Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH USHUL FIQH

AHLIYYAH DAN AWARID AHLIYYAH


Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen pengampu : Beni Ashari, SH.I.,MH

Disusun oleh:
1. Abdullah Muzakkah 2144030585
2. Ana Lindatus Sholehah 2144030593

FAKULTAS SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM AL-FALAH AS-SUNNIYYAH
(INAIFAS)
KENCONG-JEMBER
TAHUN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur kepada Allah SWT yang


telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya, sehingga kami
menyelesaikan makalah mata kuliah “USHUL FIQH” dengan
tepat waktu. Sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW yang telah membawa pedoman hidup yakni
Al-Quran dan As-Sunnah untuk keselamatan kita di dunia dan
akhirat.
Selanjutnya penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Beni
Ashar selaku dosen pengampu mata kuliah Ushul fiqh. Serta
ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan
bimbingan maupun pendapat dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis juga menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam
penulisan makakah ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun agar penulis dapat melakukan
perbaikan pada penulisan makalah-makalah yang akan datang.

Jember, 18 April 2022

Penulis
A. Pengertian Al-ahliyyah
Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan/kelayakan
menangani suatu urusan”. Misalnya orang yang memiliki
kemampuan dalam suatu bidang, maka ia dianggap ahli untuk
menangani bidang tersebut.
Adapun arti ahliyyah secara terminologi, menurut para ahli ushul
fiqih, yaitu;
“Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh
syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan
syara’.”(Al-Bukhari : II : 1357)
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat
yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan
akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapat dinilai oleh syara’.
Orang yang telah mempunyai sifat tersebut dianggap telah sah
melakukan suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat
menerima hak dari orang lain. Dengan demikian, jual belinya,
hibbahnya, dan lain-lain dianggap sah. Ia juga telah dianggap
mampu untuk menerima tanggungjawab, seperti nikah, nafkah, dan
menjadi saksi.
Macam-macam Al-ahliyyah
Adapun Ahliyyah menurut istilah ulama’ ushul fiqih, maka
ahliyyah terbagi kepada dua bagian yaitu:
1. Ahliyyah Al-Wujub
Ahliyyah Al-Wujub ialah sifat kecakapan seseorang untuk
menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum mampu
untuk dibebani seluruh kewajiban.
Misalnya, ia telah berhak menerima hibbah. Dan apabila harta
bendanya dirusak orang lain, ia pun dianggap mampu untuk
menerima ganti rugi. Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk
menerima harta waris dari keluarganya.
Menurut ulama’ ushul fiqih, ukuran yang digunakan dalam
menentukan ahliyyah al-wujub adalah sifat kemanusiaannya yang
tidak dibatasi oleh umur, baligh, kecerdasan dan lain-lain. Sifat ini
telah dimiliki seseorang semenjak dilahirkan sampai meninggal
dunia dan akan hilang dari seseorang apabila orang yang
bersangkutan meninggal dunia.
Para ahli Ushul membagi ahliyyah al-wujub itu kepada dua
tingkatan:
a. Ahliyyah al-wujub naqishah (‫)اهليه الوجوب ناقصة‬

kecakapan dikenai hukum secara lemah yaitu kecakapan seorang


manusia untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban
atau kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak pantas
menerima hak.

Contoh kecakapan untuk menerima hak, tetapi tidak untuk


menerima kewajiban adalah bayi dalam kandungan ibunya. Bayi
atau janin itu telah berhak menerima hak kebendaan seperti warisan
dan wasiat, meskipun ia belum lahir. Bayi dalam kandungan itu
tidak dibebani kewajiban apa-apa, karena secara jelas ia belum
bernama manusia.

Para ulama’ ushul fiqih sepakat bahwa ada empat hak bagi seorang
janin, yaitu:
1. Hak keturunaan dari ayahnya
2. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia.
Dalam kaitannya, bagian harta yang harus dia terima diperkirakan
dari jumlah terbesar yang akan ia terima, karena jika laki-laki,
maka bagiannya lebih besar dari wanita, apabila wanita, maka
kelebihan yang disisakan itu dikembalikan kepada ahli waris yang
lain.
3. Wasiat yang ditujukan kepadanya
4. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.

Para ulama ushul menetapkan bahwa wasiat dan wakaf merupakan


transaksi sepihak, dalam arti pihak yang menerima wasiat dan
wakaf tidak harus menyatakan persetujuan untuk sahnya akad
tersebut. Dengan demikian, penerima wasiat dan wakaf tidak perlu
menyatakan penerimannya. Dalam hal ini, wasiat dan wakaf yang
diperuntukan kepada janin, secara otomatis menjadi milik janin
tersebut.
Contoh kecakapan untuk dikenai kewajiban tetapi tidak cakap
menerima hak adalah orang yang mati tetapi masih meninggalkan
hutang. Dengan kematiannya itu ia tidak akan mendapatkan hak
apa-apa lagi, karena hak hanyalah untuk manusia yang hidup.
Tetapi si orang mati itu akan tetap dikenai kewajiban untuk
membayar hutang yang dibuatnya semasa ia masih hidup. Yang
menyangkut harta benda yang dapat dilakukan oleh orang lain.
Adapun kewajiban yang menyangkut pribadi, seperti sholat yang
tertinggal menjadi gugur oleh kematiannya karena pelaksanaan
kewajiban seperti itu dapat digantikan orang lain.

b. Ahliyyah al-wujud kamilah (‫)اهلية الوجوب كاملة‬

atau kecakapan dikenai hukum secara sempurna, yaitu kecakapan


seseorang untuk dikenai kewajiban dan juga untuk menerima hak.
Adanya sifat sempurna dalam bentuk ini karena kepantasan berlaku
untuk keduanya sekaligus. Kecakapan ini berlaku semenjak ia lahir
sampai sekarat selama ia masih bernafas.

Contohnya adalah anak yang baru lahir, disamping ia berhak secara


pasti menerima warisan dari orang tua atau kerabatnya, ia juga
telah dikenai kewajiban seperti zakat fitrah atau zakat harta
menurut sebagian pendapat ulama’ yang pelaksanaannya dilakukan
oleh orang tua atau walinya.

Demikian pula orang yang sedang sekarat, disamping ia berhak


meneria harta warisan dari orang tua atau kerabatnya yang lebih
dulu meninggal, ia juga dibebani kewajiban zakat atas harta-nya
yang telah memenuhi syarat untuk dizakatkan.

2. Ahliyyah al-ada’ (‫)اهليه االداء‬

Ahliyyah al-ada’ yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi


seseorang yang telah dianggap semourna untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya baik bersifat
positif maupun negatif.

Menurut kesepakatan ulama’ ushul fiqih, yang menjadi ukuran


dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada’
adalah ‘aqil, baligh, dan cerdas. Kesepakatan mereka didasarkan
pada firman Allah dalam surat An-Nisa:6:
‫َوا ْبتَلُوا ْاليَتَا َمى َحتَّى ِإ َذا بَلَ ُغوا النِّ َكا َح فَِإ ْن َآنَ ْستُ ْم ِم ْنهُ ْم ُر ْشدًا فَا ْدفَعُوا ِإلَ ْي ِه ْم َأ ْم َوالَهُ ْم‬
Artinya:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk menikah.
Dan jika menurut pendapatmu mereka cerdas (pandai memelihara
harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…”(QS.
An-Nisa’ :6)
Kalimat “cukup umur” dalam ayat diatas, menurut ulama’ ushul
fiqih, ditunjukkan bahwa seseorang telah bermimpi dengan
mengeluarkan mani untuk pria dan telah keluar haid untuk wanita.
Orang seperti itulah yang dianggap cakap untuk melakukan
tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan syara’
dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat ia laksanakan
dengan benar. Apabila dia tidak melaksanakan perintah dan
melanggar larangan, maka ia harus bertanggung jawab, baik di
dunia maupun di akhirat.

Kecakapan berbuat hukum atau ahliyyah al-ada’ terdiri dari tiga


tingkatan. Setiap tingkat ini dikaitkan kepada batas umur seorang
manusia. Ketiga tingkat itu ialah:
a. Adim al-ahliyyah ((‫ديم االهلية‬v‫ ع‬atau tidak cakap/layak sama sekali
yaitu manusia semenjak lahir sampai mencapai umur tamyiz sekitar
umur 7 tahun.
Dalam batas umur ini, seorang anak belum sempurna akalnya atau
belum berakal. Sedangkan taklif itu dikaitkan kepada sifat berakal.
Karena itu anak seumur ini belum disebut mukallaf atau belum
dituntut melaksanakan hukum. Ia tidak wajib melaksanakan sholat,
puasa dan kewajiban badani lainnya. Disamping perbuatan anak-
anak dalam umur ini tidak dikenai hukum, ucapannya pun tidak
mempunyai akibat hukum. Karena itu transaksi yang dilakukannya
dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum.
b. Ahliyyah al-ada’ naqishah (‫ة االداء ناقصة‬vv‫ )اهلي‬atau cakap berbuat
hukum secara lemah, yaitu manusia yang telah mencapai umur
tamyiz (kira-kira 7 tahun) sampai batas dewasa.
Penanaman naqishah (lemah) dalam bentuk ini oleh karena akalnya
masih lemah dan masih belum sempurna. Sedangkan taklif berlaku
pada akal yang sempurna. Manusia dalam batas umur ini dalam
hubungannya dengan hukum, sebagian tindakannya telah dikenai
hukum dan sebagian lagi tidak dikenai hukum.

Dalam hal ini tindakan manusia, ucapan atau perbuatannya terbagi


kepada 3 tingkat, dan setiap tingkat mempunyai akibat hukum
tersendiri, yaitu:
1. Tindakan yang semata-mata menguntungkan kepadanya,
umpamanya pemberian(hibah) dan wasiat. Semua tindakan dalam
bentuk ini, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan adalah sah
dan terlaksana tanpa memerlukan persetujuan dari walinya.
2. Tindakan yang semata-mata merugikannya atau mengurangi hak-
hak yang apa adanya; umpamanya pemberian yang dilakukannya,
baik dalam bentuk hibah atau shodaqoh, pembebasan hutang , jual
beli dengan harga yang tidak pantas. Segala tindakannya, baik
dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang dilakukan oleh
mumayyiz dalam bentuk ini tidak sah dan tidak berakibat hukum
atau batal yang tidak memungkinkan untuk disetujui oleh walinya.
3. Tindakan yang mengandung keuntungan dan kerugian.
Umpamanya jual beli, sewa menyewa, upah mengupah dan lainnya
disatu pihak mengurangi haknya dan di pihak lain menambah hak
yang ada padanya. Tindakan yang dilakukannya dalam bentuk ini
tidak batal secara mutlak tetapi dalam kesahannya tergantung pada
persetujuan yang diberikan oleh walinya sesudah tindakan itu
dilakukan.

c. Ahliyah al-ada’ kamilah (‫ )اهلية االداء كاملة‬atau cakap berbuat hukum


secara sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
Usia dewasa dalam kitab-kitab fiqih ditentukan dengan tanda-tanda
yang bersifat jasmani; yaitu bagi wanita telah mulai haid atau mens
dan para laki-laki bermimpi bersetubuh. Pembatasan berdasarkan
jasmani ini didasarkan pada petunjuk Al-Qur’an, yaitu sampai
mencapai usia perkawinan atau umur yang pada waktu itu telah
mungkin melangsungkan pernikahan.
Dalam keadaan tidak terdapat atau sukar diketahuai tanda yang
bersifat jasmaniyah tersebut, diambil patokan umur yang dalam
pembatasan ini terdapat perbedaan pendapat antara ulama’ fiqih.
Menurut jumhur ulama’ umur dewasa itu adalah 15 tahun bagi laki-
laki dan perempuan. Menurut Abu Hanifah umur dewasa untuk
laki-laki adalah 18 tahun, sedangkan bagi perempuan adalah 17
tahun. Bila seseorang telah mencapai umur tersebut, maka belum
berlaku padanya beban hukum atau taklif.

B. Pengertian ‘awarid Al-ahliyyah

Sesuatu yang berpengaruh terhadap kecakapannya untuk berbuat


itu disebut ‘awaridh al-ahliyyah (‫ )ع>>>وارض االهلية‬ atau halangan
taklif. Halangan ini mungkin hanya akan mengurangi
kemampuannya dalam melaksanakan hukum atau penghalang
keahlian seseorang untuk melaksanakan ketentuan syar’i, sehingga
seorang manusia tidak bisa mengerjakan ketentuan, atau bisa
mendapat keringanan.
Halangan taklif itu dapat dikelompokkan pada dua kelompok:

1. Awaridh samawiyyah (‫)ع>>>>>وارض س>>>>>موية‬ Yaitu  Halangan yang


datangnya dari Allah bukan disebabkan perbuatan manusia, seperti
gila, dungu. Perbudakan, mardh maut (sakit yang berlanjut dengan
kematian) dan lupa.
2. Awaridh Muktasabah (‫)ع>>>>وارض المكتس>>>>بة‬ yaitu halangan yang
disebabkan perbuatan manusia itu sendiri, seperti; mabuk, terpaksa,
bersalah, berada dibawah pengampunan dan bodoh.

Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap


tindakan-tindakan hukumnya, yakni adakalanya bersifat
menghilangkan sama sekali, mengurangi atau mengubahnya.

Oleh karena itu, mereka membagi halangan bertindak hukum itu


dilihat dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk;

1. Halangan bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak


hukum secara sempurna hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa
dan terpaksa.Hal itu didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW
:
“diangkatkan (pembebanan hukum) dari umatku yang tersalah,
terlupa, dan terpaksa”.
(HR.Ibnu Majah dan Tabrani)

2. Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al-ada’, seperti orang


dungu. Orang seperti ini, ahliyyah al-ada’nya tidak hilang sama
sekali, tetapi bisa membatasi sifat kecakapannya dalam bertindak
hukum. Maka tindakan hukum yang sifatnya bermanfaat untuk
dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya dianggap
batal.
3. Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum
seseorang, seperti orang yang berhutang, pailit, dibawah
pengampunan, orang yang lalai, dan bodoh. Sifat-sifat tersebut,
sebenarnya tidak mengubah ahliyah al-ada’ seseorang, tetapi
beberapa tindakan hukumnya yang berkaitan dengan masalah harta
dibatasi. Hal itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dirinya dan hak-
hak orang yang membayar hutang.
 

Anda mungkin juga menyukai