Anda di halaman 1dari 12

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................3
A. Pengertian Hukum................................................................................3
B. Pembagian Hukum Syar’i.....................................................................4
C. Pengertian Hakim.................................................................................6
D. Pengertian Mahkum Fih.......................................................................6
E. Syarat Mahkum Fih..............................................................................6
F. Pengertian Mahkum ‘Alaih dan Syaratnya...........................................7
BAB III PENUTUP..........................................................................................9
A. Kesimpulan...........................................................................................9
B. Saran.....................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................11

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-hukmu, hakim, mahkum fih, mahkum ‘alaih berasal dari hukum Islam
dan prinsip-prinsipnya yang mengatur tata cara hukum dalam kehidupan
masyarakat Muslim. Frasa tersebut secara harfiah berarti "keputusan adalah
hak bagi siapa yang berhak memutuskan dan siapa yang terkena hukum harus
tunduk kepadanya". Dalam konteks hukum Islam, prinsip ini
menggarisbawahi pentingnya ketaatan terhadap hukum yang telah ditetapkan,
baik itu oleh Allah dalam Al-Qur'an maupun oleh Nabi Muhammad SAW
melalui hadis-hadisnya. Al hukmu: Merujuk pada keputusan atau hukum.
Hakim: Orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan suatu perkara,
baik itu seorang qadi (hakim) dalam sistem peradilan atau otoritas yang
memiliki kekuasaan untuk membuat keputusan. Mahkum fih: Orang yang
hukumnya ditetapkan atau terkena keputusan. Mahkum 'alaih: Orang yang
hukumnya dikenakan atau yang harus tunduk kepada keputusan tersebut.
Prinsip ini menunjukkan bahwa dalam sistem hukum Islam, kepatuhan
terhadap hukum dan ketaatan kepada otoritas yang berwenang sangat
dijunjung tinggi. Hal ini juga mencerminkan prinsip ketaatan kepada otoritas
yang berlaku dalam masyarakat Islam, baik itu dalam konteks peradilan,
kehidupan sehari-hari, maupun dalam ketaatan kepada Allah SWT.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Pengertian Hukum?
2. Apakah Pembagian Hukum Syar’i?
3. Apakah Pengertian Hakim?
4. Apakah Pengertian Mahkum Fih?
5. Apakah Syarat Mahkum Fih?
6. Apakah Pengertian Mahkum ‘Alaih dan Syaratnya?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Hukum
2. Untuk Mengetahui Pembagian Hukum Syar’i
3. Untuk Mengetahui Pengertian Hakim

1
4. Untuk Mengetahui Pengertian Mahkum Fih
5. Untuk Mengetahui Syarat Mahkum Fih
6. Untuk Mengetahui Pengertian Mahkum ‘Alaih dan Syaratnya

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum
Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu
hakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi hukman.
Lafadz al-hukmu adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak al-ahkâm.
Berdasarkan akar kata hakama tersebut kemudian muncul kata al-hikmah yang
memiliki arti kebijaksanaan. Hal ini dimaksudkan bahwa orang yang
memahami hukum kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-
hari maka dianggap sebagai orang yang bijaksana.
Arti lain yang muncul dari akar kata tersebut adalah “kendali atau
kekangan kuda”, yakni bahwa keberadaan hukum pada hakikatnya adalah
untuk mengendalikan atau mengekang seseorang dari hal-hal yang dilarang
oleh agama. Makna “mencegah atau menolak” juga menjadi salah satu arti
dari lafadz hukmu yang memiliki akar kata hakama tersebut. Mencegah
ketidakadilan, mencegah kedzaliman, mencegah penganiayaan, dan menolak
mafsadat lainnya.
Al-Fayumi dalam buku Zainudin Ali, Hukum Islam, Pengantar Hukum
Islam di Indonesia ia menyebutkan bahwa Hukum bermakna memutuskan,
menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan.
Muhammad Daud Ali menyebutkan bahwa kata hukum yang berasal dari
lafadz Arab tersebut bermakna norma, kaidah, ukuran, tolok ukur, pedoman,
yang digunakan untuk menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan
lingkungan sekitarnya.
Dalam kamus Oxford sebagaimana dikutip oleh Muhammad Muslehuddin,
hukum diartikan sebagai “Sekumpulan aturan, baik yang berasal dari aturan
formal maupun adat, yang diakui oleh masyarakat dan bangsa tertentu dan
mengikat bagi anggotanya”.1

1
Rohidin, Pengantar Ilmu Hukum Islam, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016), hlm. 1-
2.

3
B. Pembagian Hukum Syar’i
Adapun pembagian hukum syar’i ada 2 macam yaitu sebagai berikut:
1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki dilakukannya
suatu perbuatan oleh mukallaf atau melarang mengerjakannya atau disuruh
memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Berikut pembagian dari
hukum taklifi sebagai berikut:
a. Wajib
Wajib menurut syara’ adalah sesuatu yang diperintahkan Allah Swt
agar dikerjakan secara pasti. Wajib merupakan ketentuan perintah yang
harus dilakukan oleh mukallaf sesuai petunjuk yang telah ditentukan
dengan konsekuensi akan mendatangkan pahala jika dilakukan dan
akan mendatangkan dosa jika ditinggalkan. Contoh tuntutan untuk
dilaksanakan seperti shalat, puasa, membayar zakat, menunaikan haji
bagi orang mampu dan berbakti kepada kedua orang tua (Shidiq,
2011:127).
b. Mandub
Mandub adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah dengan tuntutan
tidak pasti atau segala perbuatan yang diberi pahala jika
mengerjakannya dan tidak dikenai siksa apabila meninggalkannya.
Mandub disebut juga sunnah atau mustahab.
c. Muaharram
Yaitu perbuatan yang dituntut oleh Allah untuk ditinggalkan
dengan tuntutan pasti atau segala perbuatan yang apabila dilakukan
mendapat siksaan dan apabila ditinggalkan mendapat pahala, seperti
mencuri dan membunuh.
d. Makruh
Makruh adalah perbuatan yang dituntut oleh Allah untuk
ditinggalkan dengan tuntutan tidak pasti atau denagn kata lain
perbuatan yang bila ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan

4
tidak mendapat dosa. Misalnya: memakan makanan yang
menimbulkan bau tidak sedap dan shalat dikandang unta.
e. Mubah
Mubah adalah perbuatan yang dibebaskan oleh Allah untuk
dilakukan ataupun ditinggalkan.
2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i adalah firman Allah yang berhubungan dengan
perbuatab mukallaf yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang
lain, sebagai syarat adanya yang lain dan sebagai penghalang
adanya yang lain. Macam—macam hukum wadh’i antara lain:
a. Sebab
Bahasa: sesuatu yang dapat mengakiabtkan seseuatu yang lain
Istilah: khitab Allah yang emnjadikan sesuatu sebagai sebab ada dan
tidaknya suatu hukum.
b. Syarat
Bahasa: sesuatu yang mengehendaki adanya sesuatu yang lain.
Istilah: adanya sesuatu yang mengakibatkan adanya hukum dan tidak
adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum. Namun
dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya hukum. Misalnya:
wudhu adalah syarat sah shalat, dalam arti adanya shalat tergantung
pada adanya wudhu, namun wudhu itu sendiri bukanlah merupakan
bagian sari shalat. Jika tidak ada wudhu maka tidak ada sah shalat,
namun dengan adanya wudhu tidak mesti ada sah shalat karen abisa
jadi seseoorang berwudhu tetapi tidak melakukan shalat.
c. Mani’
Bahasa: penghalang.
Istilah: sesuatu yang ditetapkan syari’at sebagai penghalang
bagi adanya
hukum. 2

2
Dhaifina, "Al-Ahkam: Kategori dan Implementasi," Tawazun: Journal of Sharia Economic, No. 2,
(2021), hlm. 186.

5
C. Pengertian Hakim
Hakim berasal dari kata ‫حكم‬- ‫يحكم‬- ‫ (حاكم‬sama artinya dengan qadhi)- ‫قاض‬
‫قضى‬- ‫ يقضى‬artinya memutus, sedangkan menurut bahasa adalah orang yang
bijaksana atau orang yang memutuskan perkara, sedangkan secara syara‟
pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman, yakni pejabat
peradilan yang diberi wewenang oleh kepala negara untuk menjadi hakim
dalam menyelesaikan gugat-menggugat dalam bidang perdata. Istilah pejabat
membawa konsekuensi yang berat oleh karena kewenangan serta tanggung
jawabnya terumuskan dalam rangkaian tugas, kewajiban, sifat, dan sikap
tertentu, yaitu penegak hukum dan keadilan.3

