Anda di halaman 1dari 16

Ulum al-Hadis : Metode Takhrij Hadis

Makalah

Dipresentasikan Sebagai Tugas Mata kuliah Ulum al-Hadis

Program Pascasarjana (S2) Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

“Oleh”

Asrul

NIM. 80500219002

Dosen Pembimbing:

Dr. La Ode Ismail Ahmad, M.Th.I

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR

2019
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laula al-Sunnah ma fahima ahadun minna al-Qur’an (Seandainya jika tidak

ada Sunnah, maka tak seorangpun diantara kita yang faham al-Qur’an). Statemen

pendek ini adalah ungkapan Imam Abu Hanifah yang menggambarkan betapa

pentingnya peranan Sunnah atau hadis Nabi bagi umat Islam dalam memahami al-

Qur’an bahkan dalam melaksanakan ajaran agama Islam. Tanpa hadist Nabi kita tidak

bisa menerapkan ajaran Islam secara benar. Mengingat begitu pentingnya peranan

Hadist bagi umat Islam, maka sejak dahulu para ulama telah mencurahkan

perhatiannya dalam mengumpulkan dan mempelajari hadist-hadist nabi. Mereka

mengorbankan segala kesungguhan, seperti mengembara ke berbagai daerah yang itu

terkadang dilakukan hanya karena didaerah tersebut didengar ada sebuah hadist Nabi.

Berkat usaha para ulama tersebut, maka hadist-hadist Nabi telah berhasil

dikumpulkan serta dibukukan menjadi khazanah yang sangat berharga bagi umat

Islam.1

Diantara tokoh tokoh yang begitu berjasa dalam melakukan usaha mulia

tersebut adalah al-Bukahri, Muslim, al-Turmuzi, al-Darimi dan lain sebagainya.

Walaupun hadist-hadist Nabi telah dibukukan yang penulisannya sudah lengkap baik

matan maupun sanadnya, pada kenyataanya dalam kehidupan sehari-hari banyak

sekali kita temui baik dalam tulisan maupun ceramah hadist-hadist yang tanpa

identitas (tidak disebutkan rawi dan kolektor serta kualitasnya) Terkadang hanya

Jon Pamil, Jurnal takhrij hadist: langkah awal penelitian hadist; Vol. 37, No.
1

1 Januari-Juni 2012
2

disebutkan potongannya saja tanpa disebutkan rawi pertama serta kolektornya dan

terkadang hanya disebutkan rawi pertama serta kolektornya. Hal ini tentu saja tidak

begitu meyakinkan kita apalagi kalau hadist yang disetir berkenaan dengan masalah

akidah maupun ibadah. Oleh karena itu kita perlu menelusuri hadist tersebut pada

kitab sumbernya yang asli agar kita bisa rnengetahui lafal hadist yang dijumpai secara

lengkap baik matan maupun sanadnya. Menelusuri hadist pada sumber aslinya tidak

bisa dilakukan sembarangan saja tapi perlu metode tersendiri yang sudah dirumuskan

oleh para ahli hadist yang disebut dengan Metode takhrij al-hadist2.

B. Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diperoleh rumusan

permasalahan sebagai berikut:

1. Apa pengertian Takhrij Hadist?

2. Apa Manfaat kegiatan Takhrij al-Hadist?

3. Ada berapa Metode takhrij hadist yang digunakan oleh (Ulama) kolektor

hadist?

2
Jon Pamil, Jurnal takhrij hadist: langkah awal penelitian hadist; hal. 52
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Takhrij Hadist


Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa pengertian takhrij hadis ialah
“Penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis
yang bersangkutan, yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan
sanad hadis”.3 Sementara Mahmud al-Tahhan mendefinisikan takhrij sebagai
“Menunjukkan sumber asli dari suatu hadis, menjelaskan sanadnya dan menerangkan
nilai hadis tersebut jika dianggap perlu”. Maksud menunjukkan sumber asli dari suatu
hadis adalah upaya menyebutkan kitab-kitab hadis yang di dalamnya terdapat hadis
tersebut, seperti ungkapan: akhrajahu al-Bukhari fi Sahihi, atau ungkapan-ungkapan
lainnya. Dan yang dimaksud dengan menjelaskan nilai suatu hadis ialah memberi
penilaian terhadap suatu hadis (sahih, hasan atau da’if). Namun tidak semua kitab
takhrij melakukan penilaian terhadap hadis karena permasalahannya tidak terlalu
mendasar di dalam takhrij.4
Pengertian Takhrij secara terminologi dan yang biasa dipakai oleh ulama hadits
cukup bervariasi. Diantaranya:
1. Mengemukakan hadist kepada orang banyak dengan menyebutkan para
periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadits itu dengan
metode periwayatan yang mereka tempuh.
2. Ulama hadist mengemukakan berbagai hadist yang telah dikemukakan oleh
para guru hadist, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya
dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau

3
Muhammad Syuhudi Isma‟il, Metodologi Penelitian hadits Nabi,( Jakarta:Bulan Bintang,
1992), h. 43.
4
Mahmud Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirosah al-Asanid, (Madinah: Dar al-Kutub al-Salafi,
1978).
4

temannya, atau orang lain dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para
penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. Menunjukkan asal usul hadist dan mengemukakan sumber pengambilannya
dari berbagai kitab hadist yang disusun oleh para mukharrijnya langsung
( para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadist yang mereka
riwayatkan ).
4. Mengemukakan hadist berdasarkan sumbernya seperti kitab-kitab hadist, yang
didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanad-nya masing-masing,
serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualaitas hadistnya.
5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadist pada sumbernya yang
asli, yakni berbagai kitab, yang didalamnya dikemukakan hadist itu secara
lengkap dengan sanad-nya masing- masing, kemudian untuk kepentingan
penelitian, dijelaskan kualita hadist yang bersangkutan.5
Apabila kelima pengertian diatas diperhatikan, maka pengertian yang
dikemukakan pada point pertama merupakan salah satu kegiatan yang telah dilakukan
oleh para periwayat hadist yang menghimpun hadist kedalam kitab hadist yang
mereka susun masing-masing, misalnya Imam al bukhari dengan kitab Sahih-nya,
Imam Muslim dengan kitab sahih-nya dan Abu Dawud dengan kitab sunan-nya.
Pengertian Takhrij yang dikemukakan pada point kedua telah banyak dilakukan oleh
ulama hadist, misalnya oleh imam albaihaqi, yang telah banyak mengambil hadist
dari kitab Al-sunan yang disusun oleh Abu Al-hasan al-Basri al-Saffar, lalu al-
Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.
Pengertian al-Takhrij ketiga banyak dijumpai pada kitab-kitab himpunan
hadist misalnyaBulughul Mar’am karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Sedangkan pada
point keempat pengertian al-Takhrij menjelaskan berbagai hadist yang termuat di
kitab tertentu, misalnya kitab Ihya Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali yang dalam
penjelasannya itu dikemukakan sumber pengambilan tiap-tiap hadist dan kualitasnya

5
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis (Surakarta;
Zadahanifa,2013), h.115.
5

masing-masing. Sedangkan untuk pengertian al-Takhrij pada point kelima adalah


penelusuran atau pencarian hadist pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadist
yang bersangkutan yang didalam sumber itu dikemukakansecara lengkap matan dan
sanad hadist yang bersangkutan.6

