Anda di halaman 1dari 18

Implementasi Tafsir Tematik Dalam Pengembangan

Sains dan Teknologi


Mochamad Imamudin
Dosen Integrasi Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A. Pendahuluan
Tafsir tematik menjadi populer dikalangan para penggiat kajian al-Quran karena
kemudahan dan lebih efesien dalam pemaparannya, mudah diterima oleh pembaca
dalam menangkap pesan dan isyarat-isyarat yang dikandung oleh al-Quran. Meskipun
banyak metode yang ditawarkan oleh para ulama tafsir, diantaranya tafsir, tahlili, ijmali
ataupun muqaran. Namun dalam perkembangannya metode tematik ini paling sering
digunakan dan diimplementasikan dalam berbagai kebutuhan. Secara khusus tulisan ini
mengungkap bagaimana implementasi tafsir tematik dalam ranah pengembangan sains
dan teknologi, dari segi ketentuan dan aspek-aspek yang harus disiapkan dalam
menerapkan hubungan antara sains dan keagmaaan khususnya pesan-pesan yang
disampaikan oleh Islam melalaui al-Quran.

B. Pembahasan

1. Sejarah Tafsir

Implementasi tafsir sudah dimulai sejak masa Rasulullah Saw. dan dilanjutkan
oleh para sahabat dan generasi berikutnya, sehingga mengalami banyak perkembangan
baik dari metode yang ditempuh maupun corak yang diminati oleh para mufasir sesuai
dengan latar belakang pendidikan dan keahlian masing-masing.1 Tidak terkecuali tafsir
tematik, yaitu mulai terwujud secara sederhana dengan mempertemukan bebarapa ayat
yang semakna atau yang berkaitan dengan masalah tertentu dari penafsiran ayat al-
Quran dengan ayat yang lain.

Hal ini dapat dimaklumi, sebab al-Quran dalam kapasitanya sebagai pedoman
hidup bagi manusia dan sebagai petunjuk dan ajaran yang diturunkan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dibutuhkan, oleh karenanya ayat-ayat al-Quran diturunkan

1Syafe’i rachmad, Pengantar al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat
Pres,2006), 241.
secara mujmal, mutlaq dan umum, tetapi kadang-kadang diturunkan secara terinci dan
khusus. Dengan demikian berarti al-Quran ditafsirkan dengan sumber dari al-Quran
sendiri, sehingga dapat diketahui maksud firman Allah itu melalui penjelasan dari
firman Allah atau ayat yang lain. Karena Allah yang mempunyai firman dan lebih
mengetahui maksud yang dikehendaki daripada yang lain.

Contoh implementasi tafsir yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW.

Ialah beliau menafsirkan kata  dalam surat al-An’am ayat 82:

            

Dengan (‫)الشرك‬ mempersekutukan Allah dengan yang lain yang terdapat


dalam surat Luqman ayat 13 yang berbunyi:

               

Dengan penafsiran nabi tersebut berarti beliau telah menanamkan tafsir


maudhu’i/ tematik dan memberi isyarat bahwa lafal-lafal yang sukar diketahui
maksudnya dalam suatu ayat perlu dicari penjelasannya pada lafal-lafal yang teradapat
dalam ayat lain.

Bermula dari tafsir yang dicontohkan oleh Nabi kemudian berkembang dengan
berbagai metode sehingga muncul tafsir tematik yang berdasarkan surah ataupun
berdasarkan objek tertentu yang sudah ada sekitar abad 11 M. Seperti bermunculannya
kajian-kajian spesifik terkait tema; aqsam al-Quran oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah
(1292-1350), Majaz al-Qur’an oleh Ubaid, Mufradât al-Qur`ân oleh al-Raghib al-
Isfahanî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abu al-Hasan al-Wahîdî al-Naisaburî (w. 468/1076), dan
sejumlah karya dalam Nâsikh wa al- Mansûkh, yakni; (1) Naskh al-Qur`ân oleh Abu
Bakr Muhammad al -Zuhrî (w. 124/742), (2) Kitâb al-Nâsikh wa al-Mansûkhfî al-
Qur`ân al-Karîm oleh al-Nahhas (w. 338/949), (3) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn
Salama (w. 410/1020), (4) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn al-‘Ata`iqi (w.s.
790/1308), (5) Kitâb al-Mujâz fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Khuzayma al-
Farisî.2 Sebagai tambahan, tafsir Ahkâm al-Qur`ân karya al-Jassas (w. 370 H.), adalah
contoh lain dari tafsir semi tematik yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-
Qur’an.

Dalam dunia akademisi tafsir tematik pertama kali diimplementasikan oleh


Syaikh Mahmud Syaltut seorang guru besar jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin
Univrsitas al-Azhar, pada Januari 1960. Karya ini termuat dalam kitabnya, Tafsir al-
Qur’an al-Karim. Sedangkan tafsir maudu‘i berdasarkan subjek digagas pertama kali
oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, seorang guru besar di institusi yang sama
dengan Syaikh Mahmud Syaltut, jurusan Tafsir, fakultas Ushuluddin Universitas al-
Azhar, dan menjadi ketua jurusan Tafsir sampai tahun 1981. 3 Quraisy Shihab juga
menambahkan bahwa buah hasil dari tafsir model memunculkan karya-karya
kontemporer seperti al-Insân fî al-Qur’ân, al-Mar’ah fî al-Qur’ân, dan karya Abul
A’la al-Maududi, al-Ribâ fî al-Qur’ân. Kemudian tafsir model ini dikembangkan dan
disempurnakan lebih sistematis oleh Abdul Hay al-Farmawi, pada tahun 1977, dalam
kitabnya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudu‘i: Dirasah Manhajiyah Maudu‘iyah.

