Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH

WAWASAN DASAR MANAJEMEN PENDIDIKAN

Dosen Pengampu:
Dr. Sari Herawati, S.Ag, M. Pd.

Kelompok 1:
Iqbal Nawawih (21200011016)
Zainal Muttaqin (21200011020)
Slamet Santoso (21200011031)

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan merupakan investasi dalam pengembangan sumber daya manusia,
dimana peningkatan kecakapan dan kemampuan diyakini sebagai faktor pendukung
upaya manusia dalam mengarungi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian. Dalam
rangka inilah pendidikan diperlukan dan dipandang sebagai kebutuhan dasar bagi
masyarakat yang ingin maju, demikian halnya bagi masyarakat Indonesia yang memiliki
wilayah yang sangat luas.
Pengelolaan pendidikan yang pada awalnya bersifat sentralistik pada akhirnya
juga diotonomikan. Segala hal yang berkaitan dengan pengelolaan pendidikan diserahkan
secara langsung oleh pihak sekolah, khususnya pada hal manajemen dan pengembangan
lainnya. Spirit ini layak diapresiasi dengan baik. Sebab sekolah memiliki kesempatan
untuk memaksimalkan segenap potensi yang mereka miliki. Selain itu sekolah juga
memiliki kewenangan secara lebih luas dalam mengelola pembelajaran secara lebih baik.
Sementara orientasi keberhasilan pendidikan adalah kepada tujuan pendidikan, dimana
perangkat prosesnya adalah manajemen sebagai pemegang tatalaksana ke arah
tercapainya tujuan pendidikan.
Bila dikaitkan secara seksama ada kesamaan antara mana manajemen pendidikan
Indonesia dengan manajemen pendidikan Islam. Hanya saja perlu diingat bahwa
manajemen pendidikan Islam pemahamannya kepada keterlibatan dasar pendidikan
Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dan tujuan pendidikan Islam (terbentuknya kepribadian
Muslim). Dalam hal ini dimaksudkan untuk memadukan dua disiplin ilmu tersebut untuk
menggiring ke arah struktur manajemen pendidikan Islam dengan pendekakatannya.
Dalam kerangka inilah manajemen pendidikan Islam tampil sebagai paradigma
baru pengembangan pendidikan Islam yang berorientasi pada kebutuhan sekolah dan
kebutuhan daerah masing-masing.
Makalah ini berupaya untuk menghadirkan sedikit wawasan dasar mengenai
manajemen pendidikan, khususnya manajamen pendidikan Islam. Dalam makalah ini
akan dibahasa perihal dasar-dasar tersebut diantara lain mengenai definisi manajemen
pendidikan Islam, prinsip manajemen pendidikan Islam, fungsi manajemen pendidikan
Islam, ruang lingkup manajemen pendidikan Islam, dan karakteristik manajemen
pendidikan Islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis menghadirkan lima
rumusan masalah yang akan dibahas, yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi dari manajemen pendidikan Islam?
2. Apa saja prinsip manajemen pendidikan Islam?
3. Apa fungsi dari manajemen pendidikan Islam?
4. Bagaimana ruang lingkup dari manajemen pendidikan Islam?
5. Apa saja karakteristik dari manajemen pendidikan Islam?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang dihadirkan, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan definisi dari manajemen pendidikan Islam
2. Memaparkan prinsip-prinsip dalam manajemen pendidikan Islam
3. Memaparkan fungsi-fungsi dari manajemen pendidikan Islam
4. Mendeskripsikan ruang lingkup manajemen pendidikan Islam
5. Memaparkan karakteristik-karakteristik manajemen pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Manajemen Pendidikan Islam


Kata manajemen saat saat ini sudah banyak dikenal di Indonesia baik di
lingkungan swasta, perusahaan, maupun pendidikan. Demikian pula seminar tentang
manajemen telah muncul dimana-mana bak jamur di musim hujan. Berdasarkan
kenyataan-kenyataan ini menunjukkan manajemen telah diterima dan dibutuhkan
kehadirannya di masyarakat.
Mary Papker Follett, “Manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan
melalui orang lain”. Pengertian ini megandung arti bahwa para manajer mencapai tujuan-
tujuan organisasi melalui pengaturan orang-orang lain untuk melaksanakan berbagai
tugas yang memungkinkan diperlukan atau berarti dengan tidak melakukan tugas-tugas
itu sendiri.
James A.F. Stoner mengemukakan bahwa manajemen adalah proses perencanaan
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan usaha-usaha para anggota organisasi dan
penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan pemaparan para ahli diatas, maka manajemen adalah proses
pengolahan terhadap suatu pekerjaan dengan tujuan memperoleh hasil serta demi
mencapai tujuan-tujuan dengan cara melibatkan orang lain.
Sementara pendidikan dapat didefinisikan menurut Driyarkara sebagai
memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf mendidik. Dalam
Dictionary of Education dinyatakan bahwa pendidikan adalah (a) proses seseorang
mengembangkan kemampuan, sikap, dan tingkah laku lainnya didalam masyarakat
tempat mereka hidup , (b) proses sosial yang terjadi pada orang yang dihadapkan pada
pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol sehingga mereka dapat memperoleh
perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimum.
Sedangkan pendidikan dalam arti luas adalah segala sesuatu yang menyangkut
proses perkembangan dan pengembangan manusia, yaitu upaya mengembangkan dan
menanamkan nilai-nilai bagi anak didik, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam
pendidikan itu menjadi bagian kepribadian anak yang pada gilirannya ia menjadi orang
pandai, baik, mampu hidup dan berguna bagi masyarakat.