B. Manfaat Kegiatan Takhrijul Hadist


Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, tujuan akhir dari takhrijul hadis
adalah untuk mengetahui dan menetapkan kualitas sebuah sanad hadis. Penetapan
kualitas hadis ini akan mempengaruhi status dan kedudukan hadis itu: Apakah ia bisa
dijadikan hujjah atau tidak, dan apakah ia diamalkan atau tidak. Selama proses
takhrij, kita akan mendapat banyak mendapat manfaat faedah yang sangat membantu
kita dalam menilai sebuah hadis.7
Berikut adalah beberapa manfaat yang dapat diperoleh lewat takhrij hadis:
1. Diketahui letak hadis yang dikaji pada sumber-sumber primer,
2. Diketahui apakah asosiasi ungkapan atau perbuatan yang dinyatakan sebagai
sebuah hadis itu benar-benar merupakan sebuah hadis atau bukan,
3. Diketahui kualitas hadis.
4. Dengan membandingkan riwayat-riwayat yang ada, akan diketahui arti kata
yang asing atau gharîbah, kondisi yang melatar belakangi disabdakannya
hadis (asbâb wurûd), kondisi para perawi hadis, adanya kemungkinan hadis
itu direvisi atau merevisi hadis lain (nâsikh wa mansûkh), mendapat
ketersambungan pada sanad yang terjadi keterputusan (inqithâ’),
meningkatkan kualitas sanad dengan adanya dukungan berupa sanad-sanad
lainnya, mendapat kejelasan identitas dan kualitas perawi yang mubham dan
majhûl, menghilangkan akibat yang muncul dari tadlîs, mengidentifikasi dan
mengetahui adanya penambahan sanad yang berasal dari perawi (mudraj dan
6
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis, h. 115.
7
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, (PTIQ Jakarta;) Volume 2 No. 1,
(2016): 13
6

ziyâdah al-tsiqât), mendapati matan secara lengkap dan utuh dari hadis yang
diringkas, mengidentifikasi dan mengetahui mana matan yang diriwayatkan
secara redaksional dan mana yang secara substantif, mendapatkan informasi
tambahan seputar tempat dan waktu terjadinya hadis.8
Berikut contoh manfaat takhrij hadis:
Rasulullah membolehkan seorang laki-laki memandang perempuan yang akan
dinikahinya. Matan hadis yang relevan adalah:
‫إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر إلى ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل‬
Dengan melakukan penelusuran pada sumber asli, kita dapati informasi sebagaimana
berikut ini:
Pertama: Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (al-Sijista ni, n.d., hal. 228),
Ahmad (dua riwayat), al-Hakim (Al-Hakim, 1990, hal. 179), dan lain-lain (Al-
Syaibani, n.d., hal. 334).
Sanad yang dimiliki Abu Dawud:
‫حدثنا مسدد ثنا عبد الواحد بن زايد ثنا محمد بن إحساق عن داود بن حصني عن واقد بن عبدالرمحن يعين ابن سعد بن‬
‫معاذ عن جابر بن عبد هللا‬
Sanad yang dimiliki Ahmad:
‫حدثنا يونس بن محمد ثنا عبد الواحد بن زايد ثنا محمد بن إحساق عن داود بن احلصني عن واقد ابن عبد الرمحن بن سعد‬
‫بن معاذ عن جابر حدثنا يعقوب ثنا أيب عن بن إحساق حدثين داود بن احلصني موىل معرو بن عامثن عن واقد بن معرو بن‬
‫سعد بن معاذ عن جابر بن عبد هللا األنصاري‬
Sanad yang dimiliki al-Hâkim:
‫أخربين أبو بكر محمد بن عبد هللا بن قريش حدثنا احلسن بن سفيان حدثنا محمد بن أيب بكر املقديم أخربين معر بن عيل بن‬
‫مقدم حدثنا محمد بن إحساق عن داود بن احلصني عن واقد بن معرو بن معاذ عن جابر‬
Kedua: Ibn Ishaq meriwayatkan hadis dari Dawud bin Husayn (atau al-Husayn)
dengan ungkapan ’an (riwayat ’an’anah) sementara Ibn Ishâq ini adalah perawi

