Anda di halaman 1dari 4

Pengertian Takhrij Hadis

Menurut bahasa, takhrij berasal dari fi'il madli kharaja (‫ )خرج‬yang berarti mengeluarkan. Kata
tersebut merupakan bentuk imbuhan dari kata dasar khuruj (‫ )خورج‬yang berasal dari kata
kharaja(‫ )خرج‬yang berarti keluar. Kata al-takhrij sering dimutlakkan pada beberapa macam
pengertian dan pengertian yang popular untuk kata al-takhrij itu ialah: (1) al-istimbat (hal
mengeluarkan); (2) al-tadrib (hal melatih atau hal pembiasan); dan (3) al-taujih (hal
memperhadapkan). Menurut istilah dan yang biasa dipakai oleh ulama hadis, kata al-takhrij
mempunyai beberapa arti:

 Mengemukakan hadis kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya di


dalam sanad yang menyampaikan hadis itu, berikut metode periwayatan yang
ditempuhnya.
 Ulama hadis mengemukakan berbagai hadis yang telah dikemukakan oleh para guru
hadis, atau berbagai kitab, atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan
riwayatnya sendiri, atau para gurunya, atau temannya, atau orang lain, dengan
menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang
dijadikan sumber pengambilan.
 Menunjukkan asal-usul hadis dan mengemukakan sumber pengambilannya dari
berbagai kitab hadis yang disusun oleh para mukharijnya langsung—yakni para
periwayat yang menjadi penghimpun bagi hadis yang mereka riwayatkan.
 Mengemukakan hadis berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber, yakni kitab-kitab
hadis, yang di dalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya, serta
diterangkan pula keadaan para periwayat dan kualitas hadisnya.
 Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis dari sumbernya yang asli, yakni
berbagai kitab, yang di dalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanad-
nya masing-masing. Lalu, untuk kepentingan penelitian, dijelaskan pula kualitas hadis
yang bersangkutan.

Di antara lima pengertian al-takhrij di atas, pertama merupakan salah satu kegiatan yang telah
dilakukan oleh para periwayat hadis. Mereka menghimpun hadis ke dalam kitab hadis yang
disusunnya. Misalnya, Imam al-Bukhari dengan kitab Shahihnya; Imam Muslim dengan kitab
Shahih-nya; dan Abu Dawud dengan kitab Sunan-nya.

Pengertian al-takhrij yang kedua dilakukan oleh banyak ulama hadis. Misalnya, Imam al-Baihaqi
yang banyak “mengambil” hadis dari kitab as-Sunan yang disusun oleh Abu Hasan al-Bisri al-
Saffar. Lalu, Imam al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.

Pengertian al-takhrij yang ketiga banyak dijumpai di dalam kitab himpunan hadis. Misalnya,
Bulughul Maram susunan Ibn Hajar al-`Asqalani. Hadis yang dikutip tidak hanya matan, juga
nama mukharij dan nama periwayat pertama (sahabat Nabi Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam) yang
meriwayatkan hadis itu.

Pengertian istilah al-takhrij keempat, biasanya, digunakan oleh ulama ahli hadis untuk
menjelaskan berbagai hadis yang termuat di dalam kitab tertentu. Misalnya, kitab Ihya`
`Ulumuddin susunan Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M). Di dalam penjelasannya, Imam al-
Ghazali mengemukakan sumber pengambilan tiap-tiap hadis, dan kualitasnya. Zainuddin `Abdir-
Rahman bin al-Husain al-`Iraqi (wafat 806 H/1404 M) berhasil menyusun kitab takhrij hadis
untuk kitab Ihya` `Ulumiddin dengan dengan judul Ikhtibar al-Ihya` bi Akhbar al-Ihya`. Kitab ini
terdiri dari empat jilid.

Pengertian al-takhrij kelima biasanya digunakan untuk kegiatan penelitian. Takhrij dalam
pengertian ini ialah upaya penelusuran atau pencarian hadis dari berbagai kitab sebagai sumber
asli dari hadis yang bersangkutan yang—di dalam sumber itu—dikemukakan secara lengkap
matan dan sanad hadis yang bersangkutan.

