Anda di halaman 1dari 23

PENELITIAN HADITS : PROSES DAN LANGKAH-LANGKAH

Oleh:
Slamet Riyanto
NIM: 2003018022
A. Latar Belakang
Dalam bahasa Arab, penelitian (kritik) hadis dikenal dengan naqd al-hadits. Akan
tetapi dalam praktinya, kata an-naqd jarang digunakan untuk pengertian penelitian (kritik)
dikalangan ulama ahli hadis terdahulu. Istilah yang populer untuk penelitian (kritik) hadis
adalah al-jarh wa al-ta’dil yang berarti kritik negatif dan kritik positif terhadap hadis dan
periwayatannya. Namun demikian, penelitian (kritik) hadis tidak dimaksudkan untuk
menguji kebenaran hadis-hadis dalam kapasitas sebagai sumber ajaran Islam yang dibawa
Nabi Muhammad saw. karena kondisinya dalam status terjaga (ma’shum), tetapi pada
tataran kebenaran penyampaian informasi hadis mengingat masa kodifikasinya cukup
panjang hingga memerlukan mata rantai periwayat penyampai informasi dalam bentuk
sanad. Rentang waktu lama itulah penyebab diperlukannya kritik untuk mengetahui akurasi
dan validitasnya.1
Secara sederhana, tujuan utama penelitian hadis adalah: pertama, untuk mengetahui
dengan pasti otentisitas suatu riwayat. Kedua, untuk menetapkan validitasnya dalam rangka
memantapkan suatu riwayat. Budaya kritik semacam ini menunjukkan adanya kesadaran
sejarah yang kuat dikalangan umat Islam. Dengan kesadaran inilah kebenaran sejarah akan
mampu menepis setiap bentuk penyimpangan (bid’ah) dari ajaran sebenarnya dimasa yang
akan datang. Sehingga kemurnian Islam khususnya yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad saw. akan tetap terjaga hingga akhir zaman.2
Melihat begitu pentingnya penelitian hadis, maka penulis akan mencoba membahas
tema yang berkaitan dengan penelitian hadis, yaitu:
1. Apa sajakah obyek dalam penelitian hadis?
2. Bagaimana proses dan langkah dalam penelitian hadis?

B. Obyek Penelitian Hadis


Bagian-bagian hadis yang menjadi obyek penelitian ada dua macam, yakni rangkaian
para periwayat yang menyampaikan riwayat hadis yang dikenal dengan istilah sanad dan
materi atau matn hadis itu sendiri. Ada beberapa hal penting berkenaan dengan sanad dan
matn hadis tersebut yang perlu diketahui dan diperhatikan dalam kegiatan penelitian hadis.3
1. Sanad Hadis

1
Idris, Studi Hadis, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010), 275-276.
2
Badri Khaeruman, Otentisitas Hadis Studi Kritik atas Kajian Hadis Kontemporer, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2004), 6.
3
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 2007) , 21.

68
Sanad hadis, yang menurut pengertian istilahnya adalah rangkaian para periwayat yang
menyampaikan kita kepada matn hadis, mengandung dua bagian penting, yakni: nama-
nama periwayat yang terlibat dalam periwayatan hadis yang bersangkutan dan
lambang-lambang periwayatan hadis yang telah digunakan oleh masing-masing
periwayat dalam meriwayatkan hadis yang bersangkutan, misalnya sami’tu, akhbarani,
‘an, dan anna.
2. Matn Hadis
Sekiranya setiap matn hadis telah secara meyakinkan berasal dari Rasulallah, maka
penelitian terhadap matn demikian juga terhadap sanad hadis tidak diperlukan. Namun,
kenyataannya seluruh matn hadis yang sampai ke tangan kita berkaitan erat dengan
sanadnya, sedang keadaan sanad itu sendiri masih diperlukan penelitian secara cermat,
maka dengan sendirinya keadaan matn perlu diteliti secara cermat juga.4
Dalam studi hadits persoalan sanad dan matn merupakan dua unsur penting yang
menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadits sebagai sumber otoritas ajaran Nabi
Muhammad saw.. Kedua unsur itu begitu penting, artinya antara satu dengan lainnya saling
berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan berpengaruh dan bahkan merusak
eksistensi dan kualitas suatu hadits. Karenanya, seperti disebutkan suatu berita yang tidak
memiliki sanad tidak dapat disebut hadits demikian sebaliknya matn yang sangat
memerlukan keberadaan sanad.5
C. Proses dan Langkah dalam Penelitian Hadis
Langkah umum dalam penelitian hadits berkaitan dengan sanad dan matn hadits
adalah sebagai berikut:
1. Takhrij al-Hadits
Takhrij al-Hadits dapat diartikan mengeluarkan atau meriwayatkan hadis dari
beberapa kitab. Kemudian ada yang memaknai sebagai “menunjukkan suatu hadis pada
kitab-kitab yang menghimpunnya (mashadir kutub al-hadits) berikut dengan rawi-rawi
di dalamnya”.6
Paling tidak ada 5 metode takhrij yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Takhrij dengan kata (bi al-lafzhi)
Adalah proses penulusan hadis melalui lafal matn baik dibagian awal, tengah
maupun akhir. Lafal ini memiliki akar kata yang dapat di tasrif (perubahan bentuk

4
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,23-24.
5
M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunah, (Jakarta: Kencana, 2003), 174
6
A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Tahqiqul Hadis, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), 11.

69
kata). Kitab yang membantu penelusuran ini adalah al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfasi al-Hadits al-Nabawi yang merupakan karya dari AJ. Wensinck.
b. Takhrij dengan tema (bi al-maudhu’i)
Yaitu proses penulusuran hadis yang didasarkan pada topik, seperti bab sholat,
nikah, puasa dan lain-lain. Salah satu kitab yang digunakan dalam metode ini
adalah Miftah min Kunuz al-Sunnah karya Dr. Fuad Abdul Baqi.
c. Takhrij dengan permulaan matn (bi awwal al-matn)
Yaitu penelusuran hadis dengan menggunakan permulaan matn dari segi hurufnya.
Misalnya awal suatu matn diawali dengan huruf mim maka dicari pada bab mim,
jika diawali huruf ba’ maka dicari pada bab ba’ dan seterusnya. Kitab yang dapat
digunakan dalam metode ini antara lain kitab al-Jami’ al-Shoghir karya Imam Al
Suyuti dan kitab Mu’jam Jami’ al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul karya Ibnu Ats-Tsir.
d. Takhrij melalui rawi yang paling atas (bi ar-rawi al-a’la)
Yaitu penelusuran hadits melalui nama rawi pertama dalam sanad, yaitu nama
sahabat yang meriwayatkannya. Artinya peneliti harus mengetahui terlebih dahulu
siapa sanadnyadikalangan sahabat atau tabi’in, kemudian dicari dalam buku hadits
Musnad al-Imam Ahmad atau al Athrof.
e. Takhrij dengan sifat (bi ash-shifah)
Yaitu penelusuran hadits berdasarkan status hadits. Misalnya, hadits maudhu’
dicari dalam kitab al-Maudhu’at karya ibn Al-Jauzi atau hadits mutawatir dicari
dalam kitab al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akbar al-Mutawatirah karya al-Suyuti.
Disana seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang ia butuhkan tentang
kedudukan hadits, kualitasnya, sifat-sifatnya dan lain sebagainya.7

2. I’tibar al-Sanad
a. Pengertian i’tibar al-sanad
Menurut istilah ilmu hadits, i’tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang
lain untuk sesuatu hadits tertentu, yang hadits itu pada bagian sanadnya tampak
hanya terdapat seorang periwayat saja dan menyertakan sanad-sanad yang lain
tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada
untuk bagian sanad dari sanad hadits dimaksud.
Dengan dilakukannya i’tibar maka akan terlihat jelas seluruh jalur sanad
hadits yang diteliti, demikian juga nama-nama periwayatnya dan metode
7
Abdul Majid Khon, Takhrij Metode dan Memahami Hadits, (Jakarta: Amzah, 2014), 7-9.

70
periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat hadits yang
bersangkutan. Jadi, kegunaan i’tibar adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadits
seluruhnya dilihat dari ada atau tidaka adanya pendukung berupa periwayat yang
berstatus mutabi’ atau syahid. Yang dimaksud mutabi’ ialah periwayat yang
berstatus pendukung pada periwayat yang bukan sahabat nabi. Sedangkan syahid
ialah periwayat yang berstatus pendukung yang berkedudukan sebagain dan untuk
sahabat nabi. Melalui i’tibar akan dapat diketahui apakah sanad hadits yang diteliti
memiliki mutabi’ atau syahid ataukah tidak.8
Dalam i’tibar al-sanad ini, diketahui tiga hasil jenis riwayat hadits, yaitu:
1) Riwayat hadits yang tersendiri (tafarrud al-hadits). Hasil penelusuran hadits ini
berupa hadits gharib dan fard.
2) Banyak riwayat hadits dan saling sesuai (ta’adud riwayat al hadits ma’a
ittifaqiha) seperti hadits mutawatir, masyhur, mustafid, aziz, tabi’, dan syahid.
3) Perbedaan riwayat hadits (ikhtilaf riwayat al hadits) seperti hadis ziyadat al
tsiqat, syaz, mahfuz, munkar, ma’ruf, mudtarib, maqlub, mudraj, musahhaf,
dan mu’allal.9
b. Teknik pembuatan skema sanad
Untuk memperjelas dan mempermudah proses kegiata al i’tibar, diperlukan
pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadits yana akan diteliti. Dalam
pembuatan skema ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan, yakni (1) jalur
seluruh sanad, (2) nama-nama periwayat untuk seluruh sanad, dan (3) metode
periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat.10 Dalam
menggambarkan jalur-jalur sanad garis-garisnya harus jelas sehingga dapat
dibedakan antara jalur sanad satu dengan yang lainnya. Begitu pula dalam menulis
nama periwayat dalam pembuatan skema sanad juga harus cermat sehingga
mempermudah dalam melacak nama-nama tersebut dalam kitab rijal. Sedangkan
untuk penulisan metode periwayatan yang digunakan masing-masing periwayat
harus sesuai dengan apa yang tercantum dalam sanad yang bersangkutan.
Adapun langkah-langkah penyusunan skema sanad adalah sebagai berikut:
1) Proses penyusunan diawali dari mukharrij hingga Nabi saw..
2) Setiap tingkatan diberikan kode

8
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 49-50.
9
Hasan Asy’ari Ulama’i, Tahqiqul Hadis, 43.
10
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 50.

71
3) Pembuatan skema diawali secara tunggal, baru dilakukan penggabungan
4) Pembuatan jalur sanad secara jelas (garisnya jelas)
5) Nama-nama periwyat dalam keseluruhan jalur sanad harus jelas
6) Shighat tahammul wa ada’ al hadits ditempatkan disebelah garis
7) Dilakukan pengecekan ulang setelah selesai penyusunan.11
c. Teknik menyimpulkan kualitas sanad hadits
Teknik menyimpulkan kualitas sanad hadits dilakukan dengan menggunakan
istilah baku mushthalah hadits, antara lain:
1) Kesimpulan sanad berdasarkan banyaknya rawi yang meriwayatkan hadits
tersebut, khususnya ditingkat sahabat (horizontal quantity), apakah mutawatir
(dilakukan oleh banyak orang) ataukah ahad (perorangan). Terkait hadits ahad,
apakah sampai derajat masyhur (3 orang lebih, tetapi tidak sampai derajat
mutawatir), ataukah hanya aziz atau mustafid (2 orang saja) ataukah hanya
gharib atau fard (satu orang sahabat saja yang meriwayatkan). Kesimpulan ini
dapat dilihat dari skema sanad gabungan.
2) Ditinjau dari jumlah rawi antara nabi hingga mukharrij (vertical quantity)
terdapat banyak antara (sanad nazil atau melalui beberapa tabaqat) ataukah
hanya beberapa tingkatan saja (sanad ‘ali)
3) Ditinjau dari sandaran akhir dari rentetan sanad hadits ini, apakah kepada Allah
(disebut hadits qudsi), ataukah kepada Rasulallah saw (disebut hadits marfu’)
ataukah hanya sampai sahabat (disebut hadits mauquf) atau bahkan hanya
sampai pada tabi’in (disebut hadits maqtu’)
4) Ditinjau dari persambungan sanad hadits, apakah bersambung (ittisal) baik
persambunganitu samapai kepada Nabi saw. (musnad) atau sesuai dengan sanad
tersebut (muttasil) ataukah terputus sanadnya (inqita’) baik keterputusan itu dari
satu sanad saja dan berada pada tingkatan mana saja (munqati’) atau
keterputusan itu pada dua sanad atau lebih secara berurutan (mu’dal) juga
apakah keterputusan itu karena hanya menyebutkan sanad ditingkat sahabat saja
(mu’allaq) atau sebaliknya justru tidak menyebutkan sahabat, yaitu dari tabi’in
langsung kepada Nabi saw. (mursal)

A. Hasan Asy’ari Ulama’i, Melacak Hadis Nabi saw. : Cara Cepat Mencari Hadis dari Manual
11

Hingga Digital, (Semarang: Rasail, 2006), 21.

72
5) Ditinjau dari cara periwayatan, apakah secara beruntun mengikuti gerak gerik
gurunya (musalsal) ataukah hanya mendengar secara tidak langsung yang
sering disimbolkan dengan anna (muannan) atau ‘an (mu’an’an)
6) Ditinjau dari kualitas sanadnya apakah memenuhi kriteria kesahihan sanad
hadits (sahih al isnad), ataukah ada kekurangan sedikit pada ke-dabt-annya
(hasan al isnad), ataukah kriteria kesahihan itu tidak dipenuhi (dha’if al isnad)
atau bahkan disampaikan oleh orang yang hanya mebuat-buat pernyataan
kemudian disandarkan kepada Nabi saw. (maudhu’)
7) Ditinjau dari rawi pada suatu jalur sanad dengan rawi dijalur sanad lain, kalau
periwayatannya bertentangan, maka apakah rawi tersebut tsiqah (munkar)
sementara yang lain lebih tsiqah (ma’ruf) ataukah diriwayatkan oleh orang yang
dha’if (syaz) sementara yang lain tsiqah (mahfuz).12

3. Bahts al-Ruwah
a. Pengertian bahts al-ruwah
Bahtsul ruwah berasal dari dua kata bahts dan ruwah. Bahts adalah bentuk
mashdar dari bahatsa yang berarti mencari atau meneliti. Adapun ruwah
merupakan bentuk jamak dari rawi yang berarti orang yang meriwayatkan hadis
atau rijalul hadits. Istilah Bahtsul ruwah ini dalam tahqiqul hadits digunakan untuk
proses pelacakan biografi rawi yang ada dalam rangkaian sanad hadis, dengan
tujuan untuk mendapatkan informasi seputar biografi mereka berikut penilaian
ulama terhadapnya.13
Ulama hadis sependapat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada diri
pribadi periwayatan hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang
dikemukakannya dapat diterima sebagai hujah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu
adalah keadilan dan kedabitannya. Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi,
sedang kedabitannya berhubungan dengan kapasitas intelektual. Apabila kedua hal
itu dimiliki oleh periwayat hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai
bersifat siqah. Istilah siqah merupakan gabungan dari sifat adil dan dabit.14
Sedangkan dalam buku Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits karangan
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, disebutkan bahwa ada beberapa

12
Hasan Asy’ari Ulama’i, Tahqiqul Hadis, 135-137.
13
Hasan Asy’ari Ulama’i, Tahqiqul Hadis, 58.
14
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 63.

73
kriteria perawi-perawi yang tidak terus ditolak riwayatnya dan tidak terus diterima
riwayatnya, yaitu:
1) Orang yang diperselisihkan cacatnya dan tentang keadilannya.
2) Orang yang menyalahi imam-imam yang kenamaan atau kepercayaan dalam
riwayat-riwayatnya.
3) Orang yang banyak lupa.
4) Orang yang rusak akal di akhir umurnya.
5) Orang yang tidak baik hafalannya.
6) Orang yang menerima hadis dari sembarang orang saja, baik dari orang
kepercayaan atau pun dari orang yang lemah (tidak kepercayaan).15
Untuk meneliti sebuah rawi hadis, kita memerlukan sebuah alat bantu atau
sumber informasi seputar rawi hadis. Ini bisa berupa kitab-kitab rijalul hadits
dengan ciri khusus yang membedakan dengan kitab biografi lainnya, yaitu adanya
informasi seputar guru dan murid (siapa sumber periwayatan dia dan siapa saja
yang banyak meriwayatkan sesuatu darinya), disamping ada beberapa penilaian
ulama terhadapnya.16 Ada beberapa model atau jenis kitab rijalul hadis yang dapat
digunakan sebagai sumber rujukan dalam proses pelacakan rawi hadis. Namun
dalam makalah ini, penulis akan memberikan contoh kitab Tahzibul Kamal fi
Asmail Rijal karya al Mizzi (w. 742 H) dan kitab Tahzibul Tahzib karya Ibn Hajar
al Asqalani (w. 852 H). Hal ini dikarenakan dua kitab ini lah yang tidak asing lagi
di telinga kita, dan kebetulan di perpustakaan pusat UIN Walisongo Semarang pun
juga menyediakan kitab tersebut.
Jadi pada intinya, yang dinamakan tentang batsul ruwah adalah persoalan
mengenai periwayat hadis secara keseluruhan sehingga menunjukkan rangkaian
yang lengkap dari sanad. Dimana hal tersebut dapat memungkinkan untuk
mengetahui tentang rawi secara detail, hingga akhirnya mengetahui apakah hadis
tersebut berasal dari Nabi atau bukan.17
b. Teknik penelusuran rijalul hadits
Dalam rangka memahami teknik penelusuran rawi hadis, maka perlu
mengambil sampling kitab rujukan yang digunakan. Terkait dengan contoh hadis
yang diteliti dari 9 kitab hadis, maka kitab Tahzibul Kamal fi Asmail Rijal karya al
15
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Riski
Putra, 1999) 212.
16
Hasan Asy’ari Ulama’i, Tahqiqul Hadis, 58
17
Keterangan dari Prof. Dr. H. M. Erfan Soebahar, M.Ag pada perkuliahan tanggal 3 Oktober 2017.

74
Mizzi dan kitab Tahzibul Tahzib karya Ibn Hajar al Asqalani akan digunakan
sebagai contoh kitab rujukan penelusuran rawi hadis pada penelitian ini.
Secara umum hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menelusuru rawi yang
ada dalam rangkaian sanad adalah sebagai berikut:
1) Sebelum menelusuri masing-masing rawi dalam rangkaian sanad harus
memahami terlebih dahulu rawi tersebut disebut namanya, nasabnya,
kunyahnya atau laqabnya.
2) Menetapkan kitab rujukan yang tepat, seperti melacak rawi pada kutub sittah
cukup terbantu dengan kitab Tahzibul Tahzib misalnya.
3) Melihat daftar indeks kitab terlebih dahulu dan memastikan nama diri, jika
hanya disebut nasabnya maka dipastikan lebih dahulu nama diri rawi,
demikian pula yang populer dengan kunyah ataupun laqabnya.
4) Mengenali karakteristik kitab rujukan mulai dari cakupan rawi di dalamnya,
tata urutan hingga kode-kode yang digunakan.
5) Memastikan nama rawi yang dicari melalui tahapan-tahapan:
a) Bila nama tersebut hanya satu-satunya, maka dapat dipastikan dialah yang
dimaksud.
b) Bila terdapat dua nama atau lebih yang sama, maka dibedakan nasabnya
terlebih dahulu
c) Bila nasabnya juga sama, maka dilihat kode marji’nya
d) Bila ada kemungkinan sama, maka dilihat dari tahun wafatnya
e) Bila masih ada kemungkinan yang sama, maka dilihat rawa ‘an dan rawa
‘anhu.18

4. Ittisholus Sanad
Secara bahasa kata ittashola berarti bersambung. Jadi ittisholus sanad berarti
bersambungnya rentetan rawi sebuah hadits dari Rasulallah saw. samapai rawi terakhir.
Bersambungnya sanad merupakan hal pertama dalam penetapan penisbatan suatu
hadits kepada nabi. Ada beberapa langkah dalam mengetahui bersambung tidaknya
suatu sanad, diantaranya:
a. Mencatat semua rawi dalam sanad yang akan diteliti.

18
Hasan Asy’ari Ulama’i, Tahqiqul Hadis, 72.

75
Setelah ditemukannya data hadits yang hendak diteliti dari kitab-kitab hadits,
langkah untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad adalah mencatat semua
periwayat yang meriwayatkan hadits tersebut.
b. Mempelajari masa hidup masing-masing rawi
Kemudian setelah menulis semua rawi yang ada dalam sebuah hadits yang akan
diteliti, maka selanjutnya yang dilakukan yakni mempelajari masa hidup rawi.
c. Mempelajari sighat tahamul wa ada’ul hadits
Sighat tahamul wa ada’ul hadits adalah lambang periwayatan, baik menyampaikan
riwayat maupun memerima riwayat.19

5. Natijah Sanad
Hasil penelitian yang dikemukakan harus berisi natijah (konklusi). Dalam
mengemukakan natijah harus disertai argumen-argumen yang jelas. Semua argumen
dapat dikemukakan sebelum ataupun sesudah rumusan natijah dikemukakan.
Isi natijah untuk hadits yang dilihat dari segi jumlah periwayatnya mungkin
berupa pernyataan bahwa hadits yang bersangkuta berstatus mutawatir dan bila tidak
demikian, maka hadits tersebut berstatus ahad. Untuk hasil penelitian hadits ahad,
maka natijahnya mungkin berisi pernyataan bahwa hadits yang bersangkutan
berkualitas sahih atau hasan, atau dho’if sesuai dengan apa yang telah diteliti. Bila
perlu pernyataan kualitas tersebut disertai dengan macamnya, misalnya dengan
mengemukakan bahwa hadits yang diteliti berkualitas hasan li ghairihi.20

6. Naqd al-Matn
a. Pengertian dan Kriteria Keshohihan Matn
Matn menurut ilmu hadits ialah penghujung sanad, yakni sabda Nabi
Muhammad saw. yang disebut setelah disebutkannya sanad. Matan hadits adalah isi
hadits. Matan hadits terbagi menjadi tiga, yaitu ucapan, perbuatan dan ketetapan
Nabi Muhammad saw..21 Dari pengertian matan di atas kita dapat menyimpulkan
bahwa naqd al matn adalah penelitian dan pengecekan kualitas matan hadis yang di
dalamnya mengandung makna-makna tertentu, dan membedakan antara hadis
autentik dan yang tidak autentik.

19
Abdurrahman, Metode Kritik Hadits, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 14.
20
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 90.
21
Bustamin & M. Isa,Metodologi Kritik Matan Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 59.

