Anda di halaman 1dari 9

TAFSIR MAUDHUI

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada manusia dengan menggunakan
bahasa yang dipahami oleh manusia. Sosok manusia pilihan yang menjadi sasaran pewahyuan
kalam Allah itu adalah Nabi Muhammad saw. Nabi Muhammad berupaya menjelaskan kepada
umatnya. Upaya ini merupakan konsekuensi dari tugas beliau sebagai Rasul Allah.
Sepeninggal Nabi, umat Islam pada dasarnya mengalami kesulitan dalam memahami kandungan
isi kitab suci al-Qur’an. Keadaan umat sudah heterogen. Akibatnya, al-Qur’an yang berfungsi
sebagai kitab suci dan sumber petunjuk bagi mereka itu tidak dipahami. Disinilah perlu adanya
penafsiran baru terhadap al-Qur’an, yaitu tafsir maudhu’i.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu Tafsir Maudhu’i.


2. Bagaimana Cara Menggunakan Metode Tafsir Maudhu’i.
3. Bagaimana Contoh Metode Tafsir Maudhu’i.
4. Apa Keistimewaan Metode Tafsir Maudhu’i.
5. Siapa Saja Tokoh yang Pernag Menerapkan Metode Maudhu’i.
6. Bagaimana Perkembangan Tafsir Maudhu’i.
7. Bagaimana Bentuk Terbaru dari Metode Tafsir Maudhu’i.

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahu Pengertian Tafsir Maudhu’i.


2. Mengetahui Cara Menggunakan Metode Tafsir Maudhu’i.
3. Mengetahui Contoh Metode Tafsir Maudhu’i.
4. Mengetahui Keistimewaan Metode Tafsir Maudhu’i.
5. Mengetahui Tokoh-tokoh yang Pernah Menerapkan Metode Maudhu’i
6. Mengetahui Perkembangan Metode Tafsir Maudhu’i.
7. Mengetahui Bentuk Terbaru dari Tafsir Maudhu’i.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Tafsir Maudhu’i

Tafsir Al-Maudhu’i ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah Al-Qur’an al-Karim
yang (memiliki) kesatuan makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa
juga disebut dengan metode tauhidi (kasatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis)
terhadap isi kandungannya menurut cara-cara tertentu dan berdasarkan syarat-syarat tertentu
untuk menjelaskan makna-maknanya dan mengeluarkan unsur-unsur serta menghubungkannya
antara yang satu dengan yang lain dengan korelasi yang bersifat komfrehensif.[1]
Metode maudhu’i dapat dikelompokkan kepada dua macam; berdasarkan surat al-Qur’an dan
berdasarkan tema pembicaraan al-Qur’an. Tafsir yang menempuh metode maudhu’i cara pertama
yang berangkat dari anggapan bahwa setiap surat al-Qur’an memiliki satu kesatuan yang utuh.
Tafsir al-Qur’an yang menempuh metode maudhu’i cara kedua dimaksudkan untuk memudahkan
pemahaman terhadap satu- persatu masalah yang disinggung oleh al-Qur’an dalam berbagai
ayat-ayatnya.[2]
Metode ini adalah metode tafsir yang menafsirkan Al-Qur’an dengan cara tematik dengan
membahas ayat-ayat Al-Qur’an yang sesuai dengan tema dan judul yang telah ditetapkan.
Dengan kata lain, penafsir yang menggunakan metode ini akan meneliti ayat-ayat al-Qur’an dan
melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan
pokok permasalahan sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan
betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan untuk memahami maksud yang terdalam
dan dapat menolak segala krtik.[3]
Metode ini adalah suatu metode yang mengarahkan pandangan kepada satu tema tertentu, lalu
mencari pandangan al-Qur’an tentang tema tersebut dengan jalan menghimpun semua ayat yang
membicarakannya, menganalisis, dan memahaminya ayat demi ayat, lalu menghimpunnya dalam
benak ayat yang bersifat masih umum dikaitkan dengan yang khusus, yang muthlak
digandengkan denga yang muqayyad, dan lain-lain, sambil memperkaya uraian dengan hadits-
hadits yang berkaitan untuk kemudian disimpulkan dalam satu tulisan pandangan menyeluruh
dan tuntas menyangkut tema yang dibahas itu.[4]
Tafsir tematik bertujuan menyelesaikan permasalahan yang diangkat secara tuntas sehingga
diproleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan pegangan; baik bagi mufassir sendiri, maupun
bagi pembaca dan pendengar bahkan oleh umat secara keseluruhan. Karena tujuannya untuk
dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami oleh umat itu, maka diabad modern ini
para ulama lebih gandrung menggunakan metode tematik dari pada metode-metode yang lain.[5]
Metode maudhu’i (tematik) dalam format dan prosedur belum lama lahir. Orang yang pertama
kali memperkenalkan metode ini adalah Al-Jalil Ahmad As-Sa’id Al-Kumi, ketua jurusan Tafsir
di Universitas Al-Azhar. Langkah-langkahnya kemudian diikuti oleh teman-temannya dan
mahasiswa-mahasiswanya.[6]
Dua langkah pokok dalam proses penafsiran yang dikemukakan oleh Farmawi dalam penafsiran
secara maudhu’i.
1. Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan suatu maudhu’ tertentu dengan
memperhatikan masa dan sebab turunnya.
2. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara cermat dengan memperhatikan nisbat (korelasi) satu
dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada permasalahan yang dibicarakan.