Arifuddin Arif menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam atau tuntutan agama Islam dalam usaha membina dan
membentuk pribadi muslim yang bertakwa kepada Allah Swt. Berdasarkan hal ini, maka
tugas dan fungsi yang perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia
seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat.
Sementara itu Muhammad Fadhil al-Jamali menyatakan bahwa pendidikan Islam
adalah upaya mengembangkan, mendorong serta mengajak manusia untuk lebih maju
dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia, sehingga
terbentuk pribadi yang lebih sempurna baik yang berkaitan dengan akal, perasaan
maupun perbuatan.
Berdasarkan hal diatas, maka pendidikan Islam merupakan usaha yang dilakukan
untuk mengembangkan seluruh potensi manusia baik lahir maupun batin agar
terbentuknya pribadi muslim seutuhnya.

B. Prinsip Manajemen Pendidikan Islam


Dalam pendidikan Islam terdapat prinsip-prinsip manajemen. Prinsip-prinsip
inilah yang membedakan manajemen pendidikan pada umumnya dengan manajemen
pendidikan Islam.
1. Adil
Prinsip yang mula-mula dilaksanakan oleh administatur muslim dalam
manajemen lembaga pendidikan adalah prinsip keadilan. Menurut Abuddin Nata
dalam literatur Islam, keadilan dapat diartikan istilah yang digunakan untuk
menunjukkan rasa persamaan atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara. Keadilan
ini terjadi berdasarkan keputusan akal yang dikonsultasikan dengan agama. Adil
sering diartikan dengan sikap moderat, obyektif terhadap orang lain dalam
memberikan hukuman. Sering diartikan pula dengan persamaan dengan
keseimbangan dalam memberikan hak orang lain tanpa ada yang dilebihkan atau
dikurangi.
2. Ikhlas
Yunasril Ali menyatakan bahwa ikhlas artinya bersih, murni, belum bercampur
dengan sesuatu. Al-Junaidi mengatakan: “Ikhlas ialah mengerjakan sesuatu karena
Allah Swt. semata-mata. Menurut Manazil al-Sairin, “Ikhlas artinya membersihkan
amal dari segala campuran”.
Keikhlasan di dalam menunaikan segala sesuatu pekerjaan yang diperintahkan
Tuhan akan menambah kuat dan membaja niatnya. Niat yang telah bulat akan
menjadi satu tekad. Kesatuan tekad ini akan menjelma menjadi suatu kekuatan batin
yang luar biasa.
Sebagaimana Allah menginginkan Muslim untuk menjalankan tugas dengan
penuh keikhlasan dan berdasarkan kompetensi teknis. Jauh dari tindak kezaliman,
eksploitasi dan komersialisasi jabatan, praktek suap, dan berkhianat.
3. Amanah/Tanggung Jawab
Amanah dalam perspektif agama Islam memiliki makna dan kandungan yang
luas, dimana seluruh makna dan kandungan tersebut bermuara pada satu pengertian
yaitu setiap orang merasakan bahwa Allah Swt. senantiasa menyertainya dalam
setiap urusan yang dibebani kepadanya dan setiap orang memahami dengan penuh
keyakinan bahwa kelakia akan dimintakan pertanggungjawaban atas urusan tersebut.
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah saw yang artinya:
“Masing-maisng kalian adalah pemimpin, dan masing-masing akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia
akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang wanita adalah di rumah suaminya
dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang pembantu adalah pemimpin
dalam memelihara harta tuannya dan ia akan ditanya pula tentang
kepemimpinannya.”(H.R. Imam Bukhari)
Amanah secara etimologis berarti jujur atau dapat dipercaya. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia amanah berarti pesan, perintah, keterangan, atau wejangan.
Menurut Ahmad Musthafa Al-Maraghi amanah adalah sesuatu yang harus dipelihara
dan dijaga agar sampai kepada yang berhak memilikinya. Menurut Ibnu Al-Araby,
amanah adalah segala sesuatu yang diambil dengan izin pemiliknya untuk diambil
manfaatnya.
4. Jujur
Salah satu dari sekian sifat dan moral utama seorang manusia adalah kejujuran,
karena kejujuran merupakan dasar fundamental dalam pembinaan umat dan
kebahagiaan masyarakat. Ramayulis menyatakan bahwa jujur dalam arti sempit
adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Al-Ma’ruf merupakan segala sesuatu yang dicintai Allah Swt., baik perkataan,
perbuatan yang lahir maupun batin yang mencangkup niat, ibadah, struktur, hukum,
dan akhlak. Adapun nahi munkar merupakan perbuatan yang harus ditolak, dijauhi,
bahkan harus diberantas, seperti korupsi, pemborosan.
6. Iman dan Akhlaq
Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah iman
adalah membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan
dengan anggota badan. Maksudnya adalah bahwa dalam hati orang tersebut telah
tertanam kepercayaan dan keyakinan tentang sesuatu, dan sejak saat itu tidak
khawatir lagi terhadap menyelusupnya kepercayaan lain yang bertentangan dengan
kepercayaannya.
Sedangkan akhlaq menurut Islam adalah perangai yang ada dalam diri manusia
yang mengakar, yang dilakukannya dengan spontan dan terus menerus. Agama Islam
menjadi sumber datangnya akhlaq. Orang yang memiliki aklaq memiliki landasan
kuat dalam bertindak. Ada dua pembagian akhlaq, yakni akhlaq mahmudah dan
akhlaq madzmumah.
