Hadist merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an yang memang
keberadaannya mutlak dan harus diakui. Oleh karena itu, mempelajari dan mengkaji hadist
juga merupakan suatu keharusan bagi setiap muslim, karena untuk mengamalkan ajaran-
ajaran yang terdapat pada hadist Nabi, kita harus mengetahui hal-hal yang terkandung di
dalam hadist tersebut.
Mengenai masalah pembukuan hadist, hal ini baru terjadi dalam rentang waktu
yang cukup lama yaitu hampir seratus tahunsetelah Nabi Muhammad Saw wafat, ditambah
lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang yang dipalsukan. Serta yang
menjadi permasalahan pengkajian hadits itu dikarenakanan jauhnya jarak antara masa
hidup Nabi Saw sebagai sumber hadits dengan masa kodifikasi (pembukuan) hadits
tersebut sering dijadikan senjata paling ampuh untuk mendeskreditkan hadits itu sendiri
dan merongrong keyakinan umat Islam pada umumnya. Terlebih lagi diketahui bahwa
kehidupan Nabi Saw miskin dari budaya baca-tulis, meskipun dikenal sebagai komunitas
dengan hafalan yang luar biasa. Oleh karena itu sangat penting untuk mempelajari ilmu-
ilmu yang berkaitan dengan hadits.
Disamping memahami dan mengkaji hadist, kita juga harus meneliti apakah hadist
itu benar berasal dari Nabi atau hanyalah hadist dhaif bahkan palsu. Suatu hadist yang
sebelumnya tidak diketahui keadaanya atau kualitasnya sehingga seolah-olah dianggap
tidak ada, maka dilakukanlah berbagai macam penelitian seperti ulum al-hadits, ilmu
mushthalah al-hadits, ushul al-hadits, takhrij hadist dan sebagainya.
Berkaitan dengan hal itu, untuk menjaga dan mengetahui keabsahansuatu hadist
dipelajariah ilmu takhrij hadist, yaitu penyebutan sanadnya secara bersambung sampai
kepada yang mengucapkannya. Dengan mempelajari cabang ilmu hadits ini, maka suatu
hadits akan diketahui dengan jelas eksistensinya dan akan diketahui kualitasnya sehingga
dapat diamalkan.
1
1.2 Rumusan Masalah
Makalah ini memuat materi mengenai Ilmu Takhrij Hadits ini ditulis dengan tujuan
memenuhi tugas kelompok pada Mata Kuliah Ulumul Hadits. Selain itu, makalah ini juga
ditulis unutuk meningkatkan pengetahuan kita semua terutama penulis mengenai masalah
hadits dengan cabang Ilmu Takhrij. Hal ini sangat berguna bagi kita semua, karena dengan
mempelajarinya kita bisa membedakan hadits-hadits shahih, dhaif dan sebagainya. Serta
makalah ini disusun dengan sistematis demi menjawab semua rumusan masalah yang telah
tersebut sebelumnya, hal ini untuk mempermudah kita mengenal Ilmu Takhrij Hadits.
2
BAB II PEMBAHASAN
ص ِح ْيحِه
َ البخاري في
Artinya : “Menunjukkan letak Hadits dalam sumber-sumber yang asli (sumber primer) di
mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian menjelaskan Hadits dalam sumber-
sumber yang asli (sumber primer) di mana diterangkan rangkaian sanadnya kemudian
menjelaskan Hadits itu bila perlu. Menunjukkan letak Hadits suatu Hadits berarti
menunjukkan sumber-sumber dalam Hadits itu diriwayatkan, misalnya pernyataan أخرجه
البخاري في صحيحه (Al-Bukhori mengeluarkan Hadits dari kitab sahihnya)”.2
3
diperlukan.3 Takhrij Hadits adalah salah satu bagian dari kegiatan penelitian hadits. Kata
takhrij secara bahasa berarti istinbath (mengeluarkan), tadrib (memperdalam) dan taujih
(menampakkan) dan kata itu dalam kaidah bahasa arab berasal dari kata kharaja yang
berarti nampak atau jelas.4 Sedangkan menurut Mahmud Thahhan, takhrij itu asalnya
adalah berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah (Ijtima’u
amraini mutadladlaini fi syaiin wahid).