D. Pengertian Mahkum Fih


Dalam istilah ushul fiqh, istilah "mahkum fih" atau objek hukum merujuk
pada perbuatan yang dilakukan oleh individu yang terikat hukum, karena
hukum Islam berlaku pada tindakan mereka. Sebagaimana dibahas
sebelumnya, hukum syarak terbagi menjadi dua jenis, yaitu hukum taklifi
yang berkaitan dengan perbuatan individu yang terikat hukum, dan hukum
wadhi yang sebagian tidak terkait dengan tindakan individu seperti
tergelincirnya matahari. Hukum wadhi yang tidak terkait dengan perbuatan
mukallaf tidak dianggap sebagai objek hukum. Menurut para ulama ushul,
"mahkum fih" merujuk pada objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf
yang terkait dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, baik itu dalam bentuk
tuntutan untuk meninggalkan sesuatu atau memilih suatu pekerjaan.4

E. Syarat Mahkum Fih


Tidak semua individu dikenai taklif atau beban hukum oleh Allah SWT,
melainkan harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:

3
Wildan Suyuti, Kode Etik Hakim, hlm. 56
4
Dr. Moh. Bahrudin, M. Ag, Ilmu Ushul Fiqih, 2019, hlm. 109-110

6
1. Mukallaf harus memiliki pengetahuan tentang perbuatan yang akan
dilakukan, sehingga tujuan dapat dipahami dengan jelas dan dapat
dilaksanakan.
2. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif, yaitu seseorang harus
menyadari bahwa tuntutan tersebut berasal dari Allah SWT.
3. Perbuatan yang diwajibkan atau dilarang harus memungkinkan untuk
dilaksanakan atau ditinggalkan, dengan mempertimbangkan beberapa
syarat, antara lain:
1. Tidak sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dilakukan
atau ditinggalkan.
2. Tidak sah hukumnya bagi seseorang untuk melakukan perbuatan yang
ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3. Tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang
berkaitan dengan fitrah manusia.
4. Tercapainya syarat taklif, seperti halnya dalam masalah ibadah,
menjadi suci dalam konteks shalat.5

F. Pengertian Mahkum ‘Alaih


Mahkum alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya itu berkaitan
dengan hukum dari syari'. Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai
sebuah perbuatan hukum yang sah apabila mukallaf tersebut memenuhi dua
persyaratan, yaitu:
1. Mukallaf perlu memiliki kemampuan untuk memahami dalil taklif, yang
berarti dia dapat mengerti nash-nash perundangan yang terdapat dalam al-
Qur'an dan as-Sunnah baik secara mandiri maupun dengan bantuan
perantara. Hal ini menjadi penting karena seseorang yang tidak mampu
memahami dalil atau petunjuk taklif tidak akan dapat melaksanakan apa
yang telah ditaklifkan kepadanya. Kemampuan untuk memahami dalil
taklif hanya dapat terwujud melalui akal dan keberadaan nash-nash taklif.
Akal merupakan alat untuk memahami dan menjadi pendorong untuk

