Anda di halaman 1dari 5

“MENGIDENTIFIKASI AYAT AL-QUR’AN

BERDASARKAN TEMA TERTENTU”


Digunakan Untuk Memenuhi Mata Kuliah Takhrijul Qur’an wal Hadits
Dosen Pengampu : Bpk. Muhammad Khudhori, M. Th. I

Program Studi Ilmu Al Qur’an Dan Tafsir


Fakultas Ushuluddin Dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Jalan Prof. Dr. Hamka (Kampus II) Ngaliyan Kota Semarang

Disusun Oleh :
Faza Nailil Muna Syahida (2004026015)

A. Pendahuluan

Dialektika Al Qur’an dengan realitas sosial akan senantiasa menghadirkan pemahaman-


pemahaman serta pemikiran baru yang terus berkembang seiring zaman. sejumlah metode
penafsiranpun telah lahir untuk menjawab tantangan di setiap zaman. Beberapa metodenya
yang cukup antara lain : tahlily, ijmaly, dan muqaran. Memasuki era modern, dimana
segalanya ingin dipenuhi dengan mudah dan dalam waktu singkat, harapan untuk dapat
memahami pesan-pesan Al-Qur’an yang lebih utuh tentang suatu tema tertentu pun tak
terelakkan lagi. Konsekuensinya, dibutuhkan sebuah metode penafsiran yang mampu
menjawab kebutuhan masyarakat modern, yang menginginkan pembahasan tentang suatu
tema tertentu secara utuh dengan merujuk kepada ayat-ayat al-Qur’an.

Sehingga untuk mewujudkan keinginan tersebut muncullah sebuah metode penafsiran


yang relatif baru di antara metode penafsiran yang ada. Metode tersebut kemudian popular
dengan istilah “metode tafsir maudhu’i” atau juga biasa disebut tafsir tematik. Yang pada
makalah ini akan dijelaskan definisi tafsir maudhu’i dan bagaimana cara
mengidentifikasinya.
B. Metode Tafsir Maudhu’i (tematik)

Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yakni (8‫وع‬88‫ )موض‬yang berarti meletakkan,
menjadi, mendustakan, dan membuat-buat. Sedangkan kata maudhu’i sendiri memiliki arti
yang diletakkan, yang ditaruh, yang diantar, yang dibicarakan, yang dihinakan, yang
didustakan, yang dibuat-buat, dan dipalsukan.1 Namun kata maudhu’i yang dimaksudkan di
sini ialah yang dibicarakan atau judul dan topik. Tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat
Al-Qur’an mengenai satu judul atau topic pembicaraan tertentu, berbanding terbalik dengan
pengertian kata maudhu’i dalam hadits yang berarti hadits yang didustakan atau hadits yang
dipalsukan. Berbagai definisi dikemukakan oleh sejumlah ulama’ berkenaan dengan metode
tafsir maudhu’i, dengan pengertian yang hampir sama karena tafsir maudhu’i ini masih
merupakan tafsir yang relatif baru.2

Abdul Hayyi Al-Farmawi mendefinisikan tafsir maudhu’i dengan : mengumpulkan ayat-


ayat Al Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topic
tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya kemudian
penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungan dengan ayat lain, kemudian
mengistilahkan hukum3. Sedangkan menurut Quraish Shihab, metode tafsir maudhu’i
merupakan suatu metode yang mengarahkan pandangan pada suatu tema tertentu, lalu
mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat
yang membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu
menghimpunnya dalam benak ayat yang bersifat umum dikaitkan dengan yang khusus, yang
muthlaq digandengkan dengan yang muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian
dengan hadis-hadis yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan
pandangan menyeluruh dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu4.

Dari dua definisi tafsir maudhu’i di atas, dapat disimpulkan bahwa metode tafsir
maudhu’i merupakan sebuah upaya untuk memahami dan menjelaskan ayat Al Qur’an
dengan cara menghimpun ayat-ayat dari berbagai surah dalam Al-Qur’an yang masih dalam
satu topik, kemudian dianalisa kandungan ayat-ayatnya, diperkaya dengan keterangan hadits
yang relevan dengan tema yang dibahas hingga menjadi satu kesatuan konsep yang utuh.