2. Definisi Tafsir Tematik/ Maudhu’i


Secara Etimologis, tafsir tematik terdiri dari dua kata yaitu Tafsir dan tematik
atau maudhu’i, yang pertama tafsir secara bahasa berasal dari akar kata al-fasr yang
berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang
abstrak. Maka kata tafsir mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup
atau menyingkap maksud sesuatu lafazd yang musykil atau pelik.4 Adapun menurut
istilah, al-Qattan mendefinisikan dengan mengutip pendapat dari Abu Hayyan sebagai
ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan lafaz-lafaz Al-Qur'an, makna-
makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau
tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannyaketika dalam keadaan tersusun. 5

Kedua, kata tematik atau maudhu’i, dinisbatkan kepada kata maudhu’, isim
maf’ul dari fi’il madhi wadha’a, yang memiliki makna beraneka ragam, yaitu : yang

2 Andrew Rippin “The function ofasbāb al-nuzūl in Qurʾānic exegesis,” Bulletin of the School of Oriental
and African Studies, LI(1988), 1-20.
3 M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Quran Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung;

Mizan, 1994), 1111.


4 Manna’ Khalil al-Khattan, Studi ilmu-ilmu Quran (Bogor: PustakaLitera Antar Nusa, 2001), 455.
5 Ibid, 456.
diletakkan, yang diantar, atau yang dibuat-buat, yang dibicarakan/tema/topik.6 Makna
yang terakhir ini (tema/topik) yang relevan dengan konteks pembahasan disini. Jadi
secara harfiah tafsir maudhu’i adalah tafsir terkait topik tertentu.

Secara terminologis, tafsir tematik/madhu’i banyak dikemukakan oleh para


pakar tafsir yang pada prinsipnya bermuara pada makna yang sama. Salah satu definisi
maudhu’i/tematik yang dapat dipaparkan disini ialah definisi yang dikemukakan Dr.
Abdul Hayyi al-Farmawi sebagai beriku: Tafsir maudhui/ tematik adalah pola
penafsiran dengan cara menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang
sama dengan arti sama-sama membicarakan satu topik dan menyusun berdasarkan masa
turun ayat serta memperhatikan latar belakang sebab-sebab turunnya, kemudian diberi
penjelasan,uraian, komentar dan pokok-pokok kandungan hukumnya.7

3. Metode Tafsir Tematik


Dari pengertian definisi di atas dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan
metode tafsir jenis ini adalah tafsir yang menjelaskan beberapa ayat al-Qur’an
mengenai suatu judul tertentu atau tema tertentu dengan memperhatikan urutan tertib
turunnya masing-masing ayat, sesuai dengan asbab nuzul dan diperkuat dengan
penjelasan dari berbagai macam keterangan dari segala aspek sehingga dapat
mempermudah dan memperjelas masalah.
Mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh oleh mufassir dalam
menggunakan metode tafsir tematik ini dapat dirinci sebagai berikut;
a. Menetapkan masalah atau tema yang akan dibahas.
b. Melacak dan menghimpun ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas.
c. Menyusun runtuan ayat-ayat sesuai dengan masa turunnya melalui Makki dan Madani,
disertai penjelasan terkait latar belakang turunnya ayat melalui asbab al-Nuzul (jika
ada).
d. Menyelaraskan antar ayat melalui munasabah antar ayat dalam suratnya masing-
masing.
e. Menyusun pembahasan dalam kerangka atau outline yang sistematis dan utuh.

6Muhammad Idris al-Marbawi, Kamus al- Marbawi ( Mesir : Mushthafa al-Babi AlHalabi, 1350 H ),
391.
7 Abdul-Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah fi-al-Tafsir al-Maudhu’i (Kairo: al-Hadharat al-Gharbiyyah,

1977),52.
f. Melengkapi penjelasan setiap ayat dari berbagai sumber melalui hadis, riwayat sahabat
dan lain-lain yang relevan. Sehingga pembahasannya semakin jelas dan komprehensif.
g. Mengkaji seluruh ayat-ayat yang sudah terhimpun dan menyelaraskannya jika
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkromopikan antara ‘am (umum) dan yang
khas (khusus), mutlaq dan muqayyad, atau yang pada dhahirnya bertentangan sehingga
kesemuanya bertemu pada satu muara tanpa pemaksaan. 8

Dari rangkaian langkah-langkah metode yang dipaparkan di atas maka secara


sederhana bentuk metode tafsir tematik ini dilakukan melalui penelusuran kosakata dan
derivasinya (musytaqqat) pada ayat-ayat al-Qur’an, kemudian dianalisa sesuai urutan
di atas sampai pada akhirnya dapat disimpulkan makna-makna yang terkandung di
dalamnya.

