Takhrij hadis adalah salah satu perangkat ilmu hadis yang berfungsi
sebagai jembatan antara peneliti hadis dan sumber asli suatu hadis, sehingga dapat
menemukan hadis dalam berbagai redaksi dan sanad-sanadnya. Hanya dengan
redaksi (matan) hadis yang lengkap dan sanad dari berbagai jalur seorang peneliti
hadis dapat menyeleksi kualitas suatu hadis. Makalah ini merangkum pengertian
dan beberapa metode takhrij yang sering digunakan.
1
TAKHRIJ HADIS
Menurut istilah yang sering dikemukakan oleh ulama hadis, kata at-takhrij
mempunyai beberapa arti, yang pertama: Mengemukakan hadis kepada orang
banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah
menyampaikan hadis itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh. Yang
kedua: Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh
para guru hadis, atau berbagai kitab, yang susunannya dikemukakan berdasarkan
riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan
menerangkan siapa periwayatnya dari penyusun dari para penyusun kitab atau
karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan. Yang ketiga: Menunjukkan asal
usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis
yang disusun oleh para mukhorrij-nya langsung (yakni para periwayat yang juga
sebagai penghimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan). Yang keempat:
Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni
kitab kitab hadis, yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan
sanadnya masing masing serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan
1
Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lugha, (Beirut: Daar al-Jail, 1411 H/1991 M), Jilid 2, h.
175
2
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-
Maa’rif, 1991), h. 9
2
kualitas hadisnya. Yang kelima: Menunjukkan atau mengemukakan letak asal
hadis pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang di dalamnya
dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing masing.3
Pada awal mulanya pencarian hadis tak didukung oleh metode tertentu
karena memang tidak sangat dibutuhkan. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi
bahwa para ahli ahli hadis itu mempunyai suatu kemampuan menghafal dan
sekaligus menjadi alat suatu metode pencarian hadis bagi mereka. Ketika mereka
itu sendiri membutuhkan hadis sebagai penguat dalam waktu singkat mereka
dapat menemukan letak-letaknya didalam kitab hadis, sekalipun jilidnya atau
setidaknya mereka dapat mengetahuinya dengan dugaan yang sangat kuat didalam
kitab kitab hadis itu sendiri.
3
diidentikkan lebih ke penelitian kepustakaan, yaitu mencari hadis dari berbagai
kitab yang memuat didalamnya kelengkapan matan dan sanadnya, serta
dilanjutkan pada kasus penelitian kualitas sanad dan matan itu sendiri. Banyak
dikalangan ulama hadis pada masa sekarang yang meminati kegiatan takhrij hadis
ini, dengan beberapa alasan, pertama mereka ingin mendapat hadis yang utuh
sehingga mereka dapat mengambil kesimpulan tentang kualitas hadis, kedua
tersedianya program hadis yang dapat diakses melalui computer dan alat lainnya,
sehingga dapat mempermudah dalam mengkaji nya.5
Bagi seorang yang ingin meneliti suatu hadis, maka kegiatan takhrij hadis
ini sangatlah penting. Tanpa dilakukan adanya suatu kegiatan ini, maka seorang
peniliti akan sulit mengetahui asal usul riwayat hadis yang akan diteliti,
diantaranya tujuan kegiatan takhrij hadis ini sebagai berikut.
5
Bustamin, Dasar Dasar Ilmu Hadits,(Jakarta: Ushul Press, 2009), Cet 1, h. 181
6
M. Syuhudi Ismail, Paradigma Baru Memahami Hadits Nabi, (Jakarta: Insan Cemerlang),
Cet I, hal. 87
7
Syahid dalam istilah ilmu hadits adalah dukungan (corroboration) yang terletak pada
bagian periwayat tingkat pertama, yakni tingkat Sahabat Nabi.
8
Mutabi’ dalam istilah ilmu hadits adalah dukungan yang terletak pada bagian periwayat
yang bukan tingkat Sahabat Nabi.
