Anda di halaman 1dari 20

BAB III

PEMAHAMAN TAKHRĪJ HADIS

A. Pengertian Takhrīj Hadis

Menurut bahasa, kata takhrīj berarti, menampakkan, melatih, meriwayatkan,

mengeluarkan dan mengajarkan.1 Takhrīj ( ‫ )َتْخ ِر يْج‬bersal dari kata kharraja ( ‫)َخ َّر َج‬

yang artinya tampak atau jelas. Contoh :

( ‫ )َخَّر َج ْت َخ َو اِر ُج ُفاَل ٍن‬artinya : “si fulan tampak kepandaiannya”

( ‫ )َخَّر َج ِت الَس َم اُء ُخ ُرْو ًج‬artinya : “langit tampak cerah setelah mendung”.

Terkadang objek yang akan dijelaskan tidak tampak, untuk membuatnya

terlihat tampak dibutuhkan kesungguhan, seperti mengikhtiṣarkan sesuatu atau

menyimpulkannya.2 Mahmud at-Thahan memberikan pengertian at-takhrīj dalam asal

bahasanya adalah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang

satu”. Kata at-takhrīj sering digunakan pada beberapa jenis pengertian, di antaranya

ialah : al-istimbāṭ yang berarti mengeluarkan, at-tadrīb artinya melatih atau

pembiasaan, dan at-taujiḥ yang berarti memperhadapkan.3

Secara terminologi menurut para ahli Hadis, takhrīj berarti bagaimana

seseorang menyebutkan dalam kitab Hadisnya sendiri yang dikarangnya dengan

sanadnya sendiri. Seperti dikatakan ( ‫ )َهَذ ا الَح ِد ْيُث َاْخ َر َج ُه ُفاَل ٌن‬itu berarti pengarang

menyebut suatu Hadis dengan sanadnya pada kitab yang dikarangnya sendiri. Para

ahli Hadis berpendapat bahwa kata dari ikhrāj ( ‫ )ِاْخ َر اُج‬memiliki pengertian atau arti
1
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadis, Jakarta : AMZAH 2014. Hal. 2
2
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis, Semarang : Dina Utama Semarang.
Hal. 2
3
M. Syuhudi Ismail, Metodelogi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta : Bulan Bintang 1992. Hal.
39
yang sama dengan kata takhrīj ( ‫)َتْخ ِر يْج‬. Perkataan dari ( ‫ )َهَذ ا الَح ِد ْيُث َخ َّر َج ُه ُفاَل ٌن‬sama

dengan ( ‫)َهَذ ا الَح ِد ْيُث َاْخ َر َج ُه ُفاَل ٌن‬. Menurut pendapat al-Qāsimi kebanyakan para ulama

ahli Hadis setelah membawa suatu Hadis mereka mengatakan, “Hadis ini dikeluarkan

oleh si fulan” maksud daripada si fulan disini adalah mukharrij ( ‫ )ُم َخ ِّر ْج‬pelaku

takhrīj, atau orang yang menyebutkan riwayat Hadis seperti imam Bukhārī.

Lalu pada kalimat (‫ )َهَذ االِكَتاُب َخَّر َج ُه ُفاَل ٌن َو ْسَتْخ َر َج ُه‬para ulama-ulama

Hadis memberikan pandangannya bahwa si fulan menyebutkan Hadis-hadis

dengan sanad miliknya sendiri, dan dalam sanadnya itu bertemu dengan

perawi yang ada dalam sanad pengarang kitab sebelumnya, baik itu guru dari

seorang pengarang kitab pertama atau yang terdahulu.

Lalu ada pendapat yang lain mengungkapkan takhrīj pada kalimat (

‫ )َخَّر َج َاَح اِد ْيَث ِكَتاِب َك َذ ا‬maksudnya adalah mengembalikan suatu Hadis pada

ulama yang menyebutkannya dalam kitab penjelasan tentang kriteria-kriteria

hukumnya. Menurut pendapat dari al-Nawawī, menisbatkan Hadis-hadis pada

ulama ahli Hadis yang menyebutkannya dalam kitab mereka berupa jawāmi’,

musnad ataupun sunan. Pendapat beliau ini menegaskan adanya penjelasan-

penjelasan terkait kriteria hukum dari suatu Hadis, beliau beralasan karena

pada masa awal, ulama belum meneliti masalah takhrīj dan juga belum

memisahkan antara Hadis-hadis yang ṣaḥīḥ dan yang lainnya.4

Menurut pandangan dari Nawir Yuslem, hakikat dari takhrīj ialah melakukan

kegiatan penelusuran atau pencarian suatu Hadis pada berbagai sumber asli kitab

4
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis… Hal. 2-3
Hadis yang mana di dalam sumber tersebut dituliskan secara lengkap matan dan

sanad Hadisnya.5

Menurut pandangan M. Syuhudi Ismail takhrīj ialah melakukan kegiatan

pencarian atau penelusuran suatu Hadis pada berbagai sumber asli kitab dari Hadis

yang bersangkutan, yang mana di dalam sumber tersebut dituliskan secara lengkap

matan dan sanad Hadis yang berkaitan.6

Menurut istilah kata takhrīj juga mempunyai beberapa arti yakni:

1. Menyampaikan Hadis dengan menyebutkan para perawi dalam sanadnya

secara lengkap dan juga matan yang utuh dengan metode periawayatan Hadis

yang ditempuhnya.

2. Para Ulama Hadis menjelaskan, berbagai Hadis yang sudah disampaikan oleh

para gurunya atau dari kitab-kitab yang disusunnya dijelaskan berdasarkan

riwayatnya sendiri ataupun riwayat gurunya, temannya atau orang lain dengan

menjelaskan periwayatannya dari kitab yang menjadi sumber pengambilan.

Seperti Imam al-Baihaqī yang sudah mengambil banyak Hadis dari kitab

Sunan yang disusun oleh Abu al-Ḥasan al-Basrī, lalu al-Baihaqī

mengemukakan sanadnya sendiri.

3. Menjelaskan asal dari suatu Hadis dan juga menjelaskan sumber

pengambilannya.

5
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis: Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya. Hal. 395
6
M. Syuhudi Ismail, Metodelogi Penelitian Hadis Nabi,… Hal. 41
4. Mengungkapkan Hadis Nabi Saw., dengan berdasarkan sumber atau berbagai

sumbernya, juga dicantumkan metode dalam meriwayatkannya lalu

diterangkan pula keadaan dari para periwayatnya dan kualitas Hadisnya.

5. Mengemukakan tempat asal suatu Hadis pada sumber aslinya. Maksudnya

ialah melakukan kegiatan pencarian atau penelusuran suatu Hadis dari

berbagai sumber asli, dalam sumber asli tersebut sudah dikemukakan secara

lengkap matan dan sanad Hadisnya.7

Selanjutnya adalah pengertian Hadis, secara etimologi Hadis memiliki arti

yang baru dari segala sesuatu. Pengertian dari kata Hadis mengandung arti sedikit dan

banyak. Jamaknya adalah ( ‫)َاَح اِد ْيُث‬, seperti pada kata ( ‫ )َقِط ْيُع‬bentuk jamaknya adalah (

‫)َاَقاِط ْيُع‬.

Firman Allah SWT :

‫َفَلَع َّلَك َٰب ِخ ٌع َّنْفَس َك َع َلٰٓى َء اَٰث ِر ِهْم ِإن َّلْم ُيْؤ ِم ُنو۟ا ِبَٰه َذ ا ٱْلَح ِد يِث َأَس ًفا‬

“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih

hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan

ini (al-Qur’an)” (al-Kahfi : 6)

Maksud dari kata Hadis dalam ayat al-Qur’an di atas ialah al-Qur’an.

Begitu juga dengan firman Allah SWT :

‫َو َأَّم ا ِبِنْع َم ِة َر ِّبَك َفَح ِّد ْث‬

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebutnya

(dengan bersyukur)” (adh-Dhuha : 11).

7
M. Syuhudi Ismail, Metodelogi Penelitian Hadis Nabi,… Hal. 39
Yakni sampaikanlah risalah yang dibebankan kepadaku. Dengan begitu secara

etimologi Hadis juga berarti khabar.8

Dalam pengertian lain Hadis adalah jadīd, lawan dari kata qadīm yang artinya

yang baru ḥidaṡ, ḥudaṡa’ dan ḥudūṡ. Hadis juga berarti qarīb yang berarti yang dekat

atau yang belum lama terjadi. Hadis berarti juga sebagai khabar yang artinya berita,

yakni ma yataḥaddaṡu bihī wa yunqalū (sesuatu yang dibicarakan lalu disampaikan

kepada orang lain) dari makna inilah kemudian diambil perkataan Hadis Rasulullah. 9

Jika kata “Hadis” disebutkan secara mutlak, maka yang dimaksud

pengertiannya adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw. Akan tetapi

hal ini juga terkadang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in.