Jika dilihat dari segi luasnya jangkauan tema, maka tafsir tematik ini
mempunyai dua cakupan;

1. Penafsiran terhadap satu surat secara utuh dan menyeluruh dengan menjelaskan
maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai
masalah yang dikandungnya.
Rumusan ini dipertegas oleh al-Syatibi dalam Muwafaqat, ia mengatakan:
sesungguhnya satu surat meskipun mengandung masalah, merupakan satu kesatuan
yang mengacu kepada satu tujuan atau melengkapi tujuan itu, kendatipun mengandung
berbagai makna.9 Kajian tafsir seperti ini persis seperti yang dilakukan oleh Dr.
Muhammad al Hijazi dalam kitab tafsirnya yang berjudul : al-Tafsir al-Wadhih,
kemudian diikuti oleh mufassir lain.
2. Penafsiran dengan cara menghimpun seluruh atau sebagian ayat dari beberapa
surat yang berbicara tentang topik tertentu untuk dikaitkan yang satu dengan lainnya
lalu diberi penjelasan dari segala seginya, kemudian diambil kesimpulan menyeluruh
tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’an.
Implementasi tema-tema yang sudah ditentukan, dapat disusun berdasarkan
pendekatan induktif dan deduktif. Dengan pendekatan induktif, seorang mufasir
maudhu’i berupaya memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan kehidupan
dengan berangkat dari nas Al-Qur'an menuju realita (minal-Qur'ān ilal-wāqi‘). Dengan

8 Al-Farmawi, al-Bidayah, 61-62


9 Al-Syatibi, al-Muwafaqot fi Ushul al-Ahkam (Beirut : Dar al-Fikr,t.t.), 249.
pendekatan ini, mufasir membatasi diri pada hal-hal yang dijelaskan oleh Al-Qur'an,
termasuk dalam pemilihan tema, hanya menggunakan kosakata atau term yang
digunakan Al-Qur'an. Sementara dengan pendekatan deduktif, seorang mufasir
berangkat dari berbagai persoalan dan realita yang terjadi di masyarakat, kemudian
mencari solusinya dari Al-Qur'an (minal-wāqi‘ ilal-Qur'ān). Pada contoh yang akan
digunakan dalam kajian temaik dalam dulisan ini akan menggunakan dua pendekatan
ini, bila ditemukan kosakata atau term yang terkait dengan tema pembahasan maka
digunakan istilah tersebut. Tetapi bila tidak ditemukan, maka persoalan tersebut dikaji
berdasarkan tuntunan yang ada dalam Al-Qur'an.

C. Implementasi Tafsir Tematik Dalam Sosial Keagamaan & Teknologi

1. Nasionalisme dalam al-Quran


Sebagai implementasi tafsir tematik dalam ranah sosial bisa dicontohkan terkait
nasionalisme dalam al-Quran dan ini melalui pendekatan deduktif. Kata
nasionalisme secara eksplisit tidak didapatkan dalam al-Quran namun secara
implisit banyak disebutkan terkait unsur-unsur dari makna nasionalisme, sehingga
langkah untuk mengkajinya melalui al-Qur’an dengan cara mendefinisikan terlebih
dahulu.

Nasionalisme terdiri dari dua kata, nasional dan isme. Kata nasional mempunyai
arti kebangsaan dan bersifat bangsa. Sedangkan isme adalah paham atau ajaran.
Jadi Nasionalisme adalah (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri atau
kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial dan aktual
bersama-sama untuk mencapai, mempertahankan, mengabdikan identitas,
integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa10 .
Dari arti kata nasionalisme sebagaimana yang terambil dari kata kebangsaan
maka dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an melalui kata yang sepadan atau
berdekatan dengannya setidaknya terdapat tiga term kata yaitu; sya’b, qawm, dan
ummah.
Kata qawm dan qawmiyyah sering dipahami dengan arti bangsa dan
kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang arab dewasa ini
dengan istilah al-Quamiyyah al-‘Arabiyyah. Sedangkan Pusat Bahasa Arab Mesir

10Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia", edisi Kedua,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (jakarta: Balai Pustaka, 1991), 684.
pada tahun 1960 dalam buku Mu’jam al-Wasīṭ menerjemahkan “bangsa” dengan
kata Ummah. Kata Qawm dalam al-Quran terulang sebanyak 322 kali. Menurut
Quraish Shihab dengan banyaknya pengulangan kata qawm bisa diindikasikan
sebagai bukti bahwa al-Qur’an mendukung faham kebangsaan atau nasionalisme.
Bahkan para Nabi telah menyeru masyarakatnya dengan kata “Yā Qawmī” (wahai
kaumku/ bangsaku) meskipun mereka tidak beriman kepada ajrannya. Seperti
disebutkan pada surat Hud ayat 63, 64, 78, 84 dan lainnya. 11

