Makalah
“Oleh”
Asrul
NIM. 80500219002
Dosen Pembimbing:
PROGRAM PASCASARJANA
2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ada Sunnah, maka tak seorangpun diantara kita yang faham al-Qur’an). Statemen
pendek ini adalah ungkapan Imam Abu Hanifah yang menggambarkan betapa
pentingnya peranan Sunnah atau hadis Nabi bagi umat Islam dalam memahami al-
Qur’an bahkan dalam melaksanakan ajaran agama Islam. Tanpa hadist Nabi kita tidak
bisa menerapkan ajaran Islam secara benar. Mengingat begitu pentingnya peranan
Hadist bagi umat Islam, maka sejak dahulu para ulama telah mencurahkan
terkadang dilakukan hanya karena didaerah tersebut didengar ada sebuah hadist Nabi.
Berkat usaha para ulama tersebut, maka hadist-hadist Nabi telah berhasil
dikumpulkan serta dibukukan menjadi khazanah yang sangat berharga bagi umat
Islam.1
Diantara tokoh tokoh yang begitu berjasa dalam melakukan usaha mulia
Walaupun hadist-hadist Nabi telah dibukukan yang penulisannya sudah lengkap baik
sekali kita temui baik dalam tulisan maupun ceramah hadist-hadist yang tanpa
identitas (tidak disebutkan rawi dan kolektor serta kualitasnya) Terkadang hanya
Jon Pamil, Jurnal takhrij hadist: langkah awal penelitian hadist; Vol. 37, No.
1
1 Januari-Juni 2012
2
disebutkan potongannya saja tanpa disebutkan rawi pertama serta kolektornya dan
terkadang hanya disebutkan rawi pertama serta kolektornya. Hal ini tentu saja tidak
begitu meyakinkan kita apalagi kalau hadist yang disetir berkenaan dengan masalah
akidah maupun ibadah. Oleh karena itu kita perlu menelusuri hadist tersebut pada
kitab sumbernya yang asli agar kita bisa rnengetahui lafal hadist yang dijumpai secara
lengkap baik matan maupun sanadnya. Menelusuri hadist pada sumber aslinya tidak
bisa dilakukan sembarangan saja tapi perlu metode tersendiri yang sudah dirumuskan
oleh para ahli hadist yang disebut dengan Metode takhrij al-hadist2.
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka dapat diperoleh rumusan
3. Ada berapa Metode takhrij hadist yang digunakan oleh (Ulama) kolektor
hadist?
2
Jon Pamil, Jurnal takhrij hadist: langkah awal penelitian hadist; hal. 52
3
BAB II
PEMBAHASAN
3
Muhammad Syuhudi Isma‟il, Metodologi Penelitian hadits Nabi,( Jakarta:Bulan Bintang,
1992), h. 43.
4
Mahmud Tahhan, Usul al-Takhrij wa Dirosah al-Asanid, (Madinah: Dar al-Kutub al-Salafi,
1978).
4
temannya, atau orang lain dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para
penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. Menunjukkan asal usul hadist dan mengemukakan sumber pengambilannya
dari berbagai kitab hadist yang disusun oleh para mukharrijnya langsung
( para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadist yang mereka
riwayatkan ).
4. Mengemukakan hadist berdasarkan sumbernya seperti kitab-kitab hadist, yang
didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanad-nya masing-masing,
serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualaitas hadistnya.
5. Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadist pada sumbernya yang
asli, yakni berbagai kitab, yang didalamnya dikemukakan hadist itu secara
lengkap dengan sanad-nya masing- masing, kemudian untuk kepentingan
penelitian, dijelaskan kualita hadist yang bersangkutan.5
Apabila kelima pengertian diatas diperhatikan, maka pengertian yang
dikemukakan pada point pertama merupakan salah satu kegiatan yang telah dilakukan
oleh para periwayat hadist yang menghimpun hadist kedalam kitab hadist yang
mereka susun masing-masing, misalnya Imam al bukhari dengan kitab Sahih-nya,
Imam Muslim dengan kitab sahih-nya dan Abu Dawud dengan kitab sunan-nya.