Jadi dapat disimpulkan takhrij al-hadits diartikan sebagai berikut: "Mengembalikan hadits ke
sumber-sumber aslinya yang akurat. Jika pada aslinya tidak ditemukan, maka dirujukkan pada
cabang-cabangnya, dan jika mengalami kesulitan, maka hendaklah dikembalikan pada catatan
yang memiliki sanad, serta menjelaskan tingkatan hadits secara umum". Rumusan definitif
tersebut mengandung maksud bahwa takhrij al-hadits adalah upaya menelusuri hadits hingga
sumber atau asalnya, baik untuk menemukan sanad dan perawinya maupun untuk
mengklarifikasi redaksi matannya yang diharapkan untuk membuktikan bahwa hadits tersebut
palsu (mawdlu') atau tidak.

Sejarah Perkembangan Takhrij Hadis

Sebagai sumber ajaran Agama setelah al-Quran, hadismemiliki kedudukan yang sangat penting
dalam Islam. Namun tidak seperti al-Qurân yang mendapat penjagaan langsung dari Tuhan (QS.
Al-Hijr ayat 9), hadis memang menghadapi dilema seputar keotentikannya. Pasalnya, fakta
sejarah membuktikan bahwa semenjak era pertama Islam, sudah banyak didapati hadis-hadis
palsu.Sadar akan pentingnya hadis dalam Islam, para ulama klasik bahkan sejak zaman sebelum
pengkodifikasian hadis secara massal, telah melakukan penyeleksian hadis dengan intensif.
Mereka berupaya merumuskan konsep yang dapat dijadikan pedoman dalam menyeleksi hadis.
Dengan rumusan itu yang kemudian kita kenal sebagai ’Ulumul Hadis(ilmu-ilmu hadis) para
pengaji hadis dapat menentukan hadis yang benar-benar otentik dari Rasulullah dan hadis yang
validasi asosiasinya lemah (dha’if) atau yang tidak valid sama sekali (mawdhu’).

Pada awalnya, takhrij dilakukan sebatas untuk mengetahui letak sebuah hadis pada sebuah
kitab atau literatur. Sementara kegiatan lanjutannya berupa penelitian kualitas hadisdilakukan
jika dirasa perlu. Dalam artian sebenarnya takhrij hadis terhenti pada saat kita sudah
mengetahui sumber berupa kitab atau hadis yang menyebutkan hadis itu beserta sanadnya.
Misalnya ketika kita sudah mengetahui bahwa hadis yang sedang ditakhrij diriwayatkan oleh
Muslim atau Abû Dâwud, maka selesai sudah proses takhrij itu. Namun, penelusuran lokasi
hadis menjadi kurang sempurna jika tanpa penilaian atas sanad hadis. Karena tujuan dari kajian
hadis adalah untuk diamalkan, setelah diketahui terlebih dahulu kualitasnya berdasarkan
penilaian atas sanadnya.

Penelusuran yang dilakukan dalam proses takhrij hadis, bermuara kepada kitab atau literatur
yang menyebutkan hadis beserta sanadnya yang dimiliki sendiri oleh penulis kitab atau literatur
tersebut, yang tersambung sampai Rasulullah. Kitab atau literatur ini disebut sebagai kitab
sumber asli (al-mashâdir al-ashliyah). Lumrahnya, sumber asli adalah kitab hadis. Namun
terkadang juga ada literatur yang bukan kitab hadis namun dapat dikategorikan sebagai sumber
asli, seperti Tarikh al-Thabarî dan al-Umm karya al-Syafi’î. Literatur non hadis dapat
dikategorikan sebagai sumber asli ketika ia menyebutkan hadis beserta sanadnya yang dimiliki
sendiri oleh penulisnya.

Sementara literatur hadis yang menyebutkan hadis tanpa sanad yang dimiliki oleh penulisnya,
atau menyebutkan hadis dengan merujuk kepada kitab hadis lain, tidak dapat dikategorikan
sebagai sumber asli. Literatur yang bukan sumber asli tidak bisa dijadikan bahan takhrij. Kitab-
kitab semacam Bulûgh al-Marâm karya Ibn Hajar, al-Jâmi’ al-Shaghir karya al-Suyuthi, dan
Riyâdhal-Shalihin termasuk buku yang bukan sumber asli, karena ketiganya tidak memiliki
sanad yang menjadi bahan pokok kajian takhrij. Sumber asli adalah kitab atau literatur yang
dikutip oleh ketiga buku ini.

Ulama pada masa klasik, dimulai pada masa sahabat hingga abad kelima hijriyah belum
mengenal takhrij, dengan terminologi yang kita kenal sekarang, sebagai alat bantu mengaji
hadis. Hal ini dikarenakan banyaknya hafalan dan luasnya wawasan mereka akan hadis.
Pembacaan mereka terhadap kitab-kitab hadis sangat banyak dan intens. Yang perlu diingat
adalah bahwa tingkat kedabitan para muhadditsin pada saat itu sangatlah tinggi, sehingga
setiap kali menyatakan sebuah pendapat, dengan mudah mereka menyebutkan hadis yang ada
sebagai dasar dan argumentasinya.

Para ulama klasik mampu menyebutkan hadis berdasarkan hafalan yang mereka miliki atau
dengan merujuk kitab hadis yang ada. Saat merujuk ke kitab, mereka bahkan dapat dengan
mudah menyebutkan letak hadis itu di kitab apa, jilid berapa, dan mungkin juga pada halaman
ke berapa. Mereka mengetahui dengan baik metodologi penulisan yang digunakan para
kolektor hadis, sehingga dapat dengan mudah memperkirakan letak hadis dalam sebuah kitab,
atau dalam menentukan kitab apa yang diduga memuat hadis itu. Seiring perjalanan waktu,
kajian Hadis semakin surut dan penguasaan para ulama terhadap hadis juga berkurang. Para
ulama yang memiliki hafalan hadis semakin berkurang, dan hafalan yang mereka milikipun
relatif lebih sedikit. Di waktu yang sama, ketika merujuk kitab-kitab hadis, mereka mendapati
sedikit kesulitan.
Para pengarang kitab dalam disiplin non hadis seperti fiqh dan tafsir, seringkali menyebutkan
hadis tanpa menyebutkan sanad atau mukharrijnya. Sehingga dengan sendirinya, kualitas hadis
yang disebutkan juga tidak dapat dipastikan. Hal ini mengundang keprihatinan beberapa ulama
untuk melakukan kajian lanjutan terhadap hadis-hadis itu, dan mereka mulai menulis karya
yang kita sebut ”kitab-kitab takhrij”. Mahmûd al-Thahhân menyebutkan bahwa kitab takhrij
yang pertama kali ditulis oleh al-Khatîb al-Baghdâdî (w. 463 H). Di antara karya al-Khatîb dalam
kajian takhrij adalah Takhrij al-Fawâid al-Muntakhabah al-Shihâh wa al-Gharâib karya Abû al-
Qâsim al-Husaynî, dan Takhrij al-Fawâid al-Muntakhabah al-Shihâh wa al-Garâib karya Abû al-
Qâsim al-Mahrawânî. Kedua kitab ini, menurut al-Thahhân, masih dalam bentuk manuscript (al-
Thahhân, 1979, hal. 16).

Belakangan, banyak ulama yang melakukan kajian takhrij terhadap kitab-kitab yang telah
beredar di masyarakat, yang tidak menjelaskan kualitas hadis yang dicantumkannya. Keadaan
ini berlanjut hingga sekarang. Bahkan takhrij hadis kemudian menjadi integral dengan proses
penahqîqan terhadap sebuah karya. Baik karya ulama klasik dan telah diterbitkan sebelumnya,
maupun karya yang baru diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai