Anda di halaman 1dari 12

TRANSFORMASI MANAJEMEN PESANTRTEN SALAF

Ujang Nursamsi
Institut Agama Islam Darussalam (IAID) Ciamis
Program Pascasarjana
ujangnursamsi170886@gmail.com

Abstract
Artikel ini menganalisis tentang manajemen di lembaga pesantren khususnya salaf
menjadi sangat menarik. Hal ini dikarenakan pengelolaan pesantren salafi masih
menggunakan manajemen kultur. Mas’udi menjelaskan persoalan pada manajemen kultur
pesantren seperti akuntabilitas, pertanggungjawaban keuangan dan sistem paternnalistik,
maka kontrol tidak begitu penting karena dilandaskan atas kepercayaan. Oleh sebab itu
pendekatan yang digunakan untuk memahami bagaimana dinamika praktik manajemen yang
ada di lembaga perantren adalah pendekatan kualitatif. Penelitian untuk memahami dinamika
praktik manajemen di pondok pesantren dengan pendekatan bersifat kualitatif, dan akan
menggunakan kombinasi dua metode riset; studi kasus dan etnografi. Kedua metode masuk
dalam paradigm interpretivism dan terletak di dalam epistemologi subjektif. Pendekatan
interpretif cocok untuk studi ini karena memungkinkan peneliti untuk memahami bagaimana
dinamika manajemen dalam organisasi yang mempertimbangkan nilai-nilai, keyakinan,
norma dan struktur yang diterima oleh anggota organisasi dan bersifat unik pada organisasi
tersebut. Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research). Sedangkan pengumpulan data
dengan mengumpulkan data-data dari buku yang relevan, yang menjelaskan tentang
manajemen pesantren salaf. Dengan menggunakan metode dan analisis yang telah disebutkan
di atas, terdapat beberapa kesimpulan. Pertama, Pribadi dari kyai mentukan corak manajemen
pesantren yang diasuhnya. Kedua, Dibutuhkan solusi-solusi yang lebih komprehensif dalam
perubahan manajemen pesantren salaf secara profesional.

Kata Kunci: Manajemen, Pendidikan Islam, Pesantren Salaf.

PENDAHULUAN
Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang dikembangkan
secara indigenous oleh masyarakat Indonesia (Madjid, 1997). Karena, sebelum Islam masuk
ke Indonesia lembaga serupa pesantren ini sudah ada di Indonesia dan Islam tinggal
meneruskan, melestarikan dan mengislamkannya. Jadi pesantren merupakan hasil penyerapan
akulturasi kebudayaan Hindu-Budha dan kebudayaan Islam kemudian menjelma menjadi
suatu lembaga yang kenal sebagai pesantren sekarang ini.
Menurut Kuntoro (2008) pengelolaan pesantren salaf masih menggunakan manajemen
kultural. Manajemen kultural merupakan manajemen yang menggunakan nilai-nilai
(keyakinan/kepercayaan) sebagai dasar pengembangan organisasi. Dalam manajemen
kultural, pengelolaan pesantren berfokus pada nilai, keyakinan dan norma-norma individu.
Norma-norma ini menjadi tradisi yang dikomunikasikan dalam kelompok dan diperkuat oleh
simbol- simbol dan ritual.
Demikian pula dengan Hasbullah (1995), bahwa pengelolaan pesantren salaf banyak
bergantung pada kedalaman ilmu agama, kharismatik dan wibawa serta ketrampilan kyai
dalam mengelola pesantren. Wibawa dan kharismatik menimbulkan kepercayaan yang kuat
bagi para santri. Kepercayaan ini bukan kepada lembaga pesantren tetapi kepada kyai sebagai
pribadi. Hal seperti ini yang membedakan pesantren dengan lembaga-lembaga pendidikan
umum. Menurut Mas’udi menjelaskan jika dalam manajemen modern, entitas berbentuk
kelembagaan formal, maka di pesantren adalah sebaliknya oleh sebab itu lembaga pesantren
adalah bagian dari kyai itu sendiri. Fokus penelitian ini adalah memberikan pemahaman
mengenai praktik manajemen dalam pengelolaan pondok pesantren salafiyah.

KAJIAN TEORITIK
A. Definisi Manajemen Pendidkan Islam
Sebelum mengkaji mengenai Manajemen Pendidikan Islam kita terlebih dahulu
mengetahui definisi dari manajemen. Kata “manajemen” saat ini sudah banyak sekali di kenal
di Indonesia, baik di lingkungan swasta, perusahaan, maupun pendidikan. Berdasarkan
kenyataan yang ada ini menunjukan bahwa manajemen telah di terima dan di butuhkan
kehadirannya di masyarakat. Semula manajemen yang berasal dari bahasa Inggris:
Management dengan kata kerja to manage, di artikan secara umum sebagai mengurusi.
Selanjutnya banyak penulis yang telah berusaha untuk memberikan definisi atau batasan
tentang pengertian manajemen. Berikut ini beberapa definisi tentang manajemen sebagai
berikut:
1. Menurut Marry papker Follett
Manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Pengertian
ini mengandung arti bawa para manajer mencapai tujuan-tujuan organisasi melalui
pengaturan orang-orang lain untuk melaksanakan berbagai tugas yang memungkinkan di
perlukan, atau berarti dengan tidak melakukan tugas-tugas itu sendiri”.

2. Menurut James A.F. Stoner


Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan
usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya
agar mencapai tujuan organisasi yang telah di tetapkan (Shulhan, 2013: 6-7).

1
Manajemen juga sering di artikan sebagai ilmu pengetahuan karena manajemen di
pandang sebagai suatu bidang pengetahuan yang secara sistematik berusaha memahami
mengapa dan bagaimana seseorang bekerjasama untuk mencapai tujuan dan membuat system
kerjasama ini lebih bermanfaat bagi kemanusiaan. ( Sulistyorini ,2009: 8)
Menurut Muhaimin (2010: 4) manajemen pendidikan adalah manajemen yang
diterapkan dalam pengembangan pendidikan. Dalam arti, ia merupakan seni dan ilmu
mengelola sumber daya pendidikan Islam untuk mencapai tujuan pendidikan Islam secara
efektif dan efisien. Dengan kata lain manajemen pendidikan adalah suatu kegiatan atau
rangkaian kegiatan yang berupa proses pengolahan usaha kerjasama sekelompok manusia
yang tergabung dalam organisasi pendidikan, untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah di
tetapkan sebelumnya secara efektif dan efisien. (Faturrohman, 2014: 11)
Menurut Arifudin Arif yang dimaksud Pendidikan Islam adalah pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam atau tuntutan agama Islam dalam usaha membina dan membentuk
pribadi muslim yang bertakwa kepada Allah Swt. Dalam pendidikan Islam dikenal juga
manajemen pendidikan islam.
Secara umum, manajemen pendidikan Islam memiliki banyak kesamaan dengan
manajemen pendidikan secara umum, namun ada perbedaan dalam beberapa karakter.
Diantara karakteristik yang membedakan teori manajemen dalam Islam dengan teori lain
adalah fokus dan konsen teori Islam terhadap segala variabel yang berpengaruh terhadap
aktivitas manajemen dalam dan di luar organisasi dan hubungan perilaku individu terhadap
faktor-faktor social yang berpengaruh. Teori Islam memberikan injeksi moral dalam
manajemen, yakni mengatur bagaimana seharusnya individu berprilaku. Tidak ada
manajemen dalam Islam kecuali ada nilai atau etika yang melingkupinya, sebagaimana tidak
mungkin membangun masyarakat muslim tanpa didasari dengan akhlak.
Menurut Mujamil Qomar Manajemen Pendidikan Islam adalah suatu proses
pengelolaan secara islami terhadap lembaga pendidikan islam dengan cara menyiasati
sumber-sumber belajar dan hal-hal yang terkait untuk mencapai tujuan pendidikan islam
secara efektif dan efisien.” (Faturrohman, 2014: 12)
Kemudian dari beberapa definisi di atas maka pengertian dari Manajemen pendidikan
islam adalah suatu proses penataan/ pengelolaan lembaga pendidikan islam yang melibatkan
sumber daya manusia dalam menggerakannya untuk mencapai tujuan pendidikan islam secra
efektif dan efisien. ( Sulistyorini, 2009: 14).

2
B. Fungsi Manajemen Pendidikan Islam
Istilah manajemen berhubungan dengan usaha untuk tujuan tertentu dengan jalan
menggunakan sumber daya-sumber daya yang tersedia dalam organisasi/ lembaga pendidikan
islam dengan cara yang sebaik mungin.
Manajemen bukan hannya mengatur tempat melainkan lebih dari itu adalah mengatur
orang per-orang. Dalam mengatur orang di perlukan seni dengan sebaik-baiknya sehingga
kepala sekolah yang baik adalah kepala sekolah yang mampu menjadikan setiap pekerja
menikmati pekerjaan mereka. Jika setiap orang yang bekerja menikmati pekerjaan mereka hal
itu menandakan keberhasilan seorang kepala sekolah.
Di dalam proses manajemen digambarkan fungsi-fungsi manajemen secara umum yang
di tampilkan kedalam perangkat organisasi yang mulai dikenal dengan teori manajemen
klasik. Para ahli manajemen mempunyai perbedaan pendapat dalam merumuskan proses
manajemen sebagaimana penjelasan berikut :
1. Menurut Skinner, fungsi manajemen meliputi: planning, organizing, staffing,
directing, and controlling.
2. Steppen P. Robin, fungsi manajemen meliputi: planning, organizing, laeding and
controlling.
3. Gulick mengedepankan proses manajemen mulai dari planning, organizing, staffing,
directing, coordinating, reporting, and budgetitng.
4. Fayol yang di kenal sebagai bapak manajemen ilmiah (scientific
Manajemen) mengedepankan proses manajemen sebagai berikut: planning,
organizing, commanding, coordinating , controlling.
Namun pada intinya terdapat beberapa bagian yang mengandung kesamaan. Berdasarkan
proses manajemen sebagaimana telah di kemukakan oleh para ahli tersebut, maka pakar
manajemen era sekarang mengabstraksikan proses manajemen menjadi 4 proses yaitu:
planning, organizing, actuating, controlling, (POAC).

1. Perencanaan Pendidikan Islam


Dalam manajemen islam di sebutkan bahwa semua tindakan Rasulullah selalu membuat
perencanaan yang teliti. Proses manajemen pada dasarnya adalah perencanaan segala sesuatu
secara sistematis melahirkan keyakinan yang berdampak pada melakukan sesuatu sesuai
dengan aturan serta memiliki manfaat.
“ Di antara baiknya, indahnya ke Islaman seseorang adalah yang selalu meninggalkan
perbuatan yang tidak ada manfaatnya”. (HR Tirmidzi)

3
Perbuatan yang tidak ada manfaatnya sama saja perbuatan yang tidak pernah di
rencanakan, jika perbuatan itu tidak pernah di rencanakan maka tidak termasuk dalam
kategori manajemen pendidikan islam yang baik. Perencanaan merupakan suatu proses
berfikir. Di sini Nabi menyatakan bahwa berfikir itu adalah ibadat. Jadi, sebelum kita
melakukan sesuatu wajiblah dipikirkan terlebih dahulu. Ini berarti bahwa semua pekerjaan
harus diawali dengan perencanaan. Allah memberika kepada kita akal dan ilmu guna
melakukan suatu ikhtiar, untuk menghindari kerugian/ kegagalan. Ikhtiar disini adalah suatu
konkrentasi atau perwujudan dari proses berfikir, dan merupakan konkrentasi dari suatu
perencanaan.

2. Pengorganisasian Pendidikan Islam


Pengorganisasian adalah suatu mekanisme atau suatu struktur, yang terstruktur itu
semua subjek, perangkat lunak dan perangkat keras yang kesemuanya dapat bekerja secara
efektif, dan dapat di manfaatkan menurut fungsi dan porsinya masing-masing.
Firman Allah yang artinya “Setiap orang mempunyai tingkatan menurut pekerjaan
masing-masing”. (QS. Al-An’am: 132)
“Bekerjalah kamu nanti Allah akan memperhatikan bukti pekerjaan kalian masing-
masing”. (QS. At-Taubah: 105)
Dalil-dalil diatas dari nash Al-Qur’an yang dengan jelas menunjukan bahwa manusia
dalam prakteknya berkarya menurut kecakapan masing-masing.
Sewaktu Rasulullah membentuk atribut-atribut Negara dalam kedudukan beliau sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi, beliau membentuk organisasi yang di dalamnya terlibat para
sahabat beliau yang beliau tempatkan pada kedudukan menurut kecakapan dan ilmu masing-
masing. Kita tidak dapat memungkiri bahwa Rasulullah itu adalah seorang organisatoris
ulung, administrator yang jenius, dan pendidik yang baik, yang menjadi turutan dan panutan,
karena beliau berfungsi sebagai panutan yang baik. (uswatun hasanah).

