Anda di halaman 1dari 16

Taklif dan Mukallaf

Secara bahasa taklif berasal dari bahasa Arab yang bermakna


memb]ebani (ilzam) sesuatu yang berat untuk dilakukan. Sedangkan
secara terminologi Ilmu Ushul Fiqih, taklif adalah: “Perintah Allah
yang terdapat didalamnya sebuah beban untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu, di mana perintah ini diturunkan melalui
konsep Hukum Syar’i yang didefinisikan sebagai khithab (doktrin)
dari syari’ (Allah) yang terkait dengan perbuatan manusia (mukallaf),
apakah berupa tuntutan (perintah dan larangan) ataupun pilihan
(takhyir).”
Secara real dan kongkrit doktrin Allah itu kemudian
terproyeksikan dalam dua peninggalan Nabi Muhammad saw yaitu al
Qur’an dan Sunnah.
Para ulama Ushul Fiqih (ushuliyyun) menjelaskan bahwa
perintah Allah yang berupa beban syariat (taklif) tersebut
berdasarkan istiqra’ (penelitian induktif) atas teks-teks wahyu, dapat
diterapkan dan diimplementasikan secara umum jika memenuhi
beberapa syarat, yaitu:

1. Pertama: perintah tersebut benar-benar diketahui mukallaf,


hingga ia dapat melaksanakannya sebagaimana diperintahkan.
2. Kedua: perintah tersebut secara jelas haruslah datang dari
Allah swt melalui legitimasinya terhadap orang-orang yang
telah diberi wewenang oleh-Nya untuk menjelaskan
perintahnya. Dalam hal ini wewenang tersebut dibebankan
kepada Rasulullah saw dan selanjutnya kepada para ulama
sebagai ahli waris nabi.
3. Ketiga: perintah tersebut mungkin untuk dapat dilakukan
mukallaf dan tidak mustahil secara logis untuk dilakukan.
Mengingat tujuan perintah itu diturunkan agar dapat dilakukan
dan ditaati.

Tiga syarat di atas sejalan dengan rumusan Imam Abu Ishaq


asy Syathibi (w. 790 H) yang merumuskan bahwa di antara
tujuan syari’ (Allah) dalam pembebanan aturan-aturan Allah atas
manusia adalah agar aturan tersebut dapat dilakukan secara utuh
dan logis, beliau menyatakan:
"‫الشارع يف وضع الشريعة للتكليف مبقتضاها‬ ‫"قصد‬
“Tujuan Syari’ (Allah) dalam menurunkan aturan syariatnya agar
dapat dilakukan sebagaimana mestinya.”
Berdasarkan syarat-syarat taklif di atas pula, kemudian para
ulama Ushul Fiqih merumuskan kriteria mukallaf yang dibebani
aturan syariat. Sebab jika aturan tersebut diturunkan untuk dapat
dilakukan maka hal ini menuntut adanya sebuah kemampuan dan
kelayakan yang ada pada manusia yang dituntut untuk
melakukannya.
Dalam hal ini, maka kelayakan manusia untuk melakukan
aturan syariat berkisar pada dua prasyarat yang ada pada manusia:

1. Pertama: pengetahuan manusia atas aturan-aturan tersebut


secara langsung maupun tidak langsung yaitu melalui orang-
orang yang telah dilegitimasi oleh Allah swt untuk
menyampaikan dan menjelaskan aturan-aturan-Nya. Dalam hal
ini akal manusia memainkan perannya, sebab dengan akal-lah
manusia dapat mengetahui dan memahami aturan Allah. Oleh
sebab itu, maka manusia yang telah kehilangan akalnya (gila)
tidalkah dikatagorikan sebagai mukallaf.
2. Kedua: manusia memiliki kelayakan (ahliyyah) untuk
melakukan aturan yang dibebankan kepadanya.

(1)      Dasar taklif
Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa dasar pembebanan hukum
bagi seorang mukallaf adalahhukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan
kata lain, seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan
dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.
[17] Rasulullah Saw bersabda:
ُ ‫ث َع ِن ال َّناعِ ِم َح َّتى َيسْ َت ْيقِ َط َو َع ِن الص َِّبيِّ َح َّتى َيحْ َتلِ َم َو َع ِن ْال َمجْ ُن ْو ِن َح َّتى َيفِي‬
.‫ْق‬ ٍ َ‫ُرف َِع ْال َقلَ ُم َعنْ َثال‬
Artinya: “Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang tidur
sampai ia bangun, anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai ia
sembuh”.[18]
2)      Syarat-syarat taklif
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa
dikenai taklif apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
a)      Orang yang telah mampu memahami khitab syar’I (tuntutan syra’)
yang terkandung dalaam al-Quran dan sunnah, baik secara langsung
maupun melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami khitab
syar’I tidak bisa dicapai kecuali melalui akal, hanya akallah yang bisa
mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau ditinggalkan. Akan
tetapi akal adalah sesuatu yang abstrak dan sulit diukur, dan
dipastikan berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka syara’
menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang konkrit (jelas)
dalam menentukan seseorang telah berakal atau belum dan hal
tersebut adalah balighnya seseorang. Penentu bahwa seseorang
telah baligh itu ditandai dengan bagi laki-laki, keluarnya air mani
melalui mimpi yang pertama kali dan bagi wanita melalui keluarnya
haid yang pertama kali atau telah sempurna berumur lima belas
tahun.[19]
b)      Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul
fiqih disebut ahliyyah.

Terkait ahliyyah yang ada pada manusia, para ushuliyyun


mengklasifikasikan kelayakan (ahliyyah) manusia untuk menerima
dan melakukan beban syariat menjadi dua; Ahliyyah Wujub dan
Ahliyyah Ada’:

1. Pertama: Ahliyyah Wujub; yaitu kelayakan seorang manusia


untuk ditetapkan kepadanya hak dan kewajiban. Ahliyyah inilah
sesungguhnya yang membedakan manusia dan hewan. Para
fuqaha menyebutnya dengan istilah zimmah, yaitu suatu naluri
manusia untuk menerima hak dari orang lain dan menjalankan
kewajiban dirinya untuk orang lain. Ahliyyah wujub ini meliputi
seluruh manusia tanpa memandang perbedaan jenis, umur,
mempunyai akal atau tidak, sehat atau sakit. Dalam arti sejak
penciptannya, kelayakan ini telah melekat pada setiap
manusia. Di mana hal-hal yang terkait dengan hak atau
kewajibannya akan senantiasa melekat pada diri manusia.
Selanjutnya Ahliyah wujub ini diklasifikasikan menjadi dua:

Pertama: Ahliyah al Wujub an Naqishah, yaitu manusia yang


layak mendapatkan hak namun tidak layak untuk dibebankan
kewajiban atau sebaliknya. Contoh pertama adalah janin yang
berada dalam perut ibunya yang layak (berhak) mendapatkan
warisan, wasiat, dan wakaf akan tetapi tidak layak dibebani
kewajiban atas dirinya terhadap orang lain seperti memberi
nafkah, hibah, dll. Adapun contoh kedua adalah mayat yang
meninggalkan hutang.
Kedua: Ahliyyah al Wujub al Kamilah, yaitu manusia yang layak
mendapatkan hak dan dibebani kewajiban. Kelayakan ini
didapat sejak manusia lahir, masa kanak-kanak, tamyiz, hingga
setelah baligh. Singkat kata kelayakan ini selalu dikaitkan
dengan kehidupan manusia secara keseluruhan.

2. Kedua: Ahliyyah Ada’; yaitu kelayakan manusia untuk dapat


dianggap baik, ucapan dan perbuatannya menurut syara’.
Seperti seorang mukallaf yang melakukan shalat untuk
diperhitungkan amalannya dan dapat menggugurkan
kewajibannya. Atau seorang mukallaf yang melakukan tindak
pidana yang berimplikasi untuk dijatuhi suatu hukuman sesuai
dengan pelanggaran yang dilakukannya. Selanjutnya, ahliyyah
ada’ ini jika dihubungkan dengan kondisi perkembangan hidup
manusia, maka dapat dikelompokkan menjadi tiga:

Pertama: tidak memiliki ahliyyah ada’ sama sekali; seperti


anak-anak yang belum baligh atau seseorang yang kehilangan
akal. Maka perkataan dan perbuatannya tidak dianggap sama
sekali secara hukum. Hanya saja, jika anak kecil atau orang
gila melakukan tindak kejahatan, maka hukuman yang
diberlakukan, akan dijatuhkan atas hartanya dan bukan atas
fisiknya. Seperti jika ia membunuh maka hukumannya
adalah diyat (denda) dan bukan qishas.
Kedua: tidak memiliki ahliyyah ada’ yang sempurna; seperti
anak yang tamyiz (remaja dan belum baligh) atau seseorang
yang kurang akal (lemah akal). Maka orang-orang semacam ini
dianggap sah perbuatannya yang dipandang berguna baginya
seperti menerima hibah dan sedekah.
Ketiga: memiliki ahliyyah ada’ yang sempurna, yaitu
manusia yang sudah mencapai umur baligh/dewasa. Maka
kelayakannya menerima hak dan melaksanakan kewajiban
telah dianggap sempurna dengan kedewasaan dan
kematangannya untuk berfikir.   
Selain itu, di antara ushuliyyun ada pula yang membagi
ahliyyah ada’ sebagaimana pembagian ahliyyah wujub;
yaitu ahliyyah al ada’ an naqishah (tidak sempurna)
dan ahliyyah al ada’ al kamilah (sempurna).

Selain itu, para ushuliyyun juga merumuskan sejumlah


penghalang mukallaf dalam menjalankan beban syariat terkait hak
dan kewajibannya, di mana penghalang ini dapat mempengaruhi
status hukumnya yang disebut dengan awaridh ahliyyah. 
Dalam hal ini, awaridh ahliyyah digolongkan menjadi dua
kelompok: penghalang samawiyyah dan penghalang muktasabah:

1. Pertama: penghalang samawiyyah adalah penghalang yang


tidak dapat diusahakan manusia. Ia datang dengan
sendirinya tanpa dikehandaki oleh manusia, seperti: gila,
kurang akal, lupa, ketiduran, sakit, haidh, nifas, pingsan,
dan mati. Status mukallaf yang mendapati penghalang ini
layaknya seperti mukallaf yang tidak memiliki kelayakan
untuk melakukan kewajiban syariat.
2. Kedua: penghalang muktasabah adalah penghalang yang
dapat diusahakan manusia seperti mabuk, bodoh, banyak
hutang, safar, salah, dan boros.  

 
Konsep Hakimiyyah Ahlus Sunnah
Para ulama Ushuliyyun telah sepakat bahwa hak progretif
menetapkan hukum bagi manusia hanyalah milik Allah swt. Bahkan
sesungguhnya tugas manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi
adalah dalam rangka untuk menjalankan hukum-hukum Allah swt.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam al Qur’an:
‫ْم ِإاَّل لِلَّ ِه‬ ِ ‫ِإ‬
ُ ‫ن احْلُك‬
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al An’am: 57/QS.
Yusuf: 40, 67).
ِ ‫واللَّه حَي ُكم اَل معقِّب حِل ك‬
‫ْم ِه‬ ُ َ َُ ُ ْ ُ َ
“Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada
yang dapat menolak ketetapan-Nya.” (QS. Ar Ra’du: 41).
Namun meski demikian, bukan berarti manusia tidak memiliki
peran sama sekali dalam menetapkan hukum. Dalam hal ini, Allah
swt secara langsung telah melegitimasi orang-orang tertentu untuk
menetapkan hukum. Dengan demikian makna hakimiyyah Allah atau
hak progretif menetapkan hukum hanya milik Allah adalah Allah
berkehendak menetapkan hukum atas manusia secara langsung
ataupun melalui manusia berdasarkan legitimasi langsung dari Allah
swt. Legitimasi tersebut sebagaimana dinyatakan langsung oleh Allah
swt dalam al Qur’an:
ِ ُّ ِ‫ول فَِإ ْن َتولَّوا فَِإ َّن اللَّه اَل حُي‬ ِ ‫قُل‬
َ ‫ب الْ َكاف ِر‬
‫ين‬ َ َْ َّ ‫َأطيعُوا اللَّهَ َو‬
َ ‫الر ُس‬ ْ
“Katakanlah: Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS.
Ali Imran: 32).
ِ ‫الرس‬
‫ول ِإ ْن ُكْنتُ ْم‬ ِ ‫ِإ‬ ٍ ‫ِإ‬ ِ ِ ‫َأطيعوا اللَّه و‬
ِ ِ َّ
ُ َّ ‫اَأْلم ِر مْن ُك ْم فَ ْن َتنَ َاز ْعتُ ْم يِف َش ْيء َف ُر ُّدوهُ ىَل اللَّه َو‬
ْ ‫ول َوُأويِل‬ َ ‫الر ُس‬
َّ ‫َأطيعُوا‬ َ َ ُ ‫ين َآمنُوا‬ َ ‫يَا َأيُّ َها الذ‬
ِ ِ
‫َأح َس ُن تَْأ ِوياًل‬
ْ ‫ك َخْيٌر َو‬َ ‫ُتْؤ ِمنُو َن بِاللَّ ِه َوالَْي ْوم اآْل ِخ ِر َذل‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’: 59).
‫الذ ْك ِر ِإ ْن ُكْنتُ ْم اَل َت ْعلَ ُمو َن‬
ِّ ‫اسَألُوا َْأهل‬
َ ْ َ‫ف‬
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl: 43, QS. Al
Anbiya’: 7)
Ayat-ayat di atas menjadi dasar legitimasi dari Allah swt untuk
taat kepada-Nya dan kepada manusia yang diberi legitimasi oleh-Nya
untuk ditaati, yaitu Rasulullah saw dan para ulama. Meskipun
ketaatan kepada Rasulullah tidaklah sama dengan ketaatan kepada
para ulama, di mana ketaatan kepada ulama adalah ketaatan
bersyarat yaitu selama para ulama itu mendasarkan keputusan
hukumnya (ijtihad) kepada Allah (al Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah).
Imam al Mawardi berkata:
‫ وال جيوز أن تزول طاعة‬،‫ جلواز معصيتهم‬،‫ وهي طاعة جيوز أن تزول‬،‫وطاعة َوالَِة األمر تلزم يف طاعة اهلل دون معصيته‬
. ‫ المتناع معصيته‬،‫رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم‬
“Dan ketaatan kepada Ulil Amri diwajibkan selama berupa ketaatan
kepada Allah dan bukan bermaksiat kepada-Nya, yaitu ketaatan yang
bisa saja hilang (tidak diikuti) oleh sebab bolehnya tidak mengikuti
mereka (ma’siat), sedangkan ketaatan kepada Rasulullah tidaklah
boleh hilang karena ketidak bolehan untuk bermasiat kepadanya
(tidak mengikutinya).”
Selain itu, penyebutan konsep Hakimiyyah Ahlus Sunnah
dalam masalah ini untuk membedakan konsep Hakimiyyah yang
diyakini ahlus sunnah sebagai akidah mayoritas umat Islam
dengan Hakimiyyah versi Khawarij ataupun Mu’tazilah yang
menafikan peran otoritas ulama.
Berdasarkan konsep ini pula yang dipahami salah oleh
khawarij, mereka akhirnya berani mengkafirkan para shahabat yang
melakukan negosiasi dan arbitrasi perdamaian selepas
perang shiffin antara pihak Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyyah bin
Abi Sufyan ra. Di mana mereka mengatakan bahwa para shahabat
nabi telah meninggalkan hukum Allah swt. Oleh sebab inilah akhirnya
Ali bin Abi Thalib menugaskan Ibnu Abbas untuk mendebat mereka
dan berhasil mengembalikan separoh dari kelompok sesat ini
(khawarij) untuk bertaubat dan kembali membaur bersama umat
Islam lainnya.
Istilah Khawarij pada dasarnya dipergunakan untuk menyebut
semua kelompok masyarakat yang memberontak terhadap imam
yang sah dan telah disepakati oleh mayoritas umat
Islam. Mûhammad Khâlil Harras dalam Syarah al Aqidah al
Wasathiyyah menjelaskan sejumlah karakteristik mendasar kelompok
Khawarij; 1) Mengkafirkan umat Islam yang melakukan dosa besar,
2) Berkeyakinan bahwa iman tidak bertambah dan tidak berkurang
namun stagnan, 3) Membolehkan umat Islam untuk memberontak
kepada penguasa zalim meskipun tidak menampakkan kekufuran
secara nyata (kufr bawah), 3) Mengkafirkan setiap individu muslim
yang tidak berhukum dengan hukum Allah meskipun dalam sebuah
perkara, 4) Tergesa-gesa dalam mengkafirkan setiap individu muslim
tanpa menimbang syarat-syaratnya.

Konsep Hukum Syar’i: Hukum Taklifi, Hukum Wadh’i


Di antara permasalahan terpenting dalam masalah taklif adalah
rumusan konsep hukum syara’ yang menjadi salah satu bukti
komprehensifitas (syumuliyyah) aturan (syariat) Allah. Para ulama
Ushuliyyun menjelaskan bahwa hukum syara’ adalah
‫ أو التخيري أو الوضع‬،‫خطاب اللَّه تعاىل املتعلق بفعل املكلف باالقتضاء‬
“Khithab (doktrin) dari Allah yang terkait dengan perbuatan manusia
(mukallaf), apakah berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan
(takhyir), atau wadh’i (menetapkan sesuatu berdasarkan faktor lain).”
Dari definisi di atas, selanjutnya hukum syara’ dikelompokkan
menjadi tiga: 1) tuntutan (iqtidha’) yang mencakup perintah dan
larangan. Dan dari jenis ini melahirkan hukum wajib, mandub, haram,
dan makruh; 2) pilihan (takhyir) yang melahirkan hukum mubah; 3)
ketetapan (wadh’i) yang melahirkan hukum sebab, syarat,
mani’(penghalang), sah batal, dan ‘azimah rukhshah.
Kemudian dari ketiga jenis hukum ini, para ulama
mengkelompokkannya berdasarkan karakteristik masing-masing
menjadi dua jenis hukum syara’, talklifi dan wadh’i:
Pertama: Hukum Taklifi, yaitu hukum yang menghendaki
dilakukannya suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang
mengerjakannya atau perintah untuk memilih antara melakukannya
atau meninggalkannya.
Dari perintah untuk mengerjakan sesuatu ada perintah yang
bersifat pasti dan ditekankan yang disebut dengan wajib, seperti
perintah shalat, zakat, haji, puasa, dll; ada pula perintah yang bersifat
anjuran semata yang disebut dengan mandub, seperti anjuran untuk
azan, sunnah-sunnah dalam ibadah shalat yang wajib, anjuran untuk
melaksanakan shalat-shalat sunnah (tahajjud, dhuha, rawatib, witir,
tahiyyah masjid, dll).
Sedangkan dari larangan untuk mengerjakan sesuatu ada
larangan yang bersifat pasti yang disebut dengan haram, seperti
larangan membunuh, zina, minum khamar, praktek sihir, dll; dan ada
pula larangan yang bersifat anjuran untuk ditinggalkan yang disebut
dengan makruh seperti larangan untuk bertanya tentang sesuatu
yang apabila dijelaskan akan berakibat menyusahkan penanya,
banyak bertanya, mentalak istri tanpa alasan yang logis, dll.
Kedua: Hukum Wadh’i, yaitu hukum yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab untuk menetapkan sesuatu yang lain, atau syarat bagi
sesuatu, atau penghalang bagi sesuatu. Kemudian para ushuliyyun
mengklasifikasikan hukum wadh’i menjadi lima
hukum: sebab, syarat, mani’ (penghalang), sah batal,
dan ‘azimah rukhshah.
Sebagai contoh, ibadah puasa ramadhan. Di mana ibadah ini
diwajibkan (hukum taklifi), berdasarkan sebab yaitu masuknya bulan
ramadhan (QS. Al Baqarah: 185). Kemudian syariat menetapkan
bahwa bagi yang memenuhi syarat berkewajiban untuk
melaksanakannya seperti berakal, baligh, sehat, dan muqim. Bagi
yang dapat melaksanakannya sepenuhnya maka disebut
dengan azimah. Di samping itu syariat juga memberikan dispensasi
bagi orang-orang tertentu yang tidak dapat melakukannya karena
uzur syar’i, seperti sakit, musafir, mendapatkan haidh dll, dispensasi
ini selanjutnya disebut dengan rukhshah.
Adapun jika seluruh ketentuan ibadah puasa dapat dilakukan
secara sempurna maka disebut dengan sah. Sebaliknya jika tidak
dilakukan secara utuh atau terdapat penghalang (mani’) yang
menghalangi sah-nya ibadah maka disebut dengan batal. 
 
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal:

1. Bahwa taklif syariah dari Allah atas manusia, pada hakikatnya


adalah bentuk perhatian Allah kepada manusia itu sendiri. Di
mana manusia dengan segala kekurangannya tetap
membutuhkan bimbingan dari Allah dalam meraih
kebahagiannya di dunia dan akhirat. Di mana secara teknis
perhatian Allah itu ditandai dengan diutusnya para Rasul untuk
menjelaskan hukum-hukum-Nya kemudian selanjutnya pasca
kenabian Muhammad, tugas Rasul itu dilanjutkan oleh para
ulama.
2. Hak progretif untuk menetapkan hukum pada hakikatnya hanya
milik Allah, meski demikian Allah juga melegitimasi manusia
(Rasulullah dan Ulama) untuk berperan aktif menjelaskan
hukum Allah tersebut kepada manusia.
3. Tidak ada perbedaan antar mukallaf terkait kewajiban mereka
dalam melaksanakan hukum-hukum Allah. Hanya saja, terkait
bagaimana melaksanakan hukum Allah, maka para mujtahid
berhukum berdasarkan hasil ijtihad dan pemahaman mereka
terhadap sumber-sumber hukum syara’ (al Qur’an dan
Sunnah), sedangkan para muqallid berhukum berdasarkan
hasil ijtihad para ulama mujtahidin.

RINGKASAN AHLIYAH
Pengertian Ahliyah

Secara etimologi : “kecakapan menangani suatu urusan”


Secara terminologi Ahliyah ialah,
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran oleh
syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan
syara’”. “Kecakapan seseorang karena kesempurnaan akalnya,
sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’”

2 Jenis Ahliyah :

A. Ahliyah Ada’

Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang


telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatannya, baik yang positif maupun negatif. Bila ia mengerjakan
perIntah syara’, maka ia berpahala dan jika ia melaksanakan
larangan, maka ia berdosa. Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa
yang menjadi ukuran dalam menentukan seseorang telah memiliki
ahliyatul ada’ ialah aqil, baligh dan cerdas
B. Ahliyah Wujub

Ahliyatul Wujub yaitu “Kecakapan seseorang untuk menerima hak-


hak yang menjadi haknya, tetapi ia belum mampu untuk dibebani
seluruh kewajiban.

Misalnya :
a) anak yang bisa menerima hibah.
b) Apabila harta anak tsb dirusak orang lain, ia dianggap mampu
untuk menerima ganti rugi, demikian pula sebaliknya, jika ia
merusak harta orang lain, maka gantinya diambil dari harta anak tsb
c) Selain itu juga ia dianggap mampu untuk menerima harta waris.

Berikut iniadalah pembagian ahliyatul wujub:

1) Ahliyah al-Wujub al-Naqishah

Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin).


Janin sudah dianggap memiliki ahliyatul wujub, tetapi belum
sempurna. Hak-hak yang harus ia terima, belum dapat menjadi
miliknya, sebelum ia lahir.

Para ulama sepakat, ada 4 hak bagi janin:


1.Hak keturunan dari ayahnya
2.Hak warisan dari pewarisnya yang wafat
3. Hak wasiat
4. Harta waqaf yang ditujukan kepadanya

2) Ahliyah al Wujuh al Kamilah

Yaitu “kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke
dunia sampai baligh dan berakal”. Seorang yang ahliyah wujub tidak
dibebani tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah mahdhah seperti
shalat maupun tindakan muamalah, seperti transaksi yang bersifat
pemindahan hak milik. Namun, bila mereka melakukan tindakan
hukum yang merugikan/merusak harta orang lain, maka wajib
memberikan ganti dari hartanya. Pengadilan berhak memerintahkan
walinya untuk mengeluarkan ganti rugi, tetapi ; Apabila tindakannya
berkaitan dengan perusakan fisik (seperti melukai), maka tindakan
hukum anak yang ahliyah wujub kamilah tersebut, tidak bisa
dipertangungjawabkan secara hukum syara, (misalnya ia dihukum
qishash), karena ia tidak dianggap cakap hukum

Menurut Ulama Ushul, ukuran yang digunakan dalam menentukan


ahliyatul wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh
umur, baligh dan kecerdasan. Sifat ini telah dimiliki seseorang
semenjak lahir. Berdasarkan ahliyatul wujub, maka anak yang baru
lahir berhak menerima wasiat dan menerima warisan, jika
muwarrisnya meninggal dunia tetapi, harta seorang anak yang belum
balIgh tak boleh dikelola sendiri olehnya, melainkan dikelola oleh
walinya

Pengertian Ahliyatul Wujub dan Macam-Macamnya

Ahliyyah, secara harfiyah (etimologi) berarti kecakapan menangani suatu


urusan.Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang,
maka ia dianggap ahliuntuk menangani bidang tersebut. Apaun arti ahliyyah
secara terminologi, menurut para ahli ushul fiqh antara lain sebagai berikut :

Suatu Sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari’
untukmenentukan seseorang telah cakap dikenai tuntunan syara”

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat


yangmenunjukan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya,
sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’
Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah melakukan
suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima hak dari
orang lain. Ia juga dianggap telah mampu untuk menerima tanggung jawab,
seperti nikah, nafkah, dan menjadi saksi.
1 Kepantasan untuk menerima taklif ada dua macam yaitu kepantasan
untuk dikenai hukum, dan kepantasan untuk menjalankan hukum.
Kecakapan untuk dikenai hukum disebut ahliyatul wujub, yaitu
kepantasan seorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai
kewajiban. Kecakapan dalam bentuk ini berlaku semenjak ia
dilahirkan sampai menghembuskan nafas terakhir dalam segala sifat,
kondisi, dan keadaannya.

2 Menurut ulama ushul fiqh ukuran yang digunakan dalam


menentukan ahliyatul wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak
dibatasi oleh umur, baligh, kecerdasan,dan lain-lain. Misalnya, ia telah
berhak untuk menerima hibbah. Dan apabila harta bendanya
dirusak orang lain, ia pun dianggap mampu untuk menerima
ganti rugi. Selainitu, ia juga dianggap mampu untuk menerima harta
waris keluarganya. Namun demikian,ia dianggap belum mampu untuk
dibebani kewajiban-kewajiban syara’, seperti shalat,
 puasa, dan haji, dan lain lain. Maka walaupun ia mengerjakan amalan-
amalan tersebut,statusnya sekedar pendidikan bukan kewajiban.
Berdasarkan ahliyatul wujub, anak yang baru lahir berhak menerima
wasiat, dan berhak pula untuk menerima pembagian warisan.Akan
tetapi, harta tersebut tidak boleh dikelola sendiri, tetapi harus dikelola
oleh waliatau washi
 (orang yang diberi wasiat untuk memelihara hartanya), karena anak
tersebutdianggap belum mampu untuk memberikan hak atau
menunaikan kewajiban.

3 Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa ahliyatul wujub adalah sebuah


ketetapan yang diperuntukan untuk manusia dari mulai penciptaannya
sampai kepada kematian.

4 Ada pendapat lain juga yang mendefiniskan ahliyatul wujub. Ahliyatul


Wujub disebut juga sebagai ahli wajib yang maksudnya adalah kelayakan
seseorang untukditetapkan kepadanya hak dan kewajiban. Ahliyatul wujub
cakupannya bersifatmenyeluruh untuk semua jenis manusia tanpa
memandang laki-laki atau perempuan,anak-anak atau sudah baligh, punya
akal atau gila, sehat atau sakit.

5 Para ahli Ushul membagi ahliyatul wujub kepada dua tingkatan, yaitu :
 
a. Ahliyah al-wujub al-naqish,
 yaitu kecakapan seseorang manusia untuk menerimahak, tetapi tidak
menerima kewajiban; atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak
pantas menerima hak. Contoh pertama adalah janin yang beradadalam perut
ibunya, janin ini berhak mendapat warisan, wasiat, dan wakaf akan tetapi
tidak dapat dibebani kewajiban pada dirinya terhadap orang lain seperti
memberi nafkah, memberi hibah, dan sebagainya. Adapun contoh yang
keduaadalah mayat yang meninggalkan utang
 b.Ahliyah al-wujub al-kamilah,
yaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak dan layak untuk
menjalankan kewajiban. Kelayakan ini didapat oleh seseorang dimulai sejak
lahir, pada masa kanak-kanak-nya,tamyiz , dan setelah baligh.

Singkat kata ahliyatul wujub al-kamilah


selalu dikaitkan dengan kehidupan manusia secara menyeluruh.
Contohnya adalah anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara pasti
menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya, ia juga telah dikenakan
kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta
 – menurut Sebagian ulama- yang pelaksanaannya dilakukan oleh orang tua
atau walinya.

Demikian pula dengan orang yang sedang sekarat. Disamping ia berhak men
erima hartawarisan dari orang tua atau kerabatnya yang lebih dulu
meninggal, ia juga dibebani kewajiban zakat atas hartanya yang telah
memenuhi syarat untukdizakatkan.
7 Jadi, ahliyah al-wujud  adalah sifat kecakapan seseorang untuk
menerimahak-hak dan menjadi haknya, tetapi belum cakap untuk dibebani
seluruhkewajiban.

B. Definisi Ahliyatul ‘Ada dan Pembagiannya


 
Ahliyatul ‘ada yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang
telah dianggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh
perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dengan kata lain, ia
dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban. Menurut ulama
ushul fiqh, yang menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah
memiliki ahliyah ‘ada adalah aqil, baligh, dan cerdas
. Kesepakatan mereka itu didasarkan pada firman Allah SWT. Dalam surat
An-Nisa :6 :
 
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk menikah. Kemudian
jika
menurut pendapatmu mereka cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-
hartanya...” (Q.S. An
-Nisa :6)
8 Selain itu, ahliyatul ‘ada dikatakan pula sebagai kelayakan mukallaf untuk
dapat dianggap baik ucapan dan perbuatannya menurut
 syara’ . Contoh apabila mukallaf mendirikan shalat, puasa atau haji maka
semua itu bisa menggugurkankewajiban dan bisa diperhitungkan. Dan jika
mukallaf melakukan tindakan pidana, maka ia harus dihukum sesuai dengan
pelanggarannya itu.
9  Keadaan manusia dihubungkan dengan ahliyatul ‘ada
 diantaranya :

a.Tidak mempunyai keahlian sama sekali. Maksudnya ialah orang yang


samasekali tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakan hukum seperti
anak-anak yang belum dewasa atau kehilangan kemampuan seperti orang
gila.Maka perbuatan anak dan orang gila tidak dianggap oleh hukum. Tapi
jika anak kecil atau orang gila itu berbuat pidana terhadap jiwa atau harta
maka iadiberi hukuman secara harta tidak secara fisik. Maka jika orang gila
membunuh maka hukumannya membayar diyah ( denda ) tidak wajib
diqishash. 

b. Tidak sempurna keahliannya yaitu anak yang masih remaja sebelum


dia baligh. Termasuk dalam kelompok ini pula orang yang kurang akal. Kare
naorang yang kurang akal itu tidak cacat akalnya dan tidak kehilangan akal.
Tapidia lemah akalnya. Maka orang-orang semacam ini dianggap
sah perbuatannya yang dipandang berguna baginya seperti menerima hibah 
dan shadaqoh.
c.Sempurna keahliannya. Yaitu orang yang sudah sampai usia dewasa. Maka
keahlian melaksanakan hak dan kewajibannya dianggap sempurna dengan
kedewasaan dan kematangan berfikir.
10  Jadi
ahliyatul ‘ada adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorangtelah di
anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan
seluruh perbuatanya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia
mengerjakan perbuatan yang di tuntut syara’ maka ia di anggap
 telah memenuhi kewajiban, dan untuk itu ia di beri pahala. Apabila ia
melanggar tuntutan syara’ maka ia berdosa. Karena itu, ia telah cakap untuk
menerima hak-hak dan kewajiban

Anda mungkin juga menyukai