Anda di halaman 1dari 5

Lafadz al jarh wa al-Ta’dil

Lebih jauh berikut ini akan dikemukakan sekilas tentang lafadz jarh wa ta’dil, hal
ini sangat penting mengingat ungkapan kritikus antara yang satu dengan yang
lainnya berbeda, oleh karenanya akan dijumpai beberapa ungkapan yang sama
tetapi karena muncul dariorang yang berbeda akan memiliki bobot yang berbeda.
Contoh ungkapan (‫)سكتوا عنھ‬, secara dhahir punya makna bahwa si Fulan tidak
di ta’dil ataupun di jarh, ungkapan ini dikenalkan pertama kali oleh al Bukhari
yang memiliki maksud bahwa ulama pada umumnya meninggalkan hadits-
haditsnya si Fulan tersebut (‫) تركوه‬, demikian pula ketika al Bukhari menyatakan (
‫ ) فیھ نظر‬yang umumnya ulama menilai seseorang yang disebut demikian sudah
dianggap tertuduh atau bukan termasuk orang yang tsiqah (oleh al-Dzahabi
dimasukkan ke dalam lafadz jarh peringkat 3), sedangkan al Bukhari
menggunakan ungkapan ini sebagai sebutan bagi nilai terendah dari symbol-
simbol rawi yang dla’if.

Sama halnya dengan ungkapan (‫ ) لیس بالقوي‬yang dimaksudkan Abu Hatim sebagai
rawi yang tidak sampai pada derajat rawi yang kokoh, sedangkan al-Nukhbari
menggunakannya untuk menunjukkan rawi tersebut dla’if, oleh karena itu dalam
ilmu al jarh wa al-ta’dil disamping mengenal ungkapan yang dikenal kritikus,
mengenal siapa kritikus yang mengungkapkan tersebut juga diperlukan, paling
tidak dikenal terlebih dahulu pemetaan kritikus dari yang mutasyaddid (ketat
dalam menjarh dan menta’dil) seperti Yahya bin Sa’id, Ibn Ma’in, Abu Hatim, Ibn
Khirasy dan lainnya, Mu’tadil (moderat) seperti Ahmad bin Hambal, al Bukhary,
Abu Zur’ah dan lainnya, hingga yang mutasahil (longgar) seperti Turmudzi, al
Hakim, al-Daruquthni dan lainnya.
Contoh tingkatan versi kritikus:

Al-Dzahabi dalam Mizan al- I’tidal memiliki 4 peringkat ta’dil dan 5 jarh :
1) Pengulangan lafadz tautsiq seperti tsiqatun tsiqatun, atau pengulangan dengan
sifat yang berbeda, seperti tsiqatun hujjatun, tsabtun hujjatun, tsabtun hafidhun,
tsiqatun mutqinun (maknatsabtun menurut ahli hadits adalah kokoh dan
mantapnya hati, lisan serta tulisan), sedangkan makna tsiqatun merupakan sifat
rawi yang menghimpun di dalamnya karakter ‘adl dan dlabth yaitu muslim, baligh,
berakal, selamat dari sebab-sebab kefasikan atau yang merusak muru’ah, terjaga
atau sadar dan tidak lalai, hafal betul ketika mengungkapkan hafalannya, dlabith
(tepat) dan sesuai dengan catatan ketika mengungkapkan dari suatu kitab, dan
jika menyampaikan secara ma’nawi ia memahami betul kontek makna tersebut.
2) Satu lafadz tautsiq seperti tsiqatun, ridla, juga gabungan penilaian yang tidak
sampai pada peringkat pertama, seperti al’adl al ridla, tsiqatun ridla, al amin, al
ma’mun, hujjatun ridla, laisa fihi syai’un, khayyiran fadlilan, ‘adlan tsiqatan,
shaduqun ridla, (ridla merupakan ungkapan ‘adl atau tsiqah)
3) Saduq, la ba’sa bih, laisa bihi ba’sun
4) Mahalluhu al-Shidq, jayyid al-hadits, shalih al-hadits, syaikh wasath, syaikh
hasan al-hadits, shaduq Insya Allah, Shuwailih (makna shalih bila tidak diikuti kata
al-hadits memiliki makna kesalehan dalam agamanya).
Sedangkan untuk jarh sebagai berikut :
1) Dajjal, kadzdzab, wadldla’, yadla’u al hadits
2) Muttaham bi al-kidzb, muttafaq ‘ala tarkihi
3) Matruk (sifat yang memuat pengertian bahwa seluruh ulama meninggalkan
haditsnya), tarakuhu (menunjukan bahwa rawi tersebut gugur kebaikannya dan
tidak ditulis haditsnya), sedangkan tarakuhu fulan (ada yang memasukannya
sebagai jarh, ada pula yang tidak), laisa bitsiqatin, sakatu ‘anhu, sebagaimana
telah dikemukakan sebelumnya bahwa al Bukhari menggunakannya untuk tajrih
peringkat pertama, atau palingtidak dibawah ungkapan kadzdzab, wadldla’, atau
paling tidak seseorang telah menilainya pembohong.
4) wahin bin marrah, laisa bisyai’in, dla’if jiddan, dla’afuhu, wahin (laisa bi syai’in
memiliki pengertian bahwa ia bukanlah termasuk orang yang ucapannya memiliki
kebenaran yang bias dipegangi)
5) Yudla’if, fihi dla’if, qad dlu’ifa, laisa bi alqawiy, laisa bihujjah, laisa bi dzaka,
yu’rafu wa yunkaru, fihi maqal, tukullima fihi, layyin, si’ al-hifadh, la yuhtajju bih,
ukhtulifa fih, shaduq lakinnahu mubtadi’ (yang dimaksud yu’raf wa yunkar adalah
suatu saat ia meriwayatkan yang ma’ruf, suatu saat ia meriwayatkan yang
mungkar), sedangkan sebutan la yuhtajju bih merupakan penilaian terhadap
orang yang banyak melakukan kesalahan dalam periwayatan karena lemahnya
hafalan dan daya ingatnya sehingga ia menyampaikan hadits di luar hafalannya
dan salah atau dikenal pula dengan si’al-hifdh. Adapun mubtadi’ berarti orang
yang melakukan bid’ah yang mengarah kepada kefasikan.

Takhrij Hadits

Pengertian Takhrij Hadits


Secara etimologi kata “takhrij” berasal dari akar kata “kharaja yakhruju khuruujan
mendapat tambahan tasydid/syidah pada ra (‘ain fi’il) menjadi kharraja yukhrriju
takhriijan yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan,
menyebutkan, dan menumbuhkan”. Maksudnya menampakkan sesuatu yang
tidak atau sesuatu yang masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar.
Penampakkan dan pengeluaran disini tidak mesti berbentuk fisik yang konkret,
tetapi mencakup nonfisik yang hanya memerlukan tenaga dan pikiran seperti
makna kata istikhraj yang berarti istinbath yang berarti mengeluarkan hukum dari
nash atau teks Al-qur’an dan hadits.
Adapun secara teminologis, takhrij adalah “menunjukkan tempat hadits pada
sumber-sumber aslinya, dimana hadits tersebut telah diriwayatkan lengkap
dengan sanadnya, kemudian menjelaskan derajadnya jika diperlukan.

Takhrij menurut istilah ahli hadits, diantaranya mempunyai pengertian


mengemukakan letak asal suatu hadits dari sumbernya yang asli, yakni berbagai
sumber kitab hadits dengan dikemukakan sanadnya secara lengkap untuk
kemudian dilakukan penelitian terhadap kualitas hadits yang bersangkutan.
Pengertian takhrij yang tercakup disini seperti kegiatan penelitian terhadap satu
hadits tertentu atau satu tema tertentu ataupun dalam kitab tertentu. Dengan
demikian pengertian takhrij adalah penelusuran atau pencarian hadits dari
berbagai sumbernya yang asli dengan mengemukakan matn serta sanadnya
secara lengkap untuk kemudian diteliti kualitas haditsnya. Tujuan dan Manfaat
Takhrij Hadits Dalam melakukan takhrij hadits tentunya ada tujuan yang
ingin dicapai. Tujuan pokok dari takhrij yang ingin dicapai seorang peneliti
adalah:
1. Mengetahui eksistensi suatu hadits apakah benar suatu hadits yang ingin
diteliti terdapat dalam buku-buku hadits atau tidak.
2. Mengetahui sumber otentik suatu hadits dari buku hadits apa saja
didapatkan.
3. Mengetahui ada berapa tempat hadits tersebut dengan sanad yang
berbeda di dalam buku sebuah buku hadits atau dalam beberapa buku induk
hadits.
4. Mengetahui kualitas hadits (makbul atau mardud) (Khon,2008: 117-118).
Adapun manfaat dari kegiatan takhrij al hadits sangat banyak sekali
diantaranya:
1. Memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu
hadits berada beserta ulama yang meriwayatkannya.
2. Dapat menambah perbendaharaan sanad hadits melalui kitab-kitab yang
dirujuknya. Semakin banyak kitab asal yang memuat suatu hadits semakin
banyak pula perbendaharaan sanad yang kita miliki.
3. Dapat memperjelas keadaan sanad.
4. Dapat memperjelas kualitas suatu hadits dengan banyaknya riwayat.
5. Dapat memperjelas periwayat hadits yang samar. Dengan adanya takhrij
kemungkinan dapat diketahui nama periwayat yang sebenarnya secara
lengkap.
6. Dapat menghilangkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dilakukan oleh
periwayat.
7. Dapat memperjelas waktu dan tempat turunnya hadits, dan lain-lain.

Dengan demikian melalui kegiatan takhrij al hadits, peneliti dapat


mengumpulkan berbagai sanad dari sebuah hadits dan juga dapat
mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matn hadits.

Metode Takhrij Hadits

Sebelum seseorang melakukan takhrij suatu hadits, terlebih dahulu ia harus


mengetahui metode atau langkah-langkah dalam takhrij sehingga akan
mendapatkan kemudahan-kemudahan dan tidak ada hambatan. Pertama
yang perlu di maklumi adalah bahwa teknik pembukuan buku-buku hadits
yang telah dilakukan para ulama dahulu memang beragam dan banyak sekali
macam-macamnya.

Diantaranya ada yang secara tematik, pengelompokan hadits didasarkan


pada tema-tema tertentu seperti kitab Al- Jami Ash-Shahih li Al-Bukhori dan
sunan Abu Dawud. Diantaranya lagi ada yang didasarkan pada huruf
permulaan matan hadits diurutkan sesuai dengan alphabet Arab seperti
kitab Al-Jami Ash-Shaghir karya As-Suyuthi dan lain-lain.

Semua itu dilakukan oleh para ulama dalam rangka memudahkan umat
Islam untuk mengkajinya sesuai dengan kondisi yang ada. Karena banyaknya
teknik dalam pengkodifikasian buku hadits, maka sangat diperlukan
beberapa metode takhrij yang sesuai dengan teknik buku hadits yang ingin
diteliti.

Paling tidak ada 5 metode takhrij dalam arti penulusuran hadits dari sumber
buku hadits yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafdzi), Takhrij dengan tema (bi
al-maudhui), takhrij dengan permulaan Matan (bi Awwal al-matan), takhrij
melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan takhrij melalui pengetahuan
tentang sifat khusus atau sanad hadits.
Dalam tulisan ini akan dilakukan takhrij hadits dengan menggunakan dua
metode yaitu:
1. metode takhrij al-hadis melalui kata (lafal) pada matan hadis.
(kitab yang digunakan mu’jam mufahrasy li alfaz al-hadis).
2. takhrij al-hadis melalui awal kata (lafal) pada matan hadis,
(kitab yang digunakan al-jami al-shagir).

Anda mungkin juga menyukai