Anda di halaman 1dari 6

UTS USHUL FIQH

ABDUL ROUF ALFATONI PAI 3A


210101303

1. Ushul fiqh adalah dua kata yang secara istilah mengandung arti
kumpulan kaedah-kaedah yang bersifat kulliyah (universal)
yang menjadi landasan metodologis penetapan hukum-hukum
fikih dari dalil-dalil syariat. Dengan demikian, ushul fikh
merupakan instrumen dalam mengetahi banar-salahnya suatu
ketetapan hukum, atau untuk mengetahui kekuatan argumen
dari seorang mujtahid dalam menetapkan hukum serta
perbedaannya dengan argumen lainnya yang juga datangnya
dari seorang mujtahid.
Objek pembahasan ilmu ushul fiqh adalah dalil syari’ yang
bersifat umum ditinjau dari segi ketetapan-ketetapan hukum
yang bersifat umum pula.

Abu Hamid Al-Ghazali (450-505 H), ahli ushul fiqh dari kalangan
syafi’iyah meletakkan pembahasan tentang hukum bukan pada
pendahuluan, melainkan pada bagian pertama masalah-
masalah pokok yang akan dibahas dalam ushul fiqh. Berpegang
kepada pendapat Al-Ghazali tersebut, maka objek bahasan
ushul fiqh terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Pembahasan tentang hukum syara’ dan yang berhubungan
dengannya, seperti hakim, mahkum fih, dan mahkum ‘alaih.
b. Pembahasan tentang sumber-sumber dan dalil-dalil hukum
c. Pembahasan tentang cara mengistinbathkan hukum dari
sumber-sumber dan dalil-dalil itu
d. Pembahasan tentang ijtihad
2. perbedaan ushul Fiqh dan fiqh :
a. Objek Pembahasan
Dilihat dari objek pembahasannya, ilmu fiqih membahas tentang
dalil-dalil yang bersifat juz’i (khusus) sehingga menghasilkan hukum
juz’i pula yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf. Mukalaf
merupakan seorang Muslim yang dikenai kewajiban atau perintah
dan menjauhi larangan agama. Adapun yang menjadi objek
pembahasan ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang bersifat kulli
(umum) dan hukum yang bersifat umum pula.
b. Tujuan
Ilmu fiqih bertujuan untuk menerapkan hukum syariat terhadap
perbuatan dan ucapan mukalaf. Sementara ushul fiqh bertujuan
untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah yang bersifat kulli terhadap
nas-nas syariat.
c. Sifat
Dilihat dari sifatnya, fiqih lebih bersifat praktis, sedangkan ushul fiqh
lebih bersifat kebahasaan (teoretis). Ushul fiqh meliputi bahasa dan
kaidahnya, sebab kaidah-kaidah tersebut mutlak dan diperlukan oleh
mujtahid, seperti pembahasan mengenai makna hakiki (riil) dan
majaz (kiasan), lafaz umum, dan sebagainya.
Sementara fiqih hanya menjelaskan hukum syarak yang mengikat
orang mukalaf, seperti salat hukumnya wajib, riba hukumnya haram,
dan sebagainya.
d. Asal
Dilihat dari asalnya, ushul fiqh merupakan dasar pijakan bagi ilmu
fiqih, sedangkan fiqih merupakan hasil atau produk dari ushul fiqh.
Dengan kata lain, dari ushul fiqh akan melahirkan ilmu fiqih.
Contoh Kasus hukum
Dalam ushul fiqh, terdapat sebuah kaidah yang menyebutkan bahwa
“Setiap kalimat larangan menunjukkan hukum tidak sahnya
perbuatan yang dilarang.” Adanya kaidah ini dalam ushul fiqh tidak
dapat digunakan untuk menetapkan bahwa hukum akad asuransi
adalah tidak sah. Diperlukan perantara lain terlebih dahulu untuk
menetapkan sah atau tidaknya hukum akad asuransi.
Di sisi lain, kaidah fiqh juga memiliki kaidah yang mirip, dimana
kaidah tersebut mengatakan bahwa, “Hal – hal yang mendatangkan
mudharat harus dihapuskan.” Dari kaidah ini, maka para ahli fiqh bisa
mengambil hukum bahwa boleh memaksa penjual untuk menerima
kembali barang cacat yang dijualnya. Dalam hal ini, hukum tersebut
dinamakan sebagai khiyar aib.

3. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah tuntunan Allah SWT yang berkaitan dengan
perintah dan larangan. Didalam Islam, hukum taklifi yang berupa
bentuk tuntutan yang tidak memberatkan pelakunya dan dalam
batas kemampuan mukalaf.

Hukum Wad’i
Hukum Wad’i adalah perintah Allah SWT yang berkaitan dengan
sebab, syarat, atau penghalang bagi adanya sesuatu. Dalam ushul
fikih, hukum wadh’i terdiri dari, sebab (sabab), syarat (syarth),
penghalang (mani’), rukhsah (keringanan), azimah (hukum yang tidak
berubah), sahih (sah), dan batal (batil atau fasid).

4. a. Sebab (Sabab)
Adalah kondisi atau sifat yang menjadikan suatu sebab atau
tanda keberadaannya karena ada hukum syariat. Misalnya,
datangnya Idul Fitri ditandai dengan kemunculan hilal.

b. Syarat (Syarth)
Adalah sesuatu keberadaan hukum yang syariatnya tergantung
kepadanya. Misalnya, setelah melaksanakan wudlu seseorang
belum dikatakan bahwa sholatnya sah karena untuk
melaksanakan sholat juga harus menghadap kiblat.

c. Penghalang (Mani’)
Adalah segala sesuatu yang dapat menyebabkan batalnya
hukum ataupun meniadakan hukum. Misalnya, seseorang
perempuan yang sedang haid tidak boleh melakukan sholat.

d. Rukhsah (Keringanan)
Adalah suatu perubahan dari yang berat menjdai ringan atau
juga yang lebih mudah. Dengan maksud Allah memberikan
keringanandalam suatu kondisi dan situasi qkhusus. Misalnya,
keringan kepada orang yang sedang diperjalanan untuk
mengasar sholatnya.

e. Azimah (Hukum yang tidak berubah)


Adalah perbuatan yang disyari’atkan pada awalnya oleh Allah
Swt yag tidak tertentu atau tergantung pada sutau halangan.
Misalnya, Sholat 5 waktu sebelum uzur, puasa ramadhan
sebelum uzur dan lainnya.

f. Sahih (Sah)
Adalah keadaan dan perbuatan yang telah memenuhi segala
sesuatunya yaitu syarat dan rukunnya. Maka dari itu perbuatan
tersebut sudah memenuhi suatu ketentuan hukum. Miasalnya,
apabila sholat dikatakan sah karena sudah sesuai dengan
diperintahkan syara’.

g. Batal (Batil atau fasid)


Suatu keadaan ataupun perbuatan yang tidak memenuhi syarat
dan rukunnya, tidak ada akibat yang ditimbulkannya. Misalnya,
batalnya jual beli minuman keras, karena minman keras tidak
bernilai harta dalam sebuah ketentuan syara’.

5. Secara terminology, para ahli ushul fiqh mendefinisikan ahliyah


dengan:
Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang di jadikan ukuran oleh
syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai
tuntutan syara’. Maksudnya, Ahliyah adalah sifat yang
menunjukkan seseorang itu telah sempurna jasmani dan
akalnya, sehingga seluruh tindakanya dapat dinilai oleh syara’
dua Jenis Ahliyah:

a. Ahliyah Ada’
Ahliyah ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum
seseorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang
positif maupun negatif. Bila ia mengerjakan perintah syara’,
maka ia berpahala dan jika ia melaksanakan larangan, maka ia
berdosa.

b. Ahliyah Wujub
Ahliyatul Wujub yaitu “Kecakapan seseorang untuk menerima hak-
hak yang menjadi haknya, tetapi ia belum mampu untuk dibebani
seluruh kewajiban.
Contohnya : a) anak yang bisa menerima hibah. b) Apabila harta anak
tsb dirusak orang lain, ia dianggap mampu untuk menerima ganti
rugi, demikian pula sebaliknya, jika ia merusak harta orang lain, maka
gantinya diambil dari harta anak Tersebut. c) Selain itu juga ia
dianggap mampu untuk menerima harta waris.
Para ulama’ ushul fiqh juga membagi ahliyah al-wujud kepada dua
bagian yaitu:
a. Ahliyah al-Wujub al-Naqishah
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin
sudah dianggap memiliki ahliyatul wujub, tetapi belum sempurna.
Hak-hak yang harus ia terima, belum dapat menjadi miliknya,
sebelum ia lahir. Para ulama sepakat, ada 4 hak bagi janin :
1.Hak keturunan dari ayahnya
2.Hak warisan dari pewarisnya yang wafat
3.Hak wasiat
4.Harta waqaf yang ditujukan kepadanya

b. Ahliyah al-wujud al-kamilah adalah kecakapan menerima hak


bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia sampai ia
dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang,
seperti orang gila. Dalam status ahliyah al-wujud (sempurna
atau tidak), seseorang tidak di bebani tuntutan syara’, baik
yang bersifat ibadah seperti sholat dan puasa(yang bersifat
rohani), maupun tindakan-tindakan hukum duniawi seperti
transaksi yang bersifat pemindahan hak milik.

Anda mungkin juga menyukai