(1) Dasar taklif
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa dasar pembebanan hukum
bagi seorang mukallaf adalahhukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan
kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan
dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.
[17] Rasulullah Saw bersabda:
ُ ث َع ِن ال َّناعِ ِم َح َّتى َيسْ َت ْيقِ َط َو َع ِن الص َِّبيِّ َح َّتى َيحْ َتلِ َم َو َع ِن ْال َمجْ ُن ْو ِن َح َّتى َيفِي
.ْق ٍ َُرف َِع ْال َقلَ ُم َعنْ َثال
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur
sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai ia
sembuh”.[18]
2) Syarat-syarat taklif
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa
dikenai taklif apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
a) Orang yang telah mampu memahami khitab syar’I (tuntutan syra’)
yang terkandung dalaam al-Quran dan sunnah, baik secara langsung
maupun melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami khitab
syar’I tidak bisa dicapai kecuali melalui akal, hanya akallah yang bisa
mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan
tetapi akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, dan
dipastikan berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka syara’
menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang konkrit (jelas)
dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum dan hal
tersebut adalah balighnya seseorang. Penentu bahwa seseorang
telah baligh itu ditandai dengan bagi laki-laki, keluarnya air mani
melalui mimpi yang pertama kali dan bagi wanita melalui keluarnya
haid yang pertama kali atau telah sempurna berumur lima belas
tahun.[19]
b) Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul
fiqih disebut ahliyyah.
Konsep Hakimiyyah Ahlus Sunnah
Para ulama Ushuliyyun telah sepakat bahwa hak progretif
menetapkan hukum bagi manusia hanyalah milik Allah swt. Bahkan
sesungguhnya tugas manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi
adalah dalam rangka untuk menjalankan hukum-hukum Allah swt.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam al Qur’an:
ْم ِإاَّل لِلَّ ِه ِ ِإ
ُ ن احْلُك
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’am: 57/QS.
Yusuf: 40, 67).
ِ واللَّه حَي ُكم اَل معقِّب حِل ك
ْم ِه ُ َ َُ ُ ْ ُ َ
“Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada
yang dapat menolak ketetapan-Nya.” (QS. Ar Ra’du: 41).
Namun meski demikian, bukan berarti manusia tidak memiliki
peran sama sekali dalam menetapkan hukum. Dalam hal ini, Allah
swt secara langsung telah melegitimasi orang-orang tertentu untuk
menetapkan hukum. Dengan demikian makna hakimiyyah Allah atau
hak progretif menetapkan hukum hanya milik Allah adalah Allah
berkehendak menetapkan hukum atas manusia secara langsung
ataupun melalui manusia berdasarkan legitimasi langsung dari Allah
swt. Legitimasi tersebut sebagaimana dinyatakan langsung oleh Allah
swt dalam al Qur’an:
ِ ُّ ِول فَِإ ْن َتولَّوا فَِإ َّن اللَّه اَل حُي ِ قُل
َ ب الْ َكاف ِر
ين َ َْ َّ َأطيعُوا اللَّهَ َو
َ الر ُس ْ
“Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS.
Ali Imran: 32).
ِ الرس
ول ِإ ْن ُكْنتُ ْم ِ ِإ ٍ ِإ ِ ِ َأطيعوا اللَّه و
ِ ِ َّ
ُ َّ اَأْلم ِر مْن ُك ْم فَ ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم يِف َش ْيء َف ُر ُّدوهُ ىَل اللَّه َو
ْ ول َوُأويِل َ الر ُس
َّ َأطيعُوا َ َ ُ ين َآمنُوا َ يَا َأيُّ َها الذ
ِ ِ
َأح َس ُن تَْأ ِوياًل
ْ ك َخْيٌر َوَ ُتْؤ ِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوم اآْل ِخ ِر َذل
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59).
الذ ْك ِر ِإ ْن ُكْنتُ ْم اَل َت ْعلَ ُمو َن
ِّ اسَألُوا َْأهل
َ ْ َف
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl: 43, QS. Al
Anbiya’: 7)
Ayat-ayat di atas menjadi dasar legitimasi dari Allah swt untuk
taat kepada-Nya dan kepada manusia yang diberi legitimasi oleh-Nya
untuk ditaati, yaitu Rasulullah saw dan para ulama. Meskipun
ketaatan kepada Rasulullah tidaklah sama dengan ketaatan kepada
para ulama, di mana ketaatan kepada ulama adalah ketaatan
bersyarat yaitu selama para ulama itu mendasarkan keputusan
hukumnya (ijtihad) kepada Allah (al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah).
Imam al Mawardi berkata:
وال جيوز أن تزول طاعة، جلواز معصيتهم، وهي طاعة جيوز أن تزول،وطاعة َوالَِة األمر تلزم يف طاعة اهلل دون معصيته
. المتناع معصيته،رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم
“Dan ketaatan kepada Ulil Amri diwajibkan selama berupa ketaatan
kepada Allah dan bukan bermaksiat kepada-Nya, yaitu ketaatan yang
bisa saja hilang (tidak diikuti) oleh sebab bolehnya tidak mengikuti
mereka (ma’siat), sedangkan ketaatan kepada Rasulullah tidaklah
boleh hilang karena ketidak bolehan untuk bermasiat kepadanya
(tidak mengikutinya).”
Selain itu, penyebutan konsep Hakimiyyah Ahlus Sunnah
dalam masalah ini untuk membedakan konsep Hakimiyyah yang
diyakini ahlus sunnah sebagai akidah mayoritas umat Islam
dengan Hakimiyyah versi Khawarij ataupun Mu’tazilah yang
menafikan peran otoritas ulama.
Berdasarkan konsep ini pula yang dipahami salah oleh
khawarij, mereka akhirnya berani mengkafirkan para shahabat yang
melakukan negosiasi dan arbitrasi perdamaian selepas
perang shiffin antara pihak Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyyah bin
Abi Sufyan ra. Di mana mereka mengatakan bahwa para shahabat
nabi telah meninggalkan hukum Allah swt. Oleh sebab inilah akhirnya
Ali bin Abi Thalib menugaskan Ibnu Abbas untuk mendebat mereka
dan berhasil mengembalikan separoh dari kelompok sesat ini
(khawarij) untuk bertaubat dan kembali membaur bersama umat
Islam lainnya.
Istilah Khawarij pada dasarnya dipergunakan untuk menyebut
semua kelompok masyarakat yang memberontak terhadap imam
yang sah dan telah disepakati oleh mayoritas umat
Islam. Mûhammad Khâlil Harras dalam Syarah al Aqidah al
Wasathiyyah menjelaskan sejumlah karakteristik mendasar kelompok
Khawarij; 1) Mengkafirkan umat Islam yang melakukan dosa besar,
2) Berkeyakinan bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang
namun stagnan, 3) Membolehkan umat Islam untuk memberontak
kepada penguasa zalim meskipun tidak menampakkan kekufuran
secara nyata (kufr bawah), 3) Mengkafirkan setiap individu muslim
yang tidak berhukum dengan hukum Allah meskipun dalam sebuah
perkara, 4) Tergesa-gesa dalam mengkafirkan setiap individu muslim
tanpa menimbang syarat-syaratnya.
RINGKASAN AHLIYAH
Pengertian Ahliyah
2 Jenis Ahliyah :
A. Ahliyah Ada’
Misalnya :
a) anak yang bisa menerima hibah.
b) Apabila harta anak tsb dirusak orang lain, ia dianggap mampu
untuk menerima ganti rugi, demikian pula sebaliknya, jika ia
merusak harta orang lain, maka gantinya diambil dari harta anak tsb
c) Selain itu juga ia dianggap mampu untuk menerima harta waris.
Yaitu “kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke
dunia sampai baligh dan berakal”. Seorang yang ahliyah wujub tidak
dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah mahdhah seperti
shalat maupun tindakan muamalah, seperti transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik. Namun, bila mereka melakukan tindakan
hukum yang merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib
memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan berhak memerintahkan
walinya untuk mengeluarkan ganti rugi, tetapi ; Apabila tindakannya
berkaitan dengan perusakan fisik (seperti melukai), maka tindakan
hukum anak yang ahliyah wujub kamilah tersebut, tidak bisa
dipertangungjawabkan secara hukum syara, (misalnya ia dihukum
qishash), karena ia tidak dianggap cakap hukum
Suatu Sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’
untukmenentukan seseorang telah cakap dikenai tuntunan syara”
5 Para ahli Ushul membagi ahliyatul wujub kepada dua tingkatan, yaitu :
a. Ahliyah al-wujub al-naqish,
yaitu kecakapan seseorang manusia untuk menerimahak, tetapi tidak
menerima kewajiban; atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak
pantas menerima hak. Contoh pertama adalah janin yang beradadalam perut
ibunya, janin ini berhak mendapat warisan, wasiat, dan wakaf akan tetapi
tidak dapat dibebani kewajiban pada dirinya terhadap orang lain seperti
memberi nafkah, memberi hibah, dan sebagainya. Adapun contoh yang
keduaadalah mayat yang meninggalkan utang
b.Ahliyah al-wujub al-kamilah,
yaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak dan layak untuk
menjalankan kewajiban. Kelayakan ini didapat oleh seseorang dimulai sejak
lahir, pada masa kanak-kanak-nya,tamyiz , dan setelah baligh.
Demikian pula dengan orang yang sedang sekarat. Disamping ia berhak men
erima hartawarisan dari orang tua atau kerabatnya yang lebih dulu
meninggal, ia juga dibebani kewajiban zakat atas hartanya yang telah
memenuhi syarat untukdizakatkan.
7 Jadi, ahliyah al-wujud adalah sifat kecakapan seseorang untuk
menerimahak-hak dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani
seluruhkewajiban.