Anda di halaman 1dari 4

MATA KULIAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ASPEK ILMU PENGETAHUAN DALAM AL QURAN

Disusun Oleh :

Nama NPM Kelas Mata kuliah Dosen

: Musafak : 35412164 : 2 ID 08 : Pendidikan Agama Islam : Faqih Munandar

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS GUNADARMA BEKASI 2013

ASPEK ILMU PENGETAHUAN DALAM AL QURAN


Bila diamati, dalam Al-Quran dapat ditemukan dua bentuk realitas, yaitu realitas yang dapat didekati dengan pengalaman empiris melalui eksperimen dan observasi dan realitas yang berada di luar jangkauan pengalaman inderawi.[1]Nama-nama seperti M.Quraish Shihab, AlBajaly, Al-Maturidy, Ibnu Jarir Al-Thabari, Abu Ubaidah adalah nama-nama ahli tafsir yang sudah dikenal secara luas dalam dunia Islam. Berdasarkan berbagai uraian para ahli tafsir dapat di garis bawahi bahwa tafsir adalah pengertian lahiriah ayat yang pengertiannya secara tegas menyatakan maksud yang dikehendaki Allah. Oleh sebab itu, tafsir kebanyakan diterapkan pada ayat-ayat muhkamnat (ayat-ayat yang jelas makna-maknanya) dan berhubungan dengan riwayat yang diterangkan dalam Al-Quran dan Al-hadist. Sementara itu,tawil ialah pengertian yang tersirat yang cara pengungkapannya melalui proses istimbat (perenungan dan pemikiran) dari ayat-ayat Al-Quran. Untuk itu,tawil banyak berhubungan dengan ayat-ayat mutasyabihat (ayatayat yang kurang jalas maksudnya) dan berhubungan dengan dirayat, yang kebanyakan di istimbatkan oleh para ulama. Pembahasan tawil biasanya muncul bila pernyataan nash tidak sejalan atau bertentangan dengan nash yang lain, nash tidak sejalan dengan logika dan atau kenyataan yang berkembang di dalam masyarakat. Jika perkembangan kondisi masyarakat ini dipandang sebagai acuan konsep tawil, maka pembahasannya semakin menarik dan urgen, sebab semakin pesat perkembangan masyarakat makin banyak pula pernyataan nash yang dikonsepsikan ulama terdahulu tidak lagi simetris dengan beberapa kenyataan yang berkembang dalam masyarakat. Sebagai konsekuensinya konsep tawil harus diakui keberadaannya, hanya saja persoalannya kemudian ayat-ayat mana saja yang bisa ditawi, apa syarat-syarat tawil, siapa saja yang bisa melakukan tawil, apa saja yang bisa dijadikan qarinah di dalam memalingkan makna dzahir ke makna yang lain dan apa bedanya kajian tawil dengan kajian, lainnya, seperti kajian dzahir dan mutasyabih, am dan khas, mutlaq dan muqayyad. Al-Quran memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas,ayat-ayatnya selalu terbuka untuk menurima interpretasi baru atau pendek kata, penafsirannya tidak pernah pasti. Oleh sebab itu, sebagaimana dikatakan M. Quraish shihab, kebutuhan akan penafsiran Al-Quran secara ilmiah terasa sanyat mendesak. Hal ini mengingat sifat redaksi ayat Al-Quran yang beragam, yakni ada yang jelas dan rinci dan ada pula yang samar dan global. Jangankan yang samar, yang jelas sekalipun masih membutuhkan penafsiran. Hanya dengan mendengarkan ayat-ayatnya yang dibacakan, atau bahkan membacanya empat atau lima kali saja, amatlah mustahil diperoleh pemahaman yang sepenuhnya atas kitab suci itu tujuan itu pun bahkan tidak tercapai kalau kita hanya mengandalkan pemahaman seorang atau satu generasi saja.[2] Dengan memerhatikan indikasi kebutuhan akan penafsiran Al-Quran di atas, maka usaha ke arah penafsiran Al-Quran secara ilmiah sangatlah urgen wujudnya. Penafsiran secara ilmiah / saintis (tafsir bi al-ilmi) adalah sebuah metode penafsiran Al-Quran yang menjelaskan isi ayatayat Al-Quran berdasarkan data-data sains. Padanannya, seperti metode penafsiran tekstual yang mendasarkan penafsiran Al-Quran atas hadist dan metode penafsiran rasional yang mendasarkan penafsiran tersebut atas prolog-prolog rasional.[3] Dengan kata lain, memanfaatkan ilmu

pengetahuan manusia dengan tujuan untuk menguatkan kandungan ayat-ayat Al-Quran adalah salah satu contoh dari usaha penerapan metode tafsir saintis.

