Anda di halaman 1dari 5

Takhrij Hadist

Makalah ini di tulis guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Al-Qur’an

Dosen pengempu:
Ahmad Ashkabul Kahfi, M.Ag.

Disusun oleh:
206210098 Muhammad Bagus Al Karror

PROGAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2021/2022

A. Latar Belakang
Hadist merupakan sumber merupakan hukum umat islam yang kedua
setelah Al-Qur’an, karena hadist merupakan sumber hukum maka umat islam
hendaknya mempelajari. Dengan kita menyakiti dan mengamalkannya, akan
membawa kita kepada keridhoan Allah SWT. Bahwasanya umat islam dianjurkan
untuk membaca supaya pengetahuan kamu bertambah, maka dari itu sebagai umat
islam kita harus belajar untuk memahami dan mengetahui isi kandungan hadist
dari Rasulullah SAW serta mengamalkannya kepada generasi-generasinya, karena
dengan mempelajarinya berati kita melestarikan hadist dari Rasulullah SAW

Mayoritas hadist justru diriwayatkan secara individu (Ahad) atau beberapa


orang saja sehingga tidak mencapai nilai mutawatir. Hadist yang diterima secara
mutawatir dapat diterima secara aklamasi sebagai hujjah tanpa penilaian sifat-sifat
individu para perawinya, seperti sifat adil, cerdas, memiliki ingatan yang kuat,
atau mudah hafal karena kualitas kolektivitas tersebut sudah memiliki kualifikasi
objektivitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan hadist ahad,
para periwayat dalam dalam sanad harus memliki kredibilitas yang dapat
dipertanggungjawabkan, seperti sanad yang harus bersambung(ittishal) serta
periwayatnya harus adil( adelah) dan memiliki hafalan kuat(dhabith). Oleh karena
itu, para periwayat hadist ahad harus detiliti sifat-sifatnya agar dapat memenuhi
kriteria hadist shahih
B. Definisi Takhrij
Secara etimologis takhrj berasal dari akar kata kharraja yang memiliki
beberapa makna, di antaranya berarti: melatih(al-tadrib), mengajarkakn (al-
ta’lim), menyimpulkan(al-istinbat), mengarahkan(al-taujih), memperlihatkan(al-
izhar), dan menampakkan(al-ibraz)1
Sedangkan menurut para ahli hadist secara umum tema takhrij setidaknya
dipergunakan untuk tiga hal, yaitu:
1. Takhrij adalah sinonim dari tema ikhraj, berarti menampakkan
hadist kepada orang lain dengan menyebutkan tempat
pengambilannya, yaitu sanad atau transmisi para perawinya
2. Takhrij adalah mengeluarkan hadist dan meriwayatkannya dari
kitab-kita
3. Takhrij adlah dalalah, maksudnya menunjukkan sumber-sumer asli
atau primer hadist dan menyandarkakn kepadanya, yaitu dengan
menyebutkan penyusun yang pernah meriwayatkannya2
Berdasarkan definisi yang banyak dipakai dari takhrij secara terminologis,
ada beberapa hal yang penting yang dapat disimpulkan3:
1. “Menunjukkan tempat atau letak hadist...” maksudnya
menyebutkan kitab-kitab yang memuat hadist.
Didalamnya kitab tersebut biasanya terdapat ungkapan, bahwa hadist
tersebut ditakhrij (dikeluarkan) oleh al-Bukhari dalam shahinya.
2. “...pada sumber-sumber primerya...”, maksudnya kitab-kitab
sebagai berikut:
a) Kitab-kitab sunnah yang dihimpun penyusunya setelah
menerima langsung dari guru-gurunya berikut sanad-
sanadnya yang bersambung hingga sampai pada Nabi SAW

1
al-Thahhan, Mahmud. Ushul al-Takhrij wa Dirasah al-asanid. Maktabah al-
Ma’arif:Riyadh, 1996, hlm.7-8 Bkkar, Muhammad Mahmud. ‘Ilm Takhrij al-Ahadist (Ushuluhi,
Thara’iquhu, Manahijuhu). Dar Thayyibah: Riyadh, 1997, hlm. 10. Jum’ah ‘Imad ‘Ali. Ushul al-
Takhrij wa Darasah al Asanid al Muyassarah. Dar al-Muslim: Riyadh, 2004, hlm 5.
2
al- Thahah, hlm 8-10
3
al-Thahhan, Mahmud, Ushul al-Takhrij wa Dirasah aL-Asanid. Maktabah al-Ma’arif:
Riyadh, 1996, hlm. 10-12
Seperti kitab-kkitab induk hadist yang enam(al-khutub al-
sittah); Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, Mustdrak al-
Hakim, Mushannaf ‘Abdur Razzaq, dan lainya
b) Kitab-kitab sunnah pendamping (kutub al-sunnah al-tabi’ah)
bagi kitab-kitab primer di atas. Seperti kitab yang
menghimpun sejulah kitab induk tersebut di atas, misalnya
kitab al-Jam’ baina al-Shahhain karya al-Humaidi, atau
kitab yang menghimpun hadist hadist yang disebut awal
matanya saja (al-athraf), misalnya kitab Tuhfah al-Asyraf bin
Ma’rifah al-Athraf karya al-Mizzi, atau kitab ringkasan dari
sejumlah kitab sunnah, seperti kitab Tahdzib Sunan Abi
Dawud karya al-Mundziri
c) Kitab-kitab yang berhubungan dengan disiplin ilmu lain
seperti tafsir, fikih dan sejarah, yang diperkuat oleh hadist-
hadist. Dengan syarat, penyusunannya meriwayatkanya
dengan sanad-sanadnya secara mandiri atau independen.
Maksudnya, ia tidak mengambilnya dari kitab-kitab lain yang
telah disusun sebelumnya. Misalnya Tafsir al-Thabri dan
sejarahnya dan kitab al-Umm karya al-Syafi’i,
Kitab-kitab ini tidak dikhusukan oleh penyusunya untuk
menghimpun teks-teks sunnah, mereka menyusun berkaitan
dengan disiplin ilmu lain, tetapi mereka memperkuat hukum-
hukum ataupun hal lainya dengan hadist-hadist yang mereka
riwayatkan dari guru-guru mereka dengan sanad0sanadnya,
dan tidak mengambilnya dari kitab-kitab lain yang sudah
lebih duluan ada.
Adapun kitab-kitab yang menghimpun hadist-hadist bukan
dengan menerima langsung dari guru-gurunya, tetapi dari
kitab-kitab yang sudah ada; menurut terminologis disipplin
ilmu takhrij, maka kitab-kitab semacam ini tidak dianggap
sebagai sumber primer. Contohnya seperti kitab Bulugh al-
Maram min Adilllah al-Ahkam karya Ibnu Hajar r.a dan
Riyadh al-Shalihin karya al-Nabawi r.a. meskipun demikina,
kitab-kitab semacam ini cukup membantu dan bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai