berpendapat bahwa bahasa diciptakan
oleh manusia sebagai konvensi sosial tentang hubungan antara suara
dan maknanya. Bahasa tidak selalu mengacu langsung pada realitas
yang sebenarnya, tetapi pada realitas yang dipahami yang
disimbolkan melalui sistem suara. Oleh karena itu, mereka percaya
bahwa Tuhan tidak lagi berperan dalam kasus seperti itu yang
mengakibatkan pernyataan bahwa Al-Qur'an diciptakan dalam
konteks khusus (Ichwan, 2003: 63-63). Dalam hal ini, Abu Zaid
sangat setuju dengan gagasan yang dapat menempatkan Al-Qur'an
sejajar dengan teks-teks lainnya.
Abu Zaid memiliki teori tentang teks. Meski tidak
menjelaskan secara gamblang makna 'teks' dalam bukunya 'Mafhûm
al-nash', namun Abu Zaid memberikan gambaran yang baik
tentang perbedaan antara teks (nash) dan kitab (mushhaf). Teks
adalah 'makna' sedangkan buku adalah 'sesuatu' dengan kata lain,
teks dalam bahasa sedangkan buku dipegang di tangan. Teorinya

172 Pendekatan Studi Islam – PPS IAID


Hermeneutical Approach For Qur‟ânic EXegesis: An Offer From The eest

tentang teks dikembangkan dalam kerangka teks, bahasa, budaya,


dan sejarah. Semua teks termasuk teks suci dapat dianalisis dengan
pendekatan sastra. Penggunaan analisis wacana dan semiotika
sangat diperlukan.
Dalam analisis wacananya, Abu Zaid membedakan antara
teks primer dan teks sekunder yang masing-masing berarti Al-
Qur'an dan hadis. Hadis sebagai teks sekunder memiliki peran
untuk menjelaskan Al-Qur'an. Ini akan menjadi interpretasi teks
utama karena tidak mungkin untuk menjadikan hadis sebagai teks
utama.
Kajian tentang teks agama Islam akan berkaitan dengan teks
Al-Qur'an dan wahyu karena teks Al-Qur'an diyakini sebagai
wahyu Tuhan kepada Muhammad melalui Jibril. Abu Zaid dalam
hal ini menganggap wahyu sebagai bagian dari budaya dimana
wahyu itu muncul. Dalam budaya pra-Islam, puisi dan ramalan
diturunkan dari jin melalui wahyu atau ilham. Konsep ini
mengungkapkan hubungan antara manusia dan makhluk jin ).
Dalam Al-Qur'an, terkait dengan cara berpikir Arab, konsep serupa
juga ditemukan, seperti wahyu yang dilakukan oleh malaikat
kepada para rasul. Teks dalam Al-Qur'an, dengan demikian,
mencoba melambangkan perubahan budaya dari teks puisi (syi'îr)
dan ramalan (kihânah) ke teks Alquran, dari penyair dan peramal
menjadi nabi.
Menyadari utangnya pada analisis teks sastra oleh ahli bahasa
Roman Jacobson, Abu Zaid memandang teks sebagai bentuk
komunikasi atau tindakan wahyu. Dalam setiap komunikasi,
Jacobson—seperti yang dikutip oleh Yusuf Rahman—menulis