3. Penggerakan Pendidikan Islam


Penggerakan atau actuating merupakan fungsi manajemen yang komplek dan
merupakan ruang lingkup yang cukup luas serta sangat berhubungan erat dengan sumber
daya manusia yang pada akhirnya actuating merupakan pusat sekitar aktivitas-aktivitas
manajemen. Pada suatu lembaga pendidikan islam, kepemimpinan efektif hendaknya
memberikan arah kepada usaha dari semua personil dalam mencapai tujuan lembaga
pendidikan Islam. Tanpa kepemimpinan atau bimbingan, hubungan antara tujuan
perseorangan dengan tujuan organisasi bisa kendur. Ini bisa membawa pada situasi terhadap

4
orang-orang yang bekerja untuk mencapai tujuan pribadi mereka, sedang organisasi sendiri
tidak efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya.

4. Pengawasan Pendidikan Islam


Controlling (pengawasan) merupakan langkah penentu terhadap apa yang harus
dilaksanakan, sekaligus menilai dan memperbaiki, sehingga pelaksanaanya sesuai dengan
rencana serta terwujudnya secara efektif dan efisien.
Menurut Siagian (1983) fungsi pengawasan yaitu upaya penyesuaian antara rencana
yang telah disusun dengan pelaksanaan atau hasil yang benar-benar dicapai.
Tujuan pengawasan Pendidikan Islam haruslah positif dan konsruktif, yaitu
memperbaiki, mengurangi pemborosan waktu, uang, material dan tenaga di lembaga
Pendidikan Islam. Di samping itu juga bertujuan untuk membantu menegakan agar prosedur,
program, standar dan peraturan di taati, sehingga dapat mencapai efisiensi lembaga
pendidikan islam yang setinggi-tingginya.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah menggunakan penelitian studi kepustakaan (library research),
yaitu data dikumpulkan dan diolah dari sumber-sumber kepustakaan yang telah ditelaah
secara komprehensif. Penelitian ini ditulis dari hasil studi bahan pustaka yang relevan, baik
dari bentuk jurnal, artikel, buku yang terkait dengan masalah penelitian. Data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersifat tekstual dalam
pandangan dan pemikiran yang ada di dalam bahan pustaka tersebut. (Kartino: 1996: 33).
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif sering
disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang
alamiah (natural setting) . Juga disebut sebagi metode etnografi karena pada awalnya, metode
ini lebih banyak digunakan pada penelitian bidang antropologi budaya. Selain itu, disebut
metode kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.

PEMBAHASAN
1. Pribadi Kyai Sebagai Institusi Pesantren
Pendirian pesantren bagian dari usaha menafkahkan harta yang dimiliki di jalan Allah
Swt. Bentuk riil dari amal baik itu adalah ikut serta meningkatkan kemaslahatan umat.
Bilamana masyarakat mempunyai kemaslahatan yang baik, maka peribadahan umat kepada
Allah akan menjadi lebih baik, sebaliknya masyarakat yang fakir akan cenderung kufur, dan