Pengertian secara istilah ini, banyak para ulama yang berbeda pendapat,
diantaranya menyebutkan pengertian takhrij hadits sebagai berikut :
2. Mengemukakan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh para guru hadits,
atau berbagai kitab lain yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayat
sendiri, atau para gurunya, siapa periwayatnya dari para penyususn kitab atau karya
tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3. Menunjukkan pada sumber hadits asli dan menyandarkan hadits tersebut pada kitab
sumber asli dengan menyebutkan perawi penyusunnya. Menunjukkan atau
mengemukakan letak asal hadits pada sumber yang asli, yakni kitab yang di
dalamnya dikemukakan secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, lalu
untuk kepentingan penelitian.5
3
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, (Malang : UIN Malang Press, 2008), hal.11.
4
Abu Muhammad Abdul Mahdi, Metode Takhrij Hadits, (Semarang : Dina Utama, 1994), hal.2.
5
Wardah Chece, Ilmu Takhrij Hadist, (Jum’at 22 Agustus 2014, 00:12), dalam
wardahcheche.blogspot.co.id/2014/08/ilmu-takhrij-hadits.html.
4
1. Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu
terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya,
penyusun hadits mengakhiri penulisan haditsnya dengan kata-kata akhrajahul
Bukhari artinya bahwa hadits yang dinukil itu terdapat dalam kitab Jami’us Shahih
Bukhari.
2. Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadits yang tidak diterangkan oleh
penyusun atau pengarang suatu kitab.
4. Mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli secara lengkap dengan
matarantai sanad masing-masing dan dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan.6
6
Nawir Yuslem, Sembilan Kitab Induk Hadits, (Jakarta : Hijri, 2006), hal.153.
7
Abu Muhammad, Metode Takhrij Hadits, (Semarang : Bina Utama, 1994), hal.2.
5
dalam kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya al-Gazali dengan judul bukunya Ikhbar al-
Ihya’ bi Akhbar al-Ikhya’.8
Mengkaji hadits Rasulullah Saw baik sanad maupun matan dengan metode-metode
takhrij, dan mempercepat sampainya kepada tempat-tempat dan sumber-sumber yang
bermacam-macam. Dan melatih pentakhrij pada suatu cara yang menghasilkan
pengetahuan pada hadits yang diterima atau ditolak. Banyak pendapat para Ulama yang
menguraikan tentang manfaat hadits, hal ini karena hadits begitu penting untuk dipelajari
dan dicari tahu kebenarannya agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Adapun secara ringkas, tujuan Takhrij hadits ada tiga menurut ustadz Ahmad Luthfi yaitu :
1. Tujuan Awal: Mencari tahu siapa perawi hadis itu; ada di mana, di Kitab apa, bab
apa, dan jilid, halaman serta nomor berapa.
2. Tujuan Akhirnya: Mengetahui bagaimana hukum hadis itu; Apakah Shahih, Hasan,
Dhaif, atau Palsu.
3. Sasaran dan tujuan akhir mentakhrij: Apakah hadis ini boleh dijadikan dalil, atau
tidak.9
8
M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), Cet.I,
hal.41-42.
6
2.3 Manfaat Ilmu Takhrij Hadits
Manfaat dari ilmu takhrij hadits dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
7
Menurut Syaikh Manna al-Qathan, ada beberapa manfaat dari Takhrij al
Hadits antara lain sebagai berikut:
1. Dapat diketahui banyak sedikitnya jalur periwayatan suatu hadits yang menjadi
topik kajian.
4. Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa
suatu hadits adalah hadits maqbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak
mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (tertolak).
Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij adalah menunjukan
sumber hadits dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadits tersebut. 12 Serta ia
mengemukakan manfaat secara rinci dari ilmu takhrij hadits itu ada dua puluh yaitu :
11
Syaikh Manna Al-Qathan, Pent. Mifdhol Andurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar, 2005), Cet.I, hal.205.
12
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 1998), hal.398.
8
5. Mengetahui pendapat-pendapat para Ulama sekitar hukum hadits.
6. Memperjelas perawi hadits yang samar, kerena dengan adanya takhrij dapat
diketahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
8. Dapat menafikan pemakaian ‘an’ dalam periwayatan hadits oleh seorang mudallis.
Dengan dipatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas kebersambungan
sanadnya, maka periwayatan yang memakai ’an tadi akan tampak pula
kebersambungan ayatnya.
10. Dapat membatasi nama yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada perawi-
perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain, maka
nama perawi itu akan jelas.
11. Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
12. Dapat memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad.
13. Dapat menghilangkan syadz (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat perawi
yang lebih tsiqat) yang terdapat pada suatu hadits melalui perbandingan riwayat.