76
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa hasil penelitian kualitas matan tidak
selalu sejalan dengan kualitas sanad. Terkadang ada hadis yang sanadnya shohih
tapi matannya dho’if atau sebaliknya, sanadnya dho’if tapi matannya shohih. Dalam
kitab Juhud al-Muhadditsin al-Jawi menguraikan seputar mabnaul matn (struktur
matan) menurutnya hal tersebut berkaitan dengan tiga hal yaitu:
1) Kalimat asing (gharib) dan menjaga matan dari perubahan
2) Perbedaan teks matan (ikhtilaf nash al matn)
3) Matan yang tersendiri22
Adapun tolak ukur penelitian matan yang dikemukakan oleh ulama tidak
seragam. Manurut al-Khatib al- Bagdadi (wafat 463 H / 1072 M), suatu matan
hadits baru dinyatakan sebagai maqbul (yakni diterima karena kualitas sahih)
apabila:
1) Tidak bertentangan dengan akal sehat
2) Tidak bertentangan dengan hukum al Qur;an yang telah muhkam
3) Tidak bertentangan dengan hadits mutawatir
4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama
masa lalu (ulama salaf)
5) Tidak bertentangan dengan dalil yang sudah pasti
6) Dan tidak bertentangan dengan hadits ahad yang kualitas keshahihannya lebih
kuat.23
b. Langkah-langkah Penelitian Matan
Dalam kitabnya, Muḥammad al-Gazaliy tidak memberikan penjelasan
langkah-langkah konkrit yang berupa tahapan-tahapan dalam memahami hadis Nabi
Muḥammad saw. Namun dari berbagai pernyataannya dalam Al-Sunnah al-
Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadits, dapat ditarik kesimpulan tentang
tolak ukur yang dipakai Muḥammad al-Gazaliy dalam kritik matan (otentisitas
matan dan pemahaman matan). Secara garis besar metode yang digunakan oleh
Muḥammad al-Gazaliy dalam menetapkan keshahihan matan hadis ada 4 macam,
yaitu:
1) Matan hadis sesuai dengan al-Qur’an.
2) Matan hadis sejalan dengan matan hadis shahih lainnya.
3) Matan hadis sejalan dengan fakta sejarah.
22
Ahmad Sholih Arif dkk., Makalah Naqd al-Hadits : Naqd al Sanad dan Aspek Kualitas Rijal,
Semarang:UIN Walisongo, 2017), 2-3.
23
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 118.

77
4) Matan hadis sejalan dengan ilmu pengetahuan24
Namun menurut Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail berdasarkan penjelasan ulama
ahli hadits langkah-langkah metodologis penelitian matan hadits, yakni:
1) Meneliti matan dengan melihat kualitas sanadnya
2) Meneliti susunan lafal sebagai matan yang semakna
3) Meneliti kandungan matan
Dengan menempuh ketiga langkah itu diharapkan, segi-segi penting yang harus
diteliti pada matan dapat membuahkan hasil penelitian yang dapat
dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara agama.25

7. Penyimpulan Kualitas Hadits


Teknik dalam menyimpulkan kualitas hadits secara keseluruhan acuannya
adalah kaedah kesahihan sanad dan matn hadits dengan menggunakan istilah yang baku
dalam ilmu hadits. Secara umum telaah sanad dalam penelitian hadits lebih dominan
untuk dijadikan standar natijah, namun sebagaian ulama juga menekankan aspek
matannya.
Penulis cenderung pada pendapat pertama dengan argumen bahwa hadits
sebagai berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. harus diyakini wurud-
nya terlenih dahulu, sementara aspek dolalah terkait dengan pemahaman. Artinya suatu
informasi yang tidak dipahami seseorang bukan berati menggugurkan informasi
tersebut jika benar-benar diyakini wurud-nya.
Contoh, saat saya kecil mendengar langsung ucapan nenek supaya saya “jangan
duduk di atas bantal nanti bisa bisulan”, jika telaah matn berita ini didekati secara ilmu
maka tidak masuk akal, lalu dinilai lemah bahwa berita ini bersumber dari nenek saya,
maka sangat bertentangan dengan penyimakan saya secara langsung ucapan tersebut.
Menurut saya matn berita dari nenek saya itu juga sahih, hanya saja untuk bisa
mengenali apa makna dibalik kata-kata tersebut maka bukan lagi wilayah uji berita
melainkan uji makna.
Oleh sebab itu, jika seseorang meneliti hadits dari jalur tertentu mendapati
sanadnya dha’if sekalipun matnnya sahih, maka hadits jalur tersebut tetap dhoi’if li

24
Asih Kurniasih & Muhammad Alif, “Metodologi Kritik Matan Hadits”, Kajian terhadap Kitab Al
Sunnah al Nabawiyyah Baina Ahl al Fiqh wa Ahl al Ḥadῑṡ karya Muḥammad al Gazāliy : Journal Holistik al
Hidayah 4 (2018): 42-66.
25
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, 113.

78
dzatihi. Namun jika matn tersebut juga didapati jalur lainnya yang baik, maka bisa naik
derajatnya menjadi hasan li ghairihi.
Demikian pula jika dalam sanad hadits tertentu yang diteliti terdapat rawi yang
disimpulkan penilaiannya saduq sementara matnnya sahih maka haditsnya dinilau
hasan li dzatihi. Namun jika matn tersebut jika didapati jalur lainnya yang lebih baik
maka bisa naik derajatnya menjadi sahih li ghairihi.
Jika dalam hadits sanad tertentu yang diteliti, sanadnya sahih demikian pula
dengan matnnya juga sahih maka haditsnya dinilai sahih li dzatihi. Lain halnya jika
matnnya dho’if, ada sebagian ulama yang menyimpulkan hadits tersebut dho’if. Seperti
argumen di atas, saya cenderung tetap melihat dengan teliti jika memenuhi unsur dho’if
dari sisi mabna al matn maka haditsnya dho’if, namun jika dari sisi interpretasi atau
pemahaman maka tetap dikuatkan hasil sanadnya.26

D. Praktik Penelitian Hadits


Dalam rangka memantapkan pemahaman kita tentang langkah dan proses penelitian
hadits, penulis akan mencoba mempraktikkan langkah dan proses meneliti hadis tentang
“minyak zaitun melalui riwayat Ibnu Majah jalur Abu Hurairoh”. Berikut adalah
langkah dan prosesnya:
1. Takhrij al-Hadits
a. Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad bin Hambal dengan nomor hadis
15474 Juz 3 pada kitab Musnad Penduduk Makkah di bab Hadis Abu Usaid As-
Sa’idi Radiyallohu’anhu

‫يسى قَ َال َح َّدثَيِن َعطَاءٌ َر ُج ٌل َكا َن‬ ِ ِ َّ ِ ٍّ ‫قَ َال َح َّد َثنَا َعْب ُد الرَّمْح َ ِن بْ ُن َم ْه ِد‬
َ ‫ي َح َّد َثنَا ُس ْفيَا ُن َع ْن َعْبد الله بْ ِن ع‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَ َال‬ ِ ِ
ٍ ِ‫يد ب ِن ثَاب‬ ٍ ‫اح ِل عن أَيِب أ‬
ِ ‫الس‬
َّ ِ‫يَ ُكو ُن ب‬
َّ ‫ك ُس ْفيَا ُن أ‬
َ َّ ‫َن النَّيِب‬ َّ ‫ت َش‬ ْ ‫ُسْيد أ َْو أَيِب أَس‬
َ َْ
‫ت فَِإنَّهُ ِم ْن َش َج َر ٍة ُمبَ َار َك ٍة‬
ِ ْ‫الزي‬ ِ ‫ت واد‬
َّ ِ‫َّهنُوا ب‬ َ َ ْ‫الزي‬
َّ ‫ُكلُوا‬
b. Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad bin Hambal dengan nomor hadis
15475 Juz 3 pada kitab Musnad penduduk Makkah di bab Hadis Abu Usaid As-
Sa’idi Radiyallohu’anhu