Kata sya’b juga diterjemahkan sebagai “bangsa” seperti ditemukan dalam


terjemahan al-Qur’an yang disusun oleh Departemen Agama RI, yaitu ketika
menafsirkan surat al-Hujurat ayat 13 dengan arti berbangsa-bangsa. Dan kata sya’b
hanya ditemukan sekali di dalam al-Qur’an, itu pun dalam bentuk plural (syu’ub).
Oleh karenanya meskipun kata sya’b, ummah dan qawm memiliki arti yang sama
yaitu bangsa, namun ketiganya tetaplah memiliki perbedaan secara mendasar.
Muhammad Syahrur ketika menjelaskan tiga kata di atas dengan mengatakan
bahwa Syu’ub merupakan sekumpulan manusia yang memiliki bahasa yang
kemudaian berafiliasi dengan satu qawm atau lebih dan mereka juga mempunyai
kebudayaan yang berbeda (ummah).12 Dari sini dapat deikatakan bahwa kata sya’b
memiliki makna lebih umum dibandingkan dengan kedua kata lainnya. Karena
pengertian dan makna dari kata qaum dan ummah sendiri telah tercakup dalam kata
sya’b.
Dalam hidup berbangsa yang menjadi prinsip utama yang dapat menyatukan
seluruh warganya adalah prinsip persamaan. Sebagaimana yang tersebut dalam
surat al-Hujurat ayat 11 bahwa semua manusia sama dan dipandang sama
dihadapan Allah, hanya kadar ketakwaannya yang membedakannya. Dalam
konteks berbangsa, prinsip ini merupakan tiang utama dalam berbangsa.
Sedangkan menurut istilah terdapat berbagai macam pendapat diantaranya 13 :
1. Hans Kohn menjelaskan bahwa nasionalisme adalah suatu faham yang
mengehendaki rasa kesetiaan tertinggi dari rakyat kepada negara dan bangsa.
2. Ernest Renan juga menjelaskan bahwa nasionalisme merupakan adanya

11 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1996), 332.
12 Muhammad Syahrur, Tirani islam: Genealogi masyarakat dan Negara, penerjemah Saifudin Zuhri

dan Badru Syamsul Fata, (Yogyakarta: LkiS, 2003), 88.


13 Wijaya Kusuma, Cinta Tanah Air, (Yogyakarta: Familia, 2017), 1-2.
kesadaran untuk menjadi satu bangsa karena adanya kemauan bersatu.
3. Soekarno mengartikan nasionalisme sebagai sebuah landasan dasar yang
bertujuan menyatukan segala macam perbadaan seperti etnis, agama, budaya.
4. Abdurrahman Wahid juga memberikan pemahaman mengenai nasionalisme
sebagai tujuan pokok kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena,
berlandaskan ini persatuan dan kesatuan suatu bangsa akan terjaga.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas, secara ringkas Nasionalisme
merupakan suatu paham yang menjunjung tinggi kesetiaan atau cinta tanah air
setiap individu yang secara totalitas tertuju kepada negara kebangsaan. Dengan
demikian yang dapat di highlight dari Nasionalisme adalah kesetiaan dan kemauan
untuk bersatu. Jadi, indikator adanya jiwa nasionalisme di dalam sebuah negara
dapat dilihat dari jiwa bangsa atau masyarakatnya apakah mereka mempunyai
kesetian dan tujuan yang sama dalam mendirikan suatu negara kebangsaan.
Kesetiaan muncul karena adanya kesadaran identitas kolektif yang bebeda
dengan yang lain. Seperti kesamaan Ras, Suku, Budaya, Bahasa, dan lain-lain. Tapi
hal tersebut bukan unsur yang paling penting, sebab yang paling penting adalah
timbulnya kesadaran untuk bersatu. Dan dalam nasionalisme tidak dibolehkan
sikap berlebihan (chauvinisme), tapi harus saling menghargai dan menghormati
terhadap bangsa lain.
Dari penjelasan di atas bahwa unsur-unsur Nasionalisme dapat ditemukan
dalam Al-Qur’an diantaranya:
1. Mencintai Tanah Air
Dalam menciptakan sikap nasionalisme maka seseorang harus mencitai
negaranya. Dan hal itu tidak dapat dinyatakan tanpa dibuktikan dengan sikap
patriotisme (membela negara) dan cinta tanah air.
Rasa cinta terhadap tanah air di dalam al-Qur’an dapat dilihat dalam surat al-
Baqarah ayat 144. ,

         

    


Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh
Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya.
Dalam ayat ini dapat dipahami sikap Nabi yang berulangkali
menengadahkan mukanya ke langit dengan penuh harapannya kepada Allah
mengenai arah kiblat yang diinginkannya. Hal ini merupakan ekspresi
kecintaan yang sangat mendalam Nabi pada tanah Mekkah dan Ka’bah tempat
dimana Nabi dilahirkan.
Dari asbab an-nuzulnya dapat dipahami bahwa ayat ini menjelaskan
tentang kegundahan hati Nabi Muhammad ketika ia diperintahkan berkiblat ke
Baitul Maqdis dan mendapat respon yang kurang baik dari kaum Yahudi.
Sehingga melalui ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa Dia mengetahui isi
hati Nabi serta doa dan keinginannya agar kiblat dikembalikan ke Ka’bah
karena merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab.14
Sehingga pada akhirnya Allah SWT. mengabulkan permohonannya.
Cinta Rasulullah SAW. kepada tanah tumpah darahnya juga tampak ketika
beliau meninggalkan kota Mekkah pada peristiwa hijrah ke Madinah, sambil
menengok ke kota Makkah Beliau berucap;
“Demi Allah, sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling baik dan
apling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat tinggal di sini mengusirku,
niscaya aku tidak akan meninggalkannya” (HR. Bukhari)
Begitu juga cinta tanah air diikuti para sahabat Nabi. Sehingga Nabi
Muhammad SAW. memohon kepada Allah SWT.:

“Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami, sebagaimana engkau


mencintakan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih.” (HR. Bukhari)15
Maka tahapan pertama untuk mencapai sikap nasionalisme yang mesti
dilakukan adalah cinta terhadap tanah air.

2. Persatuan Bangsa
Setelah cinta terhadap tanah airnya maka unsur kedua dari nasionalisme
adalah persatuan dari seluruh penduduknya meskipun berbeda suku, ras dan
agama. Dalam hal ini al-Qur’an memerintahkan persatuandan kesatuan, dalam
hal ini dapat dilihat dalam surat al-Mu’minun ayat 52 dan al-Anbiya’ ayat 92 :

       

14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 1 h. 350.
15 Abu Abdillah al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih al-Mukhtasar (Beirut: Daar Ibnu Kasir, 1987), juz 5,
h.2148 hadis no.5353.
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semuja, agama
yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepadaKu”.
Sepintas ayat ini dapat memberikan dua pemahaman, pertama; ayat ini
memerintahkan penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah kenegaraan,
hal ini selaras dengan pemahaman Abu al-A’la al-Maududi.16 Dan kedua berarti
persatuan/kesatuan suatu negara yang diikat oleh berbagai macam unsur-unsur
perbedaan, seperti persamaan asal keturunan, adat, bahasa dan agama.
Makna yang kedua selaras pernyataan al-Raghib al-isfahani yang dikutip
oleh Quraish Shihab bahwa ummat adalah: “Kelompok yang dihimpun oleh
sesuatu, baik persamaan agama, waktu atau tempat. Baik pengelompokan itu
secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri.” Dan dalam al-Qur’an terdapat
9 kali kata ummah yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat.
Namun tidak sekalipun al-Qur’an menggunakan istilah wahdatul ummah atau
tauhid al-ummah, 17 hal ini menekankan bahwa sifat umat yang satu, dan bukan
penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan bukan
penyatuan (menjadikan satu jenis ragam yang sama).

3. Patriotisme
Sikap ketiga dari aspek nasionalisme adalah sikap berani pantang menyerah
dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Hal ini terdapat dalam surat at-
Taubah ayat 41 :

         

     


Artinya: “Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan
maupun berat Dan berjuanglah kamu dengan harta dan jiwa kamu pada jalan
Allah. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu termasuk orang-orang yang
berpengetahuan”18.

Ayat ini menjelaskan bahwa dalam keadaan ringan maupun berat


seseorang harus siap untuk berjihad (melawan) terhadap musuh-musuh yang

16 Muhammad Nur, NII (Negara Islam Indonesia) No, Negara Indonesia Islami Yes; Pergulatan Konsep
Negara Dalam Peradaban Modern, (Yogyakarta; SUKA-press UIN Sunan Kalijaga, 2011), 226.
17 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Bangsa , h. 334.
18 Depag, “Alquran Dan Terjemahnya.”
telah menyerang, baik dengan harta maupun jiwa. Ini merupakan sikap
patriotisme dalam mempertahankan hak-haknya.19 Sikap patriotisme
(Nasionalisme) sangat diperlukan bagi rakyat suatu negara untuk melawan
penjajah.

Demikian beberapa poin mengenai konsep Nasionalisme dalam al-Qur’an, dan


yang diungkap hanya tiga poin terpenting dari unsur-unsur nasionalisme, yaitu cinta
tanah air, persatuan dan patriotisme hal ini merupakan petunjuk yang jelas disampaikan
dalam al-Qur’an yang harus diaplikasikan oleh umat manusia sebagai upaya
menciptakan negara yang kuat dan tidak terpecah belah hanya dikarenakan adanya
berbagai macam perbedaan.

D. Implementasi Tafsir Tematik (Teknik Informasi dalam al-Qur’an).


Informasi secara bahasa memiliki tiga pengertian yaitu, pertama; penerangan,
kedua; pemberitahuan atau berita tentang sesuatu, ketiga; keseluruhan makna
menunjang amanat yang terlihat di bagian-bagian amanat itu.20 Informasi bisa jadi
hanya berupa kesan pikiran seseorang atau mungkin juga data yang tersusun rapi dan
telah diolah. Dilihat dari pelahirannya, informasi adalah suatu rekaman fenomena yang
diamati, atau bisa juga berupa keputusan yang dibuat. 21 Atau bisa diistilahkan22 : data
yang telah disusun sedemikian rupa sehingga bermakna dan bermanfaat karena dapat
dikomunikasikan kepada seseorang yang akan menggunakannya untuk membuat
keputusan.
Pesan terdiri dari tiga bentuk, yaitu informatif, persuasif dan koersif.1) Informatif
Bersifat memberikan keterangan keterangan atau fakta-fakta, kemudian komunikan
mengambil keputusan. Dalam situasi tertentu pesan informatif lebih berhasil dari pada
persuasif. 2) Persuasif Berisikan bujukan, yaitu membangkitkan pengertian dan
kesadaran manusia bahwa apa yang kita sampaikan akan memberikan perubahan sikap,
tetapi berubahnya adalah atas kehendak sendiri bukan dipaksa, perubahan tersebut
atas kesadaran sendiri. 3) Koersif Penyampaian pesan yang bersifat memaksa dengan
menggunakan sanksi apabila tidak dilaksanakan.
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa tuntunan yang perlu diperhatikan oleh setiap

19 Mustofa Bisri, “Al-Ibriz Lima ‘rifah Tafsir Alquran Al-Aziz.”. h. 371


20 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002, hal.432
21 Prio Subekti, 2010 hal. 1
22 Wahyudi Kumorotomo & Subando Agus Margono,1994 hal.11
individu yang pertama terkait kandungan atau konten dan isi informasi, kedua pemberi
Informasi atau disebut dengan informan atau komunikator, dan ketiga penerima
informasi atau disebut dengan komunikan :
1. Konten Informasi
a. Benar dan tepat sasaran.
Terkait konten atau kandungan informasi, al-Qur’an menekankan banyak hal
yang dapat ditemukan melalui kata Qulu (katakanlah) atau balligh (sampaikan)
dan lain-lain. Seperti dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 9:

َ َّ ‫ض َٰ َعفا َخافُوا عَ لَيْ ِه ْم فَلْيَتَّقُوا‬


‫ٱّلل َولْيَقُولُوا قَ ْول َس ِِديِدا‬ ِ ‫ش ٱل َّ ِذينَ لَ ْو تَ َركُوا ِم ْن َخلْفِ ِه ْم ذُرِّ ي َّة‬
َ ‫َولْيَ ْخ‬
Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar

Ayat ini berpesan kepada mereka yang sedang memelihara ank yatim agar
bertakwa kepada Allah dan melayani mereka dengan baik serta mengucapkan
kata-kata sadida. Kata sadida berarti istiqamah/konsisten, kata yang digunakan
untuk menunjuk pada sasaran. Dan dimaksud disini adalah kata yang benar dan
tepat sasaran. Dalam konteks ayat ini karena anak yatim adalah anak yang lebih
peka karena tanpa orang tua, maka jika memeberi informas/ menegur jangan
sampai menimbulkan sakit hati pada mereka tapi hendaknya dengan cara yang
tepat sekaligus dapat mendidik dan membinanya.
b. Disampaikan dengan cara yang baik.
Hal ini terkait ayat 8 pada surat an-Nisa’
ُ ‫ض َر ٱلْ ِقس َْمةَ أُولُوا ٱلْقُرْ َب َٰى َوٱلْ َي َٰتَ َم َٰى َوٱلْ َم َٰ َس ِك‬
‫ين فَٱرْ ُزقُوهُم ِّمنْه ُ َوقُولُوا لَه ُْم قَ ْول َّمعْ رُوفا‬ َ ‫َو ِإ َذا َح‬
Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak
yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik

Kata qaulan ma’rufa yaitu kalimat-kalimat yang baik sesuai dengan adat
kebiasaan yang baik menurut ukuran setiap masyarakat.
Demikian juga disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23;
dinyatakan dengan kata qaulan karima; yang bermakna yang mulia/ terbaik
sesuai dengan objeknya. Dalam ayat ini (surat al-Isra’ ayat 23) agar informasi
yang disampaikan kepada kedua harus dengan cara terbaik dan termulia.
c. Disampaikan dengan bahasa yang mudah diterima
Hal ini terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 63 dari kata-kata qaulan
baligha:
‫وب ِه ْم فَأَ ْع ِرضْ عَ نْه ُْم َو ِعظْه ُْم َوقُل لَّه ُْم فِ َٰٓى أَنف ُ ِس ِه ْم قَ ْول‬ َّ ‫أُو َٰلََٰٓئِكَ ٱل َّ ِذينَ يَعْ لَ ُم‬
ِ ُ ‫ٱّلل ُ َما فِى قُل‬
‫بَلِيغا‬
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam
hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka
pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada
jiwa mereka.

Kata qaulan baligha disini kata baligha berarti sampainya sesuatu ke


batas yang dibutuhkan. Maka seseorang yang mahir dalam menyusun kata
sehingga mampu menyampaikan pesannya dengan baik dan mudah
diterima dinamakan baligh.
2. Pemberi Informasi (Informan)
Dalam al-Qur’an telah menghendaki agar informasi apapun bentuknya
mengandung aspek kebenaran, bermanfaat dan mudah diterima dan tepat
sasaran. Maka al-Qur’an juga memberikan perhatian bagi pribadi informan,
dalam hal ini yang patut dicontoh sebagai informan teladan adalah Rasulullah
SAW. karena berliau bertugas menyampaikan wahyu Allah dan sebagai
utusanNya. Diawal risalahnya tidak hanya diperintahkan “membaca”
sebagaimana wahyu pertama turun, dan bahkan beliau diperintahkan bangun
malam untuk mempersiapkan mental agar lebih kuat guna menghadapi masa
sulit dan wahyu yang berat. Seperti yang disampaikan dalam al-Qur’an surat
al-Muzzammil 1-5; Artinya: 1. Hai orang yang berselimut (Muhammad), 2.
bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), 3.
(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. 4. atau lebih dari
seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. 5.
Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.
Sebagai komunikator dan pembawa risalah, Rasulullah mempunyai 4 sifat
yang melekat pada diri beliau yaitu siddiq, amanah, tabligh dan fathanah
Sifat-sifat ini dimiliki para rasul lainnya karena sifat-sifat tersebut
menimbulkan kredibilitas pembawa pesan bagi para komunikan atau orang
yang menjadi penerimanya. Oleh karena sifat tersebut Sayyidah Aisyah
menyebutkan bahwa Rasulullah adalah: khuluquhul-Qur’an. Dengan kriteria
di atas maka dapat diambil ketentuan bahwa informan harus terpenusi syarat
berikut:
a. Jujur/sidq
Dalam al-Qur’an banyak penyebutan kata sidq salah satu diantaranya
adalah dalam surat Maryam ayat 54-58;
Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah Ismail di dalam Kitab (AlQur'an). Dia
benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi. Dan dia
menyuruh keluarganya untuk (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat,
dan dia seorang yang diridai di sisi Tuhannya. Dan ceritakanlah
(Muhammad) kisah Idris di dalam Kitab (AlQur'an)

Pada ayat 54 ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya


menceritakan tentang Ismail, nenek moyang bangsa Arab yang diangkat Allah
menjadi Nabi dan Rasul agar dapat menjadi contoh teladan bagi mereka pada
sifat-sifatnya, kesetiaan dan kejujurannya, ketabahan dan kesabarannya dalam
menjalankan perintah Tuhannya. Salah satu di antara sifat yang sangat
menonjol ialah menepati janji. Menempati janji adalah sifat yang dipunyai
oleh setiap Rasul dan Nabi, tetapi sifat ini pada diri Ismail sangat menonjol
sehingga Allah menjadikan sifat ini sebagai keistimewaan. Dengan demikian
informan agar dapat dipercaya oleh komunikan maka harus mempunyai sifat
dan sikap jujur.
b. Amanah (dapat dipercaya)
Amanah dapata berarti orang yang dapat dipercaya; orang yang dipercaya
akan menjadikan pihak lain “aman” dari segala bentuk pengkhianatan atau
ketidakjujuran. Orang yang amanah, dengan demikian, dapat menjamin
keamanan orang lain, baik diri, harta maupun jiwanya, bahkan segala
kehidupan di alam ini juga ada dalam penjagaannya. Kosa kata amanah sudah
menjadi bahasa Indonesia dan sering diterjemahkan terpercaya.
Sifat ini juga wajib diterapkan dalam seluruh aspek muamalah, bahkan
dalam menyampaikan pesan ataupun menentukan amanat kekuasaan harus
pada orang yang tepat. Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat an-
Nisa’ ayat 58.
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yangberhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah
sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah
Maha Mendengar, Maha Melihat. (an-Nisa'/4: 58)
c. Tabligh (menyampaikan)
Tablīg adalah penyampaian pesan kepada orang lain dari apa yang
diamanahkan kepadanya. Tablīg adalah salah satu sifat yang dimiliki Nabi
Muhamad SAW dan para rasul lainnya.
Nabi adalah komunikator yang bertugas menyampaikan wahyu Allah
SWT. sebagaimana tercantum pada Surah al-Ma'idah/5: 67, 99; Surah al-
An‘am/6: 19; Surah alA‘raf/7: 158; Surah an-Nahl/16: 64; Surah Fussilat/41:
6; Surah al-Fath/48: 29, Surah al-Anbiya'/21: 107; Surah al-Furqan/25:
56.
Keberadaan Rasul serbagai muballig tercantum antara lain
pada Surah al-Ma'idah/5: 67 dan 99; al-An‘am/6: 19:

Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu.


Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau
tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau
dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang kafir. (al-Ma'idah/5: 67)

Apa yang telah diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah amanat
yang wajib disampaikan seluruhnya kepada manusia. Menyampaikan sebagian
saja dari amanat-Nya dianggap sama dengan tidak menyampaikan sama sekali.
Demikianlah kerasnya peringatan Allah kepada Nabi Muhammad. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tugas menyampaikan amanat adalah kewajiban
Rasul. Tugas penyampaian tersebut tidak boleh ditunda meskipun penundaan
itu dilakukan guna menunggu kesanggupan manusia untuk menerimanya,
karena masa penundaan itu dapat dianggap sebagai suatu tindakan
penyembunyian terhadap amanat Allah. Demikian umatnya sebagai
penyambung informasi dakwah wajib menyampaikan kepada yang lain.

3. Penerima Informasi (Komunikan)


a. Selektif dalam menerima informasi
Prinsip dasar yang disampaikan al-Qur’an terkait penerima informasi
adalah firman Allah dalam surat al-Isra’ ayat 36:
َٰٓ
‫ص َر َوٱلْفُؤَ ا َد كُل أُو َٰلَ ِئكَ َكانَ عَ نْه ُ َمسْـ ُول‬
َ َ‫ْس لَكَ بِِۦه ِعلْم ۚ إِ َّن ٱلس َّْم َع َوٱلْب‬
َ ‫ف َما لَي‬
ُ ْ‫َو َل تَق‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya

Seorang muslim yang baik harus pandai memilih dan memilah informasi
yang diterimanya apa yang layak didengar dan diperhatikan. Dan mengikuti
yang terbaik. Sebagaimana dalam surat az-Zuamar ayat 18:
َ ْ ‫ٱّلل ُ ۚ َوأُو َٰلََٰٓ ِئكَ ه ُ ْم أُولُوا‬
ِ ‫ٱْللْ َٰ َب‬
‫ب‬ َّ ‫ٱل َّ ِذينَ َي ْستَ ِمعُونَ ٱلْقَ ْو َل فَ َيت َّ ِبعُونَ أَحْ َسنَ َٰٓۥه ُ ۚ أُو َٰلََٰٓ ِئكَ ٱل َّ ِذينَ هَِد ََٰىه ُ ُم‬
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.

Selanjutnya orang muslim yang mngikuti tuntunan kitab sucinya maka jika
ia mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 55:

Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka


berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan
bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul
dengan orang-orang jahil”.
b. Tabayun
Perlu dimaklumi bahwa berita yang kita dengar dan kita baca tidak mesti
semuanya benar. Terlebih lagi kita hidup pada zaman yang banyak terjadi
fitnah, hasud, ambisi kedudukan, bohong atas nama ulama, baik itu dilakukan
melalui internet, koran, majalah maupun media masa lainnya. Berita ini bukan
hanya merusak kehormatan manusia, akan tetapi merusak ajaran Islam dan
pemeluknya. Islam telah mengajarkan kepada kita tentang sikap dalam
menerima informasi melalui beberapa ayat yang terdapat dalam al- Quran
seperti QS. Al-Hujurat ayat 6

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik


membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS.
Al-Hujurat:6)

Ayat ini, walau menyatkan bahwa berita yang perlu diselidiki dalah berita
penting yang disampaikan atau disebarkan seorang fasik (orang yang
melakukan dosa besar dan kecil), tetapi perlu diperhatikan bahwa jika dalam
suatu masyarakat sumber pertama dari suatu berita sulit dilacak dan tidak
diketahui apakah penyebarnya orang fasik atau bukan, maka harus di kroscek
dan verifikasi keabsahannya.

c. Mencari sumber yang valid


Selanjutnya al-Qur’an mengingatkan agar setiap orang yang menerima
informasi hendaknya menanyakan kepada orang lain yang mengetahui dan
dapat dipertanggungjawabkan informasinya. Artinya mencari informasi pada
sumber yang terpercaya. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-
Nahl ayat 43:
ِّ ‫فَسْـَل ُ َٰٓوا أَهْ َل‬
َ‫ٱلذ ْك ِر ِإن كُنت ُ ْم َل تَعْ لَ ُمون‬
maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu
tidak mengetahui,

artinya jika mencari sumber informasi hendaknya komunikan dapat


memilih sumber yang terpercaya dan dari sumber yang valid sehingga dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas tafsir tematik merupakan metode tafsir yang sangat populer
dan efisien sehingga dirasa mudah dan simpel dalam pengkajian tema-tema dalam al-
Qur’an. Sebagai implementasi tafsir tematik pada aspek nasionalisme dalam al-Qur’an
terdapat beberapa aspek yang sangat penting diantaranya adalah cinta tanah air,
persatuan dan patriotisme. Sebab nasionalisme secara mendasar adalah cinta terhadap
tanah air dan terbentuk karena adanya persatuan dan jiwa rela berkorban. Dan
implementasi tafsir tematik informasi dalam al-Qur’an maka unsur konten informasi
harus benar dan tepat, disampaikan dengan baik serta mudah diterima. Sedangkan
informan hendaknya mempunyai sikap sidiq, amanah dan tabligh. Dari segi komunikan
hendaknya selektif dalam menerima informasi, tabayun dan mahir dalam mencari
sumber informasi yang kredibel.
Daftar Pustaka

Abu Abdillah al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih al-Mukhtasar (Beirut: Daar Ibnu


Kasir, 1987

Abdul-Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah fi-al-Tafsir al-Maudhu’i (Kairo: al-Hadharat


al-Gharbiyyah,1977)

Andrew Rippin “The function ofasbāb al-nuzūl in Qurʾānic exegesis,” Bulletin of


the School of Oriental and African Studies, LI(1988)

Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam (Beirut : Dar al-Fikr,t.t.)


Manna’ Khalil al-Khattan, Studi ilmu-ilmu Quran (Bogor: PustakaLitera Antar
Nusa, 2001)

Muhammad Idris al-Marbawi, Kamus al- Marbawi ( Mesir : Mushthafa al-Babi


AlHalabi, 1350 H )

Syafe’i rachmad, Pengantar al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki


(Jakarta: Ciputat Pres,2006)

Muhammad Nur, NII (Negara Islam Indonesia) No, Negara Indonesia Islami Yes;
Pergulatan Konsep Negara Dalam Peradaban Modern, (Yogyakarta; SUKA-press
UIN Sunan Kalijaga, 2011)

Muhammad Syahrur, Tirani islam: Genealogi masyarakat dan Negara,


penerjemah Saifudin Zuhri dan Badru Syamsul Fata, (Yogyakarta: LkiS, 2003)

Mustofa Bisri, “Al-Ibriz Lima ‘rifah Tafsir Alquran Al-Aziz.”

M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Quran Fungsi Wahyu dalam Kehidupan


Masyarakat, (Bandung; Mizan, 1994)

__________, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,


(Bandung: Penerbit Mizan, 1996)

__________, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 1

_________, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan


Bangsa,

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia",


edisi Kedua, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (jakarta: Balai Pustaka, 1991),

Wijaya Kusuma, Cinta Tanah Air, (Yogyakarta: Familia, 2017)

Anda mungkin juga menyukai