TAKHRIJUL HADITS
Muqaddimah
Segala puji serta syukur hanyalah milik Allah, Yang Mahaperkasa lagi maha
mengetahui; yang maha mengampuni dosa dan menerima taubat; yang keras hukuman-
Nya; yang mempunyai karunia. Tiada Tuhan yang berhak disembah selain dia. Hanya
kepada-Nyalah kembali semua makhluk. Shalawat teriring salam buat Rasul tercinta, Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,yang penuh perhatian terhadap umatnya; amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap keimanan dan keselamatan pengikutnya.
Untuk mendapatkan kemudahan dalam melakukan takhrij suatu hadis maka kita
harus mengetahui metode atau langkah-langkah dalam takhrij.Tekhnik pembukuan buku-
buku hadis pada zaman ulama dahulu memang beragam dan banyak sekali macamnya.
Diantaranya ada yang secara tematik, pengelompokan hadis berdasarkan tema-tema
tertentu seperti kitab Al-Jami Ash-Shahih li Al-Bukhari dan Sunan Abu Dawud.
Diantaranya lagi ada yang didasarkan pada nama perawi yang paling atas yakni para
sahabat, seperti kitab Musnad Ahmad Bin Hambal. Buku lain lagi didasarkan pada huruf
permulaan matan hadis diurutkan sesuai dengan alphabet arab seperti kitab Al-Jami’ Ash-
Shaghir karya As-Syuyuthi dan lain-lain. Semua itu dilakukan oleh para ulama dalam
rangka memudahkan umat Islam untuk mengkajinya sesuai dengan kondisi yang ada.
Kata takhrij dari kata kharraja, yukhariju, yang secara bahasa mempunyai bermacam-
macam arti. Menurut mahmud ath-Thahhan, asal kata Takhrij, ialah :
ُ ْْْجت َما8ِِْْْ َِإ
َ َْم َر ي ِْن ُمت8َََََْ َع أ
ضا َد ْي ِن فِي َش ْي ٍء َو ا ِحد
Dalam arti lain tajrih/takhrij atau jarah dalam pengertian bahasa : melukai tubuh ataupun
yang lain dengan menggunakan benda tajam, pisau, pedang dasn sebagainya, luka yang
disebabkan oleh kena pisau dan sebagainya dinamakan jurh. Dan di artikan pula jarah
dengan memawkai dan menistai, baik dimuka ataupun dibelakang.
1
Dari sudut pendekatan kebahasaan ini, kata takhrij juga memiliki beberapa arti, yaitu
pertama, berarti al-istinbath ( mengeluarkan dari sumbernya ). Kedua berarti at-tadrib
(latihan ) ketiga berarti at-taujih (pengarahan, menjelaskan duduk persoalan)
Para ulama ahli hadis dalam hal ini mengemukakan beberapa definisi, seperti di bawah ini
Menurut satu definisi, arti takhrij sama dengan Al-ikhraj yaitu Ibraz Al-Hadits li an-nas
bidzikri mahrajih (mengumgkapkan atau mengeluarkan hadits kepada orang lain dengan
menyebutkan para perawi yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai yang
mengelaurkan hadits). Misalnya dikatakan : hadza hadits akhrajahu al-bukhari atau
kharrajahu al-bukhari ( hadist ini dikeluarkan oleh al-bukhari). Arti takhrij menurut definisi
ini banyak dipakai oleh para ulama dalam mengutip atau menyebutkan suatu hadis.
Menurut definisi berikutnya, di sebutkan bahwa kata takhrij berarti ikhraj al-ahadits min
buthuni al-kutub wa riwayatuh ( mengeluarkan sejumlah hadis dari kandungan kitab-
kitabnya dan meriwayatkannya kembali ). Pengertian ini diantaranya dikemukakan oleh as-
sakhawi, ia menambahkan bahwa orang yang mengeluarkan hadis tersebut kemudian
meriwayatkannya atas namanya sendiri atau atas nama guru-gurunya, serta
menyandarkannya kepada penulis kitab yang dikutipnya.
Menurut definisi lainnya, kata takhrij berarti ad-dalalah ala mashadir al-hadits al-ashliyah
wa azzuhu ilaihi ( petunjuk yang menjelaskan kepada sumber-sumber asal hadis ). Di sini
dijelaskan siapa-siapa yang menjadi para perawi dan mudawwin yang menyusun hadis
tersebut dalam suatu kitab.
Menurut mahmud ath-thahhan, definisi yang disebut ketiga ini yang banyak dipakai dan
terkenal pada kalangan ulama ahli hadis.
صا ِد ِر ِه ْاالَصْ لِيَتِ ِه الَّتِ ْي أَ ْخ َر َجتِ ِه بِ َسنَ ِد ِه ثُ َّم بَيَا ِن َمرْ تَبَتِ ِه ِع ْن َد ْال َحا َج ِة ِ ض ِع ْا ل َح ِد ْي
َ ث فِ ْي َم ِ ْا ل َّد الَ لَةُ َعلَى َمو
“petunjuk tentang tempat atau letak hadis pada sumber aslinya, yang diriwayatkan dengan
menyebutkan sanadnya, kemudian dijelaskan martabat atau kedudukannya manakala
diperlukan ".
2
Berdasarkan definisi di atas, maka mentakhrij, berarti melakukan dua hal, yaitu yang
Pertama berusaha menemukan para penulis hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah
sanad-nya dan menunjukannya pada karya-karya mereka, seperti kata-kata akhrajahuh al-
baihaqi, akhrajahu al-thabrani fi mu’jamih atau akhrajahu ahmad fi musnadih.
Penyebutan sumber-sumber hadis dalam definisi di atas, bisa dengan menyebutkan sumber
utama atau kitab-kitab induknya, seperti kitab-kitab yang termasuk pada kutub as-sittah;
atau sunber-sumber yang telah di olah oleh para pengarang berikutnya yang berusaha
menyusun dan menggabungkan antara kitab-kitab utama tersebut, seperti kitab al-
jami’baina as-shahihain oleh al-humaidi; atau sumber-sumber yang berusaha menghimpun
kitab-kitab hadis dalam masalah-masalah atau pembahasan khusus, seperti masalah fiqih,
tafsir atau tarikh.
Kedua, memberikan penilaian kualitas hadis apakah hadis itu sahih atau tidak. Penilaian ini
dilakukan andai kata diperlukan. Artinya, bahwa penilaian kualitas suatu hadis dalam
mentakhrij tidak selalu harus dilakukan. Kegaitan ini hanya melengkapi kegiatan takhrij
tersebut sebab, dengan diketahui dari mana hadis itu diperoleh sepintas dapat dilihat sejauh
mana kaulitasnya.
3
5. Dapat membedakan mana para perawi yang ditinggalkan atau yang dipakai;
6. Dapat menetapkan sesuatu hadis yang dipandang Mubham menjadi tidak Mubham
karena ditemukannya beberapa jalan Sanad, atau sebaliknya;
7. Dapat menetapkan Muttashil kepada hadis yang diriwayatkan dengan menggunakan
Adat At-Tahammul Wa Al-a-da’ (kata-kata yang dipakai dalam penerimaan dan
periayatan hadis) dengan an’anah (kata-kata an/dari);
8. Dapat memastikan identitas para perawi, baik berkaitan dengan kun-yah (julukan),
laqab (gelar), atau nasab (keturunan), dengan nama yang jelas.
Kegiatan men-takhrij hadis muncul dan diperlukan pada masa ulama Mutaakhirin. Sedang
sebelumnya, hala ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan ulama
Mutaqaddimin menurut Al Iraqi, dalam mengutip hadis-hadisnya tidak pernah
membicarakan dan menjelaskan darimana hadis itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas
hadis-hadis tersebut, sampai kemudian datang An-nawawi yang melakukan hal itu.
Ulama yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud Ath-thahhan ini, ialah Al-
khatib Al-bagdadi (463 H). kemidian dilakukan pula oleh Muhammad bin musa al-hazimi
(W.584 H) dengan karyanya Takhrij Ahadits Al-Muhadzdzab. Ia mentakhrij kitab fiqih
syafi’iyah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama lainnya, seperti Abu Al-Qasim
Al-Husaini dan Abu Al-Qasim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama ini hanya berupa
Mahthuthah (manuskrip) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak
bermunculan kitab-kitab tersebut yang berupaya men-takhrij kitab-kiatab dalam berbagai
disiplin ilmu agama.
Yang termasyhur di antara kitab-kitab tersebut, selain karya Muhammad bin Musa Al-
Hazimi di atas, ialah kitab takhrij Ahadts Al-Mukhtashar Al-Kabir karya Muhammad bin
Ahmad Abd Al-Hadi Al-Maqdisi (w. 744 H), Nashb ar-rayah li ahadits al-hidayah dan
takhrij ahadits al-kasysyaf, keduanya karya Abdullah bin yusuf Al-Zaila’i(w. 762 H), dan
Al-Badr Al-Munir fi Takhrij Al-Ahadits wa Al-Atsaral-Waqi’ah fi Syarh Al-Kabir karya
Ibn Al-Mulaqqin (w. 804 H)
Pada garis besarnya ada lima cara atau jalan untuk mentakhrij hadis, yaitu:
4
1. Melalui pengenalan nama sahabat perawi hadis
2. Melalui pengenalan awal lafaz atau matan suatu hadis
3. Melalui pengenalan kata-kata yang tidak banyak beredar atau dikenal dalam
pembicaraan, tetapi merupakan bagian dari matan hadis (letak kata-kata tersebut bisa
dimana saja, di awal, di tengah atau di akhir matan
4. Melalui pengenalan topic yang terkandung dalam matan hadis
5. Melalui pengamatan tertentu terhadap apa yang terdapat dalam suatu hadis, baik matan
atau sanadnya.
Cara men-takhrij seperti ini hanya bisa dilakukan apabila telah diketahui nama sahabat
yang meriwayatkan hadis tersebut. Apabila nama sahabat diketahui maka pentakhrij –an
dapat dilakukan dengan bantuan tiga macam kitab hadis, yaitu al-masanid (kitab musnad),
al-ma’ajim (kitab-kitab mu’jam), dan kutub al-athraf.
a. Al-Masanid (kitab-kitab musnad)
Al-masanid adalah jamak dari al-musnad yaitu semacam kitab yang disusun berdasarkan
nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Susunan nama-nama sahabat dalam kitab-
kitab musnad tidaklah sama ada yang disusun secara alfabetis,dan ada yang disusun
berdasarkan kelompok urutan waktu masuk islam atau keutamaan sahabat, di samping ada
pula yang disusun berdasarkan keutamaan kabilah atau kota.
Hasil karya berupa kitab musnad ini cukup banyak. Ath-thahhan menyebutkan sebanyak
sepuluh kitab yang diantaranya ialah musnad karya ahmad bin hanbal, musnad karya abu
bakr Abdullah bin az-zubair al-humaidi, dan musnad karya abu daud sulaiman bin daud
ath-thayalisi. Dari kitab-kitab yang disebutkannya dua di antaranya dibicarakan ath-
thahhan lebih lanjut yaitu musnad ahmad bin hanbal dan musnad abu bakr al-humaidi.
5
al-Mu’jam Ash-Shahabah karya Abu Ya’la Ahmad bin Ali al-Maushuli (w.307 H).
c. Kitab-Kitab Al-Athraf
Kata al-athraf jamak dari ath-tharf (sisi atau bagian). Maka kata tharf al-hadits, berarti
bagian dari matan yang menunjukan sisanya. Seperti kata kullukum ra’in, atau kata bunia
al-islam ‘ala khamsin. Kalimat yang pertama merupakan bagian atau potongan dari hadis
yang menjelaskan tentang kepemimpinan seseorang, seorang imam, atau seorang wanita.
Kalimat yang kedua, merupakan potongan dari hadis tentang dasar-dasar islam.
Pada kitab-kitab seperti ini, penyusun menyebutkan sebagian dari matan hadis dengan
menyebutkan sanad-nya, baik secara lengkap atau tidak. Kitab-kitab athraf pada umumnya
disusun berdasarkan nama-nama sahabat secara alfabetis, di samping ada juga yang
menyusunnya berdasarkan urutan alfabetis berdasarkan kata-kata awal dari matan
hadisnya.
Di antara kitab-kitab athraf ialah:
- Athraf as-shahihain karya abu mas’ud ibrahim bin Muhammad ad-dimasqi (w. 401 H).
- Al-asyraf ‘ala ma’rifat al-athraf karya ibn ‘Asakir (w. 571 H)
- Tuhfah al-Asyraf bi ‘Ma’rifat al-Athraf karya abu al-Hajjaj Yusuf Adurrahman al-Mizzi
(w.742 H).
- Dzakhair Mawarits fi ad-Dalalah ‘ala Mawadhi’I al-hadits karya Abd al-Mugni an-
Nablusi (1050-1143).
Pada kitab-kitab yang terakhir ini menjadikan kutub as-sittah (dua kitab al-jami ‘ash-
shahih dan empat kitab as-sunan) dan al-muwaththa’ sebagai sumbernya.
Dengan mengenal awal matan suatu hadis, maka hadis dapat di takhrij dengan
menggunakan bantuan beberapa kitab hadis yang dapat menunjuk kepada sumber
utamanya. Kitab-kitab dimaksud, ialah kitab-kitab yang memuat tentang hadis-hadis yang
terkenal (al-musytaharah)nya disusun secara alfabetis,dan kitab-kitab kunci serta daftar isi
kitab-kitab hadis tesebut.
a. Kitab-Kitab Yang Memuat Hadis-Hadis Yang Banyak Dikenal Orang
yang dimaksud dengan hadis-hadis yang banyak dikenal orang atau al-musytaharah dalam
pembicaraan orang banyak, ialah hadis-hadis yang banyak beredar di masyarakat. Hadis-
hadis tersebut adakalanya shahih, hasan,atau dha’if, bahkan Maudhu. Untuk itu, para
6
ulama telah menyusun kitab-kitab penunjuk yang menunjukan hadis-hadis yang beredar
kepada sumber asalnya. Dengan demikian,akan menjadi jelas nama yang harus menjadi
pegangan umat dan mana yang harus ditinggalkan. Kitab-kitab seperti ini banyak disusun
oleh para ulama antara abad 10 sampai 13 hijriah. Di antara kitab-kitab tersebut adalah:
7
Pembicaraan
Untuk bagian ini, alat yang dipakai ialah al-mu’jam al-mufahras li alfazh al-hadits an-
nabawi oleh A.J. Wensink, yang diterjemahkan ke dalam bahasa arab oleh Muhammad
fuad Abd al-baqi. Kitab ini disusun dengan merujuk kepada sembilan kitab hadis induk,
yaitu dua kitab al-jami ‘ash-shahih, empat kitab as-sunan, al-muwaththa’ Malik bin Anas,
musnad Ahmad bin Hanbal, dan musnad ad-darimi.
• akitab-kitab yang memuat selurh bab dan topic ilmu agama. Kitab seperti ini banyak
sekali, di antaranya kitab al-jawami, al-mustakhrajah, al-mustadrakah ‘ala al-jawami’, al-
majami’, az-zawaid, dan miftah kunuz as-sunnah.
• Kitab-kitab yang memuat banyak bab atau topic, akan tetapi tidak mencakup seluruh bab
secara lengkap, seperti kitab-kitab as-sunan al-muwaththa’ah, dan al-mustakhrajah ‘ala as-
sunan.
• kitab-kitab yang hanya membahas bab atau topic-topik khusus, seperti kitab at-tarhib, at-
targip, al-akhlak, dan al-ahkam.
Kitab miftah kunuz as-sunnah yang disusun oleh Muhammad fuad Abd al-baqi merujuk
kepada 14 kitab, yaitu : shahih al-bukhari, shahih muslim, sunan abu daud., jami’at-
turmudzi, sunan an-nasa’I, sunan Ibn Majah, sunan Ibn Malik, musnad Ahmad, musnad
Abu Daud ath-thayalisi, sunan ad-Darimi, musnad Zaid bin Ali, sirah Ibn hisyam, Magazi
al-waqidi, dan thabaqah Ibn Sa’ad.
8
kitab al-maudhu’ah al-kubra’, begitu juga jika diketahui pada hadis tersebut ada cirri-ciri
hadis qudsi, dapat dilihat lebih lanjut pada kitab-kitab, seperti pada misykah al-anwar
fi’ma’ruwiya’an illahi subhanahu wa ta’ala min al-akhbar. Begitu juga halnya dengan cirri-
ciri yang ditemukan pada sanadnya.
E. Ringkasan
Takhrij adalah mengumgkapkan atau mengeluarkan hadits kepada orang lain dengan
menyebutkan para perawi yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai yang
mengelaurkan hadits). Misalnya dikatakan : hadza hadits akhrajahu al-bukhari atau
kharrajahu al-bukhari ( hadist ini dikeluarkan oleh al-bukhari
Me-ntakhrij, berarti melakukan dua hal, yaitu yang pertama berusaha menemukan para
penulis hadis itu sendiri dengan rangkaian silsilah sanad-nya dan menunjukannya pada
karya-karya mereka, seperti kata-kata akhrajahuh al-baihaqi, akhrajahu al-thabrani fi
mu’jamih atau akhrajahu ahmad fi musnadih.
Ada beberapa manfaat dari takhrijul hadis antara lain sebagai berikut :
1. memberikan informasi bahwa suatu hadis termasuk hadis shahih, hasan, ataupun
dha’if, setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya;
2. memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu
hadis adalah hadis makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya
apabila diketahui bahwa suatu hadis adalah mardud (tertolak)
3. menguatkan keyakinan bahwa suatu hadis adalah benar-benar berasal dari rasulullah
SAW. Yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran
hadis tersebut, baik dari segi sanad maupun dari segi matan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. Utang Ranuwijaya, M.A., Ilmu Hadis, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2001.
2. Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Bulan Bintang,
Jakarta, 1954.
3. Drs. H. Muhammad Ahmad, Drs. M.Mudzakir, Ulumul Hadis, Pustaka Setia, Bandung,
2004.
9
10