173
(Rahman, 2001:122):
“Pengamat mengirimkan pesan kepada penerima. Agar dapat
berfungsi, pesan memerlukan konteks yang dirujuk (“mengacu”
dalam istilah lain, agak ambigu, nomenklatur), dapat dipahami oleh
penerima, dan baik verbal atau mampu diungkapkan secara verbal;
sebuah kode sepenuhnya atau setidaknya sebagian, umum untuk
penerima dan penerima (atau dengan kata lain, untuk encoder dan
decoder pesan), dan, akhirnya, kontak, saluran fisik dan koneksi
psikologis antara pengirim dan penerima, memungkinkan keduanya
untuk masuk dan tetap berkomunikasi.”
Abu Zaid memperlakukan Al-Qur'an, menurut Jakobson,
sebagai bentuk komunikasi, wahy, yang terdiri dari enam elemen:
pesan (risalah), penyampai (mukhâtib), penerima (mukhâtab),
kontak ('alaqah ittishâl).), kode (shifrah), dan konteks (wâqi ').
Dari faktor-faktor tersebut, dimungkinkan untuk menggambarkan
gagasannya tentang teks, seperti yang dilakukan Yusuf Rahman,
sebagai “pesan yang dikirim oleh seorang penyampai kepada
seorang penerima dalam konteks tertentu melalui sebuah kontak
dengan menggunakan kode khusus”. Dan dalam hal Al-Qur'an,
wahyu adalah pesan yang diturunkan oleh Allah kepada utusan-Nya
melalui wahyu dalam konteks tertentu dengan menggunakan bahasa
Arab (Ibid: 123).

174 Pendekatan Studi Islam – PPS IAID


Hermeneutical Approach For Qur‟ânic EXegesis: An Offer From The eest

Secara sederhana dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

Muhammad
Allah Sebagai Alquran
Sebagai
Alamat Sebagai Pesan
Penerima

Jibril
Sebagai
Penyampai

Bahasa Arab
Sebagai Kode

Untuk contoh nyata dari metode Abu Zaid adalah dalam


masalah bunga (ribâ). Pembicaraan tentang riba bukanlah hal baru di
Mesir. Dalam kongres keduanya, Kelompok Riset Islamis menyatakan
dalam rekomendasinya bahwa segala macam bunga, baik untuk
konsumtif dari aspek produktif, dianggap haram (haram). Namun
beberapa ulama mencoba memberikan beberapa penjabaran, seperti
Rasyid Ridha yang menyatakan bahwa ribâ yang dilarang dalam Al-
Qur'an adalah ribâ (ribâ nasi'ah) yang jelas yang terus-menerus
digandakan (adh'âfan Mudhâ'afan). Selain itu, Said al-Asymawi
mengatakan bahwa makna ribâ yang sebenarnya dalam Al-Qur'ân
adalah ribâ pada zaman pra-Islam (ribâ jâhiliyyah) yang berlipat
ganda sehingga mengakibatkan perbudakan (Ichwan:127).
Abu Zaid sependapat dengan Al-Asymawi yang berpendapat
bahwa kata 'ribâ' adalah bahasa kuno (lughah qâdimah). Adalah suatu
keharusan untuk melihat konteks ketika ayat ini diturunkan. Ribâ tidak
dapat diartikan sebagai bunga di dunia modern karena karakteristik
masing-masing sangat berbeda. Riba pada zaman pra-Islam
didefinisikan sebagai tambahan sejumlah uang yang dihasilkan dari
175
barter antar manusia dan transaksi lainnya yang dapat menyebabkan
kemiskinan dan perbudakan. Di sisi lain, bunga dalam konteks
modern dianggap sebagai keuntungan yang diberikan kepada
penabung sebagai akibat dari hukum ekonomi. Oleh karena itu, Abu
Zaid berpendapat bahwa bunga itu halal (dibenarkan) karena bukan
riba.
C. Kesimpulan
Singkatnya, pendekatan hermeneutis adalah metode alternatif
untuk memahami Al-Qur'an atau bahkan Hadis (Thahir, 2002). Hal ini
dapat memberikan semangat baru dalam mengembangkan Al-Qur'an
dari segi nilai-nilai yang tahan lama. Banyak sarjana modern tidak
diragukan lagi berjuang untuk menunjukkan bahwa Al-Qur'an akan
lebih up to date dan sesuai dengan isu-isu terkini dalam kehidupan
modern jika kita terbuka terhadap pendekatan baru terhadapnya.
Namun, tidak semua ulama setuju dengan metode ini karena mereka
percaya bahwa Al-Qur'an adalah kitab suci yang tidak dapat didekati
dengan metode barat apa pun, terutama hermeneutika. Bahkan,
mereka mengutuk bahwa orang yang menerapkan cara seperti itu bisa
dikategorikan kafir. Abu Zaid, misalnya, telah diceraikan oleh
pengadilan karena idenya yang liberal.
Namun, bagi saya, kita harus menghargai karya setiap ulama
dalam menafsirkan Al-Qur'an karena kita tidak tahu apa sebenarnya
maksud Tuhan dalam pesan-pesan-Nya. Pada awal kemunculan
pendekatan hermeneutis mungkin terdengar agak aneh, namun
akhirnya kita dapat melihat bahwa 'ijtihad' seperti itu dewasa ini telah

