Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM SYAR’I

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5
1. HIJAR SEMI (20300118014)
2. SATRIANI (20300118015)
3. EL YUSRIL (20300118034)

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


TAHUN AJARAN 2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan Rahmat Hidayah
dan Inayah-Nya. Tak lupa pula kita kirimkan salam dan salawat kepada junjungan Nabi
besar Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan InsyaAllah sampai
kepada kita yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman. Aamiin

Penulisan makalh ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ilmu
Fiqih yang berjudul “Hukum Syara’ “

Dalam makalah ini kami menguraikan mengenai pengertian serta tujuan ditetapkannya
syara’ atau syariat Islam.

Dalam penyelesaian makalah ini, kami mendapatkan informasi atau pemahaman baik dari
nuku, internet, serta langsung pemahaman kami sendiri.

Akhirul kalam, kami menyadari banyak bahwa masih banyak kekurangan


didalamnya. Oleh karena itu kekurangan datangnya dari kami dan kelebihannya hanya
milik Allah dan harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memenuhi
harapan berbagai pihak.

Wa’alaikumsalam Wr.Wb

SAMATA, SEPTEMBER 2018

PENYUSUN

2
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................4

LATAR BELAKANG.................................................................................................................4

1.2 RUMUSAN MASALAH.......................................................................................................4

1.3 TUJUAN................................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................................6

2.1 Pengertian Hukum Syara.......................................................................................................6

2.2 Macam-macam Hukum.........................................................................................................7

2.3 Pembagian Macam-Macam Hukum.......................................................................................8

2.4 Tujuan Penetapan Hukum Syari'ah......................................................................................15

BAB III PENUTUP......................................................................................................................19

3.1 KESIMPULAN....................................................................................................................19

3.2 PENUTUP..................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................20

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan Sunnah,
maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang
diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum
syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini
memang mengetahui hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf.
Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi
metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil
penggalian hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir
(pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah
ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan
orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal,
syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain serta tujuan ditetapkannya Syari’ah yang
akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan
ilmu Ushul fiqh.

Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara'.
Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam
mempelajari ilmu Ushul fiqh.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Pengertian hukum syar’i

4
2. Macam-macam hukum syar’i
3. Pembagian macam-macam hukum
4. Tujuan ditetapkannya Syari’ah

1.3. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian hukum syar’i
2. Untuk mengetahui macam-macam hukum syar’i
3. Untuk mengetahui pembagian macam-macam hukum syar’i
4. Untuk mengetahui tujuan ditetapkannya hukum syar’i

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Syara’


Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau
“memutuskan”.Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti”khitab (kalam)
Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik
berupaiqtidla(perintah,larangan,anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk
meninggalkan), takhyir (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melkakukan
dan tidak melakukan), atau wadl (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai
sebab,syarat,atau mani’[penghalang]).
Menurut istilah ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul.
Apabila disebut hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan
manusia, yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan
akidah dan akhlaq.
Bila dicermati dari definisi diatas, ditarik kesimpulan bahwa ayat-ayat atau hadis-hadis
hukum dapat dikategorikan dalam beberapa macam;

a. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan


itu sifatnya wajib.
b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatnya
haram.
c. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan perbuatan yang dianjurkan untuk
dilakukan itu sifatnya mandub.
d. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk
ditinggalkan itu sifatnya makruh.

6
e. Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidakmelakukan, dan
perbuatan yang diberi pilihan untuk dilakukan atau ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f. Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g. Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h. Menetapkan sesuatu sebagai mani’(penghalang).
i. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria sah dan fasad/batal.
j. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria ‘azimah dan rukhshah.

2 ..2 Macam –Macam Hukum


 Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepadadua macam,yaitu:
o hukum taklifi
o hukum wadh’i
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah dan
Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk
perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam
bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang menjadipenghalang kecakapan
untuk melakukan hukum taklifi).
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat deketahui
perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum
tersebut:
a. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi
pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan
hubungan suatu peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi
menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i

7
menjelaskan bahwa waktu matahari tergalincir di tengah hari menjadi sebab tanda
bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
b. Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuan
seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya ada yang diluar
kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas manusia.
c.

2.3 Pembagian Macam-Macam Hukum

A. Hukum Taklif
Hukum Taklifi dibagi menjadi lima:
 Al-Ijab (kewajiban)
 An-Nadb(kesunnahan)
 At-tahrim (keharaman)
 Al-karahah (kemakruhan)
 Al ibahah (kebolehan).

1. Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara terminologi,seperti yang
dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak, wajib
berarti:Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk
dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakanakan mendapat pahala dari
Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bila dilihat dari
segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua macam yaitu:
o Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang
sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini

8
tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima
waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
o Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf,
namun bila mana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka
kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut
melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya
kewajiban sholat jenazah.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua
macam:
1) Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’ dengan
secara khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa
Ramadhan,membayar zakat.
2) Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya
boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat
(denda melanggar).
Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:
1) Wajib mu’aqqat, yaitu: sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti
dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-masing sholat itu dibatasi
wakti tertentu,artiya tidak wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa jika
mengakhirkan sholat tanpa udhur.
2) Wajib mutlaq, yaitu:sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti tetapi
tidak ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam:
1) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya,
seperti zakat.
2) Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak ditentukan
ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.

9
2. Mandub
Kata mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang dianjurkan”. Secara terminologi
yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-nya dimana akan diberi pahala
jika melaksanakannya. Namun tidak mendapat dosa orang yang meninggalkannya. Seperti
dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, mandub terbagi menjadi tiga tingkatan :
 Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh
Rasulullah dan jarang ditinggalkannya misalnya salat sunnah dua rakaat sebelum
fajar.
 Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah
namun bukan menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan salat sunah dua kali dua
rakkat sebelum salat dhuhur.
 Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah sebagai
manusia misalnya sopan santunnya dalam makan dan tidur.

3. Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara’
haram ialah: “pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakanya”. Sedaangkan
secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan
Rasul-Nya,dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa,
dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan
berzina dalam firman Allah:‫والتقربواالزنائنه كان فاح وساءسبيال‬

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buru”k.(QS.Al-isra’:32)

10
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan
kecualikarena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut
juga muharram (sesuatu yang diharamkan).
Haram terbagi menjadi dua:
 haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa hukum syara’
telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti
zina,mencuri,shalat tanpa bersuci,mengawini salah satu muhrimnya dengan
mengetahui keharamannya
 haram karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada awalnya
ditetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi bersamaan dengan
sesuatu yang baru yang menjadikannya haram: seperti sholat yang memakai baju
gosob,jual beli yang mengandung unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan
pada saat istri sedang haid.

4. Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”.dalam istilah ushul fiqh kata
makruh,menurut mayoritas ulama ushul fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk
ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya
berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa
karena dikhawatirkan air akan masuk kerongga kerokongan dan tertelan.

5. Mubah
Secara bahasa berarti”sesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan”, menurut para ahli
ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada mukalaf untuk memilih antara melakukan atau
meninggalkannya. Misalnya, ketika didalam rumah tangga terjadi cekcok yang
berkepanjangan dan dikhawatirkan tidak dapatlagi hidup bersama maka boleh (mubah)bagi
seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu

11
menceraikannya,sesuai dengan QS.Al-Baqarah:229). Dan juga termasuk mudah bila syar’i
memerintahkan suatu perbuatan dan terdapat alasan yang emnunjukkan bahwa perintah itu
berarti mubah. Misalnya, dalam QS. Al Maidah : 2

…‫وإذا حللتم فاصطادوا‬


“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu”

Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat membagi mubah kepada tiga
macam:
 Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang wajib
dilakukan. Misalnya makan dan minum hukumnya mubah, namun mengantarkan
seseorangsampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan
kepadanya seperti sholat dan mencari rizki. Mubah yang seperti ini bukan berarti
dianggap mubah dalam hal memilih makan atau tidak makan, karena meninggalkan
makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
 Sesuatu baru dianggap mudah bilamana dilakukan sekali-sakali, tetapi haram
hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain, mendengankan musik.
 Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang
mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk untuk kepentingan
kesenangan. Hidup senang itu hukumnya mubah dan untuk mencapai kesenangan
itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat
mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak denag
menggunakan sesuatu yang dilarang.

12
B. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i trbagi menjadi tiga. Berdasarkan penelitian, telah ditetapkan bahwa
Hukum Wadh’i adakalanya menjadikan sesuatu sebagai:

1. Sebab

Sebab menurut bahasa berarti,”sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada


sesuatu yang lain”. Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidan, sebab yaitu: “sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai tanda bagi adanya
hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum”.[13] Misalya,
tindakan perzinahan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas
pelakunya, tindakan perampokan sebagai sebab bagi kewajibannya mengembalikan benda
yang dirampok kepada pemiliknya, melihat anak bulan Ramadan menyebabkan wajibnya
berpuasa. Ia berdasarkan firman Allah SWT yang artinya, “ Oleh itu, sesiapa dari antara
kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia
berpuasa bulan itu…”(al-Baqarah: 185).

2. Syarat
Hukum wad'i yang kedua adalah syarat. Syarat secara bahasa yaitu, “sesuatu yang
menghendaki adannya sesuatu yang lain” atau “sbagai tanda”. Sedangkan menurut istilah
Ushul fiqh sprti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan syarat adalah: “sesuatu yang
tergantung kepadanya ada ssuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu”.
Seperti: wudhu adalah syarat bagi sahnya sholat apabila ada wudhu maka sholatnya sah,
namun adanya wudhu belom pasti adanya sholat, adanya pernikahan merupakan syarat
adanya talaq, jika tidak ada pernikahan maka tentu saja talaq tidak akan terjadi.
Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:

13
 Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at sendiri. Contoh,semua
syarat yang ditetapkan olh syar’i dalam perkawinan, jual beli,hibah, dan wasiat.
 Syarat ja’li, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Cotoh
Syarat yang ditetapkan suami untuk menjatuhkan talaq kepada istrinya dan
ketetapan majikan untuk memerdekakan budaknya. Artinya jatuhnya talaq atau
merdeka itu tergantung pada adanya syarat, tidak adanya syarat pasti tidak
akan ada talaq atau merdeka. Bentuk kalimat talak adalah sebab timbulnya talaq,
tetapi jika telah memenuhi syarat.
3. Mani’ (penghalang)
Mani’ adalah sesuatu yang adannya meniadakan hukum atau membatalkan sebab.
Dalam suatu masalah, kadang sebab syara’ sudah jelas dan memenuhi syarat-syaratnya,
tetapi ditemukan adanya mani’ (penghalang) yang menghalangi konsekuensi hukum atas
masalah tersebut. Sebuah akad misalnya dianggap sah bilamana telaah memenuhi syarat-
syaratnya dan akad yang itu mempunyai akibat hukumselama tidak terdapat padanya suatu
penghalang(mani’). Misalnya akad perkawinan yang sah karena telah mncukupi syarat dan
rukunnya adalah sebagai sebab waris-mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu bisa jadi
terhalang jika suami membunuh istrinya atau sebaliknya. Di dalam sebauah hadist
dijelaskan bahwa tidak ada waris-mewarisi antara pembunuh dan terbunuh.
Para ahli ushul fiqh membagi mani’ kepada dua macam:
 Mani’ al-hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan srari’at sebagai penghalang bagi
adanya hukum. Misalnya, keadaan haidnya wanita itu merupakan mani’ bagi
kecakapan wanita untuk melakukan sholat, oleh karena itu sholat tidak wajib
dilakukannya pada waktu haid.
 Mani’ as-sabab, yaitu suatu yag ditetapkan syariat sbagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai
akibat hukum. Contohnya, bahwa sampainya harta minimal satu nisab, menjadi
sebab bagi wajib mengeluarkan zakat harta itu karena pemiliknya sudah tergolong

14
orang kaya. Namun jika pemilik harta itu dalam keadaan berhutang dimana hutang
itu bila dibayar akan mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fiqih
keadaan berhutang itu menjadi mani’ bagi wajib zahat pada harta yang dimilikinya
itu. Dalam hal ini, keadaan berhutang telah mnghilangkan predikat orang kaya
sehingga tidak lagi dikenakan kewajiban zakat harta.

2.4 Tujuan ditetapkannya Syari’ah

Tujuan Khusus, antara lain ;


1) Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab
yang hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan
kebebasan untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]:
256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin,
maka Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat
musyrik dan murtad:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.
Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar.” (QS An-Nisaa [4]: 48).
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.

2) Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)


Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah
hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang

15
telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang
lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti
secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat
Al-Quran menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash
(pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang
bersangkutan, atau daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran
menerangkan hal ini:
“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara
yang baik dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para
calon pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai
taruhannya. Dengan begitu, jiwa orang beriman akan terpelihara.
3) Memelihara Akal (Hifzh al-‘aqli)
Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia
dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah
(sunnatullah) menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam
memelihara akan adalah dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi.
Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman
keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari
manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan
dosa perjudian.

16
4) Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat
Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak
boleh dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]:
2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan
emosional (dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.

5) Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)

Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman,
karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang
tertulis di dalam Al-Quran:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS Al-Maidah [5]: 38).

17
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan
alasan yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri dengan
serta merta dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang
dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil beberapa
butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda
dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan
jabatannya, tentunya hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat
Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap
berbagai tindak pencurian.

Tujuan Umum yaitu berisi firman Allah Swt yang ditujukan kepada orang dewasa dan
berakal (Mukallaf) yang mengandung satu tuntutan membolehkan ataupun menentukan
bahwa ada sesuatu yang membuat adanya yang lain.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

1. Hukum syara’ adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum syara’,
maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni yang dibicarakan
dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah dan akhlaq.
2. Hukum Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
3. Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan
atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan
ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian, yaitu wajib,mandub, haram,
makruh, mubah.
4. Hukum Wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi
adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai
penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Hukum wadh’i dibagi menjadi
tiga, yaitu sebab, syarat, mani’.
5. Manusia dituntut untuk bisa mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya demi
kepentingan hukum Allah yang adil dan dituntut pula untuk bisa berbuat adil dalam
melaksanakan hukum.

3.2 PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan tentang hukum syar’i, semoga
bermanfa’at bagi pembaca pada umumnyadan pada kami pada khususnya. Dan tentunya
makalah ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang bersifat
konstruktif sangat kami butuhkan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Makalah hukum syara. 04 Maret 2011. Web. 12 September 2018.http: //rumput-


212.blongspot.com/?m=1

Syariat Islam Tujuan Keistemawaannya. 21 Desember 2009. 19 September 2018.


https://hikmah32.wordpress.com

20

Anda mungkin juga menyukai