Anda di halaman 1dari 10

ARTICLE TEMPLATE

JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH

Pendekatan Ma’na>-Cum-Maghza> : Sebagai Metode


Penafsiran Al-Qur’an Kontemporer di Indonesia

Penulis
Khairun (Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya)
Email: khairunassingkili@gmail.com

Whatsapp: 082141212378

ABSTRACT
The Al-Qur'an is the holy book of Muslims which will always be relevant in every
place and time. The truth of the Qur'an is absolute and cannot be doubted, but
understanding it can change and be relative. The interpretive process is the
interpreter's response when understanding a text, situation and social problems
encountered. Therefore, there is a distance between the Qur'an and its interpretation.
Why does this happen, and how can we close the distance? So this article tries to
explain the Ma’na>-Cum-Maghza> theory as a new theory for interpreting the Koran
which is adopted from the Hermeneutics promoted by Sahiron Syamsuddin. In
general, this theory is almost the same as the theory of Fazrur Rahman and Abdullah
Saeed. However, the difference between the theory of Fazrur Rahman, Abdullah
Saeed and the theory of Sahiron Syamsuddin lies in the fact that all verses are
attempted to be able to be interpreted using the Ma’na>-Cum-Maghza theory.

ABSTRAK
Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang akan selalu relavan disetiap tempat
dan waktu. Kebenaran Al-Qur’an adalah mutlak yang tidak perlu diragukan, namun
dalam memahaminya dapat berubah-ubah dan relatif. Proses penafsiran merupakan
respon penafsir ketika memahami sebuah teks, situasi, dan problem sosial yang
ditemui. Oleh sebab itu, ada jarak di antara Al-Qur’an dan penafsirannya. Kenapa
hal ini bisa terjadi, dan bagai mana cara mendekatkan jarak tersebut? Maka artikel
ini mencoba untuk menguraikan mengenai teori Ma’na>-Cum-Maghza> sebagai teori
yang baru untuk menafsirkan Al-Qur’an yang diadopi dari Hermeneutika yang
dipromosikan oleh Sahiron Syamsuddin. Secara garis besar teori ini hampir sama
dengan teori Fazrur Rahman dan Abdullah Saeed. Namun pembeda dengan teori
Fazrur Rahman, Abdullah Saeed dengan teori Sahiron Syamsuddin terletak pada
semua ayat diusahakan mampu ditafsirkn melalui teori Ma’na>-Cum-Maghza.

Kata kunci: Al-Qur’an, Teori, Ma’na>-Cum-Maghza>

1
ARTICLE TEMPLATE
JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH

A. Pendahuluan
Dewasa ini, semakin banyak mahasiswa yang menelaah dan mengkaji
ilmu dan tafsir Al-Qur’an. Seiring perkembangan zaman dan semakin banyaknya
sarjana Al-Qur’an sehingga bermunculan lah teori-teori baru untuk memahami dan
menafsirkan Al-Qur’an. Perkembangan teori baru bukan melulu menafikan bahwa
ulum al-Qur’an sudah tidak relavan lagi, akan tetapi perkembangan ini untuk
mempermudah seseorang dalam memahami ayat Al-Qur’an di masa ini.
Perkembangan teori penafsiran Al-Qur’an yang sedang membuming
adalah mengenai teori hermeneutika. Banya ulama kontemporer tafsir yang selalu
tertarik menafsirkan Al-Qur’an dengan teori hermeneutika. Hal ini dapat kita lihat
beberapa ulama yang mengadopsi teori hermeneutika untuk digunakan menafsirkan
Al-Qur’an.1 Di antara ilmuan muslim yang mengendepankan teori hermenautiknya
untuk menafsirkan Al-Qur’an adalah Mohammad Akroun dari Aljazair melahirkan
pandangan mengenai “cara baca” semiotic terhadap ayat Al-Qur’an, Fazrur
Rahman merumuskan metode Hermeneutika yang sistematik terhadap Al-Qur’an
dan dikenal sebagai “double movement”.2
Di Nusantara sendiri, sarjana ilmu Al-Qur’an semakin membeludak, dan
berbagai teori baru mengenai pemahaman Al-Qur’an terus bermunculan. Salah satu
teori yang muncul akhir-akhir ini yang diadopsi dari hermeneutika dan sangat
populer adah teori Ma’na>-Cum-Maghza yang dilahirkan oleh Syahiron
Syamsuddin. Dengan demikian teori ini begitu menarik jika diteliti dan dikaji ulang
untuk mempermudah penafsir dalam memahami Al-Qur’an mengunakan teori
Ma’na>-Cum-Maghza.
B. Hasil dan Pembahasan
Bigrafi Singkat Shairon Syamsuddin
Shairon samsuddin lahir pada tanggal 11 Agustus 1968 di Cirebon. Awal
mula pendidikannya dan mendalami ilmu agama ia tempuh di Pondok Pesantren
Raudhatu al-Thalibin (1981-1987) Babakan Ciwaringin Cirebon sekaligus ia
mengali ilmu formal di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah tersebut.
Selain itu ia juga mengeyam pendidkan ilmu agama di pondok pesantren
Nurussalam. Kemudian ia melanjukan pendidikan formalnya di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta pada prodi Tafsir Hadis (1987-1993). Tidak cukup disana, ia
selanjutnya melanjutkan rihlah keilmuaanya di McGill University, Kanada pada
kajian Islam serta menempuh pendidikan dalam bidang kajian Islam, Orientalisme,
Filsafat Arab dan Sastra Arab di Bamberg University dan ia mempu mencetak

1
Marhaban, Memahami Teks Alquran Dengan Pendekatan Hermeneutika (Sebuah Analisis
Filosofis), Jurnal, At-Tibyan Vol. II, No. 1. Janauari-Juni 2017. 41.
2
Ummi Inayati, Pendekatan Hermeneutika Dalamsemsk Ilmu Tafsir. Jurnal, Falsafi, Vol. 10, No. 2,
September 2019. 79.

2
ARTICLE TEMPLATE
JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH

prestasinya sebagai gelas doktor pada tahun 2006. Shairon Syamsuddin adalah
seorang dosen di Fakultas ushuludin dan pemikiran Islam di Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia juga pendiri salah satu pondok yang mengajarkan
teks-teks klassik dan juga hermenutika Gracia yang bernama pondok Baitu Hikam.
Beliau juga dianggap sebagai intelektual muslim yang produktif dalan menuliskan
pemikirannya dalam sebuah karya tulis sebagai bentuk kegelisahan akademik dan
respon terhadap fenomena yang berkembang.3
Definisi Ma’na>-Cum-Maghza>
Pendekatan Magna-cum-maghza adalah di mana seorang peneliti
mengeksplorasi dan merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yaitu makna
(ma’na>) dan pesan utama/singnifikasi (maghza>) yang mungkin diharapkan oleh
pengarang teks atau dipandang oleh audiens historis, lalu menjabarkan
singnifikansi teks yang dimaksud untuk konteks masa sekarang.4 Fitriatus Shalihah
dalam jurnalnya memaparkan bahwa ma’na> adalah apa yang diungkapkan melalui
teks dan yang dimaksud oleh penulis dengan menerapkan simbol-simbol bahasa
tertentu. Sedangkan signifikansi yaitu penyebutan afiliasi antara ma’na> dengan
seseorang, persepsi, situasi, atau sesuatu yang diasumsikan.5 Secara mudahnya
bahwa teori ini, pembaca suatu teks tidak hanya berfokus pada makna literal saja
akan tetapi ia harus mengali pesan utama (signifikansi) yang tersebunyi di balik
makna literal teks.6
Teori ma’na-cum-maghza sendiri, sebagaimana yang dikutip Adi Fadilah
bahwa teori ini memiliki kesamaan seperti pada beberapa istilah dengan teori
hermeneutika Fazrur Rahman (Double Movement) dan Abdullah saeed (Contextual
Approach). Akan tetapi, ia mengarisbawahi bahwa teori di atas hanya diaplikasikan
pada seputar memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum.
Sedangkan teori Ma’na>-Cum-Maghza dicita-citakan bisa diaplikasikan untuk
menafsirkan seluruh teks ayat Al-Qur’an.
Metode Penelitian Teori Ma’na-Cum-Maghza
Dimana langkah-langkah metode penafsiran dengan mengunakan Ma’na>-
Cum-Magh}za> ada tiga yaitu, pertama; makna histori (al-ma’na> al-ta>ri>khi>), kedu;
signifikasi fenomenal histori (al-maghza> al-ta>rikhi>), ketiga; signifikasi fenomenal