5
orang kufur lebih mudah tergelincir terhadap tindakan kafir.
Pribadi dari kyai mentukan corak pesantren yang diasuhnya. Model ini yang pula yang
menjadikan manajemen pesantren salaf tidak dapat dipisahkan dari dari profil kyai dalam
mengembangkan dan melestarikan tradisi dan nilai-nilai di lingkungan masyarakat. Demikian
pula hanya dalam mengembangkan desain manajemen pesantren, pertimbangan kyai tidak
semata-mata dengan pertimbangan rasionalitas formal. Namun pilihan desain manajemen di
pesantren juga dipengaruhi oleh rasinalitas substantif (berdasar nilai-nilai dan norma) yang
dicontohkan oleh kyai selaku pengasih pondok.
Tugas seseorang kiai memang multifungsi: sebagai guru, muballigh (penceramah),
sekaligus manajer (Farhan dan Syarifuddin, 2002: 8-69) Seorang guru, kiai menekankan
kegiatan pendidikan para santri dan masyarakat sekitar agar memiliki kepribadian muslim
yang utama; sebagai muballigh, kiai berupaya menyampaikan ajaran Islam kepada siapapun
berdasarkan (amar ma’ruf nahi munkar); dan sebagai manajer, kiai memerankan
pengendalian dan pengaturan pada bawahannya.

2. Transformasi Manajemen Pesantren Salaf


Masa depan pesantren salaf sangat ditentukan oleh factor manajerial. Pesantren salaf
akan berkembang secara signifikan manakala dikelola secara profesional. Dengan
pengelolaan yang sama, pesantren salaf yang sudah besar akan bertambah besar lagi.
Sebaliknya, pesantren salaf yang telah maju akan mengalami kemunduran manakala
manajemennya tidak terurus dengan baik. Sementara itu, jika mengabaikan manajemen,
pesantren salaf akan gulung tikar dalam menghadapi tantangan multidiłnensi.
Tantangan itu bisa berupa tuntutan-tuntutan keterbukaan (inklusivisme), pengembangan
metodologi, kemampuan manajerial, kolektivitas, demokratisasi, kebersamaan,
egalitarianisme, dan lain-lain. Semua tantangan itu terakumulasi menjadi satu tantangan besar
yang memaksa pesantren untuk mengadakan perubahan manajemen.
Dalam kaitan ini penyelenggaraan manajemen pesantren salaf memiliki nilai sama
pentingnya dengan upaya menjaga estafet kepemimpinan. Untuk itu, kiai harus menguasai
ilmu keislamam, mengetahui tugas-tugas manajerial, sekaligus ilmu keduniaan yang menjadi
tuntutan perkembangan zaman. Dengan pengertian lain, kiai harus visioner dalam menatap
masa depan sehingga orientasinya tidak semata-mata pada kecakapan beribadah, tetapi juga
kecakapan fungsional dalam menghadapi tantangan-tantangan baru.
Berdasarkan pengamatan terhadap pesantren salaf yang ada, dapat ditegaskan,
"Pesantren Salaf yang berhasil membutuhkan pemimpin, bukan pengatur. Bahkan,

6
perusahaan yang berhasil juga membutuhkan pemimpin, bukan pengatur. Ada perbedaan
mendasar antara pemimpin dan pengatur. Pengatur lebih berorientasi pada penerapan aturan-
aturan legal formal kepada bawahan sehingga sentuhamya bercorak hierarkis-birokratis.
Sementara itu, pemimpin lebih berorientasi untuk mengayomi, melindungi, memberi
teladan dalam kehidupan sehari-hari, serta memotivasi sehingga sentuhamya lebih bercorak
human skill (keahlian menyadarkan orang lain sebagai bawahan). (Suprayogo, 1999 : 162)
Dibutuhkan solusi-solusi yang lebih komprehensif dan menyebar ke berbagai
komponen pesantren yang selama ini menjadi titik balik kelemahan pesantren salaf.
Kemudian, diikuti langkah-langkah praktis agar segera dapat dilaksanakan oleh semua pihak
yang terkait langsung dengan penataan pesantren. Solusi beserta langkah-langkah yang
dimaksud adalah sebagai berikut: (Mujamil Qomar, 2007 : 75)
Pertama, menerapkan manajemen secara profesional. Hal ini dapat ditempuh melalui
langkah-langkah berikut ini.
a. Menguasai ilmu dan praktik tentang pengelolaan pesantren.
b. Menerapkan fungsi-fungsi manajemen, mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan, dan pengawasan.
c. Mampu menunjukkan skill yang dibutuhkan pesantren.
d. Menliliki pendidikan, pelatihan, atau pengalaman yang memadai tentang
pengelolaan.
e. Memiliki kewajiban moral untuk memajukan pesantren.
f. Memiliki komitmen yang tinggi terhadap kemajuan pesantren.
g. Memiliki kejujuran dan disiplin tinggi.
h. Mampu memberi teladan dalam perkataan dan perbuatan kepada bawahan.
Kedua, menerapkan kepemimpinan yang kolektif. Strategi ini dapat diwujudkan melalui
langkah langkah berikut:
a. Mendirikan yayasan.
b. Mengadakan pembagian wewenang secara jelas.
c. Memberikan tanggung jawab kepada masing-masing pegawai.
d. Menjalankan roda organisasi bersama-sama sesuai dengan kewenangan masing-
masing pihak secara proaktif.
e. Menanggung risiko bersama-sama.
Ketiga, menerapkan demokratisasi kepemimpinan. Strategi ini dapat ditempuh melalui
langkah-langkah berikut:
a. Mengurangi dominasi kiai dalam penentuan kebijakan.

