Anda di halaman 1dari 30

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hadist merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an yang memang
keberadaannya mutlak dan harus diakui. Oleh karena itu, mempelajari dan mengkaji hadist
juga merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim, karena untuk mengamalkan ajaran-
ajaran yang terdapat pada hadist Nabi, kita harus mengetahui hal-hal yang terkandung di
dalam hadist tersebut.

Mengenai masalah pembukuan hadist, hal ini baru terjadi dalam rentang waktu
yang cukup lama yaitu hampir seratus tahunsetelah Nabi Muhammad Saw wafat, ditambah
lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang yang dipalsukan. Serta yang
menjadi permasalahan pengkajian hadits itu dikarenakanan jauhnya jarak antara masa
hidup Nabi Saw sebagai sumber hadits dengan masa kodifikasi (pembukuan) hadits
tersebut sering dijadikan senjata paling ampuh untuk mendeskreditkan hadits itu sendiri
dan merongrong keyakinan umat Islam pada umumnya. Terlebih lagi diketahui bahwa
kehidupan Nabi Saw miskin dari budaya baca-tulis, meskipun dikenal sebagai komunitas
dengan hafalan yang luar biasa. Oleh karena itu sangat penting untuk mempelajari ilmu-
ilmu yang berkaitan dengan hadits.

Disamping memahami dan mengkaji hadist, kita juga harus meneliti apakah hadist
itu benar berasal dari Nabi atau hanyalah hadist dhaif bahkan palsu. Suatu hadist yang
sebelumnya tidak diketahui keadaanya atau kualitasnya sehingga seolah-olah dianggap
tidak ada, maka dilakukanlah berbagai macam penelitian seperti ulum al-hadits, ilmu
mushthalah al-hadits, ushul al-hadits, takhrij hadist dan sebagainya.

Berkaitan dengan hal itu, untuk menjaga dan mengetahui keabsahansuatu hadist
dipelajariah ilmu takhrij hadist, yaitu penyebutan sanadnya secara bersambung sampai
kepada yang mengucapkannya. Dengan mempelajari cabang ilmu hadits ini, maka suatu
hadits akan diketahui dengan jelas eksistensinya dan akan diketahui kualitasnya sehingga
dapat diamalkan.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Takhrij Hadits?

2. Tujuan ilmu takhrij hadits

3. Manfaat takhrij hadits

4. Sejarah takhrij hadits

5. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab Takhrij Hadits?

6. Kitab-kitab apa saja yang diperlukan dalam mentakhrij hadits?

7. Bagaimana cara mentakhrij hadits?

8. Contoh takhrij hadits

1.3 Tujuan Penulisan

Makalah ini memuat materi mengenai Ilmu Takhrij Hadits ini ditulis dengan tujuan
memenuhi tugas kelompok pada Mata Kuliah Ulumul Hadits. Selain itu, makalah ini juga
ditulis unutuk meningkatkan pengetahuan kita semua terutama penulis mengenai masalah
hadits dengan cabang Ilmu Takhrij. Hal ini sangat berguna bagi kita semua, karena dengan
mempelajarinya kita bisa membedakan hadits-hadits shahih, dhaif dan sebagainya. Serta
makalah ini disusun dengan sistematis demi menjawab semua rumusan masalah yang telah
tersebut sebelumnya, hal ini untuk mempermudah kita mengenal Ilmu Takhrij Hadits.

2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Takhrij Hadits

Kata Takhrij berasal dari bahasa Arab (‫ )خرج يخرج خروجا‬mendapat tasydid pada


huruf ra’ yang disitu adalah ain fi’il menjadi (‫ )خ>>>>رّج يخ>>>>رّج تخريجا‬yang bermakna
menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan, dan menumbuhkan. Demikian
ْ yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan al-
juga kata al-ikhraj (‫)اإِل ْخ َرج‬
makhraj (‫ )ال َم ْخ> َرج‬artinya tempat keluar.1 Juga bisa berarti penyatuan dua hal yang saling
bertentangan. Selain itu takhrij juga bisa memiliki arti sama dengan al-
istinbath (mengeluarkan), al-tadrib (meneliti), dan al-taujih (menerangkan). Maknanya
juga bisa dari makna al-ikhraj yang sama dengan al-ibraz (menjelaskan) dan al-
idzhar (menampakkan).

‫ْن فِى َشىْ ٍء َوا ِح ٍد‬ َ ‫ْن ُم َت‬


ِ ‫ضا َدي‬ ِ ‫اِجْ ِت َما ُع اَ ْم َري‬

Artinya: “kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah”

Menurut Jumhur Ulama

‫ ُث َّم َب َيان َمرْ َت َبتِه عِ ْن َد‬.‫أخ َر َج ْته ِب َس َندِه‬


ْ ‫صاد ِِره األصْ لِيَّة التي‬ َ ‫ال َّت ْخ ِر ْي ُج ه َُو ال ِّداَل لَة َع‬
َ ‫لى َم ْوضِ ِع‬
َ ‫الح ِديْث فِي َم‬

‫أخ َر َجه‬ َ ‫ ِذ ْك ُر المُؤلِّفِ التي ي ُْو َج ُد فِيْها ذلك‬,‫الح ِديْث‬


ْ :‫الح ِديْث َك َق ْولِنا َمثال‬ َ ‫الحاج ِة الم َُرا ُد ِبال ِّداَل لَة َعلى َم ْوضِ ِع‬
َ

‫ص ِح ْيحِه‬
َ ‫البخاري في‬

Artinya : “Menunjukkan letak Hadits dalam sumber-sumber yang asli (sumber primer) di
mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits dalam sumber-
sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian
menjelaskan Hadits itu bila perlu. Menunjukkan letak Hadits suatu Hadits berarti
menunjukkan sumber-sumber dalam Hadits itu diriwayatkan, misalnya pernyataan  ‫أخرجه‬
‫البخاري في صحيحه‬    (Al-Bukhori mengeluarkan Hadits dari kitab sahihnya)”.2

Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadits pada sumber aslinya


yang mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika
1
Teuku Muhammad Hashbi ash-Shidqi, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang : Pustaka Rizki
Putra, 2009), hal.148.
2
M. Agus Salahuddin, Ulumul Hadits, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hal.189.

3
diperlukan.3 Takhrij Hadits adalah salah satu bagian dari kegiatan penelitian hadits. Kata
takhrij secara bahasa berarti istinbath (mengeluarkan), tadrib (memperdalam) dan taujih
(menampakkan) dan kata itu dalam kaidah bahasa arab berasal dari kata kharaja yang
berarti nampak atau jelas.4 Sedangkan menurut Mahmud Thahhan, takhrij itu asalnya
adalah berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah (Ijtima’u
amraini mutadladlaini fi syaiin wahid).

Kata ‘Mengeluarkan’, yaitu mengeluarkan hadits dari dalam kitab dan


meriwayatkannya. Al-Sakhawy mengatakan dalam kitab Fathul Mughits sebagai
berikut, “Takhrij adalah seorang muhadis mengeluarkan hadis-hadisdari dalam ajza’, al-
masikhat, atau kitab-kitab lainnya. Kemudian hadis tersebut disusun gurunya atau teman-
temannya dan sebagainya, dan dibicarakan kemudian disandarkan kepada pengarang
atau penyusun kitab itu”.

Pengertian secara istilah ini, banyak para ulama yang berbeda pendapat,
diantaranya menyebutkan pengertian takhrij hadits sebagai berikut :

1. Mengemukakan hadits pada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya


dalam sanad yang telah menyampaikan hadits itu dengan metode periwayatan yang
mereka tempuh.

2. Mengemukakan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh para guru hadits,
atau berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat
sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyususn kitab atau karya
tulis yang dijadikan sumber pengambilan.

3. Menunjukkan pada sumber hadits asli dan menyandarkan hadits tersebut pada kitab
sumber asli dengan menyebutkan perawi penyusunnya. Menunjukkan atau
mengemukakan letak asal hadits pada sumber yang asli, yakni kitab yang di
dalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu
untuk kepentingan penelitian.5

Pengertian Takhrij al-Hadits dari beberapa pengertian, di antaranya ialah:

3
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, (Malang : UIN Malang Press, 2008), hal.11.
4
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadits, (Semarang : Dina Utama, 1994), hal.2.
5
Wardah Chece, Ilmu Takhrij Hadist, (Jum’at 22 Agustus 2014, 00:12), dalam
wardahcheche.blogspot.co.id/2014/08/ilmu-takhrij-hadits.html.

4
1. Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu
terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya,
penyusun hadits mengakhiri penulisan haditsnya dengan kata-kata akhrajahul
Bukhari artinya bahwa hadits yang dinukil itu terdapat dalam kitab Jami’us Shahih
Bukhari.

2. Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadits yang tidak diterangkan oleh
penyusun atau pengarang suatu kitab.

3. Mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber dengan


mengikutsertakan metode periwayatannya dan kualitas haditsnya.

4. Mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli secara lengkap dengan
matarantai sanad masing-masing dan dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan.6

Dari sekian banyak pengertian takhrij di atas, yang dimaksud takhrij dalam


hubungannya dengan kegiatan penelitian hadits lebih lanjut, maka takhrij berarti
“Penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai
sumber asli dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan
secara lengkap matan dan matarantai sanad yang bersangkutan”.7

Pengertian Takhrij Hadits menurut para ahli Hadits yaitu :

1. Menunjukan asal usul hadits dan mengemukakan sumber pengambilannya dari


berbagai kitab hadits yang disusun Mukhorrijnya langsung, kegiatan takhrij seperti
ini sebagaimana yang dilakukan oleh para penghimpun hadits dari kitab-kitab
hadits, misalnya Ibnu Hajar al-‘Asqalani yang menyusun kitab Bulugh al-Maram.

2. Mengemukakan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan peristiwanya


dengan sanad lengkap serta dengan menyebutkan metode yang mereka tempuh,
inilah yang dilakukan para penghimpun dan penyusun kitab hadits, seperti al-
Bukhari yang menghimpun kitab hadits Shahih al-Bukhari.

3. Mengemukakan hadits berdasarkan kitab tertentu dengan disertakan metode


periwayatannya dan sanadnya serta penjelasan keadaan para periwayatnya serta
kualitas haditsnya, takhrij seperti ini dilakukan oleh Zain al-Din ‘Abd al-Rahman
ibn al-Husai al-‘Iraqi yang melakukan takhrij terhadap hadits-hadits yang dimuat

6
Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadits, (Jakarta : Hijri, 2006), hal.153.
7
Abu Muhammad, Metode Takhrij Hadits, (Semarang : Bina Utama, 1994), hal.2.

5
dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya al-Gazali dengan judul bukunya Ikhbar al-
Ihya’ bi Akhbar al-Ikhya’.8

Dari uraian defenisi di atas, takhrij Hadits dapat dijelaskan sebagai berikut:


pertama, mengemukakan hadits pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya
yang ada dalam sanad hadits itu. Kedua, mengemukakan asal-usul hadits sambil dijelaskan
sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadits yang diperoleh oleh penulis kitab
tersebut dari para gurunya, lengkap dengan sanadnya sampai kepada Nabi Saw. Ketiga,
mengemukakan hadits-hadits berdasarkan sumber pengambilannya dari kitab-kitab yang
didalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad hadits-hadits tersebut, dengan
metode dan kualitas para rawi sekaligus haditsnya.

Dari berbagai pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat dari takhrij


hadits adalah penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab hadits sebagai
sumbernya yang asli yang di dalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanadnya.

2.2 Tujuan Takhrij Hadits

Mengkaji hadits Rasulullah Saw baik sanad maupun matan dengan metode-metode
takhrij, dan mempercepat sampainya kepada tempat-tempat dan sumber-sumber  yang
bermacam-macam. Dan melatih pentakhrij pada suatu cara yang menghasilkan
pengetahuan pada hadits yang diterima atau ditolak. Banyak pendapat para Ulama yang
menguraikan tentang manfaat hadits, hal ini karena hadits begitu penting untuk dipelajari
dan dicari tahu kebenarannya agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun secara ringkas, tujuan Takhrij hadits ada tiga menurut ustadz Ahmad Luthfi yaitu :

1. Tujuan Awal: Mencari tahu siapa perawi hadis itu; ada di mana, di Kitab apa, bab
apa, dan jilid, halaman serta nomor berapa.

2. Tujuan Akhirnya: Mengetahui bagaimana hukum hadis itu; Apakah Shahih, Hasan,
Dhaif, atau Palsu.

3. Sasaran dan tujuan akhir mentakhrij: Apakah hadis ini boleh dijadikan dalil, atau
tidak.9

8
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), Cet.I,
hal.41-42.

6
2.3 Manfaat Ilmu Takhrij Hadits

Manfaat dari ilmu takhrij hadits dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :

a. Manfaat bagi Sanad

1. Merangkum sejumlah besar sanad-sanad hadits dan jalan-jalannya pada sumber


yang berbeda-beda.sehingga akan tersingkap sanad yang bersambung, terputus, dan
yang lainnya.

2. Menguatkan sanad hadits.

3. Mengetahu derajat suatu hadits.

4. Membedakan nama rawi yang muhmal.

5. Menjelaskan nama rawi yang mubham.

6. Menghilangkan kemungkinan tadlis dalam riwayat ‘an’anah nya seorang mudallis.

7. Menghilangkan kemungkinan ragunya seorang guru yang mukhtalith.

b. Manfaat bagi matan

1. Mengetahui maksud yang digambarkan oleh suatu hadis.

2. Mengetahui sababul wurud hadis.

c. Manfaat bagi matan dan sanad sekaligus

1. Mengetahui beberapa sumber dari suatu hadis.

2. Mengetahui illat pada sanad dan matan.

3. Mengetahui cacat pada suatu sanad hadis atau matannya.10

Penguasaan tentang ilmu takhrij sangatlah penting, bahkan merupakan suatu


kewajiban bagi setiap ilmuan hadits. Dengan mempelajari kaidah-kaida da metode takhrij,
seseorang akan mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadits yang benar-
bernar bersumber asli dari Nabi Saw yang pertama kali disusun oleh para Ulam
pengkodifikasian hadits.
9
Wardah Chece, Ilmu Takhrij Hadist, (Jum’at 22 Agustus 2014, 00:12), dalam
wardahcheche.blogspot.co.id/2014/08/ilmu-takhrij-hadits.html.
10
Ibid,.

7
Menurut Syaikh Manna al-Qathan, ada beberapa manfaat dari Takhrij al
Hadits antara lain sebagai berikut:

1. Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadits yang menjadi
topik kajian.

2. Dapat diketahui kuat tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan riwayat.


Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan riwayat tidak bertambah.

3. Memberikan informasi bahwa suatu hadits termasuk hadits shahih, hasan,


ataupun dhaif, setelah diadakan penelitian dari segi matan, sanad maupun rawinya.

4. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa
suatu hadits adalah hadits maqbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak
mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak).

5. Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadits adalah benar-benar berasal dari


Rasulullah Saw yang harus kita ikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang
kebenaran hadits tersebut, baik dan segi sanad, matan maupun rawi.

6. Latar belakang kebutuhan.11

Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij adalah menunjukan
sumber hadits dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadits tersebut. 12 Serta ia
mengemukakan manfaat secara rinci dari ilmu takhrij hadits itu ada dua puluh yaitu :

1. Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dari suatu hadits beserta


Ulama yang meriwayatkannya.

2. Menambah perbendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang ditunjukannya

3. Memperjelas keadaan sanad, sehingga dapat diketahui apakah munqathi’ (hadits


yang saadnya tidak bersambung dari semua sisi), Mu’dhal (hadits yang hilang atau
gugur dua orang perawi di dalam sanadnya), atau lainnya.

4. Memperjelas hukum hadits dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadits dhaif


melalui suatu riwayat, maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat
lain yang dapat mengangkat status hadits tersebut kepada derajat yang lebih tinggi.

11
Syaikh Manna Al-Qathan, Pent. Mifdhol Andurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2005), Cet.I, hal.205.
12
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 1998), hal.398.

8
5. Mengetahui pendapat-pendapat para Ulama sekitar hukum hadits.

6. Memperjelas perawi hadits yang samar, kerena dengan adanya takhrij dapat
diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.

7. Memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan


diantara sanad-sanad.

8. Dapat menafikan pemakaian ‘an’ dalam periwayatan hadits oleh seorang mudallis.
Dengan dipatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas kebersambungan
sanadnya, maka periwayatan yang memakai ’an tadi akan tampak pula
kebersambungan ayatnya.

9. Dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya pencampuran riwayat.

10. Dapat membatasi nama yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-
perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain, maka
nama perawi itu akan jelas.

11. Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.

12. Dapat memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad.

13. Dapat menghilangkan syadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat perawi
yang lebih tsiqat) yang terdapat pada suatu hadits melalui perbandingan riwayat.

14. Dapat membedakan hadits yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari
yang lainnya.

15. Dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang
perawi.

16. Dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.

17. Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan oleh lafaz dan yang
dilakukan dengan makna saja.

18. Dapat menjelaskan masa dan tempat kejadian timbulnya hadits.

19. Dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadits melalui perbandingan sanad-


sanad yang ada.