9
Hadits Shahih suatu hadits yang muttasil sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang adil dan
dhabit sempurna dari sesamanya, selamat dari kejanggalan dan cacat, Hadits Hasan suatu hadits
4
c) Untuk memberikan kemudahan dan keyakinan, bagi orang yang
mengamalkan setelah mengetahui bahwa hadis tersebut adalah hadis
shahih yang bisa diamalkan dan yang tidak bisa diamalkan apabila
hadis tersebut dhoif.10
Kitab dan literatur yang masuk dalam kategori sumber asli, disusun
dengan sistematika dan metodologi yang berbeda. Hal ini menyebabkan
metodologi yang digunakan untuk mengkaji hadis-hadisnya juga berbeda. Dan
untuk “membaca” sebuah literatur, kita perlu mengetahui metodologi penulisan
yang digunakan. Dan ketika akan melakukan takhrij hadis, kita perlu mengetahui
metode penulisan sumber-sumber asli,11 agar dapat ditentukan metode takhrij
mana yang akan kita gunakan.
yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang adil, hanya kurang sedikit kedhobitannya,
tidak ada kejanggalan, tidak ada illat, Hadits Mutawatir suatu hadits yang diriwayatkan
10
M. Agus Shalahuddn dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2009), Cet I, hal. 192
11
Sumber Asli adalah kitab yang mencantumkan suatu hadis beserta sanad pengarangnya
yang didapat melalui talaqi pada guru-gurunya sampai kepada Nabi Saw. Lihat Mahmud al-
Thahan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 2010), h. 10
12
Dalam istilah hadis, kitab yang disusun berdasarkan nama rawi disebut musnad, jika
disusun berdasarkan bab fiqh disebut sunan. Abdul Majid al-Ghauri, Mu’jam al-Mushthalahat al-
Haditsiyyah, (Bairut: Dar Ibn Katsir, 2007), h.703 dan 407
5
nama shahabat. Metode ini berlaku pada kitab-kitab musnad, mu’jam dan
athraf.13
Contoh takhrij hadis menggunakan metode ini: hadis عن أبي بكر
سلوا هللا العفو والعافية:رضي هللا عنه, diketahui bahwa hadis ini diriwayatkan
oleh Abu Bakar, kemudian kita buka musnad Ahmad bin Hanbal16 pada
bab kumpulan riwayat Abu Bakar :
13
Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, h. 40
14
Abdul Majid al-Ghauri, Mu’jam al-Mushthalahat al-Haditsiyyah, (Bairut: Dar Ibn
Katsir, 2007), h.131
15
Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid), h. 40
16
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Bairut, Mu’assasah al-Risalah, tt),
j.1, h.185
6
Dengan metode ini kita dapt mengetahui mukharrij17 dan kitab
yang menyebutkan hadis tersebut, begitu juga dapat membandingkan
sanad.18 Akan tetapi bila shahabat yang meriwayatkan hadis tersebut dari
golongan shabat yang banyak meriwayatkan hadis seperti Abu Hurairah,
maka kita akan membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan suatu
hadis.
17
Mukharrij adalah orang yang menyebutkan suatu hadis dalam kitabnya dengan
mencantumkan sanad yang dia dapat melalui gurunya. Lihat Abdul Majid al-Ghauri, Mu’jam al-
Mushthalahat al-Haditsiyyah, h. 679
18
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah, (Dar al-I’tisham, 1987), h.105
7
sanad yang dimiliki oleh pengarangnya. Namun demikian, kitab ini dapat
membantu proses penelusuran lokasi hadis pada sumber yang dirujuk.19
”جاءكم. 21
19
Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid), h. 59
20
Isma’il bin Muhammad al-Ajluni, Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas, (Damaskus:
Maktabah al-Ilm al-Hadits, 1421 H), h.45
21
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah, h.27
22
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah, h.83
8
A.J. Wensinck, seorang guru besar Bahasa Arab di universitas Leiden. Al-
Mu’jam al-Mufahras memuat indeks kata yang terdapat dalam 9
(sembilan) sumber koleksi hadis, yaitu al-Kutub al-Sittah, Muwatta`,
Musnad Ahmad, dan Musnad al-Darimi.23
”دعي أحدكم إلى الوليمة فليأتهاHasil yang ditemukan adalah hadis tersebut
terdapat di Muwattha’ dalam bab nikah dan musnad Ahmad bin Hanbal.25
asli, maka kita harus merujuk langsung pada kitab hadis asli untuk
mengetahui redaksi lengkap dan sanadnya,
23
Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid), h.82
24
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah, h.83
25
Wensinck, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Gharibah, (Leiden:
Maktabah Brill, 1926), h.10
9
4. Sunan At-Tirmidzi dengan lambang: ت
5. Sunan An-Nasa’i dengan lambang: ن
6. Sunan Ibnu Majjah dengan lambang: جه
7. Sunan Ad-Darimi dengan lambang: دي
8. Al-Muwattha Malik dengan lambang: ط
9. Musnad Ahmad dengan lambang: حل
Kelebihan metode ini adalah dapat mengetahui letak hadis dalam
kitab yang memuatnya secara rinci dan dapat melacak hadis melalui
redaksi manapun, bukan hanya dari kata awal hadis. Akan tetapi jika
menggunakan metode ini, disyaratkan memahami kaidah shorf dengan
baik, karena kitab ini hanya menuliskan bentuk asli suatu kata. Kitab ini
juga tidak mencantumkan shahabat yang meriwayatkan dan terkadang kita
harus mencari dengan beberapa kata kunci,26 karena kata yang kita anggap
“kata kunci” belum tentu tertulis dalam kitab ini.