176 Pendekatan Studi Islam – PPS IAID


Hermeneutical Approach For Qur‟ânic EXegesis: An Offer From The eest

berhasil memicu banyak kerja dan diskusi. Wa Allâh a'lam bi al-


Shawâb.

177
BIBLIOGRAPHY

Arkoun, Muhammed, 1996, Rethinking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Esack, Farid, 1997, Qur‟ân, Liberation & Pluralism, An Islamic Perspective of
Interreligious Solidarity against Oppression, OXford: Oneword
Faiz, Fakhruddin, 2003, Hermeneutika Qur‟âni, antara teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi, Yogyakarta: Qalam
Hidayat, Komaruddin, 1996, Memahami Bahasa Agama, Sebuah kajian
Hermeneutik, Jakarta: Paramadina
Ikhwan, Moch. Nur, 2003, Meretas Kesarjanaan Kritis Qur‟ân, Teori
Hermeneutika Nasr Abu Zaid, Bandung: Teraju
Jr., E.D., Hirsch, 1978, Validity in Interpretation, London: Yale University
Press
Poespoprodjo, 1987, Interpretasi, Beberapa Catatan Pendekatan Filsafatinya,
Bandung: Remaja Karya
Howard, Roy J., 2000, Pengantar Teori-teori Pemahaman Kontemporer,
Hermeneutika, Wacana Analitik, Psikososial, dan Ontologis,
Bandung: Nuansa
Jurnal Teks, Vol. 1, No. 1, Maret 2002, Pasca IAIN Sunan Gunung Djati
Bandung.
Jurnal Hermeneia, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2002, Pasca IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Latief, Herman, 2003, Nasr Hamid Abu Zaid, Kritik Teks Keagamaan,
Yogyakarta: eLSAQ Press
Mustaqim, Ahmad, 2003, Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran
Qur‟ân Metode Klasik Hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun
Pustaka
Rahman, Yusuf, 2001, The hermeneutical Theory of Nas Hamid Abu Zaid: An
Analytical Study of His Method of Interpreting the Qur‟ân, Montreal:

178 Pendekatan Studi Islam – PPS IAID


Hermeneutical Approach For Qur‟ânic EXegesis: An Offer From The eest

McGill University

179
-----------, „Kajian Hermeneutik Pluralitas Tafsir Quran‟, Jawa Pos, Sunday, 13
January 2002
-----------, „Sakralitas Teks-teks Agama‟, Kompas, Friday, 18 January 2002
Saenong, Ilham S., 2002, Hermeneutika Pembebasan, Bandung: Teraju
Sumaryono, E., 1999, Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:
Kanisius
Syahrur, Muhammad, 1990, Al-Kitab wa Qur‟ân Qiraah Mu‟ashirah,
Damaskus: Al-Ahali
Thomson, John B., 1990, Paul Ricoeur Hermeneutics & The Human Sciences,
Cambridge: Cambridge University Press

180 Pendekatan Studi Islam – PPS IAID


Hermeneutical Approach For Qur‟ânic EXegesis: An Offer From The eest

181

Anda mungkin juga menyukai