8
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, hal.16
7

mudallis yang mengindikasikan adanya keterputusan sanad. Yang demikian ini


terdapat dalam riwayat Abu Dawud, Ahmad (dalam salah satu riwayat), dan al-
Hakim. Sementara dalam satu riwayat lain yang dimiliki Ahmad kita dapati Ibn Ishâq
meriwayatkannya dari Dâwud dengan ungkapan haddatsanî sehingga ’an’anah-nya
hilang, yang secara otomatis menghilangkan kesan keterputusan sanad.
Ketiga: Dalam sanad Abû Dâwud dan Ahmad (salah satu riwayatnya) menyatakan
bahwa yang menerima periwayatan dari Jâbir adalah Wâqid bin ’Abdurrahmân. Hal
ini membuat Ibn al-Qathân menilai adanya ’illah karena seharusnya Hadis ini
diriwayatkan oleh Wâqid bin ’Amr. Dengan melihat sanad yang dimiliki al-Hâkim
dan Ahmad (riwayat yang satunya) didapati bahwa yang menerima periwayatan ini
dari Jâbir adalah Wâqid bin ’Amr, sehingga penilaian dha’if dari Ibn al-Qathân
terhadap hadis ini dapat dinafikan.
Keempat: Dalam salah satu riwayat Ahmad didapati keterangan tambahan bahwa
Dâwud bin al-Husayn adalah mawlâ ’Amr bin Utsmân.
Kelima: Pencabangan sanad terjadi setelah Dâwud, sementara perawi di atasnya
hanya memiliki satu jalur, yaitu Wâqid dan Jâbir.
Keenam: Dengan adanya pencabangan sanad, maka kekuatan hadis bertambah karena
semakin banyak pihak yang meriwayatkan sebuah hadis, maka validasi dan
keotentikannya semakin kuat9.
Ketujuh: Dalam sebagian riwayat dinyatakan bahwa kebolehan memandang
perempuan yang hendak dinikahi, hanya boleh kepada sebagian tubuhnya. Sementara
dalam riwayat yang lain dinyatakan secara mutlak (seluruh anggota tubuhnya). Teori
dasar penetapan hukum adalah jika ada nash yang bersifat mutlak atau umum dan ada
nash yang bersifat khusus, maka yang digunakan adalah nash yang khusus. Sehingga
kebolehan memandang perempuan ini hanya berlaku pada sebagian anggota
tubuhnya.

C. Metode Takhrij Al-Hadist


9
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, hal.15
8

Untuk mengetahui secara jelas sebuah hadis beserta sumber-sumbernya, ada


beberapa metode Takhrij yang dapat dipergunakan oleh mereka yang akan
menelusurinya. Metode-metode ini diupayakan oleh para ulama dengan maksud
mempermudah mencari hadist nabi. Para ulama telah banyak mengkodifikasi hadist-
hadist dengan mengaturnya dalam susunan yang berbeda satu dengan yang lainnya,
sekalipun semuanya menyebutkan ahli hadist yang meriwayatkannya. Perbedaan
cara-cara mengumpulkan inilah yang akhirnya menimbulkan ilmu Takhrij. Di antara
mereka ada yang menyusunnya sesuai urutan abjad hijaiyah, disamping itu ada pula
yang menyusunnya sesuai dengan tema hadits, seperti sholat, puasa, zakat dan
sedekah, juga ada yang disusun menurut nama-nama perawi terakhir.10
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapatlah kita katakan bahwa metode-
metode takhrij al-Hadist dapat jabarkan sebagai berikut:
1. Takhrij Menurut Lafal Pertama Hadist.
Metode ini dipakai berdasarkan lafal pertama matan hadist. Metode ini
mengkodifikasi hadist-hadist yang lafal pertamanya sesuai dengan urutan-urutan
hijayyah. Kelebihan dari metode ini adalah memungkinkan bagi penggunanya untuk
dengan cepat menemukan hadist-hadist yang dimaksud. Sedangkan kekurangannya
adalah apabila terdapat kelainan lafal pertama pada sebuah hadist akan berakibat sulit
menemukan hadist yang dicari.11 Jenis kitab yang menggunakan metode ini dibagi
dalam tiga jenis:
a. Al-Masyhurat ‘ala alsinat al-nas, seperti : Al-Maqasid al-Hasanah fi Bayanin
Katsirin al-Hadist al-Mashurah ‘ala Alsinah al-nas karya Muhammad bin
Abdurrahman al-Skhawa (902 H)
b. Al-Kitab allati ruttibat al-hadist fiha ‘ala tartib huruf al-mu’jam (Kitab yang
disusun berdasarkan huruf hijaiyah) jenis kitab ini seperti al-Jami al-Shagir min

10
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis, h.120.
11
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis, h.120.
9

hadis al-Basyir al-Nazir karya jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi
(911 H).
Al-Mafatih atau al-fahrasat, seperti Miftah Al- Sahih

2. Takhrij Hadist melalui Perawi pertama (rawi di tingkat sahabat)

Banyak dijumpai baik dalam karangan maupun dalam ceramah, suatu Hadist
yang dikutip biasanya disebutkan perawi pertama sebelum matan Hadist kemudian
kolektornya setelah matan Hadist atau keduanya diletakkan setelah matan Hadist.
Kalau dijumpai Hadist seperti demikian, maka salah satu cara mentakhrijnya adalah
dengan melalui perawi pertama tersebut. Dalam melakukan takhrij dengan metode ini
ada tiga jenis kitab Hadist yang akan sangat nenbantu sebagai berikut:

a. Kitab-kita musnad
Yang disebut kitab musnad adalah kitab Hadist yang penyusunannya berdasarkan
sanad pada tingkat sahabat. Pengarang kitab musnad tersebut mengumpulkan Hadist-
Hadist yang diriwayatkan oieh masingmasing sahabat secara terpisah. Urutan nama-
nama sahabat didalam kitab-kitab musnad beraneka ragam. Ada yang berdasarkan
urutan huruf hijaiyah, ada berdasarkan urutan waktu masuk Islamnya para sahabat,
ada yang berdasarkan suku dan ada pula yang berdasarkan negeri asal sahabat dan
sebagainya. Jumlah kitab-kitab musnad banyak sekali namun ada sepuluh yang sangat
terkenal yaitu (1) Musnad Ahmad ibn Hambal (W. 241 H), (2) Musnad Abu Bakr al--
Humaidi (W. 219 H), (3) Musnad Abu Daud al-Thayalisy (W. 204 H), (4) Musnad
Ahmad ibn Musa al-Umawy (W....), (S) Musnad Musaddad al- Basliary (W. 228 H),
(6) Musnad Nu’aim ibn Himad, (7) Musnad ‘Ubaidilllah al-Absy, (8) Musnad Abu
Khaitasamah Zuhair ibn Harb, (9) Musnad Abu Ya’la al-Maushuly, (10) Musnad
‘Abd ibn Humaid12.
b. Mu’jam-mu’jam hadist.

12
Jon Pamil, Jurnal Langkah awal penelitian Hadist Vol. 37, No. 1 Januari-Juni 2012 hal. 59
10

Yang dimaksud dengan mu’jam dalam terminologi ahli Hadist adalah kitab yang
didalamnya Hadist-Hadist Nabi disusun berdasarkan sanad-sanad ditingkat sahib atau
berdasarkan para Syuyukh (kolektor) negeri asal sanad dan sebagainya. Diantara
mu’jam Hadist tersebut adalah,
(1) al-Mu’jam al-Kabir karya Abu Qasim al-Thabrani (W.360 H),
(2) al-Mu’jam al-Aushat, juga karya Abu Qasim al-Thabrani (W.360 H),
(3) al-Mu’jam al-Shaghir, juga karangan Abu Qasim al-Thabrani (W.360 H),
(4) Mu’jam al-Shahabah karya Ahmad ibn ‘Ali al-Hamdani (W. 398),
(5) Mu’jam al-Shahabah karya Abu Ya’la al-Maushuli (W.307 H)
c. Kitab-kitab Athraf.
Yang dimaksud dengan kitab-kitab athraf adalah suatu jenis kitab hadist, dimana
hadist-hadist yang dimuat hanyalah potongan-potongannya saja kemudian disertai
dengan dengan sanad-sanadnya baik berdasarkan penelitian pengarang maupun
dinisbahkan pada kitab-kitab tertentu. Sebahagian pengarang kitab jenis ini
menyebutkan keseluruhann sanad dan sebahagian hanya menyebutkan kolektornya
saja13. Diantara kitab-kitab Athra tersebut adalah:
(1) Athraf al-Shahihaini karya Abu Mas’ud al-Dimasyqi (W. 401 H),
(2) Athraf al-Shahihaini karya Abu Muhammad al--Wasithy (W.4010 H), a1-Ayraf
`Ala Ma’rifati al-Athraf (untuk Sunan al-Arba’ah) karya Ibn ‘Askaru (570 H),
(4) Tuhfatu al-Asyraf bi Ma’rifati al-Athraf (untuk Kutub al-tis’ah) karya al-Hafizh
Abi al-Hajjaj al-Mazyi (W. 852 H)

3. Takhrij melalui tema-tema Hadist.


Takhrij Hadist dengan metode ini didasarkan pada pengenalan tema suatu
Hadist yang ingin ditakhrij. Dengan demikian, maka metode ini hanya efektif
digunakan oleh orang yang punya kemampuan dalam mengidentifikasi tema Hadist.
13
Jon Pamil, Jurnal Langkah awal penelitian Hadist Vol. 37, No. 1 Januari-Juni 2012 hal. 59
11

Dalam menerapkan metode ini tentu saja langkah pertama yang dilakukan seorang
pentakhrij adalah menetapkan tema Hadist yang akan ditakhrij. Setelah itu barulah
menelusuri hadist tersebut baik dengan mempergunakan kamus hadist maupun
lansung pada kitab-kitab hadist maupun kitab-kitab lainnya yang menuliskan hadist
berdasarkan tema-tema tertentu. Menurut Abd al-Mahdi seluruh kitab-kitab yang
hadist-hadistnya berdasarkan tema-tema, berarti bisa digunakan untuk menelusuri
Hadist dengan memakai metode ini14. Sebagai contoh hadis yang dikaji memuat tata
cara melaksanakan puasa, maka penelusuran dapat dilakukan pada kitab sunan. Jika
hadis yang dikaji memuat anjuran berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, maka
penelusuran dapat dilakukan dalam kitab atau literatur yang khusus mengoleksi hadis
tentang targîb wa tarhîb.15

4. Metode Penelusuran Berdasarkan Kondisi Matan atau Sanad

Beberapa kitab atau literatur mengoleksi hadis yang memiliki kekhasan


tersendiri. Kekhasan itu bisa ada dalam sanad maupun matan hadis. Jika hadis yang
dikaji memiliki ciri dan tanda kepalsuan, maka kita dapat melakukan penelusuran
dalam kitab yang khusus mengumpulkan hadis palsu. Atau jika hadis yang dikaji
diasosiasikan kepada Allah Ta’ala, atau yang kita kenal sebagai hadisqudsî, maka kita
melakukan penelusuran terhadap kitab atau literatur yang memuat hadis-hadis qudsî.
Kemudian jika sanad hadisnya terdapat periwayatan bapak dari anak (riwâyah al-
âbâ` ’an al-abnâ`), maka kita melakukan penelusuran dalam kitab yang khusus
mengoleksi hadis-hadis periwayatan bapak dari anak. Jika sanad hadisnya ternyata
berupa musalsal, maka kita menelusuri hadisnya dalam kitab yang khusus
mengumpulkan hadis musalsal.

5. Metode Indeks Nama Sahabatnya


Metode ini digunakan ketika nama perawi sahabatnya diketahui. Pengguna
metode ini harus meyakini terlebih dahulu sosok sahabat yang meriwayatkan hadis
14
Jon Pamil, Jurnal Langkah awal penelitian Hadist Vol. 37, No. 1 Januari-Juni 2012 hal. 59
15
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, hal. 158
12

yang akan ditakhrij. Untuk kemudian melakukan penelusuran hadis pada buku atau
literatur yang metodologi penulisan hadisnya berdasarkan urutan nama-nama
shahabat. Metode ini berlaku pada kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf16.
Kelima metode ini dapat digunakan secara bersamaan, atau dipilih salah satu
yang paling memudahkan kita dalam melakukan penelusuran hadis. Kita perlu
menentukan dulu matan atau perkiraan matan untuk kemudian memilih metode yang
akan digunakan. Dengan tingginya tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kita dapat melakukan penelusuran hadis melalui program komputer.
Penggunaan teknologi modern dalam melakukan kajian hadis tentu bukanlah sebuah
aib. Apalagi mengingat rendahnya kualitas dhabth dan wawasan hadis yang dimiliki
kebanyakan pengkaji hadis, penggunaan alat bantu komputer atau internet akan
sangat membantu. Namun kita perlu melakukan cross check atau konfirmasi ke kitab-
kitab atau literatur hadis yang ”manual” yang disebut sebagai ”sumber asli”17.

Hal ini demi mendapatkan hasil yang faktual dan valid, dan untuk menghindari
adanya kesalahan yang mungkin terjadi saat kita mengakses program atau internet.
Cara terakhir adalah dengan bertanya kepada guru dan pakar hadis secara langsung.
Dengan pembacaan yang luas, seorang pakar hadis bisa menyebutkan literatur yang
memuat hadis yang kita cari, atau setidaknya literatur yang diduga memuat hadis
tersebut. Setelah kita mendapatkan jawaban, hendaknya kita memverifikasi jawaban
itu dengan membaca sumber asli hadisnya.

Yang perlu diingat adalah bahwa kajian hadis adalah bagian dari ibadah. Sehingga
seorang pengkaji hadis hendaknya selalu berusaha dekat dengan Allah. Dalam
beberapa literatur kita dapati kisah orang yang menelusuri letak hadis dan meneliti
kualitasnya selalu melakukan shalat sunnah dan berdoa agar diberikan ”ilham”. Ada
juga cerita orang yang kesulitan menelusuri letak hadis, lalu ia memperbanyak shalat
sunnah sehingga ia mendapatkan jawaban atau apa yang beluam diketahuinya18.
16
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, hal. 158
17
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, hal. 158
18
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, hal. 158
13

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari beberapa hal yang telah disampaikan diatas, maka penulis dapat menarik
kesimpulan bahwa:
14

1. pengertian takhrij hadis ialah “Penelusuran atau pencarian hadis pada


berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan, yang di
dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis”
2. Manfaat dari takhrij hadist sendiri adalah untuk mengetahui dan
menetapkan kualitas sebuah sanad hadist. Penetapan kualitas hadis ini
akan mempengaruhi status dan kedudukan hadis itu, Apakah ia bisa
dijadikan hujjah atau tidak, dan apakah ia diamalkan atau tidak. Selama
proses takhrij, kita akan mendapat banyak mendapat manfaat faedah yang
sangat membantu kita dalam menilai sebuah hadis.
3. Ada banyak cara atau metode dalam mentahkhrij hadist, namun yang
sempat diuraikan oleh penulis ada lima yakni, Takhrij Menurut Lafal
Pertama Hadist, Takhrij Hadist melalui Perawi pertama (rawi di tingkat
sahabat), . Takhrij melalui tema-tema Hadist, Metode Penelusuran
Berdasarkan Kondisi Matan atau Sanad, Metode Indeks Nama Sahabatnya

B. Saran
kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan, maka dari itu, kami memohon kepada dosen pembimbing dan
teman-teman yang lebih ahli dalam memahami takhrij hadist dapat
memberikan masukan dan kritikan yang membangun kepada pemakalah.

DAFTAR PUSTAKA
Pamil Jon, Jurnal takhrij hadist: langkah awal penelitian hadist; Vol. 37, No.
1 Januari-Juni 2012

Isma‟il Syuhudi Muhammad, Metodologi Penelitian hadits Nabi,(


Jakarta:Bulan Bintang, 1992), h. 43.
15

Tahhan Mahmud, Usul al-Takhrij wa Dirosah al-Asanid, (Madinah: Dar al-


Kutub al-Salafi, 1978).
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis (Surakarta;
Zadahanifa,2013), h.115.
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, (PTIQ Jakarta;)
Volume 2 No. 1, (2016): 13

Anda mungkin juga menyukai