Lalu ada kata khabar yang dimaksudkan juga dengan segala sesuatu yang

disandarkan kepada Nabi Saw juga disandarkan kepada sahabat dan juga kepada

tabi’in. Tetapi, para fuqaha khurasan menyebut aṡar untuk yang mauquf dan untuk

yang marfu’ dengan sebutan khabar.10

Kesimpulannya, takhrīj Hadis adalah proses dalam menemukan suatu Hadis

Nabi Saw., secara lengkap baik darisegi matannya maupun sanad Hadis yang bisa

ditemukan di kitab-kitab induk atau kitab yang lainnya. Dan untuk menemukan

kualitas Hadis diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap Hadis yang sudah

ditemukan matan dan sanadnya secara lengkap.

B. Tujuan dan Manfaat Takhrīj Hadis

8
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Terjemahan Gaya Media Pratama : Jakarta
Cet. 5 2013. hal. 7-8
9
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pustaka Rizki Putra :
Semarang Edisi ke-3 2009. Hal. 3
10
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits.. Hal. 9
Tujuan dari kegiatan takhrīj Hadis ialah untuk mengetahui sumber asli dari

Hadis-hadis yang bersangkutan juga menjelaskan diterima atau tidaknya Hadis

tersebut. Adapun manfaat dalam melakukan kegiatan takhrīj Hadis ini diantaranya

adalah:11

1. Dengan melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa mengetahui sumber-sumber

asli dari suatu Hadis juga siapa saja ulama yang meriwayatkannya.

2. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa menambah perbendaharaan sanad

Hadis-hadis dengan melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Jika suatu Hadis

berada di banyak kitab asal maka akan semakin banyak pembendaharaan

sanadnya.

3. Melakukan kegiatan takhrīj bisa memperjelas keadaan dari suatu sanad Hadis.

Dengan membandingkan riwayat-riwayat Hadis maka akan diketahui status

riwayat tersebut apakah ṣaḥīḥ atau ḍa’if dan sebagainya.

4. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis akan memperjelas hukum Hadis dengan

banyaknya riwayat tesebut. Terkadang suatu Hadis didapati Hadis tersebut

ḍa’if. Maka, akan sangat mungkin mendapati Hadis yang sama dengan

kualitas yang berbeda melalui periwayat yang lain.

5. Dengan melakukan kegiatan takhrīj Hadis, bisa mengetahui pendapat-

pendapat dari para ahli Hadis tentang kualitas Hadisnya.

6. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa juga memperjelas perawi yang samar.

Dengan adanya kegiatan takhrīj dapat memungkinkan untuk mengetahui

nama ataupun identitas dari perawi yang bersangkutan secara lengkap.


11
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis.. Hal. 5-6
7. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa memperjelas perawi yang tidak

diketahui nama aslinya dengan melakukan perbandingan di antara sanad-

sanad.

8. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa menafikan pemakaian kata “`an”

dalam periwayatan Hadis oleh seorang perawi mudallis. Dengan didapatinya

sanad yang lain yang memakai kata yang jelas ketersambungan sanadnya,

maka periwayatan yang memakai “`an” tadi akan nampak pula

ketersambungannya.

9. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa menghilangkan terjadinya

percampuran suatu riwayat.

10. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa membatasi nama perawi yang

sebenarnya. Hal ini bisa saja ada perawi-perawi yang memiliki gelar yang

sama. Dengan adanya sanad dari yang lain maka nama perawi yang

bersangkutan akan menjadi jelas.

11. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa memperkenalkan periwayatan yang

tidak ada dalam satu sanad.

12. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa memperjelas arti kalimat yang asing

yang ada dalam satu sanad.

13. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa menghilangkan hukum syadz yang ada

pada Hadis dengan melalui proses perbandingan riwayat.

14. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa membedakan Hadis yang mudraj dari

Hadis yang lainnya.


15. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa mengungkapkan kekeliruan yang

dilakukan oleh seorang perawi.

16. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis dapat mengungkapkan hal-hal yang

terlupakan ataupun hal-hal yang diringkas oleh seorang rawi.

17. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa membedakan antara periwayatan yang

dilakukan dengan menggunakan lafaz dan yang diriwayatkan dengan makna.

18. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa menjelaskan waktu dan tempat

munculnya Hadis.

19. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa menjelaskan sebab adanya Hadis, yaitu

dengan membandingkannya dengan sanad yang ada.

20. Melakukan kegiatan takhrīj Hadis bisa mengungkapkan kemungkian

terjadinya suatu kesalahan dalam proses percetakan dengan cara melalui

perbandingan dengan sanad-sanad yang ada.

C. Metode Takhrīj Hadis

Melakukan kegiatan takhrīj pada suatu Hadis itu artinya mengungkap para

perawinya dalam kitab sumber disertai dengan bab dan juga hal-hal yang berkaitan

dengan kitabnya. Dan untuk mengetahui penjelasan suatu Hadis disertai dengan

sumbernya ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk menelusurinya.

Sesuai dengan metode para ahli Hadis dalam mengumpulkan Hadis-hadis.

Metode-metode dalam melakukan kegiatan takhrīj ini kemudian disimpulakan

menjadi lima macam, di antaranya :12

1. Metode pertama : Takhrīj melalui lafal pertama matan Hadis


12
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis... Hal. 14-15
Dalam menggunakan metode ini sangat bergantung pada lafal pertama matan

Hadis yang dituliskan. Ketikan menggunakan metode ini peneliti Hadis harus

mencarinya sesuai dengan huruf pertama dalam Hadis, lalu dalam kitab kamus Hadis

mencarinya dengan menggunakan urutan huruf hijaiyah, seperti alif, ba’, ta’ dan

seterusnya. Contoh :

‫ َس َّيُد اَألَّياِم َيْو ُم الُج ُمَعِة‬langkah dalam melakukan pencarian Hadis di samping ini adalah
sebagai berikut :

a. Langkah awalnya dengan membukanya pada bab sin (‫)س‬

b. Selanjutnya mengidentifikasi huruf kedua yaitu ya’ ( ‫)ي‬

c. Kemudian dilanjut dengan hufur dal (‫)د‬

d. Begitu seterusnya hingga sesuai dengan lafal pada awal matan Hadis.

Kelebihan dan kekurangan dari metode lafal pertama

Dengan menggunakan metode ini dalam melakukan penelusuran Hadis, besar

kemungkinannya bisa dengan cepat menemukan Hadis yang sedang ditelusuri. Hanya

saja kekurangannya adalah ketika lafal Hadis pertamanya memiliki perbedaan atau

terdapat kelainan lafal meskipun hanya sedikit itu dapat mempengaruhi dalam proses

penelusuran Hadis dan dapat mempersulit dalam menemukan Hadisnya.13 Contoh:

‫ِاَذ اَاَتاُك ْم َم ْن َتُر َض ْو َن ِد ْيَنُه َو َخ ْلَقُه َفَز ِّو ُجْو ُه‬

13
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis… Hal.17
Melihat Hadis di atas, lafal pertama dari Hadis tersebut adalah ( ‫ )ِاَذ اَاَتاُك ْم‬tetapi

jika lafal yang kita hafal atau yang diingat adalah ( ‫ )َلْو َاَت اُك ْم‬maka proses dalam

menemukan Hadis yang bersangkutan bisa menjadi sangat sulit dilakukan.

2. Metode kedua : Takhrīj menggunakan kata dalam matan Hadis

Dalam menggunakan metode ini, sangat bergantung kepada kata-kata dalam

matan suatu Hadis, baik itu berupa kata kerja maupun dalam bentuk kata benda.

Hadis-hadis yang dicantumkan hanyalah bagian-bagian kata dalam matan. Adapun

terkait nama-nama kitab induk dan nama ulama yang meriwayatkannya dicantukan

setelah potongan Hadisnya ataupun di bawah Hadis yang bersangkutan.

Dalam melakukan takhrīj para ulama yang menyusun kitab-kitab seperti ini

menitikberatkan pada lafal-lafal yang asing. Semakin lafal yang dicari itu asing

(gharīb) maka akan semakin efisien dan mudah untuk menemukannya. Contoh :

‫ِاَّن الَّنِبَّي َص َّلى ُهّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َنَهى َع ْن َطَع اِم الُم َتَباِرَيْيِن َاْن ُيْؤ َك َل‬

Meskipun kata yang digunakan dalam matan Hadis di atas banyak yang bisa

digunakan, seperti (‫)ُيْؤ َك ُل ( )َطَع ام( )َنَهى‬, tapi sangat dianjurkan untuk mencarinya pada

kata ( ‫ )ْالُم َتَباِر َيْيِن‬itu karena kata tersebut sangat jarang sekali digunakan. Sehingga

membuatnya sangat mudah untuk ditemukan sumber asalnya. Menurut penelitian kata

(‫ )َتَباَر ى‬sangat jarang digunakan. Bahkan dikatakan hanya dua kali disebutkan di

kitab-tidak dalam kategori kutub tis’ah.