3
Siti Robikah, Reinterpretasi Kata Jilbab Dan Khimar Dalam Al-Quran; Pendekatan Ma’na Cum
Maghza Sahiron Syamsuddin, Jurnal, ijougs, Vol. 1 No. 1. 2020. 44.
4
Sahiron Syamsudddin, DKK, Pendekatan Ma‘Nā-Cum-Maghzā Atas Al-Qur’an Dan Hadis:
Menjawab Problematika Sosial Keagamaan Di Era Kontemporer, (Bantul, Ladang Kata: 2020). 8.
5
Fitriatus Shalihah, Dinamika Pendekatan Maʿnā cum Maghzā dalam Konteks Akademik Indonesia,
Jurnal, Nun: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir di Nusantara, Vol. 8, No. 1, 2022. 78.
6
Dewi Umaroh, Signifikansi Makna Nushūz Dalam Qs. Al-Nisā (4): 34 Dengan Tinjauan Teori
Ma’nā-Cum-Maghzā, jurnal, Studi Al-Qur’an dan Tafsir, Vol. 5, No. 1, 2021. 91.

3
ARTICLE TEMPLATE
JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH

dinamis (al-maghza> al-matuh}arrik) untuk konteks ketika teks Al-Qur’an


ditafsirkan.7
Adapun langkah-langkah dalam mengali makna historis (al-ma’na> al-
ta>rikhi>) dan signifikansi fenomenal historis (al-maghza> al-ta>rikhi>) akan dijelaskan
secara detal di bawah ini.8
1. Penafsir menganalisis bahasa teks Al-Qur’an, mulai dari kosa kata sampai
strukturnya. Berkenaan dengan itu, ia harus mengamati bahasa yang
digunakan Al-Qur’an adalah bahasa Arab pada Abad ke-7 M. yang mana
memiliki karakteristik tersendiri, baik sudut pandang kosa kata ataupun
struktur tata bahasanya. Sahiron Syamsuddin mengutip pendapat Al-
Sya>t}ibi>, ia menekankan bahwa jika seseorang ingin memahami Al-Qur’an
hendaklah ia menilik bagaimana bahasa Arab yang digunakan oleh bangsa
Arab pada saat itu.
2. Untuk mempertajam analisis ini seorang mufassir melakukan intratektualitas,
yang artinya seorang mufassir membandingkan dan mecermati pengunaan
kata ayat yang sedang ditafsirkan dengan dipakai oleh ayat-ayat lainnya.
3. Apabila dibutuhkan dan memungkinkan, seorang mufassir melakukan
analisis intertekstualitas, mencermati dengan metode menghubungkan dan
membandingkan antara ayat-ayat Al-Qur’an dengan teks-teks lain yang ada
di sekeliling Al-Qur’an. Analisa intertekstualitas ini biasa dilakukan dengan
cara membandingkannya dengan hadis Nabi, puisi Arab, dan teks-teks dari
Yahudi dan Nasrani atau komunitas lain yang hidup pada masa pewahyuan
Al-Qur’an. Dalam hal ini, dia menganalisa sejauhmana makna sebuah kosa
kata dalam Al-Qur’an bisa diperkuat oleh teks di luar Al-Qur’an. Selain itu,
penafsir seyogyanya menganalisa apakah ada perbedaan arti dan konsep
kata/istilah yang ada dalam Al-Qur’an dengan arti dan konsep kata/istilah
yang digunakan di sumber-sumber lain. Hal yang penting juga, meskipun
tidak harus, adalah bahwa penafsir juga memberikan keterangan apakah
konsep Qur’ani itu mengalami dinamisasi atau tidak di masa-masa setelah
diturunkannya Al-Qur’an (pasca-Qur’ani/post-Qur’anic).
4. Seorang mufassir memperhatikan konteks historis pewahyuan pada ayat-ayat
Al-Qur’an, baik yang bersifat mikro maupun yang bersifat makro. Konteks
historis makro adalah konteks yang mencakup situasi dan kondisi di Arab
pada masa pewahyuan Al-Qur’an, sedang konteks historis mikro adalah
kejadian-kejadian kecil yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat, yang
biasa disebut dengan sabab al-nuzūl. Tujuan utama memperhatikan konteks
historis penurunan ayat tertentu adalah, selain memahami makna historis dari

7
Sahiron Syamsudddin, DKK, Pendekatan Ma‘Nā-Cum-Maghzā ...9.
8
Sahiron Syamsudddin, DKK, Pendekatan Ma‘Nā-Cum-Maghzā ...9-13.

4
ARTICLE TEMPLATE
JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH

kosa kata dalam ayat tertentu, juga menangkap apa yang disebut dengan
“signifikansi fenomena historis”, atau maksud utama ayat (maqṣad al-āyah)
itu ketika diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
5. Seorang mufassir hendaklah berupaya memverifikasi maqs}ad maupun
maghza> al-a>yah (tujuan/pesan utama ayat yang saat ditafsirkan) seusai
mencermati secara detail ekspresi kebahasaan atau konteks historis ayat Al-
Qur’an. Maqs}ad atau maghza> al-a>yah ini kadang kala dipaparkan secara
eksplisit pada ayat dan acap kali tidak dipaparkan. Jika ia dipaparkan secara
eksplisit, hendaknya mufassir melakukan nalisis terhadapnya. Adapun
apabila ia tidak dipaparkan dalam ayat, maka konteks historis, mikro maupun
makro, kiranya dapat membantu penafsiran untuk menemukan yang maqs}ad
atau maghza> al-a>yah.
Membangun/Konstruksi Signifikansi Fenomenal Dinamis
Kemudian, seorang mufassir mengkontekstualisasikan maqsa}d atau
maghza> al-a>yah untuk konteks kekinian, dengan definisi lain hendaknya seorang
mufassir berusaha mengembangkan definisi, lalu mengimplementasi signifikasi
ayat atau konteks ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan. Adapun langkah-langkah
metodenya sebagai berikut:9
1. Seorang mufassir menentukan kategori ayat. Beberapa ulama
mengelompokkan ayat menjadi tiga kategori, yaitu: pertama, ayat-ayat yang
berkaitan dengan ketahuidan. Kedua, ayat-ayat yang membicarakan tentang
hukum. Ketiga, ayat-ayat yang membahas mengenai kisah-kisah nabi dan
umat terdahulu.
2. Seorang mufassir mengembangkan hakekat/definisi dan cakupnya
“signifikansi fenomenal historis” atau al-maghza> al-ta>rikhi> untuk
kepentingan dan kebutuhan pada konteks kekinian (waktu) dan dan
kedisinian (tempat), di mana/ketika teks Al-Qur’an itu ditafsirkan.
3. Seorang mufassir menarik makna-makna simbolik ayat Al-Qur’an. Beberapa
ulama berpendapat mengenai makna lafal dalam Al-Qur’an itu mempunyai
empat level makna: pertama, Z}ah> ir (makna lahiriyah literal). Kedua, ba>t}in
makna batin/simbolik. Ketiga,h}add (makna hukum. Ke empat, mat}la’ makna
puncak spiritual.
4. Seorang mufassir mengembangkan penafsiran dengan mengunakan
perspektif yang lebih luas. Agar bermanfaat, “signifikansi fenomenal
dinamis” yang merupakan pengembangan dari makan maghza> (signifikansi)
atau maksud utama ayat untuk konteks kekinian (waktu) dan kedisinian
(tempat) lebih kuat dan menyakinkan, maka seorang mufassir memperkokoh
argumentasinya dengan memicau ilmu-ilmu yang mendorong lainya,

Sahiron Syamsudddin, DKK, Pendekatan Ma‘Nā-Cum-Maghzā...