26
Hasan Asy’ari Ulama’i, Tahqiqul Hadis, 173-175.

79
‫الش ِامي عن أَيِب أ َِس ٍ‬ ‫ٍ‬ ‫ِ َّ ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫ول‬
‫يد قَ َال قَ َال َر ُس ُ‬ ‫يع َح َّد َثنَا ُس ْفيَا ُن َع ْن َعْب د الله بْ ِن ع َ‬
‫يس ى َع ْن َعطَاء َّ ِّ َ ْ‬ ‫َح َّد َثنَا وَك ٌ‬
‫َّهنُوا بِ ِه فَِإنَّهُ ِم ْن َش َج َر ٍة ُمبَ َار َك ٍة(‬
‫ت واد ِ‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ) ُكلُوا َّ‬
‫الزيْ َ َ‬
‫ِ‬
‫اللَّه َ‬
‫‪c. Imam Ad-Darimi dalam Sunan Ad-Darimi dengan nomor hadis 1963 jilid 2 pada‬‬
‫)الزيت( ‪) bab keutamaan minyak zaitun‬األطعمة ( ‪kitab makanan‬‬
‫اح عن أَيِب أ َِس ٍ‬ ‫أ ْخبرنَا أَب و نُ َعْي ٍم ح َّدثَنَا س ْفيا ُن َعن َعْب ِد اللَّ ِه بْ ِن ِعيس ى َعن َعطَ ٍاء ولَْي ِ‬
‫يد‬ ‫س ب ابْ ِن أَيِب َربَ ٍ َ ْ‬
‫َ َ‬ ‫َ ْ‬ ‫َُ ْ‬ ‫َ‬ ‫ََ ُ‬
‫ِ‬
‫ت َوا ْئتَ‪%ِ %‬د ُموا بِ‪%ِ %‬ه َوادَّهنُ‪%%‬وا بِ‪%ِ %‬ه فَِإنَّهُ‬
‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ) ُكلُ‪%%‬وا ال‪%َّ %‬زيْ َ‬ ‫ي قَ َال قَ َال رس ُ ِ‬
‫ول اللَّه َ‬ ‫َُ‬ ‫ص ا ِر ِّ‬
‫اأْل َنْ َ‬
‫ج ِم ْن َش َج َر ٍة ُمبَ َار َك ٍة(‬
‫يَ ْخ ُر ُ‬
‫‪) bab makan‬األطعمة ( ‪d. Imam At-Tirmidzi dalam Sunan Titmidzi Kitab makanan‬‬
‫)الزيت( ‪minyak‬‬
‫َسلَم َعن أَبِ ِيه َعن عُمر بْ ِن اخْلَطَّ ِ‬ ‫ِ‬ ‫ح َّدثَنَا حَي بن موسى ح َّدثَنَا عب ُد َّ ِ‬
‫اب‬ ‫ْ ََ‬ ‫الرزَّاق َع ْن َم ْع َم ٍر َع ْن َزيْد بْ ِن أ ْ َ ْ‬ ‫ْىَي ْ ُ ُ َ َ َ ْ‬ ‫َ‬
‫َّهنُوا بِ ِه فَِإنَّهُ ِم ْن َش َج َر ٍة ُمبَ َار َك ٍة قَ َال أَبُو‬
‫ت واد ِ‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ُكلُوا َّ‬
‫الزيْ َ َ‬
‫قَ َال قَ َال رس ُ ِ‬
‫ول اللَّه َ‬ ‫َُ‬
‫ب يِف‬
‫ضطَ ِر ُ‬
‫الرز ِ‬
‫َّاق يَ ْ‬ ‫َّاق َع ْن َم ْع َم ٍر َو َكا َن َعْب ُد َّ‬ ‫يث َعْب ِد َّ‬
‫الرز ِ‬ ‫يث اَل َنع ِرفُه إِاَّل ِمن ح ِد ِ‬
‫ْ َ‬
‫ِ‬
‫يسى َه َذا َحد ٌ ْ ُ‬
‫ِ‬
‫ع َ‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َو ُرمَّبَا َر َواهُ َعلَى الش ِّ‬ ‫ِِ‬ ‫ِ ِ‬ ‫ِ‬
‫َّك‬ ‫ِر َوايَة َه َذا احْلَديث َفُرمَّبَا ذَ َكَر فيه َع ْن عُ َمَر َع ْن النَّيِب ِّ َ‬
‫ِ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬
‫َسلَ َم َع ْن أَبِيه َع ْن النَّيِب ِّ‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َو ُرمَّبَا قَ َال َع ْن َزيْد بْ ِن أ ْ‬
‫َح َسبُهُ َع ْن عُ َمَر َع ْن النَّيِب ِّ َ‬
‫َف َق َال أ ْ‬
‫َّاق َع ْن َم َع َم ٍر َع ْن َزيْ ِد‬ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ُم ْر َساًل َح َّدثَنَا أَبُو َد ُاو َد ُسلَْي َما ُن بْ ُن َم ْعبَ ٍد َح َّد َثنَا َعْب ُد َّ‬
‫الرز ِ‬
‫َ‬
‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم حَنْ َوهُ َومَلْ يَ ْذ ُك ْر فِ ِيه َع ْن عُ َمَر‬ ‫ِ‬
‫َسلَ َم َع ْن أَبِيه َع ْن النَّيِب ِّ َ‬
‫بْ ِن أ ْ‬
‫‪e. Imam At-Tirmidzi dalam Sunan Titmidzi‬‬ ‫‪) bab makan‬األطعمة ( ‪Kitab makanan‬‬
‫)الزيت( ‪minyak‬‬

‫ِ َّ ِ ِ‬ ‫ٍ‬ ‫الز َبرْيِ ُّ‬


‫ي َوأَبُو نُ َعْيم قَااَل َح َّد َثنَا ُس ْفيَا ُن َع ْن َعْبد الله بْ ِن ع َ‬
‫يسى‬ ‫ود بْ ُن َغْياَل َن َح َّد َثنَا أَبُو أَمْح َ َد ُّ‬
‫َح َّد َثنَا حَمْ ُم ُ‬

‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ُكلُوا‬ ‫ِ ٍ‬ ‫ِ‬ ‫ِ‬


‫ال لَهُ َعطَاءٌ م ْن أ َْه ِل الشَّام َع ْن أَيِب أَسيد قَ َال قَ َال النَّيِب ُّ َ‬
‫َع ْن َر ُج ٍل يُ َق ُ‬

‫‪80‬‬
‫يب ِم ْن َه َذا الْ َو ْج ِه إِمَّنَا‬ ٌ ‫يسى َه َذا َح ِد‬ ِ ٍ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ َ ‫الزي‬
ٌ ‫يث َغ ِر‬ َ ‫ت َوادَّهنُوا به فَإنَّهُ م ْن َش َج َرة ُمبَ َار َكة قَ َال أَبُو ع‬ْ َّ
ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ ِ
َ ‫َن ْعرفُهُ م ْن َحديث ُس ْفيَا َن َع ْن َعْبد الله بْ ِن ع‬
‫يسى‬
f. Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah Kitab makanan ( ‫ )األطعمة‬bab minyak (
‫)الزيت‬

‫َسلَ َم َع ْن أَبِ ِيه َع ْن عُ َمرَ قَ َال قَ َال‬ ِ ِ َّ ‫ي ح َّدثَنَا عب ُد‬ ِ


ْ ‫الرزَّاق أَْنبَأَنَا َم ْع َمرٌ َع ْن َزيْد بْ ِن أ‬ ْ َ َ ٍّ ‫َح َّدثَنَا احْلُ َسنْي ُ بْ ُن َم ْهد‬
‫َّهنُوا بِ ِه فَِإنَّهُ ِم ْن َش َج َر ٍة ُمبَ َار َك ٍة‬
ِ ‫ت واد‬
ِ َّ ِ‫ول اللَّ ِه صلَّى اللَّه َعلَي ِه وسلَّم ا ْئتَ ِدموا ب‬
َ ْ‫الزي‬ ُ َ ََ ْ ُ َ ُ ‫َر ُس‬
g. Imam Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah Kitab makanan ( ‫ )األطعمة‬bab
minyak (‫)الزيت‬
ِ ِ ٍِ ِ ِ ٍ
ُ ‫يس ى َح َّدثَنَا َعْب ُد اللَّه بْ ُن َس عيد َع ْن َج دِّه قَ َال مَس ْع‬
‫ت أَبَ ا‬ َ ‫َح َّدثَنَا عُ ْقبَ ةُ بْ ُن ُم ْك َرم َح َّدثَنَا‬
َ ‫ص ْف َوا ُن بْ ُن ع‬
‫ت َو َّاد ِهنُوا بِِه فَِإنَّهُ ُمبَ َار ٌك‬ َّ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ُكلُوا‬
َ ْ‫الزي‬
ِ ُ ‫ول قَ َال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ُ ‫ُهَر ْيَرةَ َي ُق‬
2. I’tibar al-Sanad
Berikut adalah teks riwayat hadits tentang minyak zaitu melalui riwayat Ibnu Majah
jalur Abu Hurairah
ِ ِ ٍِ ِ ِ ٍ
ُ ‫يس ى َح َّدثَنَا َعْب ُد اللَّه بْ ُن َس عيد َع ْن َج دِّه قَ َال مَس ْع‬
‫ت أَبَ ا‬ َ ‫ص ْف َوا ُن بْ ُن ع‬ َ ‫َح َّدثَنَا عُ ْقبَ ةُ بْ ُن ُم ْك َرم َح َّدثَنَا‬
‫ت َو َّاد ِهنُوا بِِه فَِإنَّهُ ُمبَ َار ٌك‬ َّ ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ُكلُوا‬
َ ْ‫الزي‬
ِ ُ ‫ول قَ َال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ ُ ‫ُهَر ْيَر َة َي ُق‬
Tabel urutan periwayat dan sanad Hadits Minyak Zaitun Mukhorij Ibnu Majah
Jalur Abu Hurairah