7. Hubungan atau Pergaulan Baik
Setelah menjaga hubungan baik dengan Allah dengan melaksanakan ibadah
shalat, maka seorang Muslim yang ingin menjadi manusia terbaik juga hendaknya
menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, saling menasehati, peka terhadap
kehidupan sosial, memiliki sikappeduli terhadap sesama, membantu orang-orang
yang membutuhkan bukan malah lari atau berpikir akan ada orang lain yang akan
membantunya.

C. Fungsi Manajemen Pendidikan Islam


Lembaga pendidikan Islam sebagai suatu orgnisasi akan berjalan dinamis
manakala manajemennya berfungsi dengan baik. Hal ini disebabkan oleh inti dari
manajemen terutama terletak pada fungsinya. Dalam dunia manajemen, pada umumnya,
dikenal adanya fungsi manajemen yang meliputi Planning, organizing, actuating, dan
controlling. Keempat fungsi ini dapat diterapkan dalam berbagai organisasi, termasuk
lembaga pendidikan.
Fungsi manajemen pendidikan islam secara konseptual tidak jauh berbeda dengan
manajemen pada umumnya. Di antara fungsi-fungsi manajemen itu antara lain sebagai
berikut:
1. Fungsi Perencanaan
Fungsi perencanaan merupakan fungsi yang sangat urgen dalam manajemen
pendidikan Islam. Setiap proses perencanaan sedapat mungkin harus disusun secara
sistematis, rapi dan rasional.
2. Fungsi Pengorganisasian
Suatu organisasi akan berjalan dengan efektif apabila fungsi
pengorganisasiannya disusun dengan tepat. Fungsi pengorganisasian merupakan
proses penentuan struktur, aktivitas, desain struktur, koordinasi, interaksi, wewenang,
serta tugas yang jelas dan transparan. Dalam pengorganisasian manajemen
pendidikan islam, terdapat prinsip-prinsip yang mesti dijalankan dengan konsisten.,
karena prinsip itulah yang akan memberikan gambaran seperti apa nantinya
organisasi itu berjalan. Prinsip itu meliputi kebebasan, keadilan, dan musyawarah.
3. Fungsi Penggerakan/Pelaksanaan
Fungsi penggerakan (actuating) pada dasarnya adalah bentuk arahan,
motivasi, dan bimbingan yang diberikan kepada semua sumber daya organisasi agar
mereka memiliki kesadaran tinggi untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Dalam
manajemen pendidikan islam, fungsi ini meniscayakan adanya keteladanan,
keterbukaan, konsistensi, keramahan dan kebijaksanaan.
4. Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan bertujuan mengawasi berbagai peristiwa yang terjadi
dalam suatu organisasi, apakah ia telah sesuai atau tidak dengan rencana yang sudah
disusun. Dalam manajemen pendidikan, khususnya manajemen pendidikan Islam,
pengawasan dilakukan terutama untuk mengetahui berbagai kejadian atau peristiwa
yang terjadi dalam proses pembelajaran.

D. Ruang Lingkup Manajemen Pendidikan Islam


Manajemen pendidikan, pada dasarnya, merupakan alat mencapai tujuan
pendidikan, yang hal itu dilakukan dengan cara mengatur semua bidang pendidikan.
Bidang-bidang pendidikan yang menjadi basis garapan manajemen pendidikan meliputi
semua kegiatan yang dapat menjadi penunjang proses belajar mengajar, sehingga tujuan
pendidikan yang sudah diterapkan dapat tercapai.
Bidang garapan manajemen pendidikan tersebut, secara umum, dikategorikan
sebagai bagian dari ruang lingkup manajemen pendidikan. Dengan demikian,terdapat
beberapa ruang lingkup manajemen, khususnya manajemen pendidikan islam, antara
lain:
1. Manajemen Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan yang berisi tentang
tujuan, isi serta bahan pelajaran yang digunakan sebagai pedoman kegiatan
pembelajaran yang harus dikelola secara efektif dan efisien demi tercapainya tujuan
pendidikan. Di samping itu, manajemen kurikulum juga menyangkut proses usaha
bersama untuk memperlancar tercapainya tujuan pengajaran dengan menitikberatkan
pada upaya peningkatan kualitas interaksi dalam proses belajar mengajar.
Tetapi, khusus kurikulum pendidikan islam, pengembangannya harus
senantiasa mengacu kepada al-Qur’an dan hadits sebagai landasan normatifnya. Al-
Syaibani, sebagaimana dikutip Umar dkk., menerangkan kerangka dasar tentang
kurikulum islam, antara lain:
a. Dasar agama sebagai ruh dan target tertinggi dalam kurikulum dengan
mengacu kepada sumber utama ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan
hadits.
b. Dasar falsafah yang memberikan pedoman secara filosofis terhadap
tujuan pendidikan islam sehingga tujuan, isi, dan organisasi kurikulum
mengandung nilai-nilai yan diyakini sebagai suatu kebenaran baik
ditinjau dari sisi ontologis, epistemologis, dan juga aksiologisnya.
c. Dasar psikologis yang memberikan landasan dalam perumusan
kurikulum agar sejalan dengan perkembangan psikis peserta didik.
d. Dasar sosial yang memberikan gambaran agar pendidikan islam
mengakar dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat.
2. Manajemen Peserta Didik
Manajemen pendidikan peserta didik memiliki cakupan yang sangat luas. Ia
tidak sekedar berkaitan kegiatan pencatatan peserta didik saja, tetapi juga
menyangkut banyak aspek dan secara operasional dapat digunakan untuk membantu
petumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses pendidikan. Pada
prinsipnya, manajemen peserta didik merupakan bentuk layanan lembaga pendidikan
yang focus perhatiannya tertuju pada pengaturan, pengawasan, dan layanan siswa,
baik di dalam maupun di luar kelas, mulai dari pengenalan, pendaftaran, sampai
pelayanan individual.