1
Muhammad Idris “Abdur-Raif al-Marbawi, Kamus Idris al-Marbawi, (Mesir : Mustafa al babil halabi wa
auladuhu 1350H) h. 392
2
Abdul Djalal H. A., Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, (Jakarta : Kalam Mulia, 1990) h. 84
3
Ibid,.
4
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta : Lentera Hati, 2013) h. 385
C. Sistematika Tafsir Maudhu’i

Abdul Hayyi Al-Farmawi mengemukakan secara rinci langkah-langkah yang hendaknya


ditempuh untuk menerapkan metode maudlu’i, yang mana sistematika ini juga dikutip oleh
Quraish Shihab.5 Adapun langkahlangkah tersebut adalah :

1. Mencari topik atau pembahasan yang akan dibahas


2. Menghimpun ayat yang berkaitan dengan tema tersebut
3. Menerbitkan urutan-urutan ayat tersebut sesuai dengan urutan turunnya, makiyah dan
madaniyahnya, sesuai dengan riwayat asbabun nuzulnya.
4. Memahami munasabah (korelasi) ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing- masing
5. Berusaha menyempurnakan bahasan topik tersebut dengan yang lain.
6. Melengkapi pembahasannya dengan hadits-hadits yang relevan
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-
ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengompromikan antara yang
‘am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada
lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa
perbedaan atau pemaksaan.

Sistematika di atas merupakan sistematika tafsir maudhu’i yang lengkap yang meliputi
berbagai segi pembahasan, namun tidak semua tafsir maudhu’i dalam prosesnya menerapkan
sistem seperti di atas. Ada yang tidak selengkap itu bahkan ada yang memakai sistematika
yang sederhana saja.

D. Contoh Melacak Ayat Al-Qur’an Berdasar Tema Tertentu Melalui Kitab "
‫"المعجم? الموضوعى أليات القرأن الكريم‬
Pada makalah ini, penulis mengambil contoh tema pembahasan masalah “riba”. Setelah
menentukan tema, langkah selanjutnya melacak dan menghimpun ayat yang berkaitan dengan
tema melalui kitab "‫ريم‬88‫رأن الك‬8‫ات الق‬88‫"المعجم الموضوعى ألي‬, namun sebelumnya kita harus
melihat daftar isi untuk mencari tema yang dibahas. Tampilan pada kitabnya sebagai berikut :

5
Lihat M. Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an, (Bandung : Miza, 1992)
Ayat-ayat yang menyangkut topik riba dalam al-Qur'an sedikitnya ada delapan ayat
dalam empat surat, yaitu surat al-Baqarah ayat 175-179, surat Ali Imran 130, surat An-Nisa
ayat 161 dan surat Rum ayat 39.

Ayat pertama yang berbicara masalah riba adalah surah Rum ayat 39 yang turun di
Makkah, karena selebihnya, ayat-ayat tentang riba turun di kota Madinah. Ayat-ayat tentang
riba yang turun di Madinah ada tiga. Pertama, dalam surah an-Nisa ayat 161 yang
mengisyaratkan tentang keharaman riba dan baru dikatakan bahwa riba adalah perbuatan
yang negatif. Kedua, dalam surah Ali Imran ayat 130, yang secara eksplisit menyatakan
keharaman salah satu bentuk riba. Ketiga, terdapat dalam surah ayat 275-280, yang mana
pada ayat-ayat ini keharaman tentang riba sudah dijelaskan secara tegas dan menyeluruh
(kulli), dan pada larangan ini Al Qur’an sudah tidak lagi membedakan banyak dan sedikitnya
tambahan (riba) tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya.


Djalal, Abdul, Prof., Dr., H., Urgensi Tafsir Maudhu’i Pada Masa Kini, Jakarta : Kalam
Mulia, 1990.
Muhammad Idris “Abdur-Raif al-Marbawi, Kamus Idris al-Marbawi, Mesir : Mustafa al
babil halabi wa auladuhu 1350H.
Shihab, Quraish, M., Dr., Kaidah Tafsir, Jakarta : Lentera Hati, 2013
Shihab, Quraish, M., Dr., Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1992
Subhi Abdurrouf, Mu’jam Al Maudhu’i Liayatil Qur’anil Karim.

Anda mungkin juga menyukai