No. Nama Periwayat Urutan Sebagai Periwayat Urutan Sebagai Sanad


1. Abu Hurairah Periwayat 1 Sanad 1
2. Kaisan Periwayat 2 Sanad 2
3. Abdullah bin Sa’id Periwayat 3 Sanad 3
4 Shafwan bin ‘Isa Periwayat 4 Sanad 4
‘Uqbah bin Mukrom
5. Periwayat 5 Sanad 5
bin Aflah
6. Ibnu Majah Periwayat 6 Mukhorij al-Hadits

81
‫‪Skema Sanad Hadits:‬‬ ‫‪............‬رسول اهلل ص‪.‬م كلواالزيت‬

‫قال‬ ‫قال‬ ‫قال‬

‫أَ َبا ه َُري َْر َة‬ ‫عمر بن الخطاب‬


‫عن‬
‫عبد اهلل بن ثابت (أبىى أسيد)‬

‫عن‬ ‫عن‬
‫سم‬

‫‪ϥϋ‬‬
‫كيسن‬
‫سعيدعت‬ ‫أبي‬ ‫أسلم مول عمر‬
‫َعطَاءٌ‬
‫عن‬ ‫عن‬
‫عن‬

‫َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ َسعِي ٍ‪$‬د‬ ‫زيد بن أسلم‬ ‫َع ْب ِد هَّللا ِ ب ِ‬


‫ْن عِ ي َسى‬

‫حدت‬ ‫عن‬ ‫عن‬

‫نا‬
‫معمر ين رشيد‬ ‫ُس ْف َيانُ‬
‫ص ْف َوانُ بْنُ عِ َ‬
‫يسى‬ ‫َ‬
‫عن‬
‫حد‬ ‫حد ثنا‬ ‫حدثنا‬ ‫حدثنا‬ ‫حدثنا‬ ‫حدثنا‬
‫ثنا‬
‫َع ْب ُد الرَّ َّز ِ‬
‫اق‬ ‫أَبُو ُن َعي ٍْم‬
‫َعْب ُد الرَّمْح َ ِن بْ ُن َم ْه ِد ٍّ‬
‫أَحْ َمدَ ُّ‬
‫الز َبي ِْريُّ‬ ‫َوكِي ٌع‬ ‫ي‬
‫ُع ْق َب ُة بْنُ م ُْك َر ٍم‬
‫حد‬ ‫حد ثنا‬ ‫حدثنا‬
‫ثنا‬
‫يحي بن مو سى‬ ‫سليمان بن معبد‬ ‫َمحْ مُو ُد بْنُ َغ ْياَل َن‬
‫حد‬ ‫ْال ُح َسيْنُ بْنُ َم ْهدِيٍّ‬ ‫عبد ربه بن سلم‬ ‫أخبر‬
‫ثنا‬ ‫نا‬

‫حد‬
‫ثنا‬
‫حد‬ ‫حد‬
‫ثنا‬ ‫ثنا‬

‫إبن ماجة‬ ‫الرتمذي‬ ‫أمحد بن حنبل‬ ‫الدارمي‬


‫‪3. Bahts al-Ruwah‬‬

‫‪82‬‬
‫قول النقاد‬ ‫روى عنه‬ ‫روى عن‬ ‫ولد‪ /‬توفي‬ ‫كنية و لقب‬ ‫نسب‬ ‫اسم‬ ‫نمرة‬
‫ابن عباس ‪,‬و أنس ‪,‬‬ ‫النبى ص‪.‬م‪ .‬و أبي‬
‫أبو هريرة‪ ,‬وأبو‬
‫إبن عمر ‪ ,‬و أبو‬ ‫بكر ‪,‬و غمر ‪,‬‬ ‫ت ‪57 :‬‬ ‫بن صخر‬ ‫عبد الرحمن‬ ‫‪.1‬‬
‫األسود‬
‫‪ ,‬سعيد المقبورى‬ ‫‪.‬وأسامة بن زيد‬
‫عبدهّللا بن سعبد‪,‬‬
‫عمر ‪ ,‬عبد هّللا بن‬
‫وأبو الغصن ثابت‬ ‫أبي سعيد‪ ,‬صا حب‬
‫قال الواقدى‪ :‬ثقة‬ ‫سالم ‪ ,‬أبى هريرة‪,‬‬ ‫ت ‪100:‬‬ ‫‪--‬‬ ‫كيسن‬ ‫‪.2‬‬
‫بن قيس‪ ,‬أبو صخر‬ ‫العباع‬
‫‪.‬أبى سعيد الخدرى‬
‫بن زياد‬
‫إسماعيل بن عياس‪,‬‬ ‫أبيه سعيد بن أبي‬
‫قال أبو طالب عن‬
‫و حفص بن‬ ‫سعيد المقبرى‪ ,‬و‬
‫أحمد بن حنبل ‪:‬‬
‫منكر الحديث‬
‫غياس ‪ ,‬و صفوان‬ ‫عبدهّللا بن إبي قتادة‬ ‫__‬ ‫أبو عباد‬ ‫بن سعيد بن أبي أسيد‬ ‫َع ْب ُد هَّللا ِ‬ ‫‪.3‬‬
‫ابن عيس ‪,‬عبد هّللا‬ ‫األنصاري‪ ,‬و جده‬
‫‪,.‬متروك الحديث‬
‫بن إدريس‬ ‫أبي سعيد المقبري‬
‫أحمد بن إبرهيم‬ ‫أس‪$$‬امة بن زي‪$$‬د ‪ ,‬و‬
‫قال أبو حاتم ‪:‬‬ ‫الدّورقي ‪ ,‬و أحمد‬ ‫بشربن رافع‪ ,‬و َع ْب ُد‬
‫صالح‬ ‫بن حنبل ‪ ,‬و ُع ْق َبةُ‬ ‫هَّللا ِ بْنُ َس‪$$$$$$‬عِيد بن‬ ‫ت ‪200 :‬‬ ‫أبو محمد‬ ‫بن عيسى القرشيّ‬ ‫ص ْف َوانُ‬
‫َ‬ ‫‪.4‬‬
‫قال محمد بن سعد ‪:‬‬
‫كا ن ثقة صالح‬
‫بْنُ ُم ْك َر ٍم‬ ‫أبي س‪$$$$$$$$$$$$$$$‬عيد‬
‫المقبورى‬
‫مسلم ‪ ,‬أبو داود‬ ‫يحي ّ‬
‫القطان‪ ,‬سعيد‬
‫‪,‬الترميذ ‪ ,‬ابن ما‬ ‫بن غامر‪ ,‬صفوان‬ ‫أبو عبد المالك‬ ‫ُع ْق َب ُة‬
‫قال النسائى ‪ :‬ثقة‬ ‫ت ‪243 :‬‬ ‫بْنُ ُم ْك َر ٍم‬ ‫‪.5‬‬
‫جه‪ ,‬عبد هّللا بن‬ ‫بن عيسى‪,‬أبي عا‬ ‫الحافظ البصرى‬
‫أحمد‬ ‫صم‬
‫إبرهيم بن دينار‬
‫قال الحافظ أبو يعلى‬
‫الهمذاني‪ ,‬و أبو‬
‫الخليل بن عبد هللا‬ ‫بن يزيد الربعي او أبو‬
‫الطيب أحمد بن‬ ‫و ‪209:‬‬ ‫حممد‬
‫الخاليلي القزويني ‪:‬‬ ‫__‬ ‫إبن ماجة‬ ‫عبدهللا بن ماجة‬ ‫‪.6‬‬
‫روح البغدادي‬ ‫ت ‪273 :‬‬
‫ثقة كبير ‪ ,‬متفق‬ ‫القزوبني الحافظ‬
‫الشعراني‪ ,‬وجعفر‬
‫عليه ‪ ,‬محتج به‬
‫بن إدريس‬

‫‪83‬‬
Pada hadits tentang minyak zaitun yang Mukharij-nya adalah Ibnu Majah jalur Abu
Hurairah memiliki periwayar sebagai berikut (susunan sesuai urutan dalam sanad):
1. Imam Ibnu Majah (209-273)
Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin
Majah ar-Rabi’i al- Qudzwaini. Beliau dilahirkan pada tahun 209 H dan wafat pada
tahun 273 H. Gurunya dalam periwayatan hadits sangat banyak diantaranya Ali bin
Muhammad ath Thanâfusî, Jabbarah bin AL Mughallas, Mush’ab bin ‘Abdullah az
Zubair, Suwaid bin Sa’îd, Abdullâh bin Muawiyah al Jumahî, Ibrahîm bin Mundzir
al Hizâmi, dll. Adapun murid-muridnya diantaranya Ibrahim bin Dinar al-
Khuwasibi al-Hamdzani, Abu Tayyib Ahmad bin Rukhu al-Baghdadi as-Sya’rani,
Ja’far bin Idris.
Al-Hafidz Abu Ya’la bin Abdullah al-Khalili al-Khuzwaini menyebutkan
didalam kitab Rijalu Quzwaini. Dia Mengatakan bahwa Ibnu Majah Tsiqah Fihi,
Mutafaqun ‘Alaihi, Mukhtaj bihi.27
2. ‘Uqbah bin Mukrom
Nama lengkapnya ‘Uqbah bin Mukrom bin Aflah al-‘Ammi. Menurut ibnu
Qoni’ beliau wafat pada tahun 234 H dan ibnu hibban mengatakan bahwa wafatnya
tahun 250 H. Diantara guru-gurunya Yahya al-Qatthan, Ibnu Mahdi, Wahab bin
Jarir, Safwan bin Isa, Sa’id bin ‘Amir. Sedangkan murid-muridnya Muslim, Abu
Dawud, At –Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi ‘Ashim.28
Abu Dawud mengatakan bahwa ‘Uqbah bin Mukrom tsiqah tsiqah (‫ )ثقة ثقة‬dan
an-Nasa’i mengatakan sama yakni tsiqah (‫)ثقة‬.
3. Safwan bin ‘Isa
Atau Safwan bin ‘Isa al Qurasyi. Mengenai wafatnya beliau banyak pendapat
dari beberapa ulama diantaranya:
a. Menurut Muhammad bin sa’ad bahwa beliau wafat dibasrah pad‫ ش‬tahun 200 H
pada khalifah Abdullah bin Harun
b. Menurut al-bukhari bahwa beliau wafat pada tahun 198 H
c. Menurut Ibnu Hibban didalam kitabnya “Ats-Tsiqah’ bahwa beliau wafat tahun
198 H Atau awal tahun 199 H. Ada yang mengatakan wafat tahun 200 H dan
ada lagi yang mengatakan wafat pada tahun 208 diawal bulan Rajab.
27
Jamaluddin al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’i ar-Rijal Jilid IX (Beirut: Dar al-
Kotob al-Ilmiyah,2004) , 435.
28
Shihab al-Din Ahmad abu al-Fadl Ahmad Ibn Hajar al-Asqalaani, Tahdzibu al-Tahdzib Fi Rijal al-
Hadits Jilid IV ( Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1994) , 534-535.

84
Adapun guru-gurunya beliau diantaranya Usamah bin Zaid al-Laitsi, Basyar
bin Rafi’, Abdullah bin Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqburi. Sedangakan murid-
muridnya diantaranya Ahmad bin Ibrahim ad-Dauraqi, Ahmad bin Hambal, ‘Uqbah
bin Mukrom al-‘Ammi.29
Abu Hatim mengatakan bahwa beliau Shalih (‫)صالحا‬dan Muhammad bin Sa’ad
mengatakan Tsiqah Shalihan (‫)ثقة صا لحا‬. Abdullah bin Sa’id
4. Abdullah bin Said
Nama lengkapnya Abdullah bin Sa’id bin Abi sa’id al-Maqburi. Didalam kitab
tidak disebutkan tahun wafat dan lahirnya. Beliau termasuk tabi’ut tabi’in kalangan
tua. Diantara guru-gurunya ayahnya sendiri Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqburi dan
Kakeknya Abi Sa’id al-Maqburi, selain itu ada Abdullah bin Abi Qatadah al-Ansari.
Dan murid-muridnya dianataranya Ismail bin ‘Iyas, Sufyan Ats-Tsauri, Safwan bin
‘Isa, Abdullah bin Idris.30
Abu thalib mengatakan dari Ahmad bin Hambal bahwa Beliau Munkar al-
Hadits, Matruk al-Hadits (‫ديث‬bb‫ر الح‬bb‫ منك‬,‫ديث‬bb‫تروك الح‬bb‫ )م‬dan Abu zar’ah mengatakan
bahwa beliau Dha’if al-Hadits (‫)ضغيف الحديث‬.
5. Kaisan
Beliau lebih dikenal dengan nama Abu sa’id al-Maqburi al-Madani. Menurut
pendapat al-Waqidi beliau wafat pada tahun 100 H dan ibnu sa’ad mengatakan
bahwa beliau wafat pada khalifah al-Walid bin ‘abdul Malik. Diantara guru-gurunya
Umar bin khattab, Abdullah bin salam, Abu Hurairah, Abi sa’id al-khudri.
Sedangkan murid-muridnya : Abdullah bin sa’id, Abu sakhr khamid bin ziyad, dan
Abu al-ghushni tsabit bin qais.31
Adapun komentar para ulama mengenai beliau. al-Waqidi mengatakan tsiqah (
‫ )ثقة‬Sedangkan An-Nasaa’i mengatakan Laa ba’sa bihi (‫)ال بأس به‬.
6. Abu Hurairah
Nama lengkapnya Abdurrahman bin Shakhr. Beliau dalah Seorang dari
kalangan sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Ada yang mengatakan nama
Asli di zaman jahiliyah adalah Abdus-Syams. Beliau Wafat tahun 57 H. Guru-guru
beliau diantara Nabi Muhammad SAW, Abu Bakr, Umar bin Khattab, Aisyah.
Murid-murid beliau sangat banyak diantaranya Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Jabir,
29
Jamaluddin al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’i ar-Rijal Jilid XIII (Beirut:
Mu’assasatu ar-Risalah, 1988) , 208-210.
30
Jamaluddin al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’i ar-Rijal Jilid XIII , 372-373.
31
Ibnu Hajar al-Asqalani , Tahdzibu al-Tahdzib Fi Rijal al-Hadits Jilid V, 432.

85
Abu Usamah bin Sahal bin Hanif, Abu Sa’id al-Maqburi, Abu Yunus Maulahu,
dll.32
Menurut Ahlussunah wal jama’ah ,semua sahabat adalah ‘adil, karena Allah
SWT telah memuji mereka dalam al-Qur’an dan As-Sunnah juga memuji terhadap
akhlak dan perbuatan mereka, dan pengorbanan mereka kepada Rasulullah baik
harta dan jiwa karena satu alasan yaitu mendapat balasan dan pahala dari Allah
SWT33
4. Ittisholus Sanad
‫م كلواالزيت‬.‫قال رسول اهلل ص‬............