5
Ibid, hlm. 112-113

7
bertindak. Sifat dasar akal bersifat abstrak dan tidak dapat ditemukan oleh
indera secara langsung. Oleh karena itu, syari' mengimbangi dengan
memberikan beban hukum (taklif) yang bersifat riil, dapat diketahui oleh
indera luar, yaitu ketika seseorang mencapai taraf baligh. Pada saat baligh,
seseorang dianggap memiliki kemampuan untuk memahami petunjuk-
petunjuk taklif. Dalam konteks praktis, orang yang tidak berakal sehat dan
anak-anak kecil tidak termasuk dalam kategori mukallaf.
2. Seseorang diwajibkan memiliki kemampuan untuk bertindak hukum, yang
dalam ushul fiqh disebut sebagai ahliyah. Dalam konteks lain, seseorang
diharuskan menjadi "Ahlan lima kullifa bihi" atau kompeten dalam
melaksanakan perbuatan yang ditaklifkan kepadanya. Secara bahasa,
"ahlan" berarti kecakapan. Kecakapan ini dapat terwujud melalui akal.
Terkait hal ini, Al-Amidi, seperti yang dikutip oleh az-Zuhaili, menyatakan
bahwa para cendikiawan Muslim sepakat bahwa syarat untuk dianggap
sebagai mukallaf adalah memiliki akal dan pemahaman terhadap apa yang
ditaklifkan. Sebab, taklif merupakan sebuah tuntutan, dan tuntutan tersebut
tidak mungkin ditujukan kepada seseorang yang tidak memiliki akal, mirip
dengan batu padat atau hewan.6

G.

6
Ramli, S.Ag., M.H, “Ushul fiqih”, 2021, hlm. 47-48

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum adalah kendali atau kekangan kuda”, yakni bahwa keberadaan
hukum pada hakikatnya adalah untuk mengendalikan atau mengekang
seseorang dari hal-hal yang dilarang oleh agama. Pembagian hukum syar’i:
hukum taklifi (wajib, mandub, muharram, makruh, mubah) dan hukum wadh’i
(sebab, syarat, mani’)
Hakim adalah orang yang bijaksana atau orang yang memutuskan perkara,
sedangkan secara syara‟ pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan
kehakiman, yakni pejabat peradilan yang diberi wewenang oleh kepala negara
untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat-menggugat dalam bidang
perdata.
Dalam konteks ushul fiqh, istilah "mahkum fih" atau objek hukum
merujuk pada perbuatan individu yang terikat hukum karena berlakunya
hukum Islam pada tindakan mereka. Hukum syarak terbagi menjadi hukum
taklifi yang terkait dengan perbuatan individu terikat hukum dan hukum wadhi
yang tidak terkait dengan tindakan individu. Objek hukum, yaitu "mahkum
fih," adalah perbuatan mukallaf yang terkait dengan perintah Allah dan Rasul-
Nya.
Tidak semua individu dikenai taklif atau beban hukum, melainkan harus
memenuhi syarat-syarat seperti pengetahuan tentang perbuatan yang akan
dilakukan, pemahaman terhadap sumber taklif, dan kemampuan untuk
melaksanakan atau meninggalkan perbuatan. Beberapa syarat tersebut
melibatkan ketentuan seperti tuntutan yang tidak mustahil, tidak sah
melakukan perbuatan untuk dan atas nama orang lain, dan tidak sah tuntutan
yang berkaitan dengan fitrah manusia.
Mahkum 'alaih merujuk pada seorang mukallaf yang perbuatannya
berkaitan dengan hukum syari'. Agar perbuatan mukallaf dianggap sah,

9
mukallaf harus memenuhi persyaratan, yaitu memiliki kemampuan untuk
memahami dalil taklif. Kemampuan ini terwujud melalui akal, dan seseorang
dianggap mampu memahami petunjuk taklif setelah mencapai taraf baligh.
Dalam praktiknya, orang yang tidak berakal sehat dan anak-anak kecil tidak
termasuk dalam kategori mukallaf.

B. Saran
Penulis meminta maaf atas kesalahan penulisan yang ada dimakalah ini
serta kurangnya pengetahuan terkait kajian yang dibahas, kami menerima
kritik dan saran yang sangat membangun untuk membantu kami dalam
penyempurnaan makalah ini, untuk itu kami mengucapkan terima kasih
kepada pembaca.

10
DAFTAR PUSTAKA

Dhaifina, "Al-Ahkam: Kategori dan Implementasi," Tawazun: Journal of Sharia


Economic, No. 2, (2021)
Dr. Moh. Bahrudin, M. Ag, Ilmu Ushul Fiqih, 2019
Ramli, S.Ag., M.H, “Ushul fiqih”, 2021
Rohidin, Pengantar Ilmu Hukum Islam, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books,
2016)
Wildan Suyuti, Kode Etik Hakim

11

Anda mungkin juga menyukai