Kelebihan dari metode ini di antaranya :


a. Menggunakan metode ini bisa mempercepat dalam melakukan penelusuran

Hadis.

b. Bisa melakukan pencarian dengan kata apa saja yang ada pada matan Hadis.

c. Dalam proses penyusunan kitab takhrīj yang menggunakan metode ini,

memberikan batasan Hadis-hadisnya hanya dalam beberapa kitab induk

dengan menyebutan nama dari kitab berkaitan, juz, bab dan halaman.

Kekurangan dari metode ini adalah

a. Menggunakan metode ini mengharuskan untuk menguasai kemampuan

Bahasa Arab yang mumpuni. Itu karena dalam metode ini mengharuskan

untuk mengembalikkan kata yang hendak ditelusuri kepada kata dasarnya.

Seperti pada kata (‫ )ُم َتَعِّم ًدا‬dan harus mencarinya dalam kata dasar yaitu ( ‫)َع ِم َد‬.

b. Terkadang Hadis yang dicari tidak bisa didapatkan hanya dengan satu kata.

Ini mengharuskan kita mencarinya dalam kata yang lain.

c. Dalam metode ini tidak diketahui nama dari perawi pertama atau sahabat yang

menerima Hadis. Ini mengharuskan pentakhrīj untuk menelusurinya terlebih

dahulu dalam kitab aslinya.14

3. Metode ketiga : Takhrīj menggunakan perawi pertama dalam Hadis

Menggunakan metode ketiga ini sangat bergantung kepada perawi-perawi

pertama dalam Hadis, baik itu dari para sahabat yang Hadisnya bersambung sampai

kepada Rasulullah ataupun dari kalangan tabi’in jika itu termasuk Hadis mursal.

14
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis… Hal. 60-61
Langkah awal dalam melakukan takhrīj dengan metode ini adalah dengan

mengenal terlebih dahulu perawi pertama dari Hadis yang bersangkutan lewat kitab-

kitabnya. Langkah setelahnya adalah melakukan pencarian terhadap perawi pertama

ini dalam kitab-kitab takhrīj yang menggunakan metode perawi pertama seperti kitab-

kitab aṭrāf ataupun kitab musnad. Setelah menemukan perawi pertama yang

bersangkutan dengan Hadisnya kemudian tinggal mencari Hadis-hadis yang

dimaksud. Di sana kita akan mengetahui ulama yang meriwayatkannya.

Kelebihan menggunakan metode ini dalam melakukan kegiatan takhrīj15

a. Melakukan kegiatan takhrīj dengan menggunakan metode ketiga ini

memberikan manfaat yang sangat banyak di antaranya memberikan

kesempatan melakukan persanad.

b. Menggunakan metode ini dapat memperpendek waktu kita dalam melakukan

kegiatan takhrīj. Karena di dalamnya diperkenalkan ulama yang

meriwayatkannya juga kitab-kitabnya.

Kekurangan dalam metode ini

Menggunakan metode ini tidak bisa digunakan tanpa mengetahui perawi

pertama dalam Hadis yang berkaitan.

4. Metode keempat : Takhrīj menggunakan tema Hadis

Melakukan kegiatan takhrīj menggunakan metode ini bergantung pada tema

yang terdapat dalam suatu matan Hadis. Setelah mendapati Hadis yang hendak

15
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis… Hal. 78
ditakhrīj. Maka, hal pertama yang harus dilakukan dalam hal ini adalah menentukan

tema dari Hadis yang bersangkutan. Terkadang suatu Hadis bisa memiliki banyak

tema di dalamnya. Yang harus dilakukan ialah mencarinya melalui tema-tema yang

terkandung dalam Hadis. Contoh:

‫ َش َهاَد َة َاْن اَل ِاَل َه ِااَّل ُهّللا َو َاَّن ُمَح َّم ًدا َر ُس ْو ُل ِهّللا َو ِاَق اِم الًّص اَل َة‬: ‫ُبِنَي ْااِل ْس اَل ُم َع َلى َخ ْمَس ٍة‬

‫َو ِاْيَتاِء الَّز َك اِة َو َص ْو ِم َر َم َض اَن َو َح ِّج اْلَبْيِت ِلَمِن اْسَتَطاَع ِاَلْيِه َس ِبْياًل‬

Hadis di atas memiliki beberapa tema yang terkandung di dalam matannya

yaitu tentang iman, zakat, tauhid, shalat, haji dan tentang puasa. Jika sudah

menentukan tema yang terkandung dalam matan Hadis, langkah selanjutnya adalah

mencarinya pada tema-tema tersebut.

Menggunakan metode keempat ini mengharuskan untuk bisa mengidentifikasi

tema dalam matan suatu Hadis. Karena, jika mendapati kesulitan dalam menentukan

tema dalam matan Hadis maka, proses Takhrīj akan sulit dilakukan.

Kelebihan metode tema Hadis

a. Menggunakan metode keempat ini tidak mengharuskan untuk mengetahui

keabsahan lafal pertamanya seperti pada metode pertama yang sudah

dijelakan, tidak juga mengharuskan untuk memiliki keahlian dalam bahasa

Arab. Dengan mengetahui perubahan-perubahan katanya sebegaimana yang

terjadi pada metode kedua di atas. Juga tidak mengharuskan mengetahui

perawi pertama dalam Hadis sebagaimana metode ketiga. Yang harus dimiliki

ketika hendak menggunakan metode keempat ini hanyalah pengetahuan


terhadap kandungan Hadis untuk menentukan tema-tema yang terdapat dalam

Hadis yang bersangkutan.

b. Menggunakan metode ini bisa mengasah ketajaman kita dalam memahami

terhadap tema-tema yang terkandung dalam Hadis.

c. Metode ini juga sangat membantu memahami maksud Hadis, juga untuk

mencari Hadis yang senada dengan Hadis yang berkaitan. Hal ini akan sangat

membatu dalam mengetahui permasalah secara mendalam.

Kekurangan dalam metode tema Hadis

a. Ketika seorang peneliti tidak bisa menentukan tema Hadis ataupun kesulitan

dalam menentukannya maka peneliti tersebut akan sangat kesulitan atau

bahkan tidak akan bisa menggunakan metode ini.

b. Terkadang pemahaman yang didapatkan dalam mengidentifikasi tema suatu

Hadis berbeda dengan penyusun. Akibatnya, ini menjadi hal yang tidak

terduga oleh seorang peneliti ketika Hadis yang dimaksud diletaknya oleh

penulis kitab di tempat yang tidak terduga.16

5. Metode kelima : Takhrīj menggunakan klasifikasi Hadis

Dalam melakukan kegiatan takhrīj, akan mendapati salah satu metodenya

yang seperti ini yaitu metode takhrīj yang menggunakan metode klasifikasi Hadis.

Kitab-kitab jenis seperti ini sangat membantu dalam melakukan kegiatan penelusuran

Hadis-hadis tertentu berdasarkan klasifikasinya. Seperti Hadis-hadis qudsi, Hadis-

hadis yang mursal atau Hadis yang masyhūr dan lain-lain.

16
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis… Hal.122-123
Kelebihan dan kekurangan dalam metode klasifikasi Hadis

Kelebihan melakukan Takhrīj dengan metode ini adalah dapat mempermudah

dalam melakukan kegiatan Takhrīj. Karena, sebagian besar Hadis-hadis yang ditulis

berdasarkan klasifikasinya yang dimuat dan ditulis dalam kitab itu sangat sedikit, dan

sangat simpel. Dan kekurangannya adalah terbatasnya kitab-kitab Hadis yang ditulis

berdasarkan klasifikasinya.17

D. Kitab-kitab Takhrīj Hadis

Untuk melakukan kegitan Takhrīj Hadis, banyak sekali kitab-kitab yang telah

dikarang oleh para ulama terdahulu dengan menggunakan metode-metode tertentu

baik kitab yang kecil maupun kitab-kitab Takhrīj dalam bentuk yang besar. Berikut

ini adalah beberapa kitab-kitab Takhrīj Hadis.

1. Kitab Takhrīj yang menggunakan lafal pertama

a. Kitab al-Jāmi’ aṣ-Ṣagīr Min Ḥadīṡi al-Basyīri al-Nażīri karya

Jalāluddīn al-Suyūṭi

b. Kitab al-Fatḥ al-Kabīr Fī Dammi al-Ziyādah Ilā al-Jāmi' al-Ṣagīr

karya Jalāluddīn al-Suyūṭi

c. Kitab al-Jam’u al-Jawāmi’ Au al-Jām'I al-Kabīr karya Jalāluddīn al-

Suyūṭi

d. Kitab al-Jāmi’ al-Azhar karya al-Minawi 18

2. Kitab Takhrīj yang menggunakan kosa kata dalam Hadis

a. Kitab Mu'jam al-Mufharas karya A.J. Weinsinck

17
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis… Hal.195
18
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis… Hal. 16
b. Kitab Fihris Ṣaḥīḥ Muslim karya Muhammad Fuād 'Abdu al-Bāqī

c. Kitab Fihris Sunan Abī Dāud karya Ibnu Bayūmī

3. Kitab Takhrīj yang menggunakan perawi pertama

a. Kitab Tuḥfatu al-Asyrāfi bi Ma'rifati al-Aṭrāfi karya al-Hafidz al-

Mizzī

b. Kitab Ḍakhāiru al-Mawārīṡi fī al-Dilālah 'Alā Mawādi'I al-Ḥadīṡ

karya Abdu al-Ganī al-Dimasyiqī

c. Kitab al-Nukat al-Ẓarāf 'Alā al-Aṭrāf karya al-Hafidz Ibnu Hajar

d. Kitab-kitab Musnad

4. Kitab Takhrīj menurut tema Hadis

a. Kitab Kanzul al-Ummāl karya al-Muttaqī al-Hindī

b. Kitab Miftāḥ Kunūz al-Sunnah karya A.J. Wensinck

c. Kitab al-Targīb Wa al-Tarhib karya al-Mundzirī

d. Kitab al-Mugnī Ḥamli al-Asfār karya al-Iraqī19

5. Kitab Takhrīj menurut klasifikasinya

a. Kitab al-Azhār al-Mutanāṡrah Fī al-Akhbāri al-Mutawātirah karya

Jalāluddīn al-Suyūṭi

b. Kitab al-Ittiḥāfāt al-Saniyyah Fī al-Ahādīṡ al-Qudsiyyah karya Syeikh

Muhammad al-Ṭarbizūni al-Madāni

c. Kitab al-Maqāsidu al-Ḥasanah karya Imam Sakhāwī

d. Kitab al-Marāsīlu karya Abī Daūd

19
Ahmad Izzan, Studi Takhrij Hadis Kajian Tentang Metodelogi Takhrij dan Kegiatan
Penelitian Hadis, Bandung : Tafakur 2012. Hal. 29-73
e. Kitab al-Kāmil Fī al-Ḍu'afāi karya Ibnu 'Adi

f. Kitab Tanjīh al-Syarī'ah karya Ibnu Irāqi.20

E. Tolak Ukur Keṣaḥīḥ an Sanad Hadis

Untuk mengetahui kaidah-kaidah dalam menentukan keṣaḥiḥan Hadis baik

dari segi sanad maupun matan, diperlukan terlebih dahulu rumusan Hadis ṣaḥiḥ dari

ulama-ulama terdahulu yang sudah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Ini

perlu dilakukan mengingat rumusan Hadis ṣaḥiḥ adalah pondasi utama sebagai tolak

ukur dalam menentukan kualitas suatu Hadis.

Al-imam al-Syafi’I misalnya, beliau memberikan standar minimal untuk

kriteria riwayat yang bisa diterima dan dijadikan hujjah. Seperti :

1. Yang berhubungan dengan sanad ; perawinya harus ṡiqah dalam

beragama, kejujurannya dalam menyampaikan Hadis sudah diakui,

mengetahui perubahan lafaz yang bisa merubah makna Hadis, hafalannya

terpelihara dan terpelihara juga catatannya jika ia meriwayatkan dengan

kitabnya, serta terhindar dari tadlīs.

2. Yang berhubungan dengan matan ; lafaz matan Hadisnya harus sama

persis seperti pertama didengar, periwayatannya tidak dengan makna, jika

diriwayatkan oleh riwayat yang lain, maka masing-masing riwayat

tersebut harus sesuai.21

Selain itu ada rumusan lain tentang Hadis ṣaḥīḥ di kalangan ulama yang

merupakan pengembangan rumusan Hadis ṣaḥīḥ yang dikemukakan oleh Ibnu

20
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadis… Hal. 196
21
Dr. Asrar Mabrur Faza, Hadis-hadis Bermasalah dalam Shahīh Muslim Kritik Sisi
Kontoversial Hadis, Yogyakarta : Zahir Publishing 2021. Hal. 79
al-Ṣalāḥ, yaitu: "Hadis ṣaḥīḥ adalah Hadis yang bersambung sanadnya,

diriwayatkan oleh (perawi) adil (dan) dābit dari (perawi) yang dābit dan adil

(pula) hingga jalur sanad terakhir dan tidak mengandung syāz dan ‘illat".

Muhammad Ajjaj al-Khatib juga memberikan penjelasan mengenai

rumusan seperti rumusan Ibnu Ṣalāḥ tentang standar keṣaḥīḥan Hadis dengan

mengutarakan "Hadis yang bersambung-sambung sanadnya dengan riwayat

orang kepercayaan dari orang kepercayaan sejak dari awal sampai akhir

tanpa syudzudz tanpa ‘illat".

Selain dari pernyataan di atas Mahmud at-Thahan juga Nuruddin ‘Itr

serta Subhi Salih mengikuti rumusan dari Ibnu Ṣalāḥ meskipun dalam

menuangkannya sangat bervariasi, akan tetapi maksud dan tujuannya sama.22

Melihat beberapa pendapat dari para ulama Hadis terdahulu di atas

dapat disimpulan tolak ukur keṣaḥīḥan sanad Hadis adalah sebagai berikut :

1. Sanadnya Bersambung (Ittisāl)

Sanad bersambung adalah suatu kondisi dimana setiap dari perawinya

mendengar atau memperoleh Hadis dari guru-gurunya. Kondisi ini berlaku

dari awal sanad sampai kepada akhir sanad. Batasan dari akhir sanad ini

ada 3 macam, yaitu Hadis yang sanadnya sampai kepada Rasulullah Saw.,

disebut marfu’, Hadis lain yang hanya sampai pada tingkat sahabat Nabi

Saw., disebut mauqūf dan Hadis lain yang hanya sampai pada tingkat

22
Asrar Mabrur Faza, Hadis-hadis Bermasalah dalam Shahīh Muslim Kritik Sisi
Kontoversial Hadis, Yogyakarta : Zahir Publishing 2021. Hal. 80-81
tabi’in disebut maqtū. Ketiga batasan akhir ini menjadi penentu dari

pemilik Hadis yang berkaitan.23

2. Perawinya ‘Ādil dan Dābit

Keadilan atau al-‘adālah yang ditekankan dalam hal ini adalah tentang

status keislamannya, mukallaf, tidak tercemar oleh hal-hal yang bid’ah,

terpelihara akhlak dan wibawanya serta terhindar dari kefasikan baik

karena melakukan maksiat maupun karena berdusta.

Sedangkan kedābitan yang dimaksud dalam hal ini mencangkup

kemampuan dari perawi yang bersangkutan seperti terpelihara hafalannya

dan sanggup menyampaikan Hadisnya dengan baik.

3. Sanadnya Tidak Mengandung Syādz dan ‘Illāt

Sebagaimana yang telah disebutkan, perawi Hadis yang ṣaḥīḥ harus

terhindar dari anggapan syādz atau keganjilan yaitu suatu kondisi dari

seorang perawi yang periwayatannya kontradiksi dengan periwayat yang

lain yang lebih banyak darinya ataupun lebih tinggi kualitas hafalannya.

Syarat lain yang harus ada pada perawi adalah para perawi Hadis terhindar

dari‘illāt. Jalur sanad yang memiliki kecacatan ini bisa berakibat pada

keṣaḥīḥan Hadis. Ketika meneliti sanad dan terindikasi yang menunjukan

sisi kontradiktif dengan periwayat lain ataupun terdapat kecurigaan

adanya irsāl terhadap riwayat yang mausul, ataupun adanya pencampuran

23
Dr. Asrar Mabrur Faza, Hadis-hadis Bermasalah dalam Shahīh Muslim Kritik Sisi
Kontoversial Hadis, Yogyakarta : Zahir Publishing 2021. 82-83
(idraj) antara Hadis, maka hal ini diperlukan adanya pembuktian terhadap

ada atau

tidaknya kecacatan atau ‘illāt yang dituduhkan tersebut.24

Untuk menentukan ṣaḥīḥ atau tidaknya sanad suatu Hadis, maka semua

kaidah yang sudah dipaparkan di atas harus terpenuhi dan dijadikan sebagai acuan

dalam menilai keabsahan sanad Hadis yang bersangkutan.

24
Dr. Asrar Mabrur Faza, Hadis-hadis Bermasalah dalam Shahīh Muslim Kritik Sisi
Kontoversial Hadis, Yogyakarta : Zahir Publishing 2021. Hal. 87-92

Anda mungkin juga menyukai