Khoirul Fattah
Fakultas Usuluddin dan adab
Universitas Islam Negri Sultan Maulana Hasanudin Banten
Khoirulfat20@gmail.com
Abstract
Feminist exegesis (tafsir) is a unique genre emerges in contemporary era when gender
issue become a global concern. The paradigm of this tafsir started from the asumpsion
that the Qur‟anic principle of male-female relationship should be based on justice (al-
„adalah), equality (al-musawah), appropriateness (al-ma‟ruf), and conssensus (syura).
Thus, any exegesis produced in classical period which violate all those principles are
considered unacceptable, especially in relation to the current situation which differ from
that of previous time. Feminist tafsir employs gender analisys as a tool to differentiate
between God given condition that is unchangeable to gender as social construction that is
changeable. In addition, hermeneutics is considered an appropriate approach chosen in
feminist tafsir along with thematic method to interprete verses about gender relation in
the Qur‟an. With this methodology, its aim is to produce tafsir with more intersubjective
and critical insight related to gender relation.
Keywords: Feminist interpretation; history; validity feminist interpretation.
Abstrak
Tafsir feminis adalah sebuah genre tersendiri yang muncul di era kontemporer ketika isu
gender menjadi isu global. Paradigma tafsir ini berangkat dari asumsi, bahwa prinsip
dasar al-Qur‟an dalam relasi laki-laki dan perempuan adalah keadilan (al-'adalah),
kesetaraan (al-musawah), al-ma'ruf (kepantasan), syura (musyawarah). Sehingga produk-
produk penafsiran klasik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip tersebut akan dinilai
tidak tepat, terutama ketika diterapkan untuk konteks kekininian, sebab situasi dan
kondisinya jelas berbeda sama sekali dengan zaman dulu. Model analisis yang dipakai
dalam paradigma tafsir feminis adalah analisis gender,yang secara tegas membedakan
antara kodrat sebagai sesuatu yang tidak bisa berubah, dengan gender sebagai konstruksi
sosial yang bisa berubah. Wajar jika kemudian pendekatan hermeneutik dengan metode
tafsir tematik akhirya menjadi pilihan dalam mengkaji ayat-ayat tentang relasi gender.
Sebab dengan metodologi seperti itu, diharapkan produk tafsir akan lebih intersubyektif
dan kritis melihat problem relasi gender.
Kata Kunci: Sejarah; tafsir feminis; validitas tafsir feminis.
BAB I
PENDAHULUAN
Tafsir awalnya lebih merupakan ilmu yang sangat teknis, mulai dari
bagaimana cara membaca Alquran, i‟rabnya, sampai pada bagaimana
memahami kandungan Alquran. Maka objek kajian tafsir pada saat itu masih
sangat luas. Muhammad Ali Salamah, Husein Al-Dzahabi yang dan Khalid ibn
Usman yang mempersempit definisi tafsir menjadi ilmu yang yang
mengkaji kompleksitas Alqurandalam rangka memahami firman Allah SWT
sesuai kadar kemampuan manusia.Maka bisa disimpulkan bahwa objek
material tafsir adalah Alquran, sedang objek formal tafsir itu adalah problem
pemberian makna dan mem-produksi makna untuk mengungkap maksud
firman Allah. Jika demikian, maka seorang penafsir hanya berkewajiban
memahami mak-sud Allah dalam Alquransesuai kemampuan keilmuan dan
latar belakang yang meling-kupinya. Seorang penafsir hanya seorang yang
mencoba mencari kebenaran dan bukan penentu kebenaran. Oleh
karenanya, tafsir pada posisi sepertiini bukan suatu produk yang final, dan
tafsir harus selalu dipahami dengan cara mengingat latar ilmu dan latar
kehidupan saat mufasir itu menuliskannya. Berkenaan dengan ini Syahrur
pernah meng-kritik bahwa idealnya tafsir harus merupakan kajian ilmiah
yang objektif atas teks suci keagamaan. Makanya ia tidak boleh dilandasi
oleh kepentingan-kepentingan tendensius, se-bab hal itu akan menjerumuskan
seseorang pa-da kearagu-raguan dan menyebabkan hilang-nya nilai objektifitas
penafsiran.1
2
dahulu ada dalam merespon Alquransehingga tafsir di abad kontemporer
memiliki asumsi dan paradigma yang berbeda dengan tafsir di masa awal. Jika
pada tradisi penafsiran klasik prinsip bahwa Alquranshalih likulli zaman wa
makandipahami secara paksa pada konteks apa pun ke dalam teks Alquran.
Akibatnya, pemaham-an yang muncul cenderung tekstualis dan lite-ralis. Maka
pada tafsir kontemporer, prinsip tersebut dipahami lebih kontekstual. Sehingga
hasil penafsirannya bukan hanya pada persoal-an makna kata, namun lebih
pada penemuan ideal moral dari tiap ayat Alquranyang meru-pakan hasil
kolabarosi penggunaan analisa makna kata, analisa sosial dan analisa
historis.Menurut hemat penulis ada dua hal yang menjadi dasar pentingnya
pembahasan tentang paradigma, metodologi dan validitas tafsir kontemporer
menjadi penting. Pertamasering terjadinya kesalahpahaman dalam menilai
sebuah tafsir sehingga dengan mudah menilai bahwa sebuah tafsir itu sesat
hanya karena berbeda metodologi. Keduamembahas para-digma, metodologi
dan validitas tafsir kon-temporer adalah mengenalkan dengan rinci tentang
akar akar yang membuat tafsir ini berbeda dengan tafsir yang selama ini
ada, sehingga penjabaran tentang tafsir kontem-porer secara metodologis
dapat menjadi filtrasi terhadap tuduhan miring pada tafsir ini. Tulisan ini
bermaksudmembahas paradigma, standar validitas dan berbagai pendekatan
yang digunakan tafsir Alqurandi zaman kontemporer. Dalam tulisan ini
akan diguna-kan metode deskriptif analitis dalam pemba-hasannya, yakni
sebuah metode yang bermak-sud memaparkan secara rinci tentang tafsir
kontemporer, lalu menganalisa bagian mana yang termasuk pada
paradigmanya dan bagaimana standar validitasnya
BAB II
PEMBAHASAN
3
Istilah metodologi (ilmu tentang metodologi) berasal dari kata metode yang
berasal dari Bahasa Yunani "methodos" yang berarti cara atau jalan. Kemudian
dalam entri ensiklopedi dijelaskan: bahwa metode adalah cara meakukan sesuatu
atau cara mencapai pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan, cara tersebut di
tetapkan dengan jelas dan tetap. Metode merupakan syarat mutlak bagi
pengembangan dan keberhasilan ilmu pengetahuan. Suatu metode dikatakan
obyektif dan benar, bila sesuai dengan pokok yang ditelaah / diteliti.
Menyikapi adanya dua term ini tafsir modern dan tafsir kontemporer, maka
jika dilihat dari kamus Bahasa, diketahui bahwa lafal "al-Hadits" (modern) adalah
antonim dari lafal "al-Qodim" (klasik, masa dahulu). Sedang lafal al-Mu'ashir
(kontemporer), memiliki makna masa terkini dari era modern, bahkan lebih dari
4
itu lafal mu'ashir kini seakar kata dengan asharo (sezaman) sehingga dapat di
nyatakan bahwa tafsir kontemporer adalah tafsir yang sezaman dengan si pengkaji
suatu karya tafsir. Disamping adanya kualifikasi "ke sezamanan" hemat penulis
pada tafsir kontemporer juga diperlukan persyaratan "adanya nilai inovatif
metodologis "dalam karya tafsirnya. Jadi jika si pengkaji misalnya hidup di abad
21 atau sering dinamakan abad modern maka karya tafsir kontemporer yang
sezaman deng si pengkaji itu adalah karya tafsir yang ditulis di abad 21 atau abad
modern. Menurut ahli sejarah, rentang waktu era modern adalah : sejak di
mulainya revolus perancis tahun 1789 oleh Napoleon Bonaparte hingga awal
ditemukannya alat-alat komunikasi canggih.
Jadi, Tafsir kontemporer ialah tafsir atau penjelasan ayat al quran yang di
sesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini. Pengertian seperti ini sejalan
dengan pengertian tajdid yakni usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan
kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat.
Dari sini, dapat disebutkan bahwa karya tafsir kontemporer memiliki dua
kualifikasi, yakni
a. Karya tafsir yang dikaji sezaman dengan si pengkaji,
b. Karya di maksud memiliki ciri inovatif dalam metodologi atau isi
penafsirannya.
5
pendidikan, serta Bahasa Arab dan Persia di madrasah lokal. Dan
beberapa karya Sayyid Ahmad Khan, yaitu Atsar Al-Sanadid, Essay on
life of Muhammad, Tafsir al-Qur'an sebanyak 6 jilid, Ibthal Al-
Ghulami, dan Tabyin Al-Kalam.
Pembaharuan penafsiran al-Qur'an yang dilakukan adalah berusaha
mengadaptasikan ajaran-ajaran al-Qur'an dengan tuntunan-tuntuna
zaman modern. Ahmad Khan berpendapat bahwa al-Qur'an dan hadits
merupakan sumber hukum islam ia berpandangan bahwa tugas kaum
muslimin sekarang dalam memelihara hadits adalah merumuskan
standar penilaian modern terhadap hadits-hadits tersebut. Berkaitan
dengan masalah fiqih, ia mempunyai pandanagn yang mendekatkan
antara perkara-perkara dan pemahaman peradaban barat, contoh dalam
masalah jihad ia memandang bahwa jihad hanya di syariatkan untuk
membela diri dan hanya dalam satu keadaan, yaitu ketika orang-orang
kafir menyerang kaum muslimin dengan tujuan mengubah agama atau
mengkfirkan. Apabila penyerangan tersebut bertujuan lain seperti
pendudukan wilayah dan tidak bertujuan mengubah agama maka jihad
tidak di syariatkan.
2. Muhammad Abduh berasal dari Mesir salah satu penggagas gerakan
modernism islam. Belia belajar tentang filsafat dan logika seorang
filsuf dan pembaharu yang mengusung gerakan Pan-Islamisme untuk
menentang penjajahan eropa di Negara-negara asia dan afrika.
Diantara pembaruan yang dilakukannya adalah dengan menghadirkan
karya penafsiran al-qur'an. Adalah tafsir al-Manar yang di tulis
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasid Ridha telah memberikan
corak baru dalam ilmu tafsir. Menurut Muhammad Husein Adz-
Dzahabi menitik beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur'an pada segi
ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungannya dalam suatu
redaksi yang indah serta menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
pembangunan dunia. Menurut Muhammad Abduh dalam menafsirkan
6
ayat adalah al-qur'an menjadi pokok. Al-Qur'an di didasarkan segala
madzhab dan aliran keagamaan, bukannya madzhab-madzhab dan
aliran yang menjadi pokok, dan ayat-ayat al-qur'an hanya dijadikan
pendukung mazhab-mazhab tersebut. Ia membuka lebar pintu ijtihad
karena dengannya akan memberi semangat dinamis terhadap
perkembangan islam dalam seluruh aspek.
3. Tanthawi Jawhari lahir pada tahun 1840 ia memulai masa belaharnya
di kampungnya sendiri, layaknya anak-anak mesir lainnya dengan
menghafal al-qur'an. Ia terkenal sebagai aktifis perdamaian karya
tafsirnya yaitu Al-Jawahir fii Tafsir Al-Qur'an yang menghadirkan
penafsiran setiap ayat al-Qur'an dengan menggunakan penjelasan
filosofis, sains, historis, dan ilmu-ilmu lain. Tafsir setebal 25 jilid ini di
tulis ketika ia mengajar di Dar Al-Ulum.
4. Amin al- Khuli
5. Nasr Hamid Abu Zaid
6. Sayyid Quthbi
7. Thabathaba'i
8. Amina Wadud
9. Fadzlurrahman
10. Tosihiko Ijutsu
11. Muhammad Syahrur
7
Menarik untuk melihat ternyata ada yang membedakkan antara kata
heurmenetic (tanpa 's') dan heurmeneutics ( dengan huruf 's'). term
pertama dimaksudkan sebagai sebuah bentuk adjective (kata sifat) yang
apabila di terjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai
ketafsiran, yakni meunjuk pada keadaan atau sifat yang terdapat dalam
satu penafsiran. Term kedua, heurmenetics adalah sebuah kata benda
(noun). Kata ini mengandung 3 arti,
1. Ilmu penafsiran;
2. Ilmu untuk mengetahui maksud yang terkandung dalam kata-kata dan
ungkapan penulis;
3. Penafsiran yang secara khusus menunjuk kepada penafsiran kitab
suci.2
1. Tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam
penafsiran.
2. Perantara atau penafsir (hermes)
3. Penyampaian pesan itu oleh sang perantara agar bisa di pahami dan
sampai kepada yang menerima.
2
Fakhruddin faiz, Heurmenetika Qur'an, Yogyakarta:penerbit qalam, 2003,hal: 18
8
3. Pemindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi
bentuk ungkapan yang lebih jelas.
Integratif kajian menggunakan cara pandang dan atau cara analisis yang
menyatu dan terpadu. Analisis integratif dikelompokkan menjadi dua,
pertama, integratif antar seluruh nash yang terkait dengan masalah yang
sedang dikupas. Kedua, integratif antara nash dengan ilmu yang terkait
dengan masalah yang sedang di bahas.4 Secara singkat, pendekatan integratif
3
Fakhruddin faiz, Heurmenetika Qur'an, Yogyakarta:penerbit qalam, 2003,hal :38-39
4
Khairuddin nasution, pengantar study islam, (Yogyakarta : ACADEMIA + TAZZAFA, 2012) hal: 221
9
antara nash sama dengan pendekatan atau salah satu model dalam tafsir yang
di sebut model tafsir maudhu'i (tematik).
3. Semiotika
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
10
11