Prinsip mendasar yang juga harus dipahami setiap pengelola pendidikan
Islam terkait manajemen peserta didik adalah pemahaman terhadap peserta didik itu
sendiri brdasarkan perspektif Islam. Di dalam Islam, pendidikan yang diberikan
kepada perserta didik (murid) tidak semata-mata ditujukan untuk mengembangkan
kecerdasan intelektual mereka, membekali mereka dengan berbagai keterampilan.
Tetapi, hal yang tidak kalah penting juga adalah mengarahkan mereka untuk menjadi
manusia yang beradab.
Di samping itu, setiap peserta didik juga diarahkan untuk menjadi manusia
yang mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa harus melepaskan
ketauhidannya. Dengan demikian, pengelola pendidikan Islam, mau tidak mau, harus
memiliki paradigma tentang anak atau peserta didik serta bagaimana seharusnya
memperlakukan mereka berdasarkan informasi yang terdapat di dalam al-Qur’an dan
hadits.
3. Manajemen Kepegawaian
Manajemen kepegawaian atau tenaga pendidikan meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kegiatan penerimaan
pegawai baru, surat keputusan, mutasi, surat tugas, berkas tenaga kependidikan,
daftar umum kepegawaian, upaya peningkatan SDM pegawai, serta kinerja pegawai
dalam institusi pendidikan.
4. Manajemen Keuangan
Sebagaimana dalam substansi manajemen pendidikan lainnya, manajemen
keuangan juga harus dilakukan melalui proses perencanaan, pengorganisasian,
pengoordinasian, pengarahan, pengawasan, dan juga pengendalian. Dalam mengelola
institusi pendidikan, masalah keuangan juga harus dikelola dengan sebaik-baiknya
karena ia akan ikut menentukan berjalannya kegiatan pendidikan di sekolah.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam manakemen keuangan antara lain
adalah memperoleh dan menetapkan sumber pendanaan, pelaporan, pemanfaatan
dana, pemeriksaan dan pertanggungjawaban. Manajemen keuangan juga menyangkut
tatusaha yang meliputi pencatatan, perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggung
jawaban, sehingga secara keseluruhan manajemen keuangan merupakan rangkaian
aktivitas berupa pengaturan atau pengelolaan keuangan sekolah.
5. Manajemen Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan hal yang berbeda. Sarana
pendidikan berkaitan dengan semua fasikitas atau peralatan yang secara langsung
digunakan dalam proses belajar mengajar, baik sarana itu bergerak atau tidak
bergerak, dan bertujuan agar proses pendidikan berjalan dengan lancer, teratur,
efektif, dan efisien. Gedung, ruang belajar,, meja, kursi, laboratorium dan media
pembelajaran merupakan sarana pendidikan.
Sementara, prasarana berkaitan dengan fasilitas yang secara tidak langsung
turut menunjang proses jalannya pendidikan, seperti halnya halaman, taman sekolah,
tata tertib, akses menuju sekolah, dan sebagainya. Dua hal ini, sarana dan prasarana,
harus dikelola dengan efektif agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Secara umum, manajemen sarana dan prasarana berfungsi mengatur dan
menjaga sarana dan prasarana pendidikan sehingga dapat memberikan konstribusi
optimal terhadap proses pendidikan.
6. Manajemen Perkantoran
Secara umum, manajemen perkantora diartikan sebagai proses kerja sama di
dalam kantor yang dilakukan untuk mencapai tujuan kantor. Proses ini juga harus
sudah ditetapkan sebelumnya berdasarkan fungsi-fungsi manajemen pada umumnya,
yaitu melalui proses perencanaan, pengaturan, pelaksanaan dan pengawasan.
7. Manajemen Hubungan Masyarakat
Salah satu tujuan dari manajemen hubungan masyarakat atau humas antara
lain adalah untuk mengetahui, menilai, menyimpulkan sikap masyarakat terkait
dukungan mereka terhadap lembaga pendidika. Dengan demikian, fungsi humas
bukan sekedar memberikan informasi kepada masyarakat tentang fakta-fakta di
dalam lembaga pendidikan, tetapi juga sekaligus mampu menjelaskan banyak hal
mengenai seluruh proses dan kendala pendidikan.
Pengelolaan terhadap humas juga harus dilakukan secara efektif melalui tahap
perencanaan, pengaturan, pelaksanaan, dan pengawasan. Melalui pengaturan yang
efektif, maka humas dapat memberikan informasi tentang proses pendidikan
sekaligus memperoleh informasi tentang pikiran, kritik, dan solusi apa saja yang
berkembang di masyarakat mengenai lembaga pendidikan.
8. Manajemen Unit Penunjang
Untuk mencapai tujuan pendidikan, setiap lembaga pendidikan tidak hanya
memerlukan perangkat pembelajaran seperti halnya buku dan media pembelajaran
lainnya. Tetapi di samping itu, juga memerlukan unit-unit penunjang lainnya secara
langsung maupun tidak lansung mendukung tercapainya tujuan pendidikan.
sebagaimana dalam manajemen pendidikan lainnya, manajemen unit
penunjang juga harus dikelola melalui proses perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan, dan pengawasan. Beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai unit
penunjang pendidikan antara lain bimbingan dan konseling, perpustakaan, UKS,
olahraga, pramuka, dan sebagainya.
9. Manajemen Ekstrakurikuler
Tercapainya tujuan pendidikan tidak sepenuhnya ditentukan oleh proses
belajar mengajar di dalam kelas. Tetapi, berbagai kegiatan bersifat mendidik yang
diselenggarakan di luar kelas juga dapat menjadi penunjang bagi keberhasilan
pendidikan itu sendiri. Salah satunya adalah kegiatan ekstrakurikuler.
Sekalipun kegiatan ekstrakurikuler tidak berkaitan langsung dengan proses
belajar mengajar di dalam kelas, tapi kegiatan tersebut dapat memberikan peluang
kepada peserta didik untuk memperkaya identitas dan sekaligus meningkatkan
kapasitas belajar mereka.
Ruang lingkup manajemen pendidikan tersebut di atas merupakan komponen-
komponen yang saling berkaitan dan tidak bias dipisahkan satu sama lain. Dengan kata
lain, untuk mencapai tujuan pendidikan, maka manajemen dalam ruang lingkup
manajemen tersebut harus sama-sama dikelola dengan tepat dan seimbang sehingga
dapat memberikan hasil yang efektif dan efisien.

E. Karateristik Manajemen Pendidikan Islam


Manajemen pendidikan Islam memiliki objek bahasan yang cukup kompleks.b
berbagai objek bahasa tersebut dapat dijadikan bahan yang kemudian diintegrasikan
untuk mewujudkan manajemen pendidikan yang berciri khas Islam. Istilah Islam dapat
dimaknai sebagai Islam wahyu atau Islam budaya. Islam wahyu meliputi Al-Qur’an dan
Hadis-hadis Nabi, baik hadis Nabawi maupun hadis Qudsi. Sementara itu, Islam budaya
meliputi ungkapan sahabat Nabi, pemahaman ulama. Pemahaman cendikiawan Muslim
dan budaya umat Islam. Kata Islam yang menjadi identitas manajemen pendidikan ini
dimaksudkan dapat mencakup makna keduanya, yakni Islam wahyu dan Islam budaya.
Oleh karena itu, pembahasan manajemen pendidikan Islam senantiasa melibatkan
wahyu dan budaya kaum muslimin, ditambah kaidah-kaidah manajemen pendidikan
secara umum. Maka, pembahasan ini akan mempertimbangkan bahan-bahan sebagai
berikut :
1) Teks-teks wahyu baik Al-Qur’an maupun hadis yang berkaitan dengan manajemen
pendidikan.
2) Perkataan-perkataan (aqwal) para sahabat Nabi maupun ulama dan cedikiawan
muslim yang terkait dengan manajemen pendidikan.
3) Realitas perkembangan lembaga pendidikan Islam
4) Kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga pendidikan Islam.
5) Ketentuan kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam.
Teks-teks wahyu sebagai sandaran teologis; perkataan-perkataan para sahabat
Nabi, ulama, dan cendekiawan muslim sebagai sandaran rasional; realitas perkembangan
lembaga pendidikan Islam serta kultur komunitas (pimpinan dan pegawai) lembaga
pendidikan Islam sebagai sandaran epiris; sedangkan ketentuan kaidah-kaidah
manajemen pendidikan sebagai sandaran teoretis. Jadi, bangunan manajemen pendidikan
Islam ini diletakkan di atas empat sandaran, yaitu sandaran teologis, rasional, empiris
dan teoritis.
Sandaran teologis menimbulkan keyakinan adanya kebenaran pesan-pesan wahyu
karena berasal dari Tuhan, sandaran rasional menimbulkan keyakinan kebenaran
berdasarkan pertimbangan akal pikiran. Sandaran empiris menimbulkan keyakinan
adanya kebenaran berdasarkan data-data riil dan akurat, sedangkan sandaran teoritis
menimbulkan keyakinan adanya kebenaran berdasarkan akal pikiran dan data sekaligus
serta telah dipraktikkan berkali-kali dalam pengelolaan pendidikan.
Penerapan manajemen pendidikan Islam dalam pengelolaan lembaga pendidikan
juga menghadapi berbagai kendala/hambatan, baik yang bersifat politis, ekonomi-
finansial, intelektual, maupun dakwah. Hambatan-hambatan tersebut dapat dirinci
sebagai berikut :
1) Ideologi, politik, dan tekanan (pressure) kelompok-kelompok kepentingan.
Dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam terutama yang berstatus
negeri, acap kali terjadi pertentangan ideologi antarorganisasi sosial keagamaan
utamanya, misalnya antara Muhammadiyah dan NU, atau antar organisasi
kemahasiswaan, terutama antara HMI dengan PMII, HMI dengan IMM, atau
IMM dengan PMII. Latar belakang pertentangan-pertetang ini, akhirnya politik
kepentingan memasuki arena lembaga pendidikan dengan memberikan tekanan-
tekanan tertentu.
Mantan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama, Yahya
Umar, perna mencoba mengamati dan menyelami kehidupan kampus UIN, IAIN
maupun STAIN di seluruh Indonesia. Pengamatan tersebut akhirnya
menghasilkan suatu kesimpulan yang singkat tetapi penuh makna, bahwa
dikalangan PTAIN tidak ada civitas akademika, sebaliknya yang ada justru
civitas politika. Kesimpulan ini tampaknya memang benar karena nuansa politik
di kalangan dosen, mahasiswa, bahkan karyawan sangat dominan, mengalahkan
nuansa akademik.
Oleh karenanya, kegiatan di lingkungan kampus lebih mengarah pada
gerakan-gerakan politik daripada pemberdayaan intelektual. Nuansa politik
tersebut semakin terasa saat menjelang dan pascapemilihan rektor, dekan,
maupun ketua lembaga. Akibatnya, pertikaian antardosen, antarkaryawan dan
antar mahasiswa terus berlangsung.
Hal ini tentu saja menghambat kerja manajer (rektor, dekan, atau ketua
lembaga) dalam melaksanakan dan menyukseskan program-programnya. Dosen
dan karyawan pun tidak bisa bekerja secara maksimal akibat pertentangan itu.
Dan biasanya, paling cepat pertikaian itu berjalan dua tahun; setahun
pascapemilihan dan setahun menjelang pemilihan lagi.
Jadi, dalam satu periode kepemimpinan rektor, dekan, atau ketua lembaga yang
selama empat tahun itu mereka bisa bekerja secara normal paling lama hanya dua
tahun. Dalam dua tahun itu pun, masing-masing aktvis memiliki agenda dan
kepentingan sendiri-sendiri yang berusaha melalukan intervensi terhadap
keputusan-keputusan pimpinan.
2) Kondisi sosio-Ekonomik Masyarakat dan Animo-Finansial Lembaga.
Masyarakat santri di Indonesia secara sosio-ekonomik rata-rata berada
dalam kategori kelas menengah ke bawah. Ekonomi orang tua siswa lemah,
ekonomi karyawan, pengajar, dan bahkan pimpinamya juga lemah. Ini
merupakan kendala serius bagi lembaga pendidikan Islam untuk memacu
kemajuan yang signifikan.
Bagaimana seorang kepala madrasah misalnya, dituntut mengelola
madrasahnya secara profesional sementara kondisi ekonomi keluarganya
amburadul? Bagaimana guru-guru madrasah bisa dituntut serius melakukan
inovasi strategi, pendekatan, metode, dan desain pembelajaran dengan baik
sementara kebutuhan dasar sehari-hari saja tidak terpenuhi? Padahal, guru
merupakan ujung tombak pendidikan. Menurut E. Mulyasa, "Guru merupakan
pemeran utama proses pendidikan yang sangat menentukan tercapai-tidaknya
tujuan pendidikan."
Oleh karenanya, guru merupakan jiwa dari sekolah. Demikian juga
karyawan, mereka sulit untuk bekerja serius ketika dibelit oleh persoalan
ekonomi. Sedangkan kelemahan ekonomi orangtua murid senantiasa berdampak
langsung terhadap minimnya kesejahteraan pegawai, apalagi untuk
pengembangan fisik.
Ekonomi orangtua siswa yang lemah menyebabkan pendapatan keuangan
pada lembaga pendidikan Islam sangat minim, sebab mayoritas kehidupan
lembaga pendidikan hanya swasta hanya mengandalkan keuangan dari SPP,
sumbangan uang gedung, dan iuran lainnya yang kesemuanya berasal dari
orangtua siswa atau mahasiswa. Ketergantungan sumber keuangan yang hanya
berasal dari siswa atau mahasiswa ini tergolong sumber keuangan yang lemah
sekali. Sebab, mestinya sebuah lembaga pendidikan didukung sumber dana yang
lebih kuat, misalnya donatur tetap, pengusaha, pengembangan bisnis, dan lainnya.
3) Komposisi Status Kelembagaan dan Diskriminasi Kebijakan Pemerintah.
Mayoritas lembaga pendidikan Islam berstatus swasta dananya bersumber
dari usaha swadaya masyarakat santri yang kondisi ekonominya tergolong dalam
level kelas menengah ke bawah. Komposisi ini paling jelas terlihat pada tingkat
madrasah ibtidaiyah, terutama jika dibandingkan dengan sekolah dasar. Data
statistik 2005/2006 yang menggambarkan jumlah sekolah di Indonesia
menyebutkan terdapat 21.042 (93,1%) madrasah ibtidaiyah swasta, sedangkan
madrasah ibtidaiyah negeri hanya berjumlah 1.568 (6,9%). Keadaan ini
berbanding terbalik jika dibandingkan dengan sekolah dasar. Sebab sekolah dasar
negeri mencapai jumlah 137.673 (92,87%), sedangkan sekolah dasar swasta
hanya berjumlah 10.569 (7,13%).
Pada tingkat tsanawiyah, yang berstatus negeri hanya berjumlah 1.264
(10,19%), sedangkan yang swasta mencapai 11.234 (89,9%). Hal ini berbanding
jauh dengan SMP yang berstatus negeri mencapai 12.951 (54,30%) sedangkan
swasta hanya 10.902 (45,70%). Demikian juga pada madrasah aliyah negeri
hanya 642 (13,1%) sedangkan swasta mencapai 4.276 (86,9%). Sementara itu
SMA negeri masih mencapai 3.940 (42,29%), sedangkan SMA swasta berjumlah
5.377 (57,71%).
Perbedaan ini memiliki implikasi yang besar sekali terhadap keadaan
keuangan lembaga. Bagi madrasah ibtidaiyah, mengingat 93,1% di antaranya
berstatus swasta itu, selalu berhadapan dengan masalah keuangan. Minimnya
keuangan madrasah ibtidaiyah ini menyebabkan posisi lembaga pendidikan
tersebut selalu terbelakang dan sulit maju. Sebab, untuk memajukan madrasah,
seperti juga memajukan lembaga pendidikan laimya, sangat membutuhkan dana
yang memadai.
Dalam waktu yang bersamaan dengan kondisi tersebut, kebijakan
pemerintah tidak pernah berpihak pada lembaga pendidikan Islam swasta.
Kepedulian dan keberpihakan pemerintah hanya terarah pada lembaga pendidikan
negeri sehingga beban madrasah, khususnya madrasah ibtidaiyah, semakin berat.
Diskriminasi kebijakan pemerintah pada madrasah yang mayoritas berstatus
swasta tersebut telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun hingga sekarang
ini.
4) Keadaan Potensi Intelektual Siswa/Mahasiswa.
Siswa/mahasiswa dalam lembaga pendidikan Islam berada dalam kategori
kelas menengah ke bawah, secara intelektual, potensi mereka juga lemah. Rata-
rata siswa/mahasiswa mendaftar di berbagai lembaga pendidikan Islam karena
merasa tidak mungkin diterima di lembaga pendidikan umum yang maju dan
terutama yang berstatus negeri. Sebagian dari mereka yang telah gagal masuk di
lembaga pendidikan umum negeri kemudian memilih lembaga pendidikan Islam.
Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam menjadi tempat pelarian
siswa/mahasiswa yang gagal masuk lembaga pendidikan umum negeri, atau
karena menyadari kemampuamya rendah dan mungkin amat rendah sehingga
sengaja tidak pernah mendaftar di lembaga pendidikan umum negeri.
Keadaan ini menunjukkan adanya unsur keterpaksaan; daripada tidak
sekolah/kuliah masih lebih baik memasuki lembaga pendidikan Islam. Kalaulah
bukan keterpaksaan. setidaknya lembaga pendidikan Islam tetap bukan pilihan
siswa/mahasiswa. Kondisi psikologis ini tentunya tidak dapat memberikan
pengaruh positif untuk membangkitkan gairah belajar guna mengejar penguasaan
pengetahuan, baik yang difasilitasi lembaga maupun atas inisiatit sendiri.
Pada bagian lain, lembaga pendidikan Islam tidak mampu melakukan
seleksi penerimaan siswa atau mahasiswa baru secara ketat dan kompetitif.
Karena, selisih antara kuota yang direncanakan dengan jumlah calon siswa atau
mahasiswa yang mendaftar tidak berbeda banyak. Bahkan, tidak jarang jumlah
siswa/mahasiswa pendaftar lebih sedikit daripada kuota yang direncanakan
sehingga tidak ada persaingan sama sekali. Keadaan ini membuat pimpinan
lembaga pendidikan Islam berada dalam posisi yang serba sulit (dilema). Jika
tidak ada seleksi, berarti siswa/mahasiswa yang diterima bisa jadi berasal dari
kalangan yang rendah secara intelektual.
Akan tetapi, jika diseleksi secara ketat, hanya diperoleh siswa /mahasiswa
dalam jumlah yang amat sedikit, yang akan menimbulkan masalah untuk
meningkatkan potensi keuangan lembaga.
Kondisi potensi intelektual siswa/mahasiswa yang cukup parah ini
kemudian diperburuk dengan banyaknya beban mata pelajaran/mata kuliah.
Beban yang dihadapi siswa madrasah lebih berat dari siswa sekolah umum karena
pelajaramya ditambah dengan rumpun mata pelajaran agama (Al-Quran. hadis,
akidah akhlak, fikih, tarikh, dan Bahasa Arab). Demikian juga yang dialami oleh
mahasiswa perguruan tinggi Islam, beban mereka lebih berat daripada mahasiswa
perguruan tinggi umum.
Kenyataan yang serba memberatkan ini potensi intelektual
siswa/mahasiswa yang begitu lemah disatu sisi, dan beban pelajaran/perkuliahan
yang lebih berat pada sisi lain dirasakan oleh pimpinan beserta jajaran staf
pengajar di lembaga pendidikan Islam sebagai tugas berat, bahkan "mahaberat”
yang terpaksa harus diemban. Sementara itu, standar mutu lulusan yang dituntut
dari lembaga pendidikan Islam sangat tinggi. Keadaan ini benar-benar timpang.
Tidak ada keseimbangan antara cita-cita yang ingin diraih, beban, dan modal
kemampuan yang dimiliki peserta didik.
5) Keberadaan Motif Dakwah Pada pendirian Lembaga Pendidikan Islam.
Keberadaan lembaga pendidikan Islam kebanyakan berangkat dari bawah,
berawal dari inisiatif tokoh-tokoh agama yang kemudian didukung oleh
masyarakat sekitar. Mereka mendirikan lembaga pendidikan tersebut dengan
motif dakwah, upaya sosialisasi, dan penanaman ajaran-ajaran Islam ke tengah-
tengah masyarakat.
Motif dakwah dalam pendirian lembaga pendidikan Islam ini membawa
dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah memiliki kekuatan besar
untuk bersatu dan hidup (survive) meskipun jumlah siswanya han sedikit. Tidak
ada kata menyerah dalam meneruskan keberadaan lembaga pendidikan.
Sementara itu, segi negatifnya terkadang menimbulkan kondisi serba tidak
teratur, serba tidak terencana, serba tidak terancang, serba tidak kompetitif, dan
serba mengalami kemunduran.
Berdasarkan lima macam hambatan tersebut, maka karakteristik manajemen
pendidikan Islam bersifat holistik artinya strategi pengelolaan pendidikan Islam
dilakukan dengan memadukan sumber-sumber belajar dan mempertimbangkan
keterlibatan budaya manusianya, baik budaya yang bercorak politis, ekonomis,
intelektual, maupun teologis. Secara detail, kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam
yang harus dirumuskan haruslah :
1) Dipayungi oleh wahyu (Al-Qur'an dan hadis)
2) Diperkuat oleh pemikiran rasional
3) Didasarkan pada data-data empiric
4) Dipertimbangkan melalui budaya
5) Didukung oleh teori-teori yang telah teruji validitasnya
Syarat pertama berupa wahyu (Al-Quran dan hadis) maupun syarat kedua berupa
pemikiran rasional dari sahabat Nabi, ulama, maupun cendekiawan muslim, dipandang
perlu untuk menghadirkan pesan-pesan wahyu maupun pesan pasan sahabat Nabi, ulama,
serta cendekiawan muslim dalam lembaga pendidikan Islam meskipun masih berupa
prinsip-prinsip dasar.
BAB III
Simpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manajemen memegang peranan penting
dalam lembaga pendidikan, secara praktik, manajemen sudah dilakukan oleh manusia sejak
zaman purbakala, dan baru menjadi disiplin keilmuan pada awal abad ke-20. Manajemen
memiliki arti yang sangat beragam karena dipengaruhi oleh sudut pandang, keyakinan, dan
pemahaman subjektif orang-orang yang mengartikannya. Tetapi secara umum, manajemen
diartikan sebagai proses pengelolaan suatu pekerjaan dengan tujuan memperoleh hasil serta
demi mencapai tujuan-tujuan dengan cara melibatkan orang lain.
Mary Papker Follett, “Manajemen sebagai seni dalam menyelesaikan pekerjaan melalui
orang lain”. Pengertian ini megandung arti bahwa para manajer mencapai tujuan-tujuan
organisasi melalui pengaturan orang-orang lain untuk melaksanakan berbagai tugas yang
memungkinkan diperlukan atau berarti dengan tidak melakukan tugas-tugas itu sendiri.
Arifuddin Arif menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan
ajaran Islam atau tuntutan agama Islam dalam usaha membina dan membentuk pribadi muslim
yang bertakwa kepada Allah Swt. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang perlu
diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung
sepanjang hayat.
Dengan demikian, manajemen pendidikan islam dapat diartikan sebagai upaya menggali
dan memanfaatkan semua sumber daya yang dimiliki umat islam melalui kerja sama secara
efektif agar potensi yang dimilikidapat ditumbuhkembangkan demi tercapainya insan yang
terdidik, berakhlak mulia, berguna dan selamat.
Manajemen Pendidikan Islam, sebagaimana manajemen pada umumnya, memiliki empat
macam fungsi, yaitu fungsi perencanaan, fungsi pengorganissian, fungsi pelaksanaan, dan fungsi
pengawasan. Sementara, ruang lingkup manajemen pendidikan Islam meliputi manajemen
kurikulum, manajemen peserta didik, manajemen kepegawaian, manajemen keuangan,
manajemen sarana dan prasarana, manajemen perkantoran, manajemen hubungan masyarakat,
manajemen unit penunjang, dan manajemen ekstrakurikuler.
Meskipun secara konseptual fungsi manajemen dan ruang lingkup manajemen
pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan manajemen organisasi pada umumnya, tetapi
manajemen pendidikan islam harus dibangun di atas nilai-nilai keislaman yang merujuk pada al-
Qur’an dan hadits. Sehingga, tujuan dan hasil pendidikan tidak semata-mata mencetak generasi
yang berkualitas secara intelektual, tetapi juga pribadi yang cerdas secara spiritual, beriman, dan
bertaqwa.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, 2002, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Anwar, Sudirman, 2015, Management Of Student Development Perspektif al-Qur’an dan as-
Sunnah, Riau: Yayasan Indragiri.
Fadjar, A. Malik, 1998, Visi Pembaharuan Pendidikan Islam, Jakarta: Lembaga Pengembangan
Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia.
Firdianti, Arinda, 2018, Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah dalam Meningkatkan
Prestasi Belajar Siswa, Yogyakarta: Gre Publishing.
Hambali, Muh dan Mu’alimin, 2020, Manajemen Pendidikan Islam Kontemporer, Yogyakarta:
Perpustakaan Nasional.
Indrawan, Irjus, 2015, Pengantar Manajemen Sarana dan Prasarana Sekolah, Yogyakarta:
Deepublish.
Mappadjantji, A., 2005, Kemandirian Lokal: Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan
Pendidikan dari Perspektif Sains Baru, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muhaimin dkk., 2015, Manajemen Pendidikan: Aplikasi dalam Penyusunan Rencana
Pengembangan Sekolah/Madrasah, Jakarta: Prenada Group.
Mulyasa, E, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi, Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E, 2003, Menjadi Kepala Sekolah Profesional dalam Konteks Menyukseskan MBS dan
KBK, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Qomar, Mujamil, 2007, Manajemen Pendidikan Islam, (Malang: PT. Gelora Aksara Pratama.
Rosyada, Dede, 2004, Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan Masyarakat
dalam Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: Prenada Media.
Saihudin, 2018, Manajemen Institusi Pendidikan, Ponorogo: Uwais Inspirasi Indonesia.
Shulhan, Muwahid dan Soim, 2013, Manajemen Pendidikan Islam, Yogyakarta: Teras.
Sufyarman, 2003, Kapita Selekta Manajemen Pendidikan Islam, Bandung: Alfabeta.
Sunaengsih, Cucun dkk., 2017, Pengelolaan Pendidikan, Sumedang: UPI Sumedang Press.
Suparjati dkk., 2004, Tata Usaha dan Kearsipan, Yogyakarta: Kanisius
Umar dkk., 2016, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Transformatif,
Yogyakarta: Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai