A. Pendahuluan
Tafsir tematik menjadi populer dikalangan para penggiat kajian al-Quran karena
kemudahan dan lebih efesien dalam pemaparannya, mudah diterima oleh pembaca
dalam menangkap pesan dan isyarat-isyarat yang dikandung oleh al-Quran. Meskipun
banyak metode yang ditawarkan oleh para ulama tafsir, diantaranya tafsir, tahlili, ijmali
ataupun muqaran. Namun dalam perkembangannya metode tematik ini paling sering
digunakan dan diimplementasikan dalam berbagai kebutuhan. Secara khusus tulisan ini
mengungkap bagaimana implementasi tafsir tematik dalam ranah pengembangan sains
dan teknologi, dari segi ketentuan dan aspek-aspek yang harus disiapkan dalam
menerapkan hubungan antara sains dan keagmaaan khususnya pesan-pesan yang
disampaikan oleh Islam melalaui al-Quran.
B. Pembahasan
1. Sejarah Tafsir
Implementasi tafsir sudah dimulai sejak masa Rasulullah Saw. dan dilanjutkan
oleh para sahabat dan generasi berikutnya, sehingga mengalami banyak perkembangan
baik dari metode yang ditempuh maupun corak yang diminati oleh para mufasir sesuai
dengan latar belakang pendidikan dan keahlian masing-masing.1 Tidak terkecuali tafsir
tematik, yaitu mulai terwujud secara sederhana dengan mempertemukan bebarapa ayat
yang semakna atau yang berkaitan dengan masalah tertentu dari penafsiran ayat al-
Quran dengan ayat yang lain.
Hal ini dapat dimaklumi, sebab al-Quran dalam kapasitanya sebagai pedoman
hidup bagi manusia dan sebagai petunjuk dan ajaran yang diturunkan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dibutuhkan, oleh karenanya ayat-ayat al-Quran diturunkan
1Syafe’i rachmad, Pengantar al-Quran Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat
Pres,2006), 241.
secara mujmal, mutlaq dan umum, tetapi kadang-kadang diturunkan secara terinci dan
khusus. Dengan demikian berarti al-Quran ditafsirkan dengan sumber dari al-Quran
sendiri, sehingga dapat diketahui maksud firman Allah itu melalui penjelasan dari
firman Allah atau ayat yang lain. Karena Allah yang mempunyai firman dan lebih
mengetahui maksud yang dikehendaki daripada yang lain.
Contoh implementasi tafsir yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW.
Ialah beliau menafsirkan kata dalam surat al-An’am ayat 82:
Bermula dari tafsir yang dicontohkan oleh Nabi kemudian berkembang dengan
berbagai metode sehingga muncul tafsir tematik yang berdasarkan surah ataupun
berdasarkan objek tertentu yang sudah ada sekitar abad 11 M. Seperti bermunculannya
kajian-kajian spesifik terkait tema; aqsam al-Quran oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah
(1292-1350), Majaz al-Qur’an oleh Ubaid, Mufradât al-Qur`ân oleh al-Raghib al-
Isfahanî; Asbâb al-Nuzûl oleh Abu al-Hasan al-Wahîdî al-Naisaburî (w. 468/1076), dan
sejumlah karya dalam Nâsikh wa al- Mansûkh, yakni; (1) Naskh al-Qur`ân oleh Abu
Bakr Muhammad al -Zuhrî (w. 124/742), (2) Kitâb al-Nâsikh wa al-Mansûkhfî al-
Qur`ân al-Karîm oleh al-Nahhas (w. 338/949), (3) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn
Salama (w. 410/1020), (4) al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn al-‘Ata`iqi (w.s.
790/1308), (5) Kitâb al-Mujâz fî al-Nâsikh wa al-Mansûkh oleh Ibn Khuzayma al-
Farisî.2 Sebagai tambahan, tafsir Ahkâm al-Qur`ân karya al-Jassas (w. 370 H.), adalah
contoh lain dari tafsir semi tematik yang diaplikasikan ketika menafsirkan seluruh al-
Qur’an.
Kedua, kata tematik atau maudhu’i, dinisbatkan kepada kata maudhu’, isim
maf’ul dari fi’il madhi wadha’a, yang memiliki makna beraneka ragam, yaitu : yang
2 Andrew Rippin “The function ofasbāb al-nuzūl in Qurʾānic exegesis,” Bulletin of the School of Oriental
and African Studies, LI(1988), 1-20.