26
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah, h.84
27
Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid), h.95
10
Akan tetapi jika hadis tersebut berkaitan dengan beberapa tema,
maka sebaiknya diteliti di setiap tema yang terkait. Seperti hadis:
َوإقَام،ش َهادَة أ َ ْن َل إلهَ ّإلَ هللا َوأ َن م َحمدا َرسول هللا َ :علَى َخ ْمس َ ي ْال ْس َلم َ "بن
َ ع إلَ ْيه
"سب ْيل َ َ َو َحج ْالبَيت ل َم ْن ا ْست،ضان
َ طا َ َو، َوإ ْيت َاء الزكا َة،الصلَة
َ ص ْوم َر َم
Hadis ini memuat tema iman, tauhid, shalat, puasa, zakat dan haji, maka
sebaiknya diteliti di seluruh tema tersebut. 28
28
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah, h.84
29
Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid), h.106
11
Contoh menelusuri hadis tentang Nabi Adam dengan kamus Miftah
Kunuz as-Sunnah 30:
30
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Miftah Kunuz as-Sunnah, (Pakistan: Idarah
Tarjan al-Sunnah, 1978), h.1
31
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah, h.151
12
hadis. Jika hadis yang dikaji memiliki ciri dan tanda kepalsuan, maka kita
dapat melakukan penelusuran dalam kitab yang khusus mengumpulkan
hadis palsu, seperti kitab Al-Maudhu’at karya Ibnu al-Jauzy.32 Atau jika
hadis yang dikaji diasosiasikan kepada Allah Ta’ala, atau yang kita kenal
sebagai hadis qudsi, maka kita melakukan penelusuran terhadap kitab atau
literatur yang memuat hadis-hadis qudsî. Atau jika sanad hadisnya ternyata
berupa musalsal, maka kita menelusuri hadisnya dalam kitab yang khusus
mengumpulkan hadis musalsal.
K
elima metode ini dapat digunakan secara bersamaan, atau dipilih salah satu yang
paling memdahkan kita dalam melakukan penelusuran hadis. Kita perlu
menentukan dulu matan atau perkiraan matan untuk kemudian memilih metode
yang akan digunakan.
Selain lima metode atau cara di atas, masih ada tiga lagi cara yang bisa
digunakan untuk menelusuri letak hadis, yaitu penelusuran digital, melalui
internet, dan bertanya kepada pihak yang diangap bisa memberi tahu letak hadis.
Dengan tingginya tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita
dapat melakukan penelusuran hadis melalui program komputer, seperti aplikasi
Maktabah Syamilah. Apalagi mengingat rendahnya kualitas ingatan dan wawasan
32
Mahmud al-Thahan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid), h.129
33
Ibnu al-Jauzy, Al-Maudhu’at, (Madinah: al-maktabah al-Salafiyah, 1966), j.2, h.3
13
hadis yang dimiliki kebanyakan pengaji hadis, penggunaan alat bantu komputer
atau internet akan sangat membantu. Namun kita perlu memastikan ke kitab-kitab
atau literatur hadis versi cetak yang disebut sebagai ”sumber asli”. Hal ini demi
mendapatkan hasil valid, dan menghindari adanya kesalahan yang mungkin terjadi
saat kita mengakses program atau internet.