Pengertian Takhrij yang dikemukakan pada point kedua telah banyak dilakukan oleh
ulama hadist, misalnya oleh imam albaihaqi, yang telah banyak mengambil hadist
dari kitab Al-sunan yang disusun oleh Abu Al-hasan al-Basri al-Saffar, lalu al-
Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.
Pengertian al-Takhrij ketiga banyak dijumpai pada kitab-kitab himpunan
hadist misalnyaBulughul Mar’am karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Sedangkan pada
point keempat pengertian al-Takhrij menjelaskan berbagai hadist yang termuat di
kitab tertentu, misalnya kitab Ihya Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali yang dalam
penjelasannya itu dikemukakan sumber pengambilan tiap-tiap hadist dan kualitasnya
5
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis (Surakarta;
Zadahanifa,2013), h.115.
5
ziyâdah al-tsiqât), mendapati matan secara lengkap dan utuh dari hadis yang
diringkas, mengidentifikasi dan mengetahui mana matan yang diriwayatkan
secara redaksional dan mana yang secara substantif, mendapatkan informasi
tambahan seputar tempat dan waktu terjadinya hadis.8
Berikut contoh manfaat takhrij hadis:
Rasulullah membolehkan seorang laki-laki memandang perempuan yang akan
dinikahinya. Matan hadis yang relevan adalah:
إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر إلى ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل
Dengan melakukan penelusuran pada sumber asli, kita dapati informasi sebagaimana
berikut ini:
Pertama: Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (al-Sijista ni, n.d., hal. 228),
Ahmad (dua riwayat), al-Hakim (Al-Hakim, 1990, hal. 179), dan lain-lain (Al-
Syaibani, n.d., hal. 334).
Sanad yang dimiliki Abu Dawud:
حدثنا مسدد ثنا عبد الواحد بن زايد ثنا محمد بن إحساق عن داود بن حصني عن واقد بن عبدالرمحن يعين ابن سعد بن
معاذ عن جابر بن عبد هللا
Sanad yang dimiliki Ahmad:
حدثنا يونس بن محمد ثنا عبد الواحد بن زايد ثنا محمد بن إحساق عن داود بن احلصني عن واقد ابن عبد الرمحن بن سعد
بن معاذ عن جابر حدثنا يعقوب ثنا أيب عن بن إحساق حدثين داود بن احلصني موىل معرو بن عامثن عن واقد بن معرو بن
سعد بن معاذ عن جابر بن عبد هللا األنصاري
Sanad yang dimiliki al-Hâkim:
أخربين أبو بكر محمد بن عبد هللا بن قريش حدثنا احلسن بن سفيان حدثنا محمد بن أيب بكر املقديم أخربين معر بن عيل بن
مقدم حدثنا محمد بن إحساق عن داود بن احلصني عن واقد بن معرو بن معاذ عن جابر
Kedua: Ibn Ishaq meriwayatkan hadis dari Dawud bin Husayn (atau al-Husayn)
dengan ungkapan ’an (riwayat ’an’anah) sementara Ibn Ishâq ini adalah perawi
8
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, hal.16
7
10
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis, h.120.
11
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Pengantar Ilmu Hadis, h.120.
9
hadis al-Basyir al-Nazir karya jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi
(911 H).
Al-Mafatih atau al-fahrasat, seperti Miftah Al- Sahih
Banyak dijumpai baik dalam karangan maupun dalam ceramah, suatu Hadist
yang dikutip biasanya disebutkan perawi pertama sebelum matan Hadist kemudian
kolektornya setelah matan Hadist atau keduanya diletakkan setelah matan Hadist.
Kalau dijumpai Hadist seperti demikian, maka salah satu cara mentakhrijnya adalah
dengan melalui perawi pertama tersebut. Dalam melakukan takhrij dengan metode ini
ada tiga jenis kitab Hadist yang akan sangat nenbantu sebagai berikut:
a. Kitab-kita musnad
Yang disebut kitab musnad adalah kitab Hadist yang penyusunannya berdasarkan
sanad pada tingkat sahabat. Pengarang kitab musnad tersebut mengumpulkan Hadist-
Hadist yang diriwayatkan oieh masingmasing sahabat secara terpisah. Urutan nama-
nama sahabat didalam kitab-kitab musnad beraneka ragam. Ada yang berdasarkan
urutan huruf hijaiyah, ada berdasarkan urutan waktu masuk Islamnya para sahabat,
ada yang berdasarkan suku dan ada pula yang berdasarkan negeri asal sahabat dan
sebagainya. Jumlah kitab-kitab musnad banyak sekali namun ada sepuluh yang sangat
terkenal yaitu (1) Musnad Ahmad ibn Hambal (W. 241 H), (2) Musnad Abu Bakr al--
Humaidi (W. 219 H), (3) Musnad Abu Daud al-Thayalisy (W. 204 H), (4) Musnad
Ahmad ibn Musa al-Umawy (W....), (S) Musnad Musaddad al- Basliary (W. 228 H),
(6) Musnad Nu’aim ibn Himad, (7) Musnad ‘Ubaidilllah al-Absy, (8) Musnad Abu
Khaitasamah Zuhair ibn Harb, (9) Musnad Abu Ya’la al-Maushuly, (10) Musnad
‘Abd ibn Humaid12.
b. Mu’jam-mu’jam hadist.
12
Jon Pamil, Jurnal Langkah awal penelitian Hadist Vol. 37, No. 1 Januari-Juni 2012 hal. 59
10
Yang dimaksud dengan mu’jam dalam terminologi ahli Hadist adalah kitab yang
didalamnya Hadist-Hadist Nabi disusun berdasarkan sanad-sanad ditingkat sahib atau
berdasarkan para Syuyukh (kolektor) negeri asal sanad dan sebagainya. Diantara
mu’jam Hadist tersebut adalah,
(1) al-Mu’jam al-Kabir karya Abu Qasim al-Thabrani (W.360 H),
(2) al-Mu’jam al-Aushat, juga karya Abu Qasim al-Thabrani (W.360 H),
(3) al-Mu’jam al-Shaghir, juga karangan Abu Qasim al-Thabrani (W.360 H),
(4) Mu’jam al-Shahabah karya Ahmad ibn ‘Ali al-Hamdani (W. 398),
(5) Mu’jam al-Shahabah karya Abu Ya’la al-Maushuli (W.307 H)
c. Kitab-kitab Athraf.
Yang dimaksud dengan kitab-kitab athraf adalah suatu jenis kitab hadist, dimana
hadist-hadist yang dimuat hanyalah potongan-potongannya saja kemudian disertai
dengan dengan sanad-sanadnya baik berdasarkan penelitian pengarang maupun
dinisbahkan pada kitab-kitab tertentu. Sebahagian pengarang kitab jenis ini
menyebutkan keseluruhann sanad dan sebahagian hanya menyebutkan kolektornya
saja13. Diantara kitab-kitab Athra tersebut adalah:
(1) Athraf al-Shahihaini karya Abu Mas’ud al-Dimasyqi (W. 401 H),
(2) Athraf al-Shahihaini karya Abu Muhammad al--Wasithy (W.4010 H), a1-Ayraf
`Ala Ma’rifati al-Athraf (untuk Sunan al-Arba’ah) karya Ibn ‘Askaru (570 H),
(4) Tuhfatu al-Asyraf bi Ma’rifati al-Athraf (untuk Kutub al-tis’ah) karya al-Hafizh
Abi al-Hajjaj al-Mazyi (W. 852 H)
Dalam menerapkan metode ini tentu saja langkah pertama yang dilakukan seorang
pentakhrij adalah menetapkan tema Hadist yang akan ditakhrij. Setelah itu barulah
menelusuri hadist tersebut baik dengan mempergunakan kamus hadist maupun
lansung pada kitab-kitab hadist maupun kitab-kitab lainnya yang menuliskan hadist
berdasarkan tema-tema tertentu. Menurut Abd al-Mahdi seluruh kitab-kitab yang
hadist-hadistnya berdasarkan tema-tema, berarti bisa digunakan untuk menelusuri
Hadist dengan memakai metode ini14. Sebagai contoh hadis yang dikaji memuat tata
cara melaksanakan puasa, maka penelusuran dapat dilakukan pada kitab sunan. Jika
hadis yang dikaji memuat anjuran berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, maka
penelusuran dapat dilakukan dalam kitab atau literatur yang khusus mengoleksi hadis
tentang targîb wa tarhîb.15
yang akan ditakhrij. Untuk kemudian melakukan penelusuran hadis pada buku atau
literatur yang metodologi penulisan hadisnya berdasarkan urutan nama-nama
shahabat. Metode ini berlaku pada kitab-kitab musnad, mu’jam dan athraf16.
Kelima metode ini dapat digunakan secara bersamaan, atau dipilih salah satu
yang paling memudahkan kita dalam melakukan penelusuran hadis. Kita perlu
menentukan dulu matan atau perkiraan matan untuk kemudian memilih metode yang
akan digunakan. Dengan tingginya tingkat perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, kita dapat melakukan penelusuran hadis melalui program komputer.
Penggunaan teknologi modern dalam melakukan kajian hadis tentu bukanlah sebuah
aib. Apalagi mengingat rendahnya kualitas dhabth dan wawasan hadis yang dimiliki
kebanyakan pengkaji hadis, penggunaan alat bantu komputer atau internet akan
sangat membantu. Namun kita perlu melakukan cross check atau konfirmasi ke kitab-
kitab atau literatur hadis yang ”manual” yang disebut sebagai ”sumber asli”17.
Hal ini demi mendapatkan hasil yang faktual dan valid, dan untuk menghindari
adanya kesalahan yang mungkin terjadi saat kita mengakses program atau internet.
Cara terakhir adalah dengan bertanya kepada guru dan pakar hadis secara langsung.
Dengan pembacaan yang luas, seorang pakar hadis bisa menyebutkan literatur yang
memuat hadis yang kita cari, atau setidaknya literatur yang diduga memuat hadis
tersebut. Setelah kita mendapatkan jawaban, hendaknya kita memverifikasi jawaban
itu dengan membaca sumber asli hadisnya.
Yang perlu diingat adalah bahwa kajian hadis adalah bagian dari ibadah. Sehingga
seorang pengkaji hadis hendaknya selalu berusaha dekat dengan Allah. Dalam
beberapa literatur kita dapati kisah orang yang menelusuri letak hadis dan meneliti
kualitasnya selalu melakukan shalat sunnah dan berdoa agar diberikan ”ilham”. Ada
juga cerita orang yang kesulitan menelusuri letak hadis, lalu ia memperbanyak shalat
sunnah sehingga ia mendapatkan jawaban atau apa yang beluam diketahuinya18.
16
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, hal. 158
17
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, hal. 158
18
Andi Rahman, Jurnal Pengenalan Atas Takhrij Hadist, hal. 158
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari beberapa hal yang telah disampaikan diatas, maka penulis dapat menarik
kesimpulan bahwa:
14
B. Saran
kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat banyak
kekurangan, maka dari itu, kami memohon kepada dosen pembimbing dan
teman-teman yang lebih ahli dalam memahami takhrij hadist dapat
memberikan masukan dan kritikan yang membangun kepada pemakalah.
DAFTAR PUSTAKA
Pamil Jon, Jurnal takhrij hadist: langkah awal penelitian hadist; Vol. 37, No.
1 Januari-Juni 2012