B. langkah-langkah Menggunakan Metode Maudhu’i

M. Quraisy Syihab dalam tulisannya Tafsir Al-Qur’an Masa Kini mengemukakan 8 langkah
yang harus ditempuh:
1. Menetapkan masalah atau judul;
2. Menghimpun atau menetapkan ayat-ayat yang menyangkut masalah tersebut;
3. Menyusun ayat-ayat tadi sesuai dengan masa turunnya dengan memisahkan priode Mekkah dan
Madinah;
4. Memahami korelasi ayat tersebut dalam surat masing-masing;
5. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang menyangkut masalah tersebut;
6. Menyusun pembahasan salah satu kerangka yang sempurna;
7. Studi tentang ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang
mempunyai pengertian yang sama atau mengkompromikan ‘amm dan khas (umum dan khusus)
muthlaq dan muqayyad (yang bersyarat dan tanpa bersyarat) atau yang kelihatannya
bertentangan, sehingga semuanya bertemu dalam suatu muara tanpa perbedaan atau pemaksaan
dalam pemberian arti;
8. Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban Al-Qur’an terhadap masalah
yang dibahas tersebut.[7]

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh seorang penafsir yang menggunakan metode ini ialah;
1. Untuk sampai pada kesimpulan yang lebih mendekati kebenaran, hendaklah menyadari bahwa
tidak bermaksud menafsirkan Al-Qur’an dalam pengertian biasa; tugas utamanya ialah mencari
dan menemukan hubungan antara ayat-ayat untuk mendapatkan kesimpulan sesuai dengan
dilalah ayat tersebut.
2. Penafsir harus menyadari bahwa ia hanya memiliki satu tujuan, dimana ia tidak boleh
menyimpang dari tujuan tersebut. Semua aspek dari permasalah itu haris dibahas dan semua
rahasianya harus digali. Jika tidak demikian, ia tidak akan merasakan kedalaman (balaghah) Al-
Qur’an, yaitu keindahan dan hubungan yang harmonis diantara susunan ayat-ayat dan bagian-
bagian dari Al-Qur’an.
3. Memahami bahwa Al-Qur’an dalam menetapkan hukumnya secara berangsur-angsur. Dengan
memperhatikan sebab diturunkannya ayat disamping persyaratan lain, maka seorang penafsir
akan terhindar dari kekeliruan, dibandingkan jika ia hanya melihat lafazhnya saja.
4. Penafsir hendaknya mengikuti aturan-aturan (qa’idah) dan langkah-langkah yang sesuai dengan
petunjuk metode ini, agar perumusan permasalahan nantinya tidak kabur.[8]

C. Contoh Tafsir Maudhu’i

Contoh metode maudhu’i (tematik) adalah seperti penyelesaian kasus riba yang dilakukan ole Ali
al-Shabuni dalam “Tafsir Ayat Ahkam” yang secara hierarki menentukan urutan ayat. Pertama
QS. ar-Ruum ayat 39 yang menjelaskan tentang kebencian Allah kepada riba walaupun belum
diharamkan.
dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, ”:Artinya
)QS. ar-Ruum: 39( ”.Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah

Kedua QS. al-Baqarah ayat 278 yang menjelaskan keharaman riba secara mutlak.
Artinya: “278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
Dalam Pembahasan Ri’ayat Al-yatim fi Al-Qur’an Al-Karim Al-Farmawi mengambil beberapa
langkah-langkah metodologi sebagai berikut:
1. mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan anak yatim sekaligus mengelompokkan
ayat-ayat tersebut kedalam makkiyat dan madaniyat. Makiyat sebanyak 5 ayat dan Madaniyat 17
ayat (termasuk al-Ma’un);
2. bertitik tolak dari ayat-ayat yang terkumpul itu, Al-Farmawi menetapkan sub-subbahasan.
Pembahasan tentang pemeliharaan anak yatim berdasarkan ayat-ayat Makiyyat dipisahkan
menjadi dua bagian, yaitu:
1) pemeliharaan diri/fisik anak yatim, membahas 4 ayat dan
2) masalah harta anak yatim
Adapun pembahasan anak yatim berdasarkan ayat-ayat Madaniyat, terbagi kedalam tiga
subbahasan, yaitu:
1) pentingnya pembinaan akhlak dan pendidikan anak yatim menurut Al-Qur’an, membahas 4 ayat;
2) pemeliharaan harta anak yatim, 9 ayat;
3) perintah berinfak kepada anak yatim, 4 ayat.
3. pada tahap pembahasan, Al-Farmawi mempertimbangkan masa turunnya surat dan urutan ayat-
ayat jika kebetulan terdapat beberapa ayat dalam satu surat yang sedang dibahas.
Munasabah (korelasi) antara ayat dengan ayat disajikan dalam suatu kaitan yang rasional,
historis, dan semangat pedagogis. Hal tersebut menyebabkan uraian terasa hidup dan
mengesankan. Misalnya sewaktu mengikuti penyajian yang cukup menarik tentang hubungan
tiga ayat makkiyah yaitu ayat ke-6 surat Ad-Dhuha, yaitu:
Artinya: Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
Suatu pernyataan kepada Nabi yang cukup menggugah bila dihubungkan dengan latar belakang
dirinya:
Artinya: “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.”
(QS. Ad-Dhuha: 9)
Suatu sikap yang dituntut untuk menghormati atau menyayangi anak yatim.

Memberikan penjelasan mengenai Firman Allah swt. dalam QS. an-Nisa’ ayat 5:
Yang Artinya: “dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya,
hartaY (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.
berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata
yang baik.”

Al-Farmawi menerangkan bahwa pemakaian kata “Fi ha” bukan “minha” pada ayat itu
menunjukkan bahwa pemeliharaan yatim hendaklah membiayai kehidupan anak yatim
asuhannya yang bukan diambil dari harta asal, tetapi dari hasil harta asal anak yatim yang
diamanahkan kepadanya. [10]

D. Keistimewaan Tafsir Madhu’i

1. Dengan tafsir madhu’i, hidayah Al-Qur’an dapat digali secara lebih mudah dan hasilnya ialah
permasalahan hidup prakstis dapat dipecahkan dengan baik. Oleh karena itu, tafsir memberikan
jawaban secara langsung terhadap sementara dugaan bahwa Al-Qur’an hanya berisi teori-teori
spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan
masyarakat.
2. Dapat menumbuhkan kembali rasa bangga umat Islam, setelah sebagian mereka sempat
terpengarauh oleh aturan-aturan produk manusia, bahkan kini merasa bahwa Al-Qur’an dapat
menjawab tantangan hidup yang senantiasa berubah.
3. Merupakan jalan terpendek dan termudah untuk memproleh hidayah Al-Qur’an dibanding tafsir
tahlili, sebab tafsir tahlili tidak menghimpun ayat-ayat yang letaknya terpencar-pencar didalam
Al-Qur’an dalam satu maudhu’i.
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an sebagaimana diutamakan oleh tafsir maudhu’i adalah
cara terbaik yang telah disepakati.
5. Kemungkinan yang lebih terbuka ntuk mengetahui satu permasalahan secara lebih sempurna dan
mendalam.[11]

E. Tokoh Tafsir Maudhu’i

1. Abbas Mahmud Al-Aqqad : Al-Mar’ah fi Al-Qur’an


2. Abu Al-A’la Al-Maududi : Ar-Riba fi Al-Qur’an
3. Muhammad Abu Zahrah : Al-‘Aqidat min Al-Qur’an
4. Muhammad Al-Samahi : Al-Ulubiyat wa Ar-risalah fi Al-Qur’an
5. Dr. Ibrahim Muhnan : Al-Insan fi Al-Qur’an Al-Karim Muqawwamat Al-Insaniyyat fi Al-
Qur’an.
6. Dr. Ahmad Kamal Mahdi : Ayat Al-Qasam fi Al-Qur’an Al-Karim.
7. Syaikh Mahmud Syaltut : Al-Washaya Al-‘Asyr
8. Abd. Al-Hay Farmawi : Washaya Surat Al-Isra’.[12]