‫قال‬

‫أَ َبا ه َُري َْر َة‬

‫سم‬
‫عت‬
‫أبي سعيد كيسن‬

‫عن‬

‫د‬$ٍ ‫َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ َسعِي‬

‫حد‬
‫ثنا‬

‫ص ْف َوانُ بْنُ عِ ي َسى‬


َ
‫حد‬
‫ثنا‬

‫ُع ْق َب ُة بْنُ ُم ْك َر ٍم‬

‫حد‬
‫ثنا‬
‫إبن ماجة‬

5. Natijah Sanad
Dari gambaran skema i’tibar sanad dan bahst ar-Ruwah Hadits tentang Minyak
zaitun yang Mukharij-nya Ibnu Majah. Dapat dilihat dari rawi pertama yakni Abu
Hurairah sampai ketujuh yaitu Ibnu Majah semuanya Tsiqah Kecuali Untuk periwayat

32
Ibnu Hajar al-Asqalani , Tahdzibu al-Tahdzib Fi Rijal al-Hadits Jilid VII , 523-527.
33
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits( Jakarta : Pustaka Al Kautsar, 2005), 79.

86
ketiga yakni Abdullah bin Sa’id dinilai Matruk al-Hadits, Dhaif al-Hadit. Sanadnya
tidak bersambung karena ada ‘Illat . Dengan demikian status sanad tersebut Dha’if.
6. Naqd al-Matn
Hadits tentang Minyak zaitun maknanya tidak bertentangan dengan akal sehat,
tidak bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam. Tidak bertentangan hukum Allah,
tidak berntangan dengan ayat-ayat yang ada didalam Al-Qur’an. Seperti yang tercantum
dalam Q.S An-Nur ayat 35

ٍ ‫اح اَلْ ِمص باح يِف زج‬ ِ ٍِ ِ َّ ‫اَل ٰلّ هُ نُ ْو ُر‬


ِ ‫الس ٰم ٰو‬
‫اج ةُ َكاَن ََّه ا‬
َ ‫اج ةۗ اَ ُّلز َج‬
َ َ ُ ْ ُ َْ ْ ‫ضۗ َمثَ ُل نُ ْو ِر ٖه َكم ْش ٰكوة فْي َه ا م‬
ۗ ٌ َ‫ص ب‬ ِ ‫ت َوااْل َْر‬

ِ ‫ي ُّيوقَ ُد ِمن َشجر ٍة ُّم ٰبر َك ٍة َزيُتونٍَة اَّل َشرقِيَّ ٍة َّواَل َغربِيَّةٍۙ يَّ َكاد َزيُته ا ي‬
‫ض ْۤيءُ َولَ ْو مَلْ مَتْ َس ْس هُ نَ ٌار‬ ُ َْ ُ ْ ْ ْ ْ َ ََ ْ ْ ٌّ ‫ب ُد ِّر‬
ٌ ‫َك ْو َك‬
ۙ ‫َّاسۗ َوال ٰلّهُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِْي ٌم‬
ِ ‫ب ال ٰلّهُ ااْل َ ْمثَ َال لِلن‬ ْ َ‫نُ ْوٌر َع ٰلى نُ ْو ٍرۗ َي ْه ِدى ال ٰلّهُ لُِن ْو ِرهٖ َم ْن يَّ َشاۤءُۗ َوي‬
ُ ‫ض ِر‬
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar.
Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu)
pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah
barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak
disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-
perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Adapun Matan hadits jika dilihat dari segi lafadznya jika dibandingkan dengan
mukharij yang lain. Maka terdapat perbedaan, hanya saja perbedaan tersebut hanya
terletak pada redaksinya saja. Akan tetapi dalam segi makna masih sama dengan hadits
dengan mukharij yang lain
7. Penyimpulan Kualitas Hadits
Dari hasil Penelitian terhadap hadits riwayat Ibnu Majah tentang Minyak zaitun,
diperoleh kesimpulan bahwa hadits tentang minyak zaitun adalah hadits dha’if al-isnad.
Sedangkan dalam segi matannya tidak bertentangan dengan akal sehat, tidak
bertentangan dengan tujuan pokok ajaran Islam, tidak bertentangan dengan hukum Allah
serta tidak pula bertentangan dengan pesan-pesan yang ada dalam al-Qur’an. Hadits
tersebut disebut Shahih dalam matannya. Kandungan dari minyak zaitun juga terdapat
banyak manfaatnya. Maka hadits tersebut dapat diamalkan sebagai Fadha’ilul amal.

87
E. Penutup
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa dalam studi hadits persoalan sanad dan
matn merupakan dua unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadits
sebagai sumber otoritas ajaran Nabi Muhammad saw.. Kedua unsur itu begitu penting,
artinya anatar satu dengan lainnya saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya
akan berpengaruh dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadits.
Dalam penelitian hadits, ada beberapa langkah yang harus dilakukan untuk dapat
mengetahui kualitas sebuah hadits, yaitu: takhrij al-hadits, i’tibar al-sanad, bahts al-ruwah,
ittishol al-sanad, natijah sanad, naqd matn, dan penyimpulan kualitas hadits. Semua langkah
tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan teliti, karena setiap langkah yang dilakukan
mempengaruhi kualitas dari sebuah hadits yang sedang diteliti.
Demikianlah makalah yang dapat penulis sampaikan. Dalam rangka menuju lebih
baik, penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang budiman.
Mudah-mudahan makalah ini dapat menambah wawasan keilmuan kita khususnya dalam
bidang studi hadits.

88
Daftar Pustaka
Abdurrahman. Metode Kritik Hadits. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2011.
Ahmad Sholih Arif dkk.. Makalah Naqd al-Hadits : Naqd al Sanad dan Aspek Kualitas Rijal.
Semarang:UIN Walisongo. 2017.
Al-Asqalaani, Shihab al-Din Ahmad abu al-Fadl Ahmad Ibn Hajar. Tahdzibu al-Tahdzib Fi
Rijal al-Hadits Jilid IV. Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1994.
Al-Mizzi, Jamaluddin al-Hajjaj Yusuf. Tahdzib al-Kamal fi Asma’i ar-Rijal Jilid XIII.
Beirut: Mu’assasatu ar-Risalah. 1988.
Al-Mizzi, Jamaluddin al-Hajjaj Yusuf. Tahdzib al-Kamal fi Asma’i ar-Rijal Jilid IX. Beirut:
Dar al-Kotob al-Ilmiyah. 2004.
Al-Qaththan, Syaikh Manna’. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Al Kautsar.
2005.
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka
Riski Putra. 1999.
Bustamin & M. Isa. Metodologi Kritik Matan Hadits. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
Idris. Studi Hadis. Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2010.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang. 2007.
Khaeruman, Badri. Otentisitas Hadis Studi Kritik atas Kajian Hadis Kontemporer. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya. 2004.
Khon, Abdul Majid. Takhrij Metode dan Memahami Hadits. Jakarta: Amzah. 2014.
Kurniasih, Asih & Muhammad Alif. “Metodologi Kritik Matan Hadits”. Kajian terhadap
Kitab Al Sunnah al Nabawiyyah Baina Ahl al Fiqh wa Ahl al Ḥadῑṡ karya
Muḥammad al Gazāliy : Journal Holistik al Hidayah 4 (2018): 42-66.
Soebahar, M. Erfan. Menguak Fakta Keabsahan al-Sunah. Jakarta: Kencana. 2003.
Ulama’i, A. Hasan Asy’ari. Melacak Hadis Nabi saw. : Cara Cepat Mencari Hadis dari
Manual Hingga Digital. Semarang: Rasail. 2006.
Ulama’i, A. Hasan Asy’ari. Tahqiqul Hadis. Semarang: Karya Abadi Jaya. 2015.

89

Anda mungkin juga menyukai