9
20. Dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui
perbandingan-perbandingan sanad yang ada.13

2.4 Sejarah Takhrij Hadits

Para ulama salaf tidak pernah kesulitan untuk melacak hadits, karena mayoritas
hadits sudah mereka hafal. Tidak terbatas matan dan sanadnya namun juga sumber tempat
hadits tersebut diriwayatkan dan juga kualitas tiap-tiap hadits dengan penguasaan yang
begitu rinci.14 Mereka tidak lagi membutuhkan buku untuk menemukan hadits, cukup
dengan kembali pada hafalan-hafalan mereka yang begitu kuat. Sejalan dengan berlalunya
waktu, hafalan generasi berikutnya mulai memudar hingga dibutuhkan sumber-sumber
tertulis untuk memudahkan pelacakan informasi yang dibutuhkan.

Dari sinilah kemudian dengan melihat kebutuhan yang begitu mendesak banyak
ditulis buku-buku yang berkaitan dengan takhrij hadits untuk mempermudah menemukan
hadits pada sumbernya dan dengan menjelaskan metodenya, serta menerangkan hukumnya
dari shahih hingga yang dha’if.15

Ulama yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud Ath-Thahhan adalah


Al-Khaththib Al-Baghdadi (w. 436 H). Kemudian, dilakukan pula oleh Muhammad bin
Musa Al-Hamzimi (w. 584 H) dengan karyanya yang berjudul Takhrij Ahadits Al-
Muhadzab. Ia mentakhrij kitab fiqih Syafi’iyah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga
ulama lainnya, seperti Abu Qasim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama ini hanya
beberapa mahthuthah (manuskrip) saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak
bermunculan kitab yang berupaya mentakhrij kitab-kitab dalam berbagai ilmu agama.

Pada mulanya, ilmu takhrij tidak dibutuhkan oleh para ulama dan peneliti hadits
karena pengetahuan mereka tentang sumber hadits ketika itu  sangat luas dan baik.
Hubungan mereka dengan sumber hadits juga kuat sekali, sehingga apabila mereka
menjelaskan sumber hadits tersebut dalam berbagai kitab hadits, yang mana metode dan
cara-cara penulisan kitab-kitab tersebut mereka ketahui. Dengan kemampuan yang mereka
miliki, mereka dengan mudah dapat menggunakan dan mencari sumber dalam rangka

13
Abdul Mahdi ibn ‘Abd al-Qadir dan Abu Muhammad, Turuq Takhrij Hadits Rasul Allah Saw, terj.
Agil Husin Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar, (Semarang : Dina Utama, 1994), hal.6-7.
14
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, hal.11.
15
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, hal.172.

10
men-takhrij hadits. Bahkan, apabila di hadapan seorang sumber aslinya, ulama tersebut
dengan mudah dapat menjelaskan sumber aslinya.16

Ketika para ulama mulai merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu
hadits, yaitu setelah berjalan beberapa periode tertentu dan setelah berkembangnya karya-
karya ulama dalam bidang fikih, tafsir dan sejarah yang memuat hadits-hadits Nabi Saw,
yang kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya, maka ulama hadits  terdorong untuk
melakukan takhrij terhadap karya-karya tersebut. Pada saat itu muncullah kitab-
kitab takhrij. Kitab yang pertama muncul adalah karya Al-Kathib Al-Baghdadi, namun
yang terkenal adalah Takhrij Al-Fawaid Al-Muntakhabah Al-Shihah wa Al-
Ghara’ib karya Syarif Abi Al-Qasim Al-Husaini, Takhrij Al-Fawaid Al-Muntakhabah Al-
Shihah wa al-Ghara’ib, karya Syarif Abi Al-Qasim Al-Muhammad ibn Musa Al-Hazimi
Al-Syafi’i. Kitab Al-Muhdzdzab sendiri adalah kitab fikih mazhab Syafi’i yang yang
disusun oleh Abu Ishaq Al-Syirazi.17

Usaha para ulama hadits pada akhirnya menghasilkan berbagai macam tentang
prinsip-prinsip dan tata aturan takhrij, yang secara generatif melahirkan berbagai macam
karya tulis yang kelak dinamai “Kutub al-Takhrij”, kitab-kitab yang tidak hanya berhasil
mengembalikan matan pada transmisinya, tetapi pula menjelaskan aspek orisinalitas dan
kualitas redaksional, bahkan bila dianggap diperlukan menerangkan pula kualitas
transmisinya.

Secara kronologinya proses Takhrijul al-Hadits dalam perkembangannya melalui


fase-fase berikut:

1. Penyebutan hadits-hadits dengan sanad-nya masing-masing. Terkadang pengarang


menitik beratkan pada masalah sanad atau terkadang pada masalah matan.

2. Penyebutan hadits-hadits dengan sanad milik sendiri yang berbeda dengan suatu
kitab terdahulunya. Sanad-sanad pada kitab kedua ini menambah kekuatan hukum
tentang sanad kitab pertama dan dapat menambah redaksi matan.

3. Setelah sunnah-sunnah Nabi terkempul dalam kitab-kitab besar,


pengertian Takhrijul berarti penisbatan riwayat hadits kepada kitab-kitab yang ada
beserta penjelasan kriteria-kriteria hukum hadits-hadits tersebut. Oleh karena itu

16
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor : Ghalia Indonesia,2010), hal.188.
17
Ibid,. hal.189.

11
pada masa kini dapat kita temui kitab-kitab takhrijul hadits tentang fiqih, tafsir,
bahasa, tasawuf, dan lain sebagainya.18

Kitab-kitab induk hadits yang ada mempunyai susunan tertentu dan berada antara
satu dan yang lainnya, yang dalam hal ini memerlukan cara tertentu secara ilmiah agar
penelitian dan pencarian haditsnya dilakukan dengan mudah. Cara praktis dan ilmiah
inilah yang merupakan kajian pokok ilmu takhrij.19

Menurut Mahdi, ilmu takhrij pada awalnya adalah berupa tuturan yang belum


tertulis. Hal ini dimaksudkannya sebelum  munculnya kitab-kitab takhrij seperti Takhrij
Al-Fawa’id Al-Muntakhabah karya Abu Qasim Al-Husayni, Takhrij Al-
Muhadzdzab karangan Muhammad ibn Musa Al-Hazimi Al-Syafi’i, seperti yang telah
disebutkan tadi.20 

2.5 Kitab-kitab yang diperlukan untuk mentakhrij

Dan diantara kitab-kitab takhrij muncullah Kutub At-Takhrij (buku-buku takhrij),


yang diantaranya adalah : 

Pada tahun 1978 M dimulailah penyusunan kitab tentang ilmu takhrij, kaidah-
kaidah, manhaj, dan metodenya. Diantara kitab ilmu takhrij yaitu :

1. Ushul at-Takhrij wa Dirasat al-Asaanid, karya Dr. Mahmud Ath-Thohhan pada


tahun 1978 M.

2. Thuruq Takhrij Hadits Rasulullah Saw, karya Dr. ‘Abd Al-Mahdi bin ‘Abd Al-
Qadir pada tahun 1982 M.

3. Kasyf al-Litsaam ‘an Asrar Takhrij Hadits Sayyid al-Anaam, karya Dr. ‘Abd al
Maujuud Muhammad ‘Abd Al-Lathiif pada tahun 1984 M.

4. Al-Madkhal ila Takhrij al-Ahaadiits wa al-Aatsaar wa al-Hukm ‘Alaiha, karya Dr.


Abu Bakr ‘Abd ash-Shamad bin Bakr bin Ibrahim pada tahun 1410 H.

5. Al-Waadhih fi fann At-Takhrij wa dirasat al-Asaanid, Karya Dr. Sulthon al-


Ukayilah, dkk.

18
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, hal.189.
19
Ibid.
20
Ibid.

12
6. Kaifa Nadrus ‘Ilm Takhrij al Hadits, Karya Dr. Hamzah Malaibari & Dr. Sulthon
Ukayilah.

7. Takhrij Al-Hadits An-Nabawi, Dr. ‘Abd Al-Ghani At-Tamimi.

8. ‘Ilm takhrij Al-Ahaadits, Muhammad Mahmud Bakkar.

9. Manhaj Dirasat Al-Asaanid wa Al-Hukm ‘Alaiha, Dr. Walid Al-‘Ani.21

Hasbi Ash-Shidiqy mengatakan bahwa kegiatan Takhrij hadits telah muncul sejak


abad ke-8 H. Namun pembukuan ilmu ini sebagai ilmu baru yang terkodifikasi baru pada
akhir abad ke-14 H atau pada abad 20 M. 22 Para sejarawan Islam secara berjamaah
menyepakati bahwa usaha pelestarian dan pengembangan hadits terbagi dalam dua periode
besar yaitu periode mutaqaddimin dan periode mutaakhirin.

Periode mutaqaddimin dibagi lagi menjadi beberapa tahap/masa yaitu, masa


turunnya wahyu, masa khulafaurrasyidin (12-40 H), masa sahabat kecil dan tabi’in (40 H –
akhir abad I H), masa pembukuan hadits (awal-akhir abad II H), masa pentashihan dan
penyaringan hadits (awal-akhir abad III,) sekitar pada masa yang terakhir inilah Imam
Bukhari menulis kitab yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih (w. 256 H) disusul
Imam Muslim (w.261 H).  Kalau para ulama mutaqaddimin menghimpun hadits dengan
menemui sendiri para penghafalnya maka ulama mutaakhirin menukil dari kitab-kitab
susunan ulama mutaqaddimin. Masa inilah para ulama mempergunakan
sistem istidrak dan istikhraj. Sehingga bermunculan kitab-
kitab mustadrak dan mustakhraj.

Pada abad kelima dan abad ke tujuh para ulama hanya berusaha untuk
memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan hadits Bukhari dan Muslim dalam satu kitab
untuk mempermudah jalan pengambilannya. Dalam abad ini pula timbul istilah al-Jami’
al-Jawami dan al-Takhrij.23

Ilmu hadits baru berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu pada masa al-Qadhi Ibnu
Muhammad al-Ramahurmudzi (265-360 H). Selanjutnya diikuti oleh al-Hakim al-
Naisaburi (321-405 H), Abu Bakr al-Baghdadi (463 H). Para
ulama mutaqaddiminmenyebutnya dengan ulumul hadits dan
21
Wardah Chece, Ilmu Takhrij Hadist, (Jum’at 22 Agustus 2014, 00:12), dalam
wardahcheche.blogspot.co.id/2014/08/ilmu-takhrij-hadits.html.
22
Octoberriyansah, Al-Hadits, hal.132-132.
23
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta :
Prenada Media, 2003), hal.36.

13
ulama mutaakhirin menyebutnya ilmu musthalahul hadits. Jadi kalau menganalisa kedua
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah masa inilah muncul ilmu takhrij hadits
sebagai bagian dari ilmu hadits.

Pada mulanya  pencarian hadits tidak didukung oleh  metode tertentu karena 
memang tidak dibutuhkan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa para ahli hadits
mempunyai  kemampuan menghafal dan itu yang menjadi alat  dan sekaligus  metode 
pencarian  hadits bagi mereka. Ketika mereka membutuhkan hadits sebagai penguat dalam
waktu singkat  mereka dapat menemukan  tempatnya  dalam kitab-kitab hadits bahkan
jilidnya atau setidaknya mereka dapat mengetahuinya dalam  kitab-kitab hadits dengan
dugaan kuat.

Kegiatan takhrij mengalami perkembangan seiring dengan perhatian ulama


terhadap pemeliharaan hadits. Kegiatan takhrij al hadits pada awalnya berupa pencarian
dengan mengeluarkan hadits dari ulama yang mengetahui suatu hadits atau beberapa hadits
dari ulama yang memenuhi syarat sebagai periwayat hadits. Metode takhrij seperti ini 
ditempuh oleh imam Bukhori, imam Muslim dan imam al-Sittah yang lainnya. Takhrij al-
Hadits pada tahap pertama ialah dalam bentuk khusus, yaitu menelusuri satu persatu ulama
yang memiliki hadits dari berbagi tempat.24

Takhrij al-Hadits kemudian mengalami perkembangan sebagaimana yang telah 


dilakukan  oleh imam Baihaqi, yaitu mengambil  hadits dari kitab hadits selain dari ulama
secara langsung, kemudian beliau mengemukakan sanadnya sendiri.

Ibn hajar al-‘Asqalani memperluas jangkauan Takhrij al-Hadits sebagai upaya


untuk menyusun hadits secara tematik dengan menumpulkan dan mengutip hadits-hadits
yang semakna dari berbagai kitab hadits dengan menyebutkan mukharrijnya masing-
masing dan sahabat yang meriwayatkannya. Hasil Takhrij al-Hadits ibn Hajar, diantaranya
berjudul ‘Bulug al-Maram Min Adillah al-Ahkam’.

Takhrij al-Hadits yang sedang dikembangkan di masa sekarang ini adalah  identik


dengan penelitian  kepustakaan,  yaitu mencari hadits dari berbagai  kitab  yang memuat
berbagai hadits yang lengkap dengan  matan dan sanadnya.

Sudah banyak kitab-kitab takhrij yang berhasil disusun para tokoh-tokoh Hadits,


walaupun masih terdapat kekurangan-kekurangannya, sebab belum dapat memberikan
24
Ahmad Muslimin, Takhrij al-Hadits, (7 agustus, 2016), dalam
ahmadmusliminblog.wordpress.com.

14
petunjuk-petunjuk bagaimana melakukan praktek takhrij secara sistematis. Pada abad
terakhir ini muncul kitab-kitab takhrij yang berhasil disusun para tokoh hadits tergolong
sistematis, seperti kitab Ushul al Takhrij wa Dirasat al Asanid, oleh Muhammad al
Thahhan (1398 H/1978 M), kitab Turuq Takhrij Hadits Rasuli Shalla Allahu ‘alihi wa
sallam, oleh Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi (1408
H/1987 M), dan kitab-kitab Takhrij lainnya.

2.6 Faktor Yang Menjadikan Takhrij Hadist Itu wajib dilakukan

Ada beberapa faktor utama yang melatarbelakangi kebutuhan terhadap kegiatan


penelitian terhadap hadits ‘Takhrij al-Hadits’ yang dilakukan oleh seorang atau beberapa
peneliti hadits diantaranya sebagai berikut :

1. Mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti.

Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadits dalam hubungannya
dengan kegiatan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti
adalah mengetahui asal-usul periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab tanpa mengetahui
asal-usulnya sanad dan matan hadits yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk
diketahui matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa
diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang peneliti
mengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara baik dan cermat. Makanya dari
faktor ini, kegiatan penelitian hadits (takhrij) dilakukan.

2. Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits bagi hadits yang akan diteliti.

Maksudnya adalah mengingat redaksi hadits yang akan diteliti itu bervariasi antara
satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap
semua periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad hadits
tersebut berkualitas dha’if dan yang lainnya berkualitas shahih.

3. Mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada mata rantai sanad.

Mengingat salah satu sanad hadits yang redaksinya bervariasi itu dimungkinkan
ada perawi lain yang sanadnya mendukung pada sanad hadits yang sedang diteliti, maka
sanad hadits yang sedang diteliti tersebut mungkin kualitasnya dapat dinaikkan
tingkatannya oleh sanad perawi yang mendukungnya. Dari dukungan tersebut, jika

15
terdapat pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini
dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau
ketiga (seperti pada tingkatan tabi’in atau tabi’it tabi’in), maka disebut sebagai mutabi’.
Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits dapat dilaksanakan dengan
baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan
matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana yang
ada syahid dan mutabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat dengan mudah
dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya.25

Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian


serius karena didalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadits itu
berasal. Disamping itu, didalamnya banya ditemukan kegunaan dan hasil yang diperoleh,
khusunya dalam menentukan kualitas sanad hadits.

Dengan mengetahui hadits di dalam buku-buku sumbernya yang asli, sekaligus


akan mengetahui sanad-sanadnya, dan hal ini akan memudahkan untuk melakukan
penelitian sanad dalam rangka untuk mengetahui status dan kualitasnya. Kebutuhan ini
akan sangat dirasakan ketika mengetahui sebagian para penyusun kitab-kitab dalam bidang
Fiqh, Tafsir dan sejarahyang memuat hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, tidak
menuliskan hadits tersebut dengan sempurna. Mereka mungkin hanya meringkas hadits
tersebut pada bagian-bagian yang mereka perlukan saja, atau mereka tuliskan lafadznya
dan pada saat yang lain haya maknanya saja, bahkan kadang-kadang ada yang menuliskan
lafadznya namun tidak menyebutkannya sebagai hadits kerena telah masyhurnya dalam
pengucapan sehari-hari, seperti hadits tentang niat, atau sebaik-baik urusan adalah
pertengahan dan sebagainya. Selain itu, ada juga hadits yang penyebutannya tanpa
memberikan klarifikasi apakah statusnya Marfu’, Mauquf, atau Maqthu’ yang tentunya
berlanjutnya kepada status dan kualitas hadits tersebut.26

2.7 Metode dan Langkah-langkah Takhrij Hadits

Secara garis besar ada dua cara dalam melakukan Takhrij al-Hadits, yaitu
pertama, Takhrij al-Hadits dengan cara konvensional. Maksudnya adalah
melakukan Takhrij al-Hadits dengan menggunakan kitab-kitab Hadits. Kedua, Takhrij al-
25
Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Hadi, Metode Takhrij Hadits, Ptj. Said Agil
Husin Munawae, (Semarang : Dina Utama,1994), hal.4-10.
26
Al-Ghamari, Hushul al-Tafrij bi usul al-Tharik, (Riyad : Maktabat Tarbiyah,1994), Cet.I, hal.45.