F. Kelebihan dan Kelemahan

Metode tafsir Maudhu’i mempunyai beberapa kelebihan. Yang terpenting ialah bahwa metode
ini penafsirannya bersifat luas, mendalam, tuntas sekaligus dinamis. Adapun kelemahannya
antara lain sama dengan tafsir al-muqarran, yakni tidak dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
secara keseluruhan seperti yang dapat dilakukan dengan metode tahlili dan ijmali. [13] Beberapa
keistimewaannya yang lain yaitu:

a. Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadits Nabi.


b. Kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca
kepada petunjuk al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu
disiplin ilmu. Dengan metode ini juga dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh al-
Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan
masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai
problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya.
c. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an
sejalan dengan perkembangan ilm pengetahuan dan masyarakat.[14]

G. Perkembagan Metode Tematik (Maudhu’i)

Metode ini sudah lahir sejak Nabi Muhammad saw., dimana beliau sering kali menafsirkan ayat
dengan ayat yang lain, seperti ketika menjelaskan arti Zhulum dalam QS. al-An’am ayat 82:
Yang Artinya: “ orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk.”

Nabi menjelaskan bahwa zhulum yang dimaksud adalah syirik sambil membaca firman Allah
dalam QS. Lukman ayat 13.
Yang rtinya: “ dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Benih penafsiran ayat dengan ayat ini tumbuh subur dan berkembang sehingga lahir kitab-kitab
tafsir yang secara khusus mengarah kepada tafsir ayat dengan ayat. Tafsir Ath-Thabary (839-923
M) dinilai sebagai kitab tafsir pertama dalam bidang ini, lalu lahir lagi kitab-kitab tafsir yang
tidak lagi secara khusus bercorak penafsiran ayat dengan ayat, tetapi lebih fokus pada penafsiran
ayat-ayat bertema hukum, seperti misalnya Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya Abu Bakar Ahmad
bin Ali Ar-Razy al-Jashshas (305-370 H), Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an karya Abdullah
Muhammad bin Ahmad al-Anshary al-Qurthuby (w. 671 H), dan lain-lain.[15]

H. Bentuk Terbaru Metode Maudhu’i

Setelah Syekh Ahmad Sayyid al-Kumy mencetuskan metode tafsir ini, bermunculanlah beberapa
kitab tafsir yang menggunakan metode ini, antara lain, Al-Futuhat Ar-Rahbaniyah fi At-Tafsir
Al-Maudhu’i li al-Ayat al-Qur’aniyah, karya Syekh al-Husaini Abu Farhah, dan lahir juga buku-
buku yang menjelaskan metode itu, antara lain, Al-Bidayah fi at-Tafsir al-Maudhu’i karya Abdul
Hayyi Al-Farmawi.[16]
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tafsir maudhu’i sebagai metode terbaru ternyata lebih ampuh mengantarkan kita untuk
mendapatkan resep yang diperlukan bagi masalah-masalah praktis dan hidup ditengah-tengah
masyarakat. Dengan demikian, hasil tafsir jenis ini, memberikan kemungkinan kepada kita untuk
menjawab tantangan kehidupan yang selalu berubah dan berkembang.
Tafsir tematik bertujuan menyelesaikan permasalahan yang diangkat secara tuntas sehingga
diproleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan pegangan; baik bagi mufassir sendiri, maupun
bagi pembaca dan pendengar bahkan oleh umat secara keseluruhan. Karena tujuannya untuk
dapat menyelesaikan permasalahan yang sedang dialami oleh umat itulah, maka diabad modern
ini para ulama lebih gandrung menggunakan metode tematik dari pada metode-metode yang lain

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan. Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2005).


Baidan, Nashruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005).
Hasan, Hamka. Tafsir Gender: Studi Perbadingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta:
Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, 2009).
Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005).
Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013).
-----------Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung: Mizan, 1994).
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Syafe’i, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006).
Zaini, Muhammad. ‘Ulumul Qur’an Suatu Pengantar, (Banda Aceh, Yayasan PeNA, 2014).
[1] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 391
[2] Muhammad Zaini, ‘Ulumul Qur’an Suatu Pengantar, (Banda Aceh, Yayasan PeNA, 2014), hlm.
126
[3] Hamka Hasan, Tafsir Gender: Studi Perbadingan antara Tokoh Indonesia dan Mesir, (Jakarta:
Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, 2009), hlm. 111
[4] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui
dalam Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 385
[5] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 383
[6] Rosihan Anwar, Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 161
[7] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 295
[8] Ibid, hlm. 296
[9] Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 116-117
[10] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir,....hlm. 299
[11] Ibid, hlm. 302
4. ibid, hlm. 302
[13] Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an,........hlm. 394
[14] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 117
[15] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam
Memahami Ayat-ayat Al-Qur’an,.....hlm. 387
[16] Ibid, 389

Anda mungkin juga menyukai