7
b. Menekankan partisipasi masyarakat pesantren dalam menentukan.
c. Keputusan-keputusan pilihamya yang sendiri diambil kiai mempertim bangkan
usaha-usaha dari bawah.
d. Memberikan kebebasan kepada bawahan untuk memilih pimpinan unit-unit
kelembagaan secara terbuka dan mandiri.
Keempat, menerapkan manajemen struktur. Strategi ini dapat dilalui dengan langkah-langkah
berikut:
a. Menyusun struktur organisasi secara lengkap.
b. Menyusun deskripsi pekeriaan (job description).
c. Menjelaskan hubungan kewenangan antarpegawai dan pimpinan, baik secara
vertikal maupun horizontal (bertanggung jawab kepada siapa, bermitra kerja dengan
siapa, dan memiliki kewenangan memerintah siapa). Menanamkan komitmen
terhadap tugas masing-masing pegawai.
d. Menjaga kode etik kewenangan masing-masing pegawai.
Kelima, menanamkan sikap sosio-egalitarianisme. Strategi ini dapat ditempuh melalui
langkah-langkah berikut:
a. Menggusur sikap feodalisme yang berkedok agama.
b. Memandang semua orang memiliki derajat dan martabat social yang sama sesuai
amanat Al-Qur'an surah al-Hujarat: 13.
c. Menghapus diskriminasi di kalangan santri antara kelompok putra-putra kiai (para
gus) dengan santri biasa.
d. Menghapus sikap mengkultuskan para kiai.
e. Menghapus penghormatan yang berlebihan kepada kiai.
f. Menghapus sikap mengistimewakan seseorang atau kelompok tertentu.
g. Membebaskan para santri dari perasaan sebagai 'hamba" atau "mayit" di hadapan
kiai sehingga mereka dapat tetap menjadi santri yang sopan tetapi penuh inisiatif.
Keenam, menghindarkan pemahaman yang menyucikan pemikiran agama (taqdîs afkâr al-
dîni). Strategi ini dapat ditempuh dengan langkah-langkah berikut:
a. Membiasakan telaah terhadap isi kandungan sesuatu kitab.
b. Membiasakan pendekatan perbandingan pemikiran para ulama (muqâranah afkâr
al-'ulamâ') dalam proses pembelajaran.
c. Membiasakan kritik konstruktif dalam proses pembelajaran.
d. Menanamkan kesadaran bahwa pemikiran para penulis kitab sangat dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi yang terjadi pada saat penulisan kitab itu.

8
e. Menanamkan kesadaran bahwa betapapun hebatnya seorang penulis kitab, dia pasti
memiliki kelemahan-kelemahan tertentu.
Ketujuh, memperkuat penguasaan epistemologi dan metodologi. Strategi ini dapat dirinci
melalui langkah-langkah berikut:
a. Menyajikan pelajaran teori pengetahuan.
b. Memotivasi santri senior untuk mengembangkan pengetahuan.
c. Memperkuat ilmu-ilmu wawasan, seperti sejarah, filsafat, mantiq, perbandingan
mazhab (muqåranah al-madzåhib), perbandingan agama (muqåranah al-adyån),
ilmu-ilmu Al-Qur'an (‘ulüm al-Qur'ån), dan ilmu-ilmu hadis (ulüm al-hadits).
d. Memperkuat ilmu-ilmu pendekatan atau metode (manhaji), seperti ushül fiqh
(epistemologi hukum Islam) dan al-qawå'id al-fiqhiyah (kaidah-kaidah ilmu Fikih).
e. Mengajarkan metodologi penelitian.
f. Mengajarkan metodologi penulisan karya ilmiah.
g. Mengajarkan metode berpikir ilmiah.
h. Memberikan tugas-tugas penulisan karya ilmiah.
i. Mendorong keberanian santri-santri senior untuk menulis buku-buku ilmiah.
j. Mendorong keberanian para santri senior untuk menerjemahkan kitab-kitab
berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.
Kedelapan, mengadakan pembaruan secara berkesinambungan. Strategi ini dapat
diaplikasikan melalui langkah-langkah berikut:
a. Mengadakan pembaruan dan/atau penambahan institusi.
b. Mengadakan pembaruan sistem pendidikan.
c. Mengadakan pembaruan sistem kepemimpinan.
d. Mengadakan pembaruan sistem pembelajaran.
e. Mengadakan pembaruan kurikulum.
f. Mengadakan pembaruan strategi, pendekatan, dan metode pembelajaran.
g. Memperkuat SDM para ustadz, perpustakaan, dan laboratorium.
Kesembilan, mengembangkan sentra-sentra perekonomian. Strategi ini dapat diaplikasikan
melalui langkah-langkah berikut:
a. Mendirikan toko-toko yang menyediakan kebutuhan para santri.
b. Mengelola konsumsi para santri.
c. Mendirikan koperasi.
d. Mendirikan pusat-pusat pelayanan publik yang berorientasi pada keuntungan
finansial.

9
e. Membuat jaringan kerja sama dengan pihak lain yang saling menguntungkan.
f. Mendirikan usaha-usaha produktif laimya. (Mujamil Qomar, : 75-79).

KESIMPULAN
1. Pribadi dari kyai mentukan corak manajemen pesantren yang diasuhnya. Model ini
yang pula yang menjadikan manajemen pesantren salaf tidak dapat dipisahkan dari
dari profil kyai dalam mengembangkan dan melestarikan tradisi dan nilai-nilai di
lingkungan masyarakat.
3. Dibutuhkan solusi-solusi yang lebih komprehensif dalam pengembangan manajemen
pesantren salaf diantaranya: menerapkan manajemen secara profesional, menerapkan
kepemimpinan yang kolektif, menerapkan demokratisasi kepemimpinan,
menerapkan manajemen struktur, menanamkan sikap sosio-egalitarianisme,
menghindarkan pemahaman yang menyucikan pemikiran agama, memperkuat
penguasaan epistemologi dan metodologi, mengadakan pembaruan secara
berkesinambungan, mengembangkan sentra-sentra perekonomian.

B. Saran
Demikian artikel yang dapat penulis sampaikan, tentunya dalam penyusunan artikel ini
masih banyak kata-kata atau penyampaian yang kurang jelas ataupun dalam penyajiannya
yang kurang lengkap, pastinya makalah ini jauh dari kata sempurna, maka kritik dan saran
sangatlah penulis harapkan untuk menjadikan pelajaran pada masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA
Kartino, Kartini. (1996). Pengantar Metodologi Reset Sosial. Bandung: Mandur Maju.
Fakhruin, Agus. (2011). Prinsip-Prinsip Manajemen Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan
Agama Islam -Ta’lim Vol. 9 No. 2
Hasbullah. (1995). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan
dan Perkembangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mujamil Qomar. (2007). Manajemen Pendidikan Islam, Malang: PT. Gelora Aksara Pratama.
Sulistyorini. (2009). Manajemen Pendidikan Islam.Yogyakarta: Teras
Sulhan, Muwahid. & H.Soim. (2013). Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta: Teras
Sulirtyorini. M.Faturrohman.(2014). Esensi Manajemen Pendidikan Islam. Yogyakarta:Teras
Suprayogo, Imam. (1999). Reformasi Visi Pendidikan Islam. Malang: STAIN Press.

10
Qomar, Mujammil. (2013). Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan
Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga.

11

Anda mungkin juga menyukai