Cara terakhir adalah dengan bertanya kepada guru dan pakar hadis secara
langsung. Dengan pembacaan yang luas, seorang pakar hadis bisa menyebutkan
literatur yang memuat hadis yang kita cari, atau setidaknya literatur yang diduga
memuat hadis tersebut. Setelah kita mendapatkan jawaban, hendaknya kita
memverifikasi jawaban itu dengan membaca sumber asli hadisnya.
1. Mengetahui kualitas hadis dengan merujuk pada kitab biografi rawi dan
pendapat ulama hadis.
Banyak kitab-kitab biografi rawi yang sudah membahas hukum hadis, baik
shahih ataupun dha’if. Ketika kitab ini menjelaskan biografi rawi,
14
dijelaskan pula hadis yang diriwayatkan olehnya. Jika rawi tersebut
terkenal sering berbohong, maka hadisnya sangat dha’if.34
34
Abdul Mahdi, Thuruq al-Hukm ‘ala al-Hadis bi al-Shihhah aw al-Dha’f, (Pakistan:
Maktabah al-Iman, 2007), h. 205
35
Abdul Mahdi, Thuruq al-Hukm ‘ala al-Hadis bi al-Shihhah aw al-Dha’f, h. 215
36
Isham Ahmad al-Basyir, Ushul Manhaj al-Naqd ‘inda Ahil al-Hadis,(Bairut: Mu’ssasah
al-Rayyan, 1992) h. 92
37
Hamzah Abdullah al-Malibary, Kaifa Nadrus ilma Takhrij al-Hadis, (Urdun: Dar al-Razi,
1998), h. 5
38
Hamzah Abdullah al-Malibary, Kaifa Nadrus ilma Takhrij al-Hadis, h.63
39
Hamzah Abdullah al-Malibary, Kaifa Nadrus ilma Takhrij al-Hadis, h.65
40
Hamzah Abdullah al-Malibary, Kaifa Nadrus ilma Takhrij al-Hadis, h.107
41
Abdul Mahdi, Thuruq al-Hukm ‘ala al-Hadis bi al-Shihhah aw al-Dha’f, h. 223
42
Isham Ahmad al-Basyir, Ushul Manhaj al-Naqd ‘inda Ahil al-Hadis, h.92
15
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Bairut, Mu’assasah al-Risalah,
tt)
Al-Ajluni, Isma’il bin Muhammad, Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas,
(Damaskus: Maktabah al-Ilm al-Hadits, 1421 H)
Al-Ghauri, Abdul Majid, Mu’jam al-Mushthalahat al-Haditsiyyah, (Bairut: Dar
Ibn Katsir, 2007)
Bustamin, Dasar Dasar Ilmu Hadits,(Jakarta: Ushul Press, 2009)
16
Ibnu al-Jauzy, Al-Maudhu’at, (Madinah: al-Maktabah al-Salafiyah, 1966)
Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Daar al-Jail, 1411 H/1991 M)
Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2007)
Mahdi, Abdul, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah, (Dar al-I’tisham, 1987)
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij Wa Dirasah al-Asanid, (Riyadh:
Maktabah al-Maa’rif, 1991)
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Miftah Kunuz as-Sunnah, (Pakistan: Idarah
Tarjan al-Sunnah, 1978)
Shalahuddn, M. Agus. dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2009)
Wensinck, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Gharibah, (Leiden:
Maktabah Brill, 1926)
Abdul Mahdi, Thuruq al-Hukm ‘ala al-Hadis bi al-Shihhah aw al-Dha’f,
(Pakistan: Maktabah al-Iman, 2007)
Isham Ahmad al-Basyir, Ushul Manhaj al-Naqd ‘inda Ahil al-Hadis,(Bairut:
Mu’ssasah al-Rayyan, 1992)
Hamzah Abdullah al-Malibary, Kaifa Nadrus ilma Takhrij al-Hadis, (Urdun:
Dar al-Razi, 1998)
17