3 M. Quraisy Shihab, Membumikan al-Quran Fungsi Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung;
6Muhammad Idris al-Marbawi, Kamus al- Marbawi ( Mesir : Mushthafa al-Babi AlHalabi, 1350 H ),
391.
7 Abdul-Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah fi-al-Tafsir al-Maudhu’i (Kairo: al-Hadharat al-Gharbiyyah,
1977),52.
f. Melengkapi penjelasan setiap ayat dari berbagai sumber melalui hadis, riwayat sahabat
dan lain-lain yang relevan. Sehingga pembahasannya semakin jelas dan komprehensif.
g. Mengkaji seluruh ayat-ayat yang sudah terhimpun dan menyelaraskannya jika
mempunyai pengertian yang sama, atau mengkromopikan antara ‘am (umum) dan yang
khas (khusus), mutlaq dan muqayyad, atau yang pada dhahirnya bertentangan sehingga
kesemuanya bertemu pada satu muara tanpa pemaksaan. 8
Jika dilihat dari segi luasnya jangkauan tema, maka tafsir tematik ini
mempunyai dua cakupan;
1. Penafsiran terhadap satu surat secara utuh dan menyeluruh dengan menjelaskan
maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai
masalah yang dikandungnya.
Rumusan ini dipertegas oleh al-Syatibi dalam Muwafaqat, ia mengatakan:
sesungguhnya satu surat meskipun mengandung masalah, merupakan satu kesatuan
yang mengacu kepada satu tujuan atau melengkapi tujuan itu, kendatipun mengandung
berbagai makna.9 Kajian tafsir seperti ini persis seperti yang dilakukan oleh Dr.
Muhammad al Hijazi dalam kitab tafsirnya yang berjudul : al-Tafsir al-Wadhih,
kemudian diikuti oleh mufassir lain.
2. Penafsiran dengan cara menghimpun seluruh atau sebagian ayat dari beberapa
surat yang berbicara tentang topik tertentu untuk dikaitkan yang satu dengan lainnya
lalu diberi penjelasan dari segala seginya, kemudian diambil kesimpulan menyeluruh
tentang masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’an.
Implementasi tema-tema yang sudah ditentukan, dapat disusun berdasarkan
pendekatan induktif dan deduktif. Dengan pendekatan induktif, seorang mufasir
maudhu’i berupaya memberikan jawaban terhadap berbagai persoalan kehidupan
dengan berangkat dari nas Al-Qur'an menuju realita (minal-Qur'ān ilal-wāqi‘). Dengan
Nasionalisme terdiri dari dua kata, nasional dan isme. Kata nasional mempunyai
arti kebangsaan dan bersifat bangsa. Sedangkan isme adalah paham atau ajaran.
Jadi Nasionalisme adalah (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri atau
kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial dan aktual
bersama-sama untuk mencapai, mempertahankan, mengabdikan identitas,
integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa10 .
Dari arti kata nasionalisme sebagaimana yang terambil dari kata kebangsaan
maka dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an melalui kata yang sepadan atau
berdekatan dengannya setidaknya terdapat tiga term kata yaitu; sya’b, qawm, dan
ummah.
Kata qawm dan qawmiyyah sering dipahami dengan arti bangsa dan
kebangsaan. Kebangsaan Arab dinyatakan oleh orang-orang arab dewasa ini
dengan istilah al-Quamiyyah al-‘Arabiyyah. Sedangkan Pusat Bahasa Arab Mesir
10Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, “Kamus Besar Bahasa Indonesia", edisi Kedua,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (jakarta: Balai Pustaka, 1991), 684.
pada tahun 1960 dalam buku Mu’jam al-Wasīṭ menerjemahkan “bangsa” dengan
kata Ummah. Kata Qawm dalam al-Quran terulang sebanyak 322 kali. Menurut
Quraish Shihab dengan banyaknya pengulangan kata qawm bisa diindikasikan
sebagai bukti bahwa al-Qur’an mendukung faham kebangsaan atau nasionalisme.
Bahkan para Nabi telah menyeru masyarakatnya dengan kata “Yā Qawmī” (wahai
kaumku/ bangsaku) meskipun mereka tidak beriman kepada ajrannya. Seperti
disebutkan pada surat Hud ayat 63, 64, 78, 84 dan lainnya. 11
11 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1996), 332.
12 Muhammad Syahrur, Tirani islam: Genealogi masyarakat dan Negara, penerjemah Saifudin Zuhri
2. Persatuan Bangsa
Setelah cinta terhadap tanah airnya maka unsur kedua dari nasionalisme
adalah persatuan dari seluruh penduduknya meskipun berbeda suku, ras dan
agama. Dalam hal ini al-Qur’an memerintahkan persatuandan kesatuan, dalam
hal ini dapat dilihat dalam surat al-Mu’minun ayat 52 dan al-Anbiya’ ayat 92 :
14 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. 1 h. 350.
15 Abu Abdillah al-Bukhari, al-Jami’ al-Shahih al-Mukhtasar (Beirut: Daar Ibnu Kasir, 1987), juz 5,
h.2148 hadis no.5353.
“Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semuja, agama
yang satu dan aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepadaKu”.
Sepintas ayat ini dapat memberikan dua pemahaman, pertama; ayat ini
memerintahkan penyatuan seluruh umat Islam dalam satu wadah kenegaraan,
hal ini selaras dengan pemahaman Abu al-A’la al-Maududi.16 Dan kedua berarti
persatuan/kesatuan suatu negara yang diikat oleh berbagai macam unsur-unsur
perbedaan, seperti persamaan asal keturunan, adat, bahasa dan agama.
Makna yang kedua selaras pernyataan al-Raghib al-isfahani yang dikutip
oleh Quraish Shihab bahwa ummat adalah: “Kelompok yang dihimpun oleh
sesuatu, baik persamaan agama, waktu atau tempat. Baik pengelompokan itu
secara terpaksa maupun atas kehendak sendiri.” Dan dalam al-Qur’an terdapat
9 kali kata ummah yang digandengkan dengan kata wahidah, sebagai sifat umat.
Namun tidak sekalipun al-Qur’an menggunakan istilah wahdatul ummah atau
tauhid al-ummah, 17 hal ini menekankan bahwa sifat umat yang satu, dan bukan
penyatuan umat, ini juga berarti bahwa yang pokok adalah persatuan bukan
penyatuan (menjadikan satu jenis ragam yang sama).
3. Patriotisme
Sikap ketiga dari aspek nasionalisme adalah sikap berani pantang menyerah
dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Hal ini terdapat dalam surat at-
Taubah ayat 41 :
16 Muhammad Nur, NII (Negara Islam Indonesia) No, Negara Indonesia Islami Yes; Pergulatan Konsep
Negara Dalam Peradaban Modern, (Yogyakarta; SUKA-press UIN Sunan Kalijaga, 2011), 226.
17 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Bangsa , h. 334.
18 Depag, “Alquran Dan Terjemahnya.”
telah menyerang, baik dengan harta maupun jiwa. Ini merupakan sikap
patriotisme dalam mempertahankan hak-haknya.19 Sikap patriotisme
(Nasionalisme) sangat diperlukan bagi rakyat suatu negara untuk melawan
penjajah.
Ayat ini berpesan kepada mereka yang sedang memelihara ank yatim agar
bertakwa kepada Allah dan melayani mereka dengan baik serta mengucapkan
kata-kata sadida. Kata sadida berarti istiqamah/konsisten, kata yang digunakan
untuk menunjuk pada sasaran. Dan dimaksud disini adalah kata yang benar dan
tepat sasaran. Dalam konteks ayat ini karena anak yatim adalah anak yang lebih
peka karena tanpa orang tua, maka jika memeberi informas/ menegur jangan
sampai menimbulkan sakit hati pada mereka tapi hendaknya dengan cara yang
tepat sekaligus dapat mendidik dan membinanya.
b. Disampaikan dengan cara yang baik.
Hal ini terkait ayat 8 pada surat an-Nisa’
ُ ض َر ٱلْ ِقس َْمةَ أُولُوا ٱلْقُرْ َب َٰى َوٱلْ َي َٰتَ َم َٰى َوٱلْ َم َٰ َس ِك
ين فَٱرْ ُزقُوهُم ِّمنْه ُ َوقُولُوا لَه ُْم قَ ْول َّمعْ رُوفا َ َو ِإ َذا َح
Artinya: Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak
yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu
(sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik
Kata qaulan ma’rufa yaitu kalimat-kalimat yang baik sesuai dengan adat
kebiasaan yang baik menurut ukuran setiap masyarakat.
Demikian juga disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 23;
dinyatakan dengan kata qaulan karima; yang bermakna yang mulia/ terbaik
sesuai dengan objeknya. Dalam ayat ini (surat al-Isra’ ayat 23) agar informasi
yang disampaikan kepada kedua harus dengan cara terbaik dan termulia.
c. Disampaikan dengan bahasa yang mudah diterima
Hal ini terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 63 dari kata-kata qaulan
baligha:
وب ِه ْم فَأَ ْع ِرضْ عَ نْه ُْم َو ِعظْه ُْم َوقُل لَّه ُْم فِ َٰٓى أَنف ُ ِس ِه ْم قَ ْول َّ أُو َٰلََٰٓئِكَ ٱل َّ ِذينَ يَعْ لَ ُم
ِ ُ ٱّلل ُ َما فِى قُل
بَلِيغا
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam
hati mereka. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka
pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada
jiwa mereka.
Apa yang telah diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad adalah amanat
yang wajib disampaikan seluruhnya kepada manusia. Menyampaikan sebagian
saja dari amanat-Nya dianggap sama dengan tidak menyampaikan sama sekali.
Demikianlah kerasnya peringatan Allah kepada Nabi Muhammad. Hal
tersebut menunjukkan bahwa tugas menyampaikan amanat adalah kewajiban
Rasul. Tugas penyampaian tersebut tidak boleh ditunda meskipun penundaan
itu dilakukan guna menunggu kesanggupan manusia untuk menerimanya,
karena masa penundaan itu dapat dianggap sebagai suatu tindakan
penyembunyian terhadap amanat Allah. Demikian umatnya sebagai
penyambung informasi dakwah wajib menyampaikan kepada yang lain.
Seorang muslim yang baik harus pandai memilih dan memilah informasi
yang diterimanya apa yang layak didengar dan diperhatikan. Dan mengikuti
yang terbaik. Sebagaimana dalam surat az-Zuamar ayat 18:
َ ْ ٱّلل ُ ۚ َوأُو َٰلََٰٓ ِئكَ ه ُ ْم أُولُوا
ِ ٱْللْ َٰ َب
ب َّ ٱل َّ ِذينَ َي ْستَ ِمعُونَ ٱلْقَ ْو َل فَ َيت َّ ِبعُونَ أَحْ َسنَ َٰٓۥه ُ ۚ أُو َٰلََٰٓ ِئكَ ٱل َّ ِذينَ هَِد ََٰىه ُ ُم
Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Selanjutnya orang muslim yang mngikuti tuntunan kitab sucinya maka jika
ia mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 55:
Ayat ini, walau menyatkan bahwa berita yang perlu diselidiki dalah berita
penting yang disampaikan atau disebarkan seorang fasik (orang yang
melakukan dosa besar dan kecil), tetapi perlu diperhatikan bahwa jika dalam
suatu masyarakat sumber pertama dari suatu berita sulit dilacak dan tidak
diketahui apakah penyebarnya orang fasik atau bukan, maka harus di kroscek
dan verifikasi keabsahannya.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas tafsir tematik merupakan metode tafsir yang sangat populer
dan efisien sehingga dirasa mudah dan simpel dalam pengkajian tema-tema dalam al-
Qur’an. Sebagai implementasi tafsir tematik pada aspek nasionalisme dalam al-Qur’an
terdapat beberapa aspek yang sangat penting diantaranya adalah cinta tanah air,
persatuan dan patriotisme. Sebab nasionalisme secara mendasar adalah cinta terhadap
tanah air dan terbentuk karena adanya persatuan dan jiwa rela berkorban. Dan
implementasi tafsir tematik informasi dalam al-Qur’an maka unsur konten informasi
harus benar dan tepat, disampaikan dengan baik serta mudah diterima. Sedangkan
informan hendaknya mempunyai sikap sidiq, amanah dan tabligh. Dari segi komunikan
hendaknya selektif dalam menerima informasi, tabayun dan mahir dalam mencari
sumber informasi yang kredibel.
Daftar Pustaka
Muhammad Nur, NII (Negara Islam Indonesia) No, Negara Indonesia Islami Yes;
Pergulatan Konsep Negara Dalam Peradaban Modern, (Yogyakarta; SUKA-press
UIN Sunan Kalijaga, 2011)