14. Dapat membedakan hadits yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari
yang lainnya.
15. Dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang
perawi.
16. Dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
17. Dapat membedakan antara proses periwayatan yang dilakukan oleh lafaz dan yang
dilakukan dengan makna saja.
9
20. Dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya kesalahan cetak melalui
perbandingan-perbandingan sanad yang ada.13
Para ulama salaf tidak pernah kesulitan untuk melacak hadits, karena mayoritas
hadits sudah mereka hafal. Tidak terbatas matan dan sanadnya namun juga sumber tempat
hadits tersebut diriwayatkan dan juga kualitas tiap-tiap hadits dengan penguasaan yang
begitu rinci.14 Mereka tidak lagi membutuhkan buku untuk menemukan hadits, cukup
dengan kembali pada hafalan-hafalan mereka yang begitu kuat. Sejalan dengan berlalunya
waktu, hafalan generasi berikutnya mulai memudar hingga dibutuhkan sumber-sumber
tertulis untuk memudahkan pelacakan informasi yang dibutuhkan.
Dari sinilah kemudian dengan melihat kebutuhan yang begitu mendesak banyak
ditulis buku-buku yang berkaitan dengan takhrij hadits untuk mempermudah menemukan
hadits pada sumbernya dan dengan menjelaskan metodenya, serta menerangkan hukumnya
dari shahih hingga yang dha’if.15
Pada mulanya, ilmu takhrij tidak dibutuhkan oleh para ulama dan peneliti hadits
karena pengetahuan mereka tentang sumber hadits ketika itu sangat luas dan baik.
Hubungan mereka dengan sumber hadits juga kuat sekali, sehingga apabila mereka
menjelaskan sumber hadits tersebut dalam berbagai kitab hadits, yang mana metode dan
cara-cara penulisan kitab-kitab tersebut mereka ketahui. Dengan kemampuan yang mereka
miliki, mereka dengan mudah dapat menggunakan dan mencari sumber dalam rangka
13
Abdul Mahdi ibn ‘Abd al-Qadir dan Abu Muhammad, Turuq Takhrij Hadits Rasul Allah Saw, terj.
Agil Husin Munawwar dan Ahmad Rifqi Muchtar, (Semarang : Dina Utama, 1994), hal.6-7.
14
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, hal.11.
15
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadits, hal.172.
10
men-takhrij hadits. Bahkan, apabila di hadapan seorang sumber aslinya, ulama tersebut
dengan mudah dapat menjelaskan sumber aslinya.16
Ketika para ulama mulai merasa kesulitan untuk mengetahui sumber dari suatu
hadits, yaitu setelah berjalan beberapa periode tertentu dan setelah berkembangnya karya-
karya ulama dalam bidang fikih, tafsir dan sejarah yang memuat hadits-hadits Nabi Saw,
yang kadang-kadang tidak menyebutkan sumbernya, maka ulama hadits terdorong untuk
melakukan takhrij terhadap karya-karya tersebut. Pada saat itu muncullah kitab-
kitab takhrij. Kitab yang pertama muncul adalah karya Al-Kathib Al-Baghdadi, namun
yang terkenal adalah Takhrij Al-Fawaid Al-Muntakhabah Al-Shihah wa Al-
Ghara’ib karya Syarif Abi Al-Qasim Al-Husaini, Takhrij Al-Fawaid Al-Muntakhabah Al-
Shihah wa al-Ghara’ib, karya Syarif Abi Al-Qasim Al-Muhammad ibn Musa Al-Hazimi
Al-Syafi’i. Kitab Al-Muhdzdzab sendiri adalah kitab fikih mazhab Syafi’i yang yang
disusun oleh Abu Ishaq Al-Syirazi.17
Usaha para ulama hadits pada akhirnya menghasilkan berbagai macam tentang
prinsip-prinsip dan tata aturan takhrij, yang secara generatif melahirkan berbagai macam
karya tulis yang kelak dinamai “Kutub al-Takhrij”, kitab-kitab yang tidak hanya berhasil
mengembalikan matan pada transmisinya, tetapi pula menjelaskan aspek orisinalitas dan
kualitas redaksional, bahkan bila dianggap diperlukan menerangkan pula kualitas
transmisinya.
2. Penyebutan hadits-hadits dengan sanad milik sendiri yang berbeda dengan suatu
kitab terdahulunya. Sanad-sanad pada kitab kedua ini menambah kekuatan hukum
tentang sanad kitab pertama dan dapat menambah redaksi matan.
16
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor : Ghalia Indonesia,2010), hal.188.
17
Ibid,. hal.189.
11
pada masa kini dapat kita temui kitab-kitab takhrijul hadits tentang fiqih, tafsir,
bahasa, tasawuf, dan lain sebagainya.18
Kitab-kitab induk hadits yang ada mempunyai susunan tertentu dan berada antara
satu dan yang lainnya, yang dalam hal ini memerlukan cara tertentu secara ilmiah agar
penelitian dan pencarian haditsnya dilakukan dengan mudah. Cara praktis dan ilmiah
inilah yang merupakan kajian pokok ilmu takhrij.19
Pada tahun 1978 M dimulailah penyusunan kitab tentang ilmu takhrij, kaidah-
kaidah, manhaj, dan metodenya. Diantara kitab ilmu takhrij yaitu :
2. Thuruq Takhrij Hadits Rasulullah Saw, karya Dr. ‘Abd Al-Mahdi bin ‘Abd Al-
Qadir pada tahun 1982 M.
3. Kasyf al-Litsaam ‘an Asrar Takhrij Hadits Sayyid al-Anaam, karya Dr. ‘Abd al
Maujuud Muhammad ‘Abd Al-Lathiif pada tahun 1984 M.
18
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, hal.189.
19
Ibid.
20
Ibid.
12
6. Kaifa Nadrus ‘Ilm Takhrij al Hadits, Karya Dr. Hamzah Malaibari & Dr. Sulthon
Ukayilah.
Pada abad kelima dan abad ke tujuh para ulama hanya berusaha untuk
memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan hadits Bukhari dan Muslim dalam satu kitab
untuk mempermudah jalan pengambilannya. Dalam abad ini pula timbul istilah al-Jami’
al-Jawami dan al-Takhrij.23
Ilmu hadits baru berdiri sendiri sebagai sebuah ilmu pada masa al-Qadhi Ibnu
Muhammad al-Ramahurmudzi (265-360 H). Selanjutnya diikuti oleh al-Hakim al-
Naisaburi (321-405 H), Abu Bakr al-Baghdadi (463 H). Para
ulama mutaqaddiminmenyebutnya dengan ulumul hadits dan
21
Wardah Chece, Ilmu Takhrij Hadist, (Jum’at 22 Agustus 2014, 00:12), dalam
wardahcheche.blogspot.co.id/2014/08/ilmu-takhrij-hadits.html.
22
Octoberriyansah, Al-Hadits, hal.132-132.
23
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, (Jakarta :
Prenada Media, 2003), hal.36.
13
ulama mutaakhirin menyebutnya ilmu musthalahul hadits. Jadi kalau menganalisa kedua
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa setelah masa inilah muncul ilmu takhrij hadits
sebagai bagian dari ilmu hadits.
Pada mulanya pencarian hadits tidak didukung oleh metode tertentu karena
memang tidak dibutuhkan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa para ahli hadits
mempunyai kemampuan menghafal dan itu yang menjadi alat dan sekaligus metode
pencarian hadits bagi mereka. Ketika mereka membutuhkan hadits sebagai penguat dalam
waktu singkat mereka dapat menemukan tempatnya dalam kitab-kitab hadits bahkan
jilidnya atau setidaknya mereka dapat mengetahuinya dalam kitab-kitab hadits dengan
dugaan kuat.
14
petunjuk-petunjuk bagaimana melakukan praktek takhrij secara sistematis. Pada abad
terakhir ini muncul kitab-kitab takhrij yang berhasil disusun para tokoh hadits tergolong
sistematis, seperti kitab Ushul al Takhrij wa Dirasat al Asanid, oleh Muhammad al
Thahhan (1398 H/1978 M), kitab Turuq Takhrij Hadits Rasuli Shalla Allahu ‘alihi wa
sallam, oleh Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi (1408
H/1987 M), dan kitab-kitab Takhrij lainnya.
Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadits dalam hubungannya
dengan kegiatan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti
adalah mengetahui asal-usul periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab tanpa mengetahui
asal-usulnya sanad dan matan hadits yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk
diketahui matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa
diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang peneliti
mengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara baik dan cermat. Makanya dari
faktor ini, kegiatan penelitian hadits (takhrij) dilakukan.
2. Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits bagi hadits yang akan diteliti.
Maksudnya adalah mengingat redaksi hadits yang akan diteliti itu bervariasi antara
satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap
semua periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad hadits
tersebut berkualitas dha’if dan yang lainnya berkualitas shahih.
Mengingat salah satu sanad hadits yang redaksinya bervariasi itu dimungkinkan
ada perawi lain yang sanadnya mendukung pada sanad hadits yang sedang diteliti, maka
sanad hadits yang sedang diteliti tersebut mungkin kualitasnya dapat dinaikkan
tingkatannya oleh sanad perawi yang mendukungnya. Dari dukungan tersebut, jika
15
terdapat pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini
dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau
ketiga (seperti pada tingkatan tabi’in atau tabi’it tabi’in), maka disebut sebagai mutabi’.
Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits dapat dilaksanakan dengan
baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan
matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana yang
ada syahid dan mutabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat dengan mudah
dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya.25
Secara garis besar ada dua cara dalam melakukan Takhrij al-Hadits, yaitu
pertama, Takhrij al-Hadits dengan cara konvensional. Maksudnya adalah
melakukan Takhrij al-Hadits dengan menggunakan kitab-kitab Hadits. Kedua, Takhrij al-
25
Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Hadi, Metode Takhrij Hadits, Ptj. Said Agil
Husin Munawae, (Semarang : Dina Utama,1994), hal.4-10.
26
Al-Ghamari, Hushul al-Tafrij bi usul al-Tharik, (Riyad : Maktabat Tarbiyah,1994), Cet.I, hal.45.
16
Hadits dengan menggunakan perangkat komputer melalui bantuan CD-ROM dengan
program aplikasi berbasis komputer Takhrij al-Hadits.
Setidaknya ada lima metode yang dapat dipergunakan dalam kegiatan Takhrij al-
Hadits secara konvensional. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya
tersendiri, meski tujuan akhir takhrij dengan metode-metode itu tetap sama, yaitu
menentukan letak suatu Hadits dan menentukan kualitas Hadits tersebut. Kelima metode
itu adalah:
a) Kitab-kitab al-musnad
27
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.169.
17
b) Kitab-kitab al-Mu’jam
Selain dari kitab musnad seperti yang telah tersebut diats, ada lagi berbagai macam
kitab yang diperlukan dalam mentakhrij yaitu kitab mu’jam. Kitab Mu’jam adalah kitab
Hadits yang disusun berdasarkan nama-nama (musnad) sahabat, guru-gurunya, negaranya
berdasarkan urutan alfabetis. Diantara kitab mujam yang disusun berdasarkan nama
sahabat ialah:
2. Al-Asyraf ‘ala Ma’rifati al-Asyraf karangan Ibn ‘Asakir al-Dimasyqy (w. 671 H).
3. Tuhfat al-Asyraf bi Ma’rifati al-Asyraf karangan Abu al-Hajjaj Yususf (w. 742 H).29
1) Dapat diketahui dengan cepat semua Hadits yang diriwayatkan oleh sahabat
tertentu dengan sanad dan matannya secara lengkap.
28
Ibid,.
29
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.170.
18
1) Untuk menemukan Hadits tertentu yang diriwayatkan oleh sahabat tertentu
membutuhkan waktu yang relatif lama, sebab pada umumnya sahabat tidak hanya
meriwayatkan satu dua Hadits saja.
2) Metode ini tidak bisa digunakan jika nama sahabat yang meriwayatkannya tidak
diketahui.
Teknik ini dipakai apabila permulaan lafal Hadits dapat diketahui dengan cepat.
Tanpa mengetahui lafal pertama Hadits yang dimaksud teknik ini sama sekali tidak dapat
digunakan.
Maka, langkah yang akan ditempuh dalam penerapan metode ini adalah menentukan
urutan huruf-huruf yang terdapat pada lafadz pertama dan lafadz selanjutnya:
Kelemahan yang paling tampak pada metode ini adalah apabila terdapat kelainan
atau perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja, maka akan sangat sulit menemukan hadits
yang dimaksud. Sebagai contoh, hadits yang berbunyi :
Berdasarkan teks diatas, maka lafadz pertama dari hadits tersebut adalah { } اِ َذ َأتَ>>ا ُك ْم.
Namun, apabila yang diingat oleh para mukharij adalah lafadz pertamanya adalah { لَوْ اَتَا ُك ْم
} atau yang diingat { } اِ َذاخَ ا َء ُك ْم, maka hal tersebut akan menyebabkan sulitnya menemukan
hadits yang sedang dicari, karena adanya perbedaan lafadz pertamanya, meskipun, ketiga
lafadznya mengandung arti yang sama.31
30
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, hal.405.
31
Ibid., hal.406.
19
Jenis-jenis kitab yang dapat digunakan dengan metode ini dapat diklasifikasikan
menjadi:
Kitab jenis ini yang paling banyak beredar adalah karangan Suyuthy (w. 911 H),
yang berjudul al-Jami’ash-Shagir min AHadits al-Basyir an-Nazir.
c) Kitab dengan kunci-kunci dan indeks yang dibuat untuk kitab-kitab tertentu.
Beberapa ulama telah membuat kunci-kunci daftar atau indeks bagi kitab-kitab
Hadits tertentu dengan tujuan mempermudah mencari Hadits tertentu dalam kitab tersebut.
Kunci-kunci daftar atau indeks (kamus) yang disusun pengarangnya untuk kitab tertentu,
diantaranya:
Kelebihan dan kekurangan metode ini adalah dengan metode ini kemungkinan
besar kita dengan cepat menemukan Hadits-hadits yang dimaksud, sebab dengan
mengetahui satu lafal saja kita dapat menelusuri hadits pada sumber aslinya, tetapi jika
terjadi perbedaan lafal pertama meski hanya sedikit saja, akan berakibat sulit menemukan
hadits.
Dengan mengetahui sebagian lafal matan hadits, baik di awal, tengah maupun akhir
matannya, kitab-kitab yang diperlukan atau referensi yang paling representative untuk
metode ini yaitu kitab karya Arnold John Wensinck dengan judul al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfaz al-Hadits al-Nawawi, dengan penerjemah Muhammad Fuad Abd al-Baqi. Kitab ini
32
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.171.
20
merupakan kitab kamus dari 9 kitab hadits, yakni sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan
Abi Dawud, Sunan al-Tirmizi, Sunan al-Nasai, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Darimi, al-
Muwatta Imam Malik, dan Musnad Ahmad ibn Hambal.
ْن َأنْ يُْؤ َك ُل ِ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َن َهى َعنْ َط َع ِام ال ُم َت َب
ِ ار َيي َ َّاِنَّ ال َّن ِبي
Dalam pencarian hadits diatas pada dasarnya dapat ditelusuri melalui sebuah kata-
kata yaitu {}نَهَى, {}طَ َعا ِم, {}يُْؤ َكل,atau {}ال ُمتَبَاريَ ْي ِن. Akan tetapi dari sekian banya kata dapat
dipergunakan lebih dianjurkan untuk mempergunakan kata al-mutabayaini karena kata
tersebut jarang adanya.menurut penelitian para ulama hadits, kata { } تَبَا َرىdi dalam kitab
induk hadits (yang berjumlah sembilan) hanya dua kali.33
Untuk Musnad Ahmad ( )حمhanya disebutkan juz serta halamannya; Sahih Muslim
( )مdan al-Muwatta ( )طnama bab dan nomor urut Hadits, sedangkan Sahih al-Bukhari ()خ,
Sunan Abu Dawud ()د, Sunan al-Tirmizi ()ت, Sunan al-Nasai ( )نserta Sunan Ibn Majah(
)جه, Sunan al-Darimi ( )دىdisebutkan nama bab serta nomor urut babnya.34
1) Memungkinkan pencarian hadits melalui kata apa saja yang terdapat dalam matan
hadits.
1) Adanya keharusan memiliki kemampuan bahasa Arab dan perangkat ilmu yang
memadai, sebab metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata kuncinya
kepada kata dasarnya.
33
Abdul Mahdi, Turuq Hadits Rasul Allah Saw, trj, S.Agil Husin Munawar dan Ahmad Rifki Mukhtar,
(Semarang : Dina Utama, 1994), hal.60.
34
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, hal.410.
35
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.172.
21
2) Hanya merujuk kepada Sembilan kitab tertentu, sehingga bila lafaz hadits yang
diketahui tidak diambil dari kitab-kitab tersebut maka hadits tersebut tidak
ditemukan.
3) Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui
perawi yang menerima hadits dari Nabi kita harus kembali kepada kitab aslinya.
Yang artinya : Dibangun Islam atas lima fondasi yaitu, kesaksian tiada Tuhan
selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah, mendirikan shalat, membayarkan zakat dan
berpuasa di bulan ramadhan, dan menunaikan haji bagi yang mampu.
22
Yaitu kitab-kitab sunan, mushannaf, muwathta’, dan mustakhraj atas sunan.
yaitu kitab-kitab yang khusus tentang hukum saja, tentang mengangkat tangan saja,
dan lain-lain. Kitab-kitab ini bisaanya merupakan kitab-kitab juzu’, targhib dan tarhib,
ahkam, zuhud, fadha’il, adab, dan akhlaq dan tema-tema khusus lainnya.
1) Dapat ditemukan banyak hadits dalam satu tema tertentu terkumpul pada satu
tempat.
3) Metode ini tidak memerlukan pengetahuan di luar hadits, seperti keabsahan lafal
pertama, pengetahuan bahasa Arab dan perubahan-perubahannya, dan pengenal
perawi pertama.37
Kekurangan-kekurangannya:
1) Terkadang hadits sulit disimpulkan oleh peneliti sehingga tidak dapat menentukan
temannya. Akibatnya tidak mungkin memfungsikan metode ini.
3) Melalui pengetahuan tentang sifat khusus (karakteristik) sanad atau matan Hadits
“al-Syifah”.38
Metode ini yaitu dengan melihat petunjuk dari sanad, matan atau sanad dan matn-
nya secara bersamaan mengenai statusnya. Petunjuk dari matan, misalnya ada kerusakan
makna hadits, menyelisihi al-Qur’an ataupun petunjuk bahwa hadits itu palsu ataupun
yang lainnya. Adapun kitab-kitab yang bisa menjadi rujukan adalah:
37
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.173.
38
Abu Mahmud, Metode Takhrij Hadits, (Semarang : Bina Utama, 1994), hal.120.
23
a) Al-Maudu at al-Sugra, karya Ali al-Qari.
Petunjuk yang lain dari matan yaitu bila diketahui matan hadits tersebut merupakan hadits
qudsi. Kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam hal ini adalah:
Petunjuk dari sanad, misalnya sanad yang rawinya meriwayatkan hadits dari anaknya.
Kitab yang menjadi rujukan misalnya: Riwayah al-Aba ‘an al-Aba karya Abu Bakr Ahmad
ibn Ali al-Bagdadi.
Kelebihan dari metode ini adalah pada umumnya kitab-kitab hadits yang dapat
dijadikan rujukan dengan metode ini memuat penjelasan-penjelasan tambahan dari
penyusunnya. Adapun bahwa kekurangan dari metode ini memerlukan pengetahuan yang
mendalam tentang keadaan sanad dan matan Hadits yang di takhrij, disamping itu kitab-
kitab rujukan metode ini pada umumnya memuat Hadits yang jumlahnya sangat terbatas.39
Berikut ini adalah salah satu contoh takhrij hadits yang dalam hal ini mnyangkut
masalah tentang syafaat Nabi Muhammad bagi pelaku dosa besar.
39
Khusniati Rofiah, Studi Ilmu Hadits, (Yogyakarta : STAIN PO Press, 2010), hal.174.
24
Contoh yang lain adalah Hadits tentang “Syafaat Nabi Saw bagi orang yang
berdosa besar”, bunyi teks Haditsnya adalah:
1. Takhrij al-hadits
صحِي ٌح َغ ِريبٌ مِنْ َه َذا ْال َوجْ ِه ٌ اِئر مِنْ ُأ َّمتِيْ َقا َل َأبُو عِ ي َسى َه َذا َحد
َ ٌِيث َح َسن َأِل
ِ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َش َفا َعتِي هْ ِل ْال َك َب
ُ َقا َل م َُح َّم ُد بْن, اِئر مِنْ ُأ َّمتِي صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َش َف َ َأِل
ِ اعتِي هْ ِل ْال َك َب َ ِ َقا َل َرسُو ُل هَّللا, ْن َع ْب ِد هَّللا ِ َقا َل
ِ َعنْ َج ِاب ِر ب
ِ َغ ِريبٌ مِنْ َه َذا ْال َوجْ ِه يُسْ َت ْغ َربُ مِنْ َحدِي
ِ ث َجعْ َف ِر ب
ْن م َُح َّم ٍد
25
tidak lagi membutuhkan syafaat Abu Isa Berkata, Hadits ini Hasan Gharib dari jalur sanad
ini dan dianggap gharib dari Hadits Ja’far bin Muhammad. (HR. Al-Tarmizi: No. 2359).
ْ َث َنا ُز َهي ِْر ِبنْ م َُحم َّْد َعنْ َجعْ َفرْ ِبنْ م َُحم َّْد َعنْ َأ ِب ْي ِه َعن. ُث ًنا اَ ْل َولِي ْْد ِبنْ مُسْ لِ ْم. َحدَ َث َنا َع ْب ُد الرَّ حْ َمنْ ِبنْ ِإب َْرا ِهي ِْم الَ َّد َم ْشقُي
Abdul Rahman bin Ibrahim Damaskus. Sunan Walid bin Muslim. Tna Zuhairbin
Mohammed Jaafar bin Muhammad dari ayahnya dari Jabir berkata: mendengar Rasulullah
dan Saw mengatakan: “Sesungguhnya syafa’atku pada hari kiamat adalah untuk para
pelaku dosa besar dari ummat ku”. Syaikh al-Albani mengatakan: Hadits ini Shahih
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan
kepada kami Bastham bin Huraits dari Asy’ats Al Huddani dari Anas bin Malik dari Nabi
Saw, beliau bersabda: “Syafaatku berlaku untuk pelaku dosa besar dari ummat ku”.
Berkata Syaikh Al-Bani, Hadits ini Shahih.
Ahmad ibn Hanbal, bab Baqi Musnad al-Muksiri, no. Hadits 13245.
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan kepada
kami Bistham bin Huraits, dari Asy’asy Al-Harrani, dari Anas bin Malik berkata,
Rasulullah Saw bersabda, “Syafaatku adalah untuk pelaku dosa besar dari umatku”. Syaikh
Arna’Uth mengatakan Hadits ini sanadnya Shahih.
2. Al-I’tibar
Dari beberapa riwayat hadits mengenai syafaat Nabi terhadap pelaku dosa besar
tersebut, selanjutnya di i’tibar dengan cara mengkombinasikan antara sanad yang satu
26
dengan sanad yang lainnya, sehingga terlihat dengan jelas seluruh jalur sanad hadits yang
diteliti, demikian juga dengan seluruh perawinya dan metode periwayatannya.
Dengan dilakukan i’tibar tersebut, akan dapat dikerahui apakah ada unsur mutabi’
atau syahid. Al-mutabi’ atau disebut juga dengan at-tabi’ menurut bahasa merupakan isim
fail dari kata taba’a yang berarti sesuai. Menurut istilah dapat diartikan sebagai hadits
yang di dalam riwayatnya bersekutu para perawinya dengan rawi hadits yang menyendiri,
baik secara lafadz dan makna ataupun secara makna saja, dan (sanadnya) menyatu pada
sahabat. Sedangkan As-syahid menurut bahasa berasal dari kata isim fail asy-syahadatu
alasannya karena ia menyaksikan bahwa hadits yang menyendiri itu memiliki asal,
kemudian menguatkannya. Sama halnya dengan (pernyataan) seorang saksi yang
mendukung pendakwa sehingga menguatkannya. Menurut istilah dapat diartikan sebagai
hadits yang di dalam riwayatnya bersekutu para perawinya dengan hadits yang
menyendiri, baik secara lafadz dan makna ataupun secara makna saja, dan sanadnya
berbeda-beda pada sahabat.
Istilah ini dapat diartikan sebagai pemaparan sejarah atau biografi perawi hadits
secara lengkap disertai kritik, penilaian atau pernyataan ulama hadits (sahabat / tabi’in
besar / tabi’in kecil) tentang pribadi perawi tersebut.
5. Syarhu al-Hadits
Langkah terakhir ini yaitu penjelasan hukum yang terkandung dalam matan hadits
yang diriwayatkan oleh para perawi hadits tersebut.
27
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Disamping memahami dan mengkaji hadist, kita juga harus meneliti apakah hadist
itu benar berasal dari Nabi atau hanyalah hadist dhaif bahkan palsu. Suatu hadist yang
sebelumnya tidak diketahui keadaanya atau kualitasnya sehingga seolah-olah dianggap
28
tidak ada, maka dilakukanlah berbagai macam penelitian seperti ulum al-hadits, ilmu
mushthalah al-hadits, ushul al-hadits, takhrij hadist dan sebagainya.
Berkaitan dengan hal itu, untuk menjaga dan mengetahui keabsahansuatu hadist
dipelajariah ilmu takhrij hadist, yaitu penyebutan sanadnya secara bersambung sampai
kepada yang mengucapkannya. Dengan mempelajari cabang ilmu hadits ini, maka suatu
hadits akan diketahui dengan jelas eksistensinya dan akan diketahui kualitasnya sehingga
dapat diamalkan.
DAFTAR PUSTAKA
30