9

5
ARTICLE TEMPLATE
JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH

contohnya, Psikologi, Sosiologi, Antropologi, dan lain sebagainya dalam


batas yang cukup dan panjang lebar.
Contoh pengaplikasian teori Ma’na> Cum-Maghza>
Adapun contoh pengaplikasian teori Ma’na> Cum Maghza> akan
dicontohkan makna arrijalu qawwamuna ala an-Nisa pada surah an-Nisa ayat 34.
1. Qs. An-Nisa Ayat 34
ِّ ‫ض َّوِِّبآ اَنْ َف ُقوا ِّمن اَمو ِّاِلِّم ۗ فَ ه‬ ‫ه‬ ِّ ‫ال قَ َّوامو َن علَى النِّس ۤا ِّء‬
‫ت‬ُ ‫الصل هح‬ ْ َ ْ ْ ْ َ ٍ ‫ع‬ْ ‫ب‬
َ ‫ى‬ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ض‬
َ
ُْ َ ُ َ ‫ع‬
ْ ‫ب‬ ‫ه‬
‫اّلل‬ ‫َّل‬
‫ض‬ َ‫ف‬ ‫ا‬َ‫ِب‬ َ َ ْ ُ ُ ‫اَ ِّلر َج‬
ِّ ‫ظ هاّلل ۗو هال ِِّت ََتافُو َن نُشوزه َّن فَعِّظُوه َّن واهجروه َّن ِِّف الْمض‬
‫اج ِّع‬ ِّ ِّ ِّ ‫هقنِّتهت هح ِّف هظت لِّلْغَي‬
َ َ ُ ُْ ُ ْ َ ُ ْ ُ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ُ َ ‫ب ِبَا َحف‬ ْ ٌ ٌ
‫اض ِّربُ ْوُه َّن ۚ فَاِّ ْن اَطَ ْعنَ ُك ْم فَ ََل تَ ْب غُ ْوا َعلَْي ِّه َّن َسبِّْي اَل ۗاِّ َّن هاّللَ َكا َن َعلِّيًّا َكبِّ ْ اْيا‬
ْ ‫َو‬
“Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri)
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian
yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang
taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena
Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan akan nusyuz, berilah mereka nasihat, tinggalkanlah mereka di
tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu,) pukullah mereka (dengan
cara yang tidak menyakitkan). Akan tetapi, jika mereka menaatimu,
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka.
Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar. Sebagai kepala
keluarga, suami bertanggung jawab untuk melindungi, mengayomi,
mengurusi, dan mengupayakan kemaslahatan keluarga. Maksud nusyuz
adalah perbuatan seorang istri meninggalkan kewajibannya, seperti
meninggalkan rumah tanpa rida suaminya.”10

2. Analisis Linguistik
Dalam kitab Lisanul Arab, kata Qowwam berasal dari kata qaama-
yuqumu-qauman-qa qiyaman-wa qoumatam- wa qaamatan yang maknanya
antonim dengan kata duduk. Dalam al-Munjid qawwamuna dari kata
qowwman yang berarti al-mutakaffil bil amr (pemeliharaan), al-qoowiyyu ala
al-qiyami al amr (kuat untuk melakukan urusan, amir (pemimpin)11
Selain kata qowwam ada 2 kata yang dilewatkan oleh ulama klasik yaitu
kata rijal dan nisa’. Dalam jurnal yang ditulis oleh Adrika Fithrotul Aini,
beliau menjelaskan bahwa bahwa dalam analisis linguistik kaata rijal dan
nisa, bukan suatu pemahaman yang mengarah pada kepada perbedaaan secara
biologis, akantetapi dari sisi fungsinya secara peran sosial. Pemaknaan kata

10
Q.S. An-Nisa (4) : 34.
11
Ziska Yanti, Pendekatan Ma’na Cum Maghza Tentang Arrijalu Qowwamuna ‘Ala An - Nisa’,
Jurnal, el-Maqra Ilmu Al-Qur’an, Hadis dan Teknologi. Vol. 2, No. 1, mei 2022. 55.

6
ARTICLE TEMPLATE
JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH

rijal dan nisa’ pada ayat ini merupakan efek dari budaya saat itu sehingga
tidak menutup keungkinan adanya pemahaman baru mengenai kedua kata
tersebut dalam konteks budaya masyarakat yang berbeda.12
Kata qowwam dalam ayat ini juga secara analisis semantis tidak secara
permanen memberi makna pemimpin, akan tetapi juga bisa bermakna kepada
penegak keadilan. Penggunaan kata rijal dan nisa’ dalam ayat ini lebih kepada
sifat, dimana sifat kelaki-lakian tidak hanya selalu ada pada laki-laki, dan sifat
keperempuanan tidakjuga selalu melekat pada perempuan. Sehingga pada
konteks budaya teretentu kedua fungsi gender tersebut bisa bertukar satu
sama lain.
3. Konteks Historis Mikro : Asba>b al-Nuzu>l
Asbabun Nuzul ayat ini adalah seorang sahabat Nabi bernama Sa’ad bin
Rabi’ bin Amr sedang berselisih dengan istrinya Habibah binti Zaid bin Abu
Zubair. Suatu ketika Habibah menyanggah (Nusyuz) suaminya Sa’ad, lalu
Sa’ad memukulnya atau menempeleng muka istrinya. Maka datanglah
Habibah beserta ayahnya mengadukan hal ini kepada Rasulullah SAW. maka
Rasulullah SAW pun memerintahkan untuk melakukan balasan kepada
suaminya Sa’ad. Tetapi ketika Habibah dan ayahnya telah pergi dari hadapan
Rasulullah SAW, Rasulullah SAW menyeru mereka untuk kembali karena
telah datang Jibril membawa wahyu ayat ini. Rasulullah SAW berkata
manusia memiliki kehendak, dan Allah SWT juga memiliki kehendak, maka
kehendak Allah SWT lah yang lebih baik.13
4. Konteks Historis Makro : Budaya Mekkah dan Madinah
Dalam konteks mikro ayat ini untuk mendapatkan pemahaman yang
kompherensif, tidak menafikan latar kejadian dimana ayat ini diturunkan dan
kondisi sosial masyarakat pada saat ayat ini diturunkan. Ayat ini turun dalam
kondisi masyarakat Madinah yang sedikit tidak patriarkal. Namun
kedatangan umat Islam dari Mekah yang memegang erat tradisi patriarkal,
dimana laki laki lebih superior dari pada perempuan membuat mereka heran
ketika berada di Madinah. Perbedaan tradisi inilah yang menyebabkan
peristiwa Habibah menjadi menggemparkan pada saat itu. Para laki-laki
melakukan protes besar-besaran kepada Nabi atas keputusannya agar
Habibah melakukan pembalasan atas perlakuan suaminya. Konsep
maasyarakat Arab masih seperti masyarakat arab pra-Islam yang sangat kuat
konsep patriarkalnya. Sikap kekerasan dan memukul istri sudah menjadi
kebiasaan masayarakat Arab, seperti perlakuan Zubair bin Awwam kepad
istrinya Asma’ binti Abu Bakar.14

12
Ibid. 55.
13
Ibid. 56.
14
Ibid. 56.

7
ARTICLE TEMPLATE
JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH

Secara harfiah ayat ini memang seperti mendukung konsep patriarkal,


akan tetapi mesti harus dipahami bahwasanya al-Qur’an turun pada
masyarakat tertentu untuk merespon budaya tertentu. Sehingga, untuk
memahami pesan makna otentiknya, harus juga memahami konteks
masarakatnya. Pernyataan al-Qur’an dalam ayat ini memberikan informasi
kepada masyarakat untuk menentang keputusan Nabi yang menyuruh
membalas perlakuan Sa’ad bin Rabi’ bin Amr kepada Habibah binti Zaid bin
Abu Zubair. Sehingga, metode penyampaian dakwah Islam yang tidak
menggunakan sistem keras membenarkan realitas bahwa masyarakat Mekah
dalam hubungan keluarga masih bersifat patriarkal, sehingga yang dilakukan
Saad pada saat itu benar secara realitas. Sehingga, apabila melihat
perentangan yang terjadi pada saat itu, turunnya ayat ini hanya sebagai
peredam ataas konflik yang terjadi.15
5. Pesan Utama (Maghza>)
Dalam tafsir al-Qurthubi dijelaskan ada 13 pokok permasalahan yang
terdapat dalam ayat ini : pertama, arrijalu qowwamuna ala an-Nisa,
mengandung mubtada’ dan khabar, maksudnya laki laki memberi nafkah dan
membela mereka, hal ini juga karena laki-laki menjadi hakim, pemimpin dan
suka berperang sedangkan perenpuan tidak. Allah juga menjelaskan
keutamaan laki-laki atas wanita dalam warisan dikarenakan laki-laki
memiliki kewahiban memberi mahar dan nafkah. Laki-laki juga memiliki
keutamaan dalam hal kapasitas intelektual dan managerial, oleh karena itu
mereka diberikan kewajiban mengurus wanita. Ditambah lagi laki-laki
memiliki kelebihan potensi jiwa dan tabiat yang kuat yang tidak terdapat pada
wanita, tabiat laki laki semangat yang menggelora dan keras sehingga dalam
dirinya terdapat kekuatan dan keteguhan. Sedangkan wanita mempunyai
tabiat yang sejuk, dingin dan lemah lembut.16
Kedua, ayat ini berbicara tentang kewajiban suami untuk mendidik istri,
sehingga ketika istri sudah menjaga hak-hak suami, maka suami tidak
diperbolehkan berlaku buruk terhadap istri. Kata qowwam disini adalah
bentuk hiperbola, yaitu mengurus sesuatu dan mengaturnya berdasarkan
pertimbangan serta menjaga dengan sungguh-sungguh. Maka tanggungjawab
laki-laki atas wanita berdasarkan defenisi ini, yaitu laki-laki bertindak
mengatur dan mendidik serta menahan wanita dirumah dan melarang wanita
menampakkan diri secara terbuka. Wanita harus menerima dan mentaati
perintah suami selama bukan maksiat.17

15
Ibid. 56.
16
Ibid.57.
17
Ibid. 57.

8
ARTICLE TEMPLATE
JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH

Ketiga, laki-laki yang menjadi pemimpin adalah laki-laki memberikan


nafkah kepada istrinya. Jika nafkah tidak diberikan maka laki-laki bukan lagi
pemimpin dan batallah akad, kaena tidak ada lagi yang menjadi tujuan
disyariatkannya nikah, ini juga merupakan indikasi pembatalan nikah
menurut imam malik dan asy-Syafii. Keempat, perintah mentaati suami dan
menjaga haknya serta harta dan dirinya ketika suami tidak ada. Kelima,
Nusyuz adalah durhaka atau bencinya salah seorang dari dua pasangan
terhadap pasangannya. Keenam, suami harus menasehati istrinya dengan apa
saja yang Allah wajibkan kepada mereka berupa pergaulan yang baik pda
suami dan pengakuan kedudukan suami. Ketujuh, pisah tidur dengan istri
yang nusyuz atau membelakangi punggungnya serta tidak mencampurinya.
Menurut al-Qurthubi hal ini baik karena perempuan/istri akan jika menintai
suaminya, tetapi jika istri membenci suaminya maka akan nampak
pertentangannya.18
Setelah mengkaji dan meninjau asfek linguistik dan historis kontekstual
turunnya ayat QS an-Nisa : 34, maka dapat dilacak sisi maghza sebagai kata
kunci dari pesan yang menjadi substansi dan signifikansi utama yang ingin
disampaikan Allah SWT mengenai ayat tersebut. Ayat ini menjelaskan
kepemimpinan laki-laki dalam ruang lingkup keluarga, seorang laki-laki juga
bertugas mendidik dan memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Ayat
ini, jika dilihat dari segi linguistik dan asbabun nuzulnya tidak ada larangan
seorang perempuan untuk menjadi pemimpin. Dari semua pendapat Mufassir
dan tokoh Islam yang penulis paparkan di dalam tulisan ini tidak ditemui
larangan secara konkrit atas kepemimpinan perempuan.19
Berdasarkan kajian diatas, penulis menyimpulkan pemahaman secara
kontekstual dengan menggunkana pendekatan ma’na cum maghza dalam
beberapa poin berikut:20
Pertama, kata arrijalu qowwamuna ala an-Nisa bukanlah ayat yang bisa
dijadikan dalil untuk memutlakkan kepemimpinan laki-laki kepada
perempuan, sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan kasus nusyuz dan lebih
kepada ruang lingkup keluarga.
Kedua, mufassir klasik dan mufassir kontemporer tidak ada yang
menekankan secara khusus perempuan tidak boleh menjadi pemimpin akan
tetapi ada beberapa jabatan yang tidak boleh diisi oleh perempuan menurut
ulama klasik seperti kepemimpinan dalam syiar keagamaan.
Ketiga, ayat ini secara umum membuka peluang untuk laki-laki dan
perempuan menjadi pemimpin tergantung siapa yang lebih memiliki jiwa

18
Ibid. 57.
19
Ibid. 58.
20
Ibid. 58.

9
ARTICLE TEMPLATE
JURNAL ILMIAH AL MU’ASHIRAH

kepemimpinan dan mampu dalam menjalankan dan mengemban roda


kepemimpinan.

C. Kesimpulan
Pendekatan Ma’na>-Cum-Magh}za> adalah di mana seorang peneliti
mengeksplorasi dan merekonstruksi makna dan pesan utama historis, yaitu makna
(ma’na>) dan pesan utama/singnifikasi (magh}za>) yang mungkin diharapkan oleh
pengarang teks atau dipandang oleh audiens historis, lalu menjabarkan
singnifikansi teks yang dimaksud untuk konteks masa sekarang.
langkah-langkah metode Ma’na>-Cum-Magh}za> ada tiga yaitu, pertama;
makna histori (al-ma’na> al-ta>ri>khi>), kedu; signifikasi fenomenal histori (al-maghza>
al-ta>rikhi>), ketiga; signifikasi fenomenal dinamis (al-maghza> al-matuh}arrik) untuk
konteks ketika teks Al-Qur’an ditafsirkan.
Teori ini walaupun dari Hermeneutika begitu baik dan cocok bila
digunakan untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Sebab pada teori Ma’na>-Cum-
Magh}za> juag tidak semuanya membuang ulu>m Al-Qur’an, hal ini dapat kita lihat
ia mengemukakan langkah-langkahnya dengan memperlihatkan dari aspek asba>b
an-Nuzu>lnya juga. Sehingga produk teori tafsir asal Nusantara ini yang digagas pak
Syahiron tidak kalah baiknya dengan teori terbaru yang lain.
Daftar Pustaka
Siti Robikah, Reinterpretasi Kata Jilbab Dan Khimar Dalam Al-Quran;Pendekatan
Ma’na Cum Maghza Sahiron Syamsuddin, Jurnal, ijougs, Vol. 1 No. 1.
2020.
Sahiron Syamsudddin, DKK, Pendekatan Ma‘Nā-Cum-Maghzā Atas Al-Qur’an
Dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan Di Era
Kontemporer, (Bantul, Ladang Kata: 2020).
Fitriatus Shalihah, Dinamika Pendekatan Maʿnā cum Maghzā dalam Konteks
Akademik Indonesia, Jurnal, Nun: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir di
Nusantara, Vol. 8, No. 1, 2022.
Dewi Umaroh, Signifikansi Makna Nushūz Dalam Qs. Al-Nisā (4): 34 Dengan
Tinjauan Teori Ma’nā-Cum-Maghzā, jurnal, Studi Al-Qur’an dan Tafsir,
Vol. 5, No. 1, 2021.
Al-Qur’an Kemenag dan Terjemahnya.
Ziska Yanti, Pendekatan Ma’na>-Cum-Magh}za>Tentang Arrijalu Qowwamuna ‘Ala
An - Nisa’, Jurnal, el-Maqra Ilmu Al-Qur’an, Hadis dan Teknologi. Vol. 2,
No. 1, mei 2022.
Marhaban, Memahami Teks Alquran Dengan Pendekatan Hermeneutika (Sebuah
Analisis Filosofis), Jurnal, At-Tibyan Vol. II, No. 1. Janauari-Juni 2017.
Ummi Inayati, Pendekatan Hermeneutika Dalamsemsk Ilmu Tafsir. Jurnal, Falsafi,
Vol. 10, No. 2, September 2019.

10

Anda mungkin juga menyukai