2. Penerapan Tafsir secara Ilmiah


Untuk memperkuat penjelasan tentang model penafsiran secara ilmiah, maka penulis merasa perlu untuk menghadirkan contoh penerapan model penafsiran ini. Berkaitan dengan hal ini, kita dapat memerhatikan tafsiran ayat Al-Quran yang berbunyi,

}74{
Sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. (QS. Adz-Dzariyat [51]: 47) Allamah Thabathabai menafsirkan ayat tersebut dengan ungkapan, Dan ada kemungkinan bahwa kata musiun diambil dari ungkapan awsaa an-nafaqah, yaitu memperbanyak nafkah. Atas dasar ini, maksud dari ayat tersebut adalah perluasan dan penambahan ciptaan langit, sebagaimana hal itu menjadi kecenderungan dalam pembahasan-pembahasan saintis pada masa kini.[4] Kita juga bisa mencermati penafsiran ayat,

}83{
Dan matahari bergerak [menuju] ke tempat berdiamnya. (QS. Yasin [36]: 38). Pada masamasa sebelumnya, para mufassir menafsirkan ayat ini dengan gerakan lahiriah matahari yang berjalan sehari-hari atau per musim. Akan tetapi, pada masa kini, berdasarkan penemuanpenemuan ilmiah dan sains baru, para ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan gerakan matahari menuju suatu titik tertentu yang di situ terdapat planet vega. Semua penafsiran itu masih disertai dengan kehati-hatian dan bersifat moderatif. Akan tetapi, di beberapa kalangan mufassirin kita melihat keteledoran dan keberlebihan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-quran dengan rangka mendukung metode penafsiran ilmiah. Pada bagian lain, kita dapat mencermati pula penafsiran ayat,

}33{
Engkau melihat bahwa gunung-gunung itu diam [tak bergerak], sedangkan ia berjalan sebagaimana awan berjalan. (QS-An-Naml [27]: 88). Sebagian ahli tafsir menafsirkan ayat tersebut dengan bergeraknya gunung-gunung pada hari kiamat. Akan tetapi, sebagian yang lain mengklaim bahwa ayat ini adalah salah satu mukjizat ilmiah Al-Quran. Mereka meyakini bahwa ayat ini membuktikan bahwa bumi bergerak. Kata thair dalam surah al-Fil ditafsirkan dengan nyamuk atau lalat yang membawa virusvirus penyakit. Kata dabbah dalam ayat,

}38{
Ketika perintah azab untuk mereka telah sampai, Kami mengeluarkan untuk mereka seekor binatang ternak dari bumi. (QS. An-Naml [27]: 82) ditafsirkan dengan bulan-bulan buatan. Kata ghitsaan an ahwa dalam surah al-Ala [87], ayat 5 ditafsirkan dengan batu karang. Kata rawasi dalam surah ar-Rad [13], ayat 3 ditafsirkan dengan bumi-bumi yang gersang. Kata nafs wahidah dalam surah al-Araf [7], ayat 189 ditafsirkan dengan proton.[5]

KESIMPULAN Dari pemaparan tulisan tersebut diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut: Penafsiran yang memasukkan unsur-unsur lokal sah-sah saja. Hal ini merujuk pada pendapat para ahli yang memperbolehkannya. Seperti kita ketahui, kandungan Al-Quran yang mengandung segi ketuhanan, hukum atau syariat dan akhlak dapat dibuktikan dimensi keuniversalannya. Sifat kandungan Al-Quran yang universal ini berimplikasi bahwa tafsir atau penafsiran Al-Quran tidak akan menutup diri dari kepentingan lokal seperti perkembangan ilmu, filsafat, desakan-desakan pembaruan atu perkembangan moderenisasi di dunia islam atau desakan pembangunan dari suatu negara dengan berbagai sisinya. DAFTAR PUSTAKA Ahmad Syafie Maarif, 1989, Posisi Sentral Al-Quran dalam Studi Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), 1989, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta PT. Wacana Yogya. Muhammad assad, 1980, The Massage of the Quran, Gibraltar: Daar al-Maktab. Quraish shihab, 1992, Membumikan Al-Quran, Bandung Mizan. Ali Hasan al-Aridh, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Terj. Ahmah Akram, Jakarta, Rajawali. Muhammad Ali as-Shabuni, Pengantar Studim al-Quran, Terj. M Chudori Umar dan Moh. Matsna, Bandung, Al-Maarif, 1984. Imam Badru al-Din Muhammad Ibn Abdullah az-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Quran, Juz 2, t,k, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t. Hasbi ash-Shidieqi, sejarah dan pengantar Ilmu Tafsir al-Quran, Jakarta, Bulan Bintang, 1974. Sayid Musa Husaini, Metode Penafsiran Sainitis di Dalam Buku-Buku Tafsir Modern dalam situs Qurn al-Shia Online, diakses 19 April 2013. http://quran.al-shia.com/id/metode/01.htm Ahmad Syafie Maarif, 1989, Posisi Sentral Al-Quran dalam Studi Islam, dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (Ed.), 1989, Metodologi Penelitian Agama, Yogyakarta PT. Wacana Yogya, Hal. 129. [2] Lihat Quraish shihab, Membumikan....., hal. 16. [3] Sayid Musa Husaini, Metode Penafsiran Sainitis di Dalam Buku-Buku Tafsir Modern dalam situs Qurn al-Shia Online, diakses 19 April 2013. http://quran.alshia.com/id/metode/01.htm [4] Ibid. [5] Ibid.
[1]

Anda mungkin juga menyukai