16
Hadits dengan menggunakan perangkat komputer melalui bantuan CD-ROM dengan
program aplikasi berbasis komputer Takhrij al-Hadits.

Setidaknya ada lima metode yang dapat dipergunakan dalam kegiatan Takhrij al-
Hadits secara konvensional. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya
tersendiri, meski tujuan akhir takhrij dengan metode-metode itu tetap sama, yaitu
menentukan letak suatu Hadits dan menentukan kualitas Hadits tersebut. Kelima metode
itu adalah:

1. Metode takhrij berdasarkan perawi hadits pertama

Metode Takhrij al-Hadits melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi


Hadits. Diantara kitab-kitab Hadits sumber, banyak yang ditulis dengan mengikuti sistem
pengelompokan Hadits atas dasar nama sahabat yang meriwayatkannya. Mentakhrij Hadits
dengan kitab-kitab semacam ini mutlak diperlukan pengetahuan tentang nama sahabat
perawi Hadits itu. Ada tiga macam referensi yang dapat digunakan dalam menggunakan
metode ini, yaitu:

a) Kitab-kitab al-musnad

Kitab musnad adalah kitab yang disusun pengarangnya berdasar nama-nama


sahabat atau kitab yang menghimpun Hadits-hadits sahabat. Kitab musnad merupakan
kitab-kitab Hadits yang disusun berdasar urutan nama-nama rawi pertama dengan
mengumpulkan Hadits-hadits yang diriwayatkan satu kelompok. Kitab Hadits yang
menganut sitematika penyusunan diantaranya yang mendasarkan pada urutan alfabetis,
tetapi ada pula yang mendasarkan pada keutamaan, senioritas, kabilah, atau wilayah.
Diantara kitab-kitab musnad adalah:

1. Musnad Abi Bakr Abd Allah Ibn al-Zubair al-Humaidy.

2. Musnad Ahmad ibn HAnbal.

3. Musnad Abi Ishaq Ibrahim Ibn Nashr.

4. Musnad Abi Dawud Sulaiman ibn Dawud at-Thayalisiy.

5. Musnad Asad ibn Musa al-Umawy.

6. Musnad Abi Khaitsamah Zubair ibn Harb, dan sebagainya.27

27
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.169.

17
b) Kitab-kitab al-Mu’jam

Selain dari kitab musnad seperti yang telah tersebut diats, ada lagi berbagai macam
kitab yang diperlukan dalam mentakhrij yaitu kitab mu’jam. Kitab Mu’jam adalah kitab
Hadits yang disusun berdasarkan nama-nama (musnad) sahabat, guru-gurunya, negaranya
berdasarkan urutan alfabetis. Diantara kitab mujam yang disusun berdasarkan nama
sahabat ialah:

1. Al-Mujam al-Kabir karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabarani.

2. Al-Mujam al-Ausat karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabarani.

3. Al-Mujam al-Sagir karya Abu al-Qasim Sulaiman ibn Ahmad al-Tabarani.

4. Mujam al-Sahabah karya Ahmad ibn Ali ibn Lafie al-Hamdani.

5. Mujam al-Sahabah karya Abu Yala Ahmad ibn Ali al-Mausili.28

c) Kitab-kitab al-athraf/ Atraf

Kata Atraf adalah bentuk jamak dari kata Tarf. Kata Tarful Hadits berarti bagian


dari matan Hadits yang dapat menunjukkan keseluruhannya.

Diantara kitab-kitab al-Athraf yang penting adalah:

1. Athraf as-Shahihain karangan Abu Mas’ud Ibrahim (w. 401 H).

2. Al-Asyraf ‘ala Ma’rifati al-Asyraf karangan Ibn ‘Asakir al-Dimasyqy (w. 671 H).

3. Tuhfat al-Asyraf bi Ma’rifati al-Asyraf  karangan Abu al-Hajjaj Yususf (w. 742 H).29

Kelebihan-kelebihan metode ini:

1) Dapat diketahui dengan cepat semua Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat
tertentu dengan sanad dan matannya secara lengkap.

2) Diketemukan banyak jalan untuk matan yang sama.

3) Memudahkan untuk menghapal dan mengingat Hadits tertentu yang diriwayatkan


oleh sahabat tertentu.

Kekurangan-kekurangan metode ini:

28
Ibid,.
29
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.170.

18
1) Untuk menemukan Hadits tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu
membutuhkan waktu yang relatif lama, sebab pada umumnya sahabat tidak hanya
meriwayatkan satu dua Hadits saja.

2) Metode ini tidak bisa digunakan jika nama sahabat yang meriwayatkannya tidak
diketahui.

3) Mengetahui tentang lafal pertama Hadits “Atraf”.

2. Metode takhrij melalui pengetahuan tentang lafal pertama Hadits.

Teknik ini dipakai apabila permulaan lafal Hadits dapat diketahui dengan cepat.
Tanpa mengetahui lafal pertama Hadits yang dimaksud teknik ini sama sekali  tidak dapat
digunakan.

Umpamanya, akan mentakhrij hadits yang berbunyi,

‫َمنْ َغ َّش َنا َفلَيْس ِم َّنا‬

Maka, langkah yang akan ditempuh dalam penerapan metode ini adalah menentukan
urutan huruf-huruf yang terdapat pada lafadz pertama dan lafadz selanjutnya:

1. Lafadz pertama dari hadits ini dimulai dengan huruf mim

2. Huruf keduanya yaitu nun

3. Huruf selanjutnya adalah ghain, syin, dan seterusnya.30

Kelemahan yang paling tampak pada metode ini adalah apabila terdapat kelainan
atau perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja, maka akan sangat sulit menemukan hadits
yang dimaksud. Sebagai contoh, hadits yang berbunyi :

َ ْ‫ِا َذاَأ َتا ُك ْم َمنْ َتر‬


ُ‫ض ْو َن ِد ْي َن ُه َو ُخلُ َق ُه َف َزوَّ ج ُْو ه‬

Berdasarkan teks diatas, maka lafadz pertama dari hadits tersebut adalah { ‫} اِ َذ َأتَ>>ا ُك ْم‬.
Namun, apabila yang diingat oleh para mukharij adalah lafadz pertamanya adalah { ‫لَوْ اَتَا ُك ْم‬
} atau yang diingat { ‫} اِ َذاخَ ا َء ُك ْم‬, maka hal tersebut akan menyebabkan sulitnya menemukan
hadits yang sedang dicari, karena adanya perbedaan lafadz pertamanya, meskipun, ketiga
lafadznya mengandung arti yang sama.31

30
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, hal.405.
31
Ibid., hal.406.

19
Jenis-jenis kitab yang dapat digunakan dengan metode ini dapat diklasifikasikan
menjadi:

a) Kitab-kitab Hadits yang popular di masyarakat

Kitab-kitabnya seperti : kitab al-Tazkirah fi al-Ahaditz al-Musytahirah karangan


Badruddin Muhammad ibn Abd Allah as-Zarkasyi. Kitab jenis ini tentu saja terbatas
Hadits-Haditsnya karena dikhususkan pada Hadits-Hadits yang populer dimasyarakat.

b) Kitab-kitab Hadits yang Hadits-Haditsnya disusun secara alfabetis.

Kitab jenis ini yang paling banyak beredar adalah karangan Suyuthy (w. 911 H),
yang berjudul al-Jami’ash-Shagir min AHadits al-Basyir an-Nazir.

c) Kitab dengan kunci-kunci dan indeks yang dibuat untuk kitab-kitab tertentu.

Beberapa ulama telah membuat kunci-kunci daftar atau indeks bagi kitab-kitab
Hadits tertentu dengan tujuan mempermudah mencari Hadits tertentu dalam kitab tersebut.
Kunci-kunci daftar atau indeks (kamus) yang disusun pengarangnya untuk kitab tertentu,
diantaranya:

1. Untuk Shahih al-Bakhari, yaitu Hady al-Bari ila Tartib AHadits al-Bukhari.

2. Untuk Sahih Muslim, yaitu Mu’jam al-Alfaz wa la Siyyama al-Garib Minha.

3. Untuk al-Muwatta’, yaitu Miftah al-Muwatta.

4. Untuk Sunan Ibn Majah, yaitu Miftah Sunan Ibn Majah, dsb.32

Kelebihan dan kekurangan metode ini adalah dengan metode ini kemungkinan
besar kita dengan cepat menemukan Hadits-hadits yang dimaksud, sebab dengan
mengetahui satu lafal saja kita dapat menelusuri hadits pada sumber aslinya, tetapi jika
terjadi perbedaan lafal pertama meski hanya sedikit saja, akan berakibat sulit menemukan
hadits.

3. Metode takhrij melalui kata-kata dalam matan hadits

Dengan mengetahui sebagian lafal matan hadits, baik di awal, tengah maupun akhir
matannya, kitab-kitab yang diperlukan atau referensi yang paling representative untuk
metode ini yaitu kitab karya Arnold John Wensinck dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfaz al-Hadits al-Nawawi, dengan penerjemah Muhammad Fuad Abd al-Baqi. Kitab ini
32
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.171.

20
merupakan kitab kamus dari 9 kitab hadits, yakni sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan
Abi Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasai, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimi, al-
Muwatta Imam Malik, dan Musnad Ahmad ibn Hambal.

Metode ini akan lebih mudah manakala menitikberatkan pencarian hadits


berdasarkan lafadz-lafadznya yang asing dan jarang penggunaannya. Umpamanya
pencarian hadits berikut :

‫ْن َأنْ يُْؤ َك ُل‬ ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َن َهى َعنْ َط َع ِام ال ُم َت َب‬
ِ ‫ار َيي‬ َ َّ‫اِنَّ ال َّن ِبي‬

Dalam pencarian hadits diatas pada dasarnya dapat ditelusuri melalui sebuah kata-
kata yaitu {‫}نَهَى‬, {‫}طَ َعا ِم‬, {‫}يُْؤ َكل‬,atau {‫}ال ُمتَبَاريَ ْي ِن‬. Akan tetapi dari sekian banya kata dapat
dipergunakan lebih dianjurkan untuk mempergunakan kata al-mutabayaini karena kata
tersebut jarang adanya.menurut penelitian para ulama hadits, kata { ‫ } تَبَا َرى‬di dalam kitab
induk hadits (yang berjumlah sembilan) hanya dua kali.33

Untuk Musnad Ahmad (‫ )حم‬hanya disebutkan juz serta halamannya; Sahih Muslim
(‫ )م‬dan al-Muwatta (‫ )ط‬nama bab dan nomor urut Hadits, sedangkan Sahih al-Bukhari (‫)خ‬,
Sunan Abu Dawud (‫)د‬, Sunan al-Tirmizi (‫)ت‬, Sunan al-Nasai (‫ )ن‬serta Sunan Ibn Majah(
‫)جه‬, Sunan al-Darimi (‫ )دى‬disebutkan nama bab serta nomor urut babnya.34

Kelebihan metode ini:

1) Memungkinkan pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan
hadits.

2) Mempercepat pencarian hadits, karena kitab takhrij ini menunjuk kepada kitab-


kitab induk dengan menunjukkan kitab, nomor bab, atau nomor hadits, nomor juz,
dan bahkan nomor halaman.35

Kekurangan metode ini:

1) Adanya keharusan memiliki kemampuan bahasa Arab dan perangkat ilmu yang
memadai, sebab metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata kuncinya
kepada kata dasarnya.

33
Abdul Mahdi, Turuq Hadits Rasul Allah Saw, trj, S.Agil Husin Munawar dan Ahmad Rifki Mukhtar,
(Semarang : Dina Utama, 1994), hal.60.
34
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, hal.410.
35
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.172.

21
2) Hanya merujuk kepada Sembilan kitab tertentu, sehingga bila lafaz hadits yang
diketahui tidak diambil dari kitab-kitab tersebut maka hadits tersebut tidak
ditemukan.

3) Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui
perawi yang menerima hadits dari Nabi kita harus kembali kepada kitab aslinya.

4. Metode takhrij berdasarkan tema hadits

Takhrij melalui pengetahuan tentang tema hadits. Teknik ini akan mudah


digunakan oleh orang sudah bisa dan ahli dalam hadits karena yang dituntut dalam teknik
ini  adalah kemampuan menentukan tema atau salah satu tema dari suatu hadits. Dalam
kasus demikian, seorang mukharij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin
dikandung oelh hadits tersebut. Sebagai contohnya adalah sebagai berikut :

َّ ‫صالَ ِة َو ِا ْي َتا ِء‬


َ ‫الز َكاة َِو‬
‫ص ْو ِم‬ َّ ‫ َو ِا َقا ِم اا‬،‫هللا‬ َ ‫ْس َش َها َد ِةَأنْ الَ اِل َه ِاالَّاهللاُ َو اَنَّ م َُح َّم ًد‬
ِ ‫ارس ُْو ُل ا‬ ِ ‫ُبن َِي ْا‬
ٍ ‫السْ الَ ُم َع َلى َخم‬
َ ‫ت َم ِن اسْ َت َط‬
‫اع ِالَ ْي ِه َس ِبيْال‬ ِ ‫وح ِّخ ْال َب ْي‬
َ ‫ضا َن‬َ ‫َر َم‬

Yang artinya : Dibangun Islam atas lima fondasi yaitu, kesaksian tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat dan
berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan haji bagi yang mampu.

Hadits diatas mengandung beberapa tema diantaranya mengenai pengakuan


terhadap Tuhan dan Rasul, mendirikan shalat, membayar zakat, berpyasa dan berhaji.
Maka berdasarkan tema-tema tersebut, maka hadits tersebut harus dicari dibawah kitab-
kitab hadits dibawah tema-tema itu. Metode ini sangat bergantung pada pengenalan tema-
tema hadits, sehingga apabila tema hadits tidak diketahui, maka kan sulit melakukan
takhrij melalui metode ini.36

Dalam mentakhrij dengan metode ini diperlukan kitab-kitab hadits yang tersusun


berdasar pada bab-bab dan topik-topik. Kitab ini banyak sekali dan dapat dibagi tiga
kelompok:

a) Kitab-kitab yang berisi seluruh tema agama.

Yaitu kitab-kitab al-Jawawi’ dengan mustakhraj dan mustadraknya, al-majani’,al-


zawaid, dan secara khusus kitab Miftah Kunuz as-Sunah.

b) Kitab-kitab yang berisi sebagian banyak tema-tema agama.


36
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, hal.414.

22
Yaitu kitab-kitab sunan, mushannaf, muwathta’, dan mustakhraj atas sunan.

c) Kitab-kitab yang berisi satu aspek saja dari tema agama.

yaitu kitab-kitab yang khusus tentang hukum saja, tentang mengangkat tangan saja,
dan lain-lain. Kitab-kitab ini bisaanya merupakan kitab-kitab juzu’, targhib dan tarhib,
ahkam, zuhud, fadha’il, adab, dan akhlaq dan tema-tema khusus lainnya.

Kelebihan metode ini:

1) Dapat ditemukan banyak hadits dalam satu tema tertentu terkumpul pada satu
tempat.

2) Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits kepada peneliti. Dengan


menggunakan metode ini beberapa kali seorang peneliti akan memiliki tambahan
pengetahuan tentang fiqh al-Hadits.

3) Metode ini tidak memerlukan pengetahuan di luar hadits, seperti keabsahan lafal
pertama, pengetahuan bahasa Arab dan perubahan-perubahannya, dan pengenal
perawi pertama.37

Kekurangan-kekurangannya:

1) Terkadang hadits sulit disimpulkan oleh peneliti sehingga tidak dapat menentukan
temannya. Akibatnya tidak mungkin memfungsikan metode ini.

2) Terkadang pemahaman peneliti tidak sama dengan pemahaman penyusun kitab.


Akibatnya ialah penyusun kitab meletakan hadits pada posisi yang tidak diduga
oleh peneliti tersebut.

3) Melalui pengetahuan tentang sifat khusus (karakteristik) sanad atau matan Hadits
“al-Syifah”.38

5. Metode takhrij berdasarkan status hadits

Metode ini yaitu dengan melihat petunjuk dari sanad, matan atau sanad dan matn-
nya secara bersamaan mengenai statusnya. Petunjuk dari matan, misalnya ada kerusakan
makna hadits, menyelisihi al-Qur’an ataupun petunjuk bahwa hadits itu palsu ataupun
yang lainnya. Adapun kitab-kitab yang bisa menjadi rujukan adalah:

37
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.173.
38
Abu Mahmud, Metode Takhrij Hadits, (Semarang : Bina Utama, 1994), hal.120.

23
a) Al-Maudu at al-Sugra, karya Ali al-Qari.

b) Tanzih al-Syariah al-Marfuah an al-AHadits al-Syaniah, karya al-Kinani.

Petunjuk yang lain dari matan yaitu bila diketahui matan hadits tersebut merupakan hadits
qudsi. Kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam hal ini adalah:

a) Misykah al-Anwar, karya Muhy al-Din Muhammad.

b) Al-Ittihafat al-Saniyyah bi al-AHadits al-Qudsiyyah, karya Abd al-Rauf.

Petunjuk dari sanad, misalnya sanad yang rawinya meriwayatkan hadits dari anaknya.
Kitab yang menjadi rujukan misalnya: Riwayah al-Aba ‘an al-Aba karya Abu Bakr Ahmad
ibn Ali al-Bagdadi.

Keadaan sanad Hadits yang musalsalah dengan kitab rujukan al-Musalsalah al-


Kubra karya al-Suyuti Keadaan sanadnya yang mursal dengan kitab rujukan al-
Marasil karya Abu Dawud al-Sijistani dan karya al-Razi. Petunjuk dari sanad dan matan
secara bersamaan. Kitab yang bisa dijadikan rujukan adalah:

a) Ilal al-Hadits karya Ibn Abi Hatim al-Razi.

b) Al-Asma al-Mubhamah fi al-Anba al-Muhkamah, karya al-Khatib al-Baghdadi.

c) Al-Mustafad min Mubhamat al-Matn wa al-Isnad, karya Abu Zurah Ahmad.

Kelebihan dari metode ini adalah pada umumnya kitab-kitab hadits yang dapat
dijadikan rujukan dengan metode ini memuat penjelasan-penjelasan tambahan dari
penyusunnya. Adapun bahwa kekurangan dari metode ini memerlukan pengetahuan yang
mendalam tentang keadaan sanad dan matan Hadits yang di takhrij, disamping itu kitab-
kitab rujukan metode ini pada umumnya memuat Hadits yang jumlahnya sangat terbatas.39

2.8 Contoh Takhrij Hadits

Berikut ini adalah salah satu contoh takhrij hadits yang dalam hal ini mnyangkut
masalah tentang syafaat Nabi Muhammad bagi pelaku dosa besar.

39
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.174.

24
Contoh yang lain adalah Hadits tentang “Syafaat Nabi Saw bagi orang yang
berdosa besar”, bunyi teks Haditsnya adalah:

‫اِئرمِنْ ُأ َّمتِي‬ ‫َأِل‬


ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َش َفا َعتِي هْ ِل ْال َك َب‬
َ ِ ‫قا َ َل َرس ُْو ُل هَّللا‬

Untuk melakukan takhrij hadits harus melalui beberapa langkah, yaitu:

1. Takhrij al-hadits

Setelah dilakukan kegiatan Takhrij al-Hadits, hadits di atas bersumber dari:

Al-Tirmizi, kitab Sifah al-Qiyamah wa al-Raqaiq wa al-Wara an Rasulillah, no Hadits.


2360 dan 2359:

ُ ‫صلَّى هَّللا‬ ٍ ‫ت َعنْ َأ َن‬


َ ِ ‫س َقا َل َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬ ِ ‫َح َّد َث َنا ْال َعبَّاسُ ْال َع ْن َب ِريُّ َح َّد َث َنا َع ْب ُد الرَّ َّز‬
ٍ ‫اق َعنْ َمعْ َم ٍر َعنْ َث ِاب‬

‫صحِي ٌح َغ ِريبٌ مِنْ َه َذا ْال َوجْ ِه‬ ٌ ‫اِئر مِنْ ُأ َّمتِيْ َقا َل َأبُو عِ ي َسى َه َذا َحد‬
َ ٌ‫ِيث َح َسن‬ ‫َأِل‬
ِ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َش َفا َعتِي هْ ِل ْال َك َب‬

ْ‫َوفِي ْال َباب َعنْ َج ِابر‬

Telah menceritakan kepada kami al-Abbas al-Ambari telah menceritakan kepada


kami Abdur Razzaq dari Ma’mar dari Tsabit dari Anas berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Syafaatku untuk pemilik dosa-dosa besar dari ummatku”. Berkata Abu Isa, Hadits
ini Hasan Shahih Gharib melalui sanad ini dan dalam hal ini ada Hadits serupa dari Jabir.

(HR. Al-Tarmizi: No. 2360).

‫ْن م َُح َّم ٍد َعنْ َأ ِبي ِه‬


ِ ‫ت ْال ُب َنانِيِّ َعنْ َجعْ َف ِر ب‬
ٍ ‫ْن َث ِاب‬ َّ ‫ار َح َّد َث َنا َأبُو دَاوُ َد‬
ِ ‫الط َيالِسِ يُّ َعنْ م َُح َّم ِد ب‬ ٍ ‫َح َّد َث َنا م َُح َّم ُد بْنُ َب َّش‬

ُ‫ َقا َل م َُح َّم ُد بْن‬, ‫اِئر مِنْ ُأ َّمتِي‬ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َش َف َ َأِل‬
ِ ‫اعتِي هْ ِل ْال َك َب‬ َ ِ ‫ َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬, ‫ْن َع ْب ِد هَّللا ِ َقا َل‬
ِ ‫َعنْ َج ِاب ِر ب‬

َ ِ‫اِئر َف َما لَ ُه َولِل َّش َفا َع ِة َقا َل َأبُو ع‬


ٌ ‫يسى َه َذا َحد‬
ٌ‫ِيث َح َسن‬ ‫َأ‬
ِ ‫َعلِيٍّ َف َقا َل لِي َج ِاب ٌر َيا م َُح َّم ُد َمنْ لَ ْم َي ُكنْ مِنْ هْ ِل ْال َك َب‬

ِ ‫َغ ِريبٌ مِنْ َه َذا ْال َوجْ ِه يُسْ َت ْغ َربُ مِنْ َحدِي‬
ِ ‫ث َجعْ َف ِر ب‬
‫ْن م َُح َّم ٍد‬

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan


kepada kami Abu Daud Ath Thayalisi dari Muhammad bin Tsabit Al-Bunani dari Ja’far
bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Syafaatku untuk ummat ku yang berbuat dosa-dosa besar”. Muhammad bin Ali berkata:
kemudian Jabir berkata kepadaku: wahai Muhammad yang tidak melakukan dosa besar

25
tidak lagi membutuhkan syafaat Abu Isa Berkata, Hadits ini Hasan Gharib dari jalur sanad
ini dan dianggap gharib dari Hadits Ja’far bin Muhammad. (HR. Al-Tarmizi: No. 2359).

Ibn Majah, kitab al-Zuhd, no. Hadits 3112

ْ‫ َث َنا ُز َهي ِْر ِبنْ م َُحم َّْد َعنْ َجعْ َفرْ ِبنْ م َُحم َّْد َعنْ َأ ِب ْي ِه َعن‬. ‫ ُث ًنا اَ ْل َولِي ْْد ِبنْ مُسْ لِ ْم‬. ‫َحدَ َث َنا َع ْب ُد الرَّ حْ َمنْ ِبنْ ِإب َْرا ِهي ِْم الَ َّد َم ْشقُي‬

) ْ‫اِئر مِنْ ُأ َّمتِي‬ ‫َأِل‬


ِ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َيقُ ْو ُل ( ِإنَّ َش َفا َعتِيْ ْالقِ َيا َم ِة هْ ِل ْال َك َب‬ ُ ْ‫ َج ِاب ٍر َقاَل َسمِع‬.
َ ‫ت َرس ُْو َل هللا‬

َ : ‫َقا َل ال َش ْي َخ اَأْلل َبانِي‬


ْ‫صحِح‬

Abdul Rahman bin Ibrahim Damaskus. Sunan Walid bin Muslim. Tna Zuhairbin
Mohammed Jaafar bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir berkata: mendengar Rasulullah
dan Saw mengatakan: “Sesungguhnya syafa’atku pada hari kiamat adalah untuk para
pelaku dosa besar dari ummat ku”. Syaikh al-Albani mengatakan: Hadits ini Shahih

Abu Dawud, kitab al-Sunnah, no. Hadits 4739.

ُ‫صلَى هللا‬ ْ ‫ث اَ ْل ُحدَانِيْ َعنْ َأ َن‬


َ ْ‫ َع ِن ال َّن ِبي‬: ْ‫س ِبنْ َمالِك‬ ْ ‫ْث َعنْ َأ ْش َع‬
ْ ‫ب َثنِا َبسْ َطا ْم ِبنْ ح َُري‬
ِ ْ‫َحدَ َثنِا ُسلَ ْي َمانُ ِبنْ َحر‬

َ : ْ‫قا َ َل اَل َّش ْي ُخ اَأْل ل َبانِي‬. ” ْ‫اِئر مِنْ ُأ َّمتِي‬


ْ‫صحِيح‬ ‫َأِل‬
ِ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ ْم َقا َل ” َش َفا َعتِي هْ ِل ْال َك َب‬

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan
kepada kami Bastham bin Huraits dari Asy’ats Al Huddani dari Anas bin Malik dari Nabi
Saw, beliau bersabda: “Syafaatku berlaku untuk pelaku dosa besar dari ummat ku”.
Berkata Syaikh Al-Bani, Hadits ini Shahih.

Ahmad ibn Hanbal, bab Baqi Musnad al-Muksiri, no. Hadits 13245.

ْ ‫ث اَ ْل َح َرانِيْ َعنْ َأ َن‬


‫س ِبنْ ماَلِكْ َقا َل‬ ْ ‫ث َعنْ َأ ْش َع‬ ِ ْ‫َحدَ َثنِا َع ْب ِد هللا َح َد َثنِيْ َأ ِبيْ َثنِا ُسلَ ْي َمانُ ِبنْ َحر‬
ِ ‫ب َثنِا ِبسْ َطا ْم ِبنْ ح َُر ْي‬

َ ُ‫ ِإسْ َنا َده‬: ‫ش َعيْبُ اَأْلرْ َنُؤ ْو ْط‬


ْ‫صحِيح‬ ُ ‫اِئر مِنْ ُأ َّمتِيْ َتعْ لِي‬
ُ ‫ْق‬ ‫َأِل‬
ِ ‫ َش َفا َعتِيْ هْ ِل ْال َك َب‬: ‫لى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ َم‬
َ ‫ص‬ ِ ‫َقا َل َرس ُْو ُل‬
َ ‫هللا‬

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan kepada
kami Bistham bin Huraits, dari Asy’asy Al-Harrani, dari Anas bin Malik berkata,
Rasulullah Saw bersabda, “Syafaatku adalah untuk pelaku dosa besar dari umatku”. Syaikh
Arna’Uth mengatakan Hadits ini sanadnya Shahih.

2. Al-I’tibar

Dari beberapa riwayat hadits mengenai syafaat Nabi terhadap pelaku dosa besar
tersebut, selanjutnya di i’tibar dengan cara mengkombinasikan antara sanad yang satu

26
dengan sanad yang lainnya, sehingga terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadits yang
diteliti, demikian juga dengan seluruh perawinya dan metode periwayatannya.

Dengan dilakukan i’tibar tersebut, akan dapat dikerahui apakah ada unsur mutabi’
atau syahid. Al-mutabi’ atau disebut juga dengan at-tabi’ menurut bahasa merupakan isim
fail dari kata taba’a yang berarti sesuai. Menurut istilah dapat diartikan sebagai hadits
yang di dalam riwayatnya bersekutu para perawinya dengan rawi hadits yang menyendiri,
baik secara lafadz dan makna ataupun secara makna saja, dan (sanadnya) menyatu pada
sahabat. Sedangkan As-syahid menurut bahasa berasal dari kata isim fail asy-syahadatu
alasannya karena ia menyaksikan bahwa hadits yang menyendiri itu memiliki asal,
kemudian menguatkannya. Sama halnya dengan (pernyataan) seorang saksi yang
mendukung pendakwa sehingga menguatkannya. Menurut istilah dapat diartikan sebagai
hadits yang di dalam riwayatnya bersekutu para perawinya dengan hadits yang
menyendiri, baik secara lafadz dan makna ataupun secara makna saja, dan sanadnya
berbeda-beda pada sahabat.

3. Tarjamah al-Ruwat dan Naqd al-Sanad

Istilah ini dapat diartikan sebagai pemaparan sejarah atau biografi perawi hadits
secara lengkap disertai kritik, penilaian atau pernyataan ulama hadits (sahabat / tabi’in
besar / tabi’in kecil) tentang pribadi perawi tersebut.

4. Natijah (Hukum Hadits)

Hukum hadits merupakan kesimpulan terhadap pemaparan dari Takhrij al-hadits,


al-I’tibar, Tarjamah al-Ruwat dan Naqd al-Sanad, sehingga harus dijelaskan status hukum
sanad hadis tersebut (shahih atau dha’if).

5. Syarhu al-Hadits

Langkah terakhir ini yaitu penjelasan hukum yang terkandung dalam matan hadits
yang diriwayatkan oleh para perawi hadits tersebut.

27
BAB III PENUTUP

KESIMPULAN

Takhrij al-Hadits merupakan kegiatan penelitian tentang hadits baik dari


segi sanad, rowi, maupun matan hadits. Ketika semangat belajar mereka melemah mereka
kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadits yang dijadikan sebagai rujukan para
ulama syar’i. Maka sebagian ulama bangkit dan memperlihatkan hadits-hadits yang ada
pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab Sunnah yang asli, menjelaskan
metodenya, dan menerangkan hukumnya dari yang Shohih atas yang Dho’if. Lalu
muncullah apa yang dinamakan dengan “Kutub At-Takhrij-Buku-buku Takhrij”.

Disamping memahami dan mengkaji hadist, kita juga harus meneliti apakah hadist
itu benar berasal dari Nabi atau hanyalah hadist dhaif bahkan palsu. Suatu hadist yang
sebelumnya tidak diketahui keadaanya atau kualitasnya sehingga seolah-olah dianggap

28
tidak ada, maka dilakukanlah berbagai macam penelitian seperti ulum al-hadits, ilmu
mushthalah al-hadits, ushul al-hadits, takhrij hadist dan sebagainya.

Berkaitan dengan hal itu, untuk menjaga dan mengetahui keabsahansuatu hadist
dipelajariah ilmu takhrij hadist, yaitu penyebutan sanadnya secara bersambung sampai
kepada yang mengucapkannya. Dengan mempelajari cabang ilmu hadits ini, maka suatu
hadits akan diketahui dengan jelas eksistensinya dan akan diketahui kualitasnya sehingga
dapat diamalkan.

Takhrij al-Hadits mempunyai tujuan yaitu meneliti dan menjelaskan tentang hadits


dengan menyebutkan para periwayat dalam sanad hadits tersebut, mengeluarkan
manfaat takhrij hadits sangat besar terutama bagi orang yang mempelajari hadits dan
mendalami Ulumul Hadits. Kitab yang diperlukan ketika melakukan Takhrij Hadits
diantaranya yaitu Hidayatul Bari ila Tartibi Ahaditsil Bukhori, Mu’jam AlFadzi wala
Siyyama al-Garibu Minha atau Fahras li Tartibi Ahaditsi Sokhikh Muslim, Miftahus
Shokhihain, al-Bughyatu fi Tartibi Ahaditsi al-Hiyah al-Jamius Shogir, al Mu’jam al
Mufahras li al Alfadzi Hadits Nabawi.

DAFTAR PUSTAKA

Teuku Muhammad Hashbi ash-Shidqi, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang :


Pustaka Rizki Putra, 2009).
M. Agus Salahuddin, Ulumul Hadits, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hal.189.
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, (Malang : UIN Malang Press, 2008).
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadits, (Semarang : Dina Utama, 1994).
Wardah Chece, Ilmu Takhrij Hadist, (Jum’at 22 Agustus 2014, 00:12), dalam
wardahcheche.blogspot.co.id/2014/08/ilmu-takhrij-hadits.html.
Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadits, (Jakarta : Hijri, 2006).
Abu Muhammad, Metode Takhrij Hadits, (Semarang : Bina Utama, 1994).
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992),
Cet.I.
Syaikh Manna Al-Qathan, Pent. Mifdhol Andurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
(Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005), Cet.I.
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 1998).
Abdul Mahdi ibn ‘Abd al-Qadir dan Abu Muhammad, Turuq Takhrij Hadits Rasul Allah
Saw, terj. Agil Husin Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar, (Semarang : Dina Utama,
1994).
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor : Ghalia Indonesia,2010).
29
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta : Prenada Media, 2003).
Ahmad Muslimin, Takhrij al-Hadits, (7 agustus, 2016), dalam
ahmadmusliminblog.wordpress.com.
Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Hadi, Metode Takhrij Hadits, Ptj. Said
Agil Husin Munawae, (Semarang : Dina Utama,1994).
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010).
Abdul Mahdi, Turuq Hadits Rasul Allah Saw, trj, S.Agil Husin Munawar dan Ahmad Rifki
Mukhtar, (Semarang : Dina Utama, 1994).
Abu Mahmud, Metode Takhrij Hadits, (Semarang : Bina Utama, 1994.

30

Anda mungkin juga menyukai