Anda di halaman 1dari 14

HUKUM SYARIAT: AL-HUKMU, AL-HAKIM, AL-MAHKUM FIH DAN

AL-MAHKUM ALAIH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Oleh: Roudlotul Jannatil Firdaus
Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Muhaimin, M.Ag

PENDAHULUAN

Islam adalah agama yang memiliki aspek akidah dan syariat. Kata syariat
di dalam bahasa Arab memiliki ma’na jalan yang lurus atau sumber mata air. Orang-
orang arab terdahulu menggunakan kata ini untuk menunjukkan jalan ke arah
tempat mendapatkan air minum atau sumber mata air yang mencolok dan dapat
dipandang secara jelas. Dengan begitu, kata “syariat” memiliki arti suatu jalan yang
jelas untuk diikuti. Sedangkan secara etimologi, syariat memiliki arti hukum-
hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk hambanya, baik melalui Al-Qur’an
ataupun Al-Hadist berupa perkataan, perbuatan atau pengakuan Nabi SAW. 1
Singkatnya syariat adalah hal yang mencakup segala sesuatu yang membawa
seseorang menjadi muslim. Seperti pengertian yang terkandung dalam QS. Al-
Jaatsiyah ayat 18:

ۤ
‫ٰك َع ٰلى َش ِريْ َع ٍة ِم َن ْاْلَْم ِر فَاتَّبِ ْع َها َوَْل تَتَّبِ ْع اَ ْه َوا َء الَّ ِذيْ َن َْل يَ ْعلَ ُم ْو َن‬
َ ‫ثُ َّم َج َعْلن‬
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari
urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu
orang-orang yang tidak mengetahui. (QS. Al-Jaatsiyah: 18)2

Syariat berarti semua bentuk hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT untuk
para hamba-Nya, mempunyai sifat sebagai kewajiban agama yang harus
dilaksanakan oleh semua orang. Hukum Allah selamanya akan tetap menjadi
Hukum Allah, meskipun tidak ada seorang pun yang mau menjalankannya. Mereka

1
Darmawati, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenamedia Group Devisi Kencana, 2019), 1-2
2
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 2010), 720

1
tetap diikat oleh hukum Islam. Hukum Islam ada karena diperuntukkan untuk
mengikat individu-individu di manapun mereka berada.3

Hukum dari segi bahasa berasal dari kata hakama berarti mencegah atau
menolak. Mencegah ketidak adilan, kedzaliman, dan penganiayaan disebut hukum.
Hukum menurut ulama ushul fiqh adalah firman Allah yang berkenaan dengan
perbuatan manusia baik dalam bentuk tuntutan ataupun pilihan dalam bentuk wad’i.
Jadi, hukum menurut ulama ushul menitik beratkan perhatiannya dalam proses
penggalian hukum dari sumber-sumbernya yakni Al-Qurʼan dan Sunnah. Adapun
hukum dalam pandangan ulama fiqh adalah sifat perbuatan yang diintroduksi oleh
nash, sehingga dengan mengenal sifat-sifat perbuatan itu mukallaf mempunyai
pegangan untuk melakukan atau tidak melakukan hal yang menjadi objek hukum. 4

Dengan kata lain ulama ushul melihat dari sisi sumber ketentuan, yakni dari
nash-nash sehingga cara berpikirnya lebih cenderung bersifat metodologis,
sedangkan ulama fiqh lebih cenderung melihat dari sisi hasil yang diperoleh berupa
ketentuan operasional yaitu, wajib, sunat, haram, makruh, dan mubah. Setelah
memahami nash-nash yang membicarakan, maka tidak salah jika dikatakan bahwa
fiqh itu sebenarnya tidak lain dari hasil produk ushul fiqh.

Ushul fiqh berasal dari dua kata, yaitu: Ushul dan Fiqh. Ushul memiliki
ma’na “asal” sedangkan fiqh secara etimologis memiliki ma’na “paham yang
mendalam”. Jika dilihat dari tata bahasa arab, rangkaian kata ushul dan fiqh
dinamakan tarkib idhafah, sehingga kamal mukhtar dari rangkaian dua buah kata
itu memberi pengertian ushul dan fiqh. Sedangkan menurut Hasbi Ash-Shiddieqi,
ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum
dari dalil-dalilnya dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-
dalil hukum).5

3
Darmawati, Ushul Fiqh.., 5
4
Ibid, 6
5
Ahmad Sanusi, Tohari, Ushul Fiqh (Depok: PT Raja Grafindo, 2015), 1-3

2
Dalil-dalil yang dimaksud dalam pengertian di atas adalah undang-undang
atau kaidah yang ditimbulkan dari bahasa. Maka dengan uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan ushul fiqh adalah dalil-dalil seperti
Al-Qur’an, Al-Hadist, ijma’ dan qiyas. Dalam membahas ma’na Ushul Fiqh
terdapat dua pengertian. Pertama, Ushul Fiqh merupakan suatu rangkaian lafadz
yang berasal dari kalimat Ushul dan Fiqh. Kedua. Perkataan Ushul Fiqh merupakan
bagian dari suatu ilmu pengetahuan.6

Di dalam Ushul Fiqh juga dibahas teori dan konsep-konsep dasar tentang
ruang lingkup hukum syar’i, yaitu: Al-Hukmu, Al-Hakim, Mahkum Fih dan
Mahkum Alaih.7 Untuk keterangan lebih lanjut, akan dikupas habis dalam
keterangan dibawah ini.

PEMBAHASAN

A. Hukum
Hukum (al-hukm) secara etimologi berarti mencegah atau memutuskan.
Sedangkan menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum berarti kalam Allah yang
mengatur amal perbuatan seorang mukallaf, baik berupa perintah, larangan,
anjuran untuk melakukan atau meninggalkan suatu hal, takhyir (kebolehan bagi
orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), dan
wad’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani’
atau penghalang).8
Hukum syara’ adalah hukum yang murni dibuat oleh Allah SWT, oleh
karena-nya para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa definisi hukum syara’ adalah
firman Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan mukallaf baik berupa
perintah, pilihan, atau penetapan sesuatu.9 Hal tersebut dikuatkan dengan
firman Allah dalam QS, Al-An’am:

6
Ibid, 4
7
Isnu Cut Ali, “Hukum, Hakim, Mahkum Fih Dan Mahkum ‘ Alaih (Studi Pemahaman
Dasar Ilmu Hukum Islam)” Al-Madaris, Vol. 2, No.1 (2021), 76
8
Darmawati, Ushul Fiqh.., 111
9
Ibid, 112

3
‫ْم اَِّْل‬ ِِ ِ ِ ِِ ِ َّ ِ ِ ٍ ِ ٰ ِِ
ُ ‫قُ ْل ان ْي َعلى بَينَة م ْن َّرب ْي َوَكذبْتُ ْم به َما عْند ْي َما تَ ْستَ ْعجلُ ْو َن به ان الْ ُحك‬
.‫اصلِْي َن‬
ِ ‫لِٰل ِه ۗي ُقص الْح َّق وهو خي ر الْ َف‬
ُ َْ َ ُ َ َ َ
Katakanlah (Muhammad), “Aku (berada) di atas keterangan yang nyata (Al-
Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah
kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan
kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.” ( QS. Al-
An’am: 57).

Para ulama’ Ushul menetapkan bahwa hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Hukum Taklifi

Hukum taklifi adalah perkara yang menuntut untuk melakukan,


meninggalkan atau kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak
melakukan. Hukum taklifi mengandung tuntutan untuk mengerjakan
sesuatu hal atau meninggalkan hal tersebut, bisa juga dilatakan memberi
kebebasan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkanya.
Hukum taklifi hanya perkara yang berada dalam batas kemampuan
mukallaf yang mampu dikerjakan seorang mukallaf. Contoh hukum taklifi
menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat Islam. 10

Hukum taklifi dibagi lagi menjadi lima, yaitu: 11

a. Wajib: menurut syara’ wajib adalah perkara yang diperintahkan oleh


syara’ secara keras kepada mukallaf untuk melaksanakannya dan akan
mendapatkan hukuman apabila berani meninggalkannya. Wajib dibagi
menjadi tiga, yaitu:

10
Ibid, 113
11
Ibid, 113-118

4
1. Wajib Dari a. Wajib muaqqot: perkara yang diwajibkan
Segi Waktu syara’ untuk mengerjakannya tepat pada
waktu yang sudah ditentukan. Contoh:
sholat dan puasa ramadhan.

b. Wajib mutlak: perkara yang diwajibkan


oleh syara’ yang waktunya tidak
ditentukan. Contoh: haji bagi yang
mampu.

2. Wajib Dari a. Wajib ‘aini: perkara wajib yang harus


Segi Orang dikerjakan oleh tiap-tiap umat muslim
Yang dan tidak boleh diwakilkan pada orang
Mengerjaka lain. Contoh: shalat, dan puasa.
n
b. Wajib kifai: perkara wajib yang
dibebankan pada sekelompok orang dan
kalau salah seorang ada yang
mengerjakan gugur kewajiban bagi yang
lain. Contoh shalat mayit , amar ma’ruf
nahi mungkar dan lainnya.

3. Wajib Dari a. Wajib mukhaddat: perkara yang sudah


Segi Kadar ditentukan syara’ bentuk perbuatan yang
Tuntutan diwajibkan dan mukallaf dianggap belum
melaksanakan kewajiban sebelum
melaksanakan seperti apa yang
diwajibkan syara’. Contoh shalat, zakat,
dan lainnya.

b. Wajib ghoiru mukhaddat: perkara wajib


yang tidak ditentukan cara
pelaksanaannya dan waktunya, dan
diwajibkan mukallaf tanpa paksaan.
Contoh: infaq di jalan Allah, menolong
orang kelaparan, dan lainnya.

5
b. Sunnah

Sunnah adalah perkara yang diperintahkan oleh syara’ kepada


mukallaf untuk mengerjakannya dengan perintah yang tidak begitu
keras, bagi mukallaf yang mau mengerjakannya akan diberi pahala dan
bagi yang meninggalkanya tidak akan mendapatkan siksa. Sunnah
dibagi lagi menjadi tiga, yaitu:

1. Sunnah Perkara yang disunnahkan sebagai penyempurna


Hadyi perbuatan wajib. Orang yang meninggalkannya tidak
dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, shalat
berjamah dan lain-lain.

2. Sunnah Perkara yang disunnahkan untuk mengerjakannya


Zaidah sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti
Nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum,
tidur,dan lain-lain.

3. Sunnah Perkara yang disunnahkan karena sebagai pelengkap


Nafal perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat
pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa dan
dicela. Contoh: shalat sunnat.

c. Haram

Haram adalah perkara yang apabila dikerjakan mendapatkan siksa


dan apabila ditinggalkan mendapatkan pahala. Haram dibagi menjadi
dua, yaitu: haram asli seperti tindakan zina dan haram ghoiru zat seperti
conton sholat tetapi menggunakan pakaian hasil ghasab. Haram dibagi
menjadi dua, yaitu:

1. Haram Asli Perkara yang diharamkan langsung dari asalnya


Karena Zat atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak
Nya serta berbahaya. Contoh: zina, mencuri dll.

6
2. Haram Perkara yang hukum aslinya itu wajib, sunnah,
Ghoiru Zat mubah, tapi karena mengerjakannya bersamaan
dengan cara atau perkara haram maka hukumya
jadi ikut haram. Contoh: shalat memakai dari
baju hasil menggasab dan lain-lain.

d. Makruh

Makruh adalah perkara yang dituntut syara’ untuk


meninggalkannya namun tidak begitu keras. Dengan kata lain, perkara
yang dilarang melakukan tapi tidak disiksa bagi yang mengerjakan.
Makruh menurut ulama’ madzhab Hanafiyah dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Makruh Perkara yang ditetapkan meninggalkannya


Tahriman dengan bersumberkan dalil dhanni. Seperti Hadis
ahad dan qiyas. Contoh: memakai perhiasan emas
dan sutra asli bagi kaum lelaki yang diterangkan
dalam hadis ahad dan hukumnya mendapatkan
hukuman bagi yang meninggalkannya.

2. Makruh Perkara yang dituntut untuk meninggalkannya


Tanzih dengan tuntutan yang tidak keras. Seperti
memakan daging keledai jinak dan meminum
susunya hukumnya tidak mendapatkan siksa bagi
yang melakukannya.

e. Mubah

Mubah adalah perkara yang dibebaskan syara’ untuk memilih


meninggalkanya. Mubah dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1) Syara’ menerangkan tentang kebolehan memilih antara


memperbuat atau tidak.

7
2) Syara’ tidak menerangkan kebolehannya, namun memberikan
kelonggaran bagi yang melakukannya.

3) Tidak diterabgkan sama sekali tentang kebolehan mengerjakan atau


meninggalkannya, yang seperti ini biasanya kembali pada baroitul
asliyah.

2. Hukum Wad’i

Hukum wad’i adalah suatu perkara yang menjadi syarat, sebab, atau
mani’. Hukum wad’i adalah perkara yang menjadi sebab, syarat, ataupun
mani’ adakalanya suatu perkara itu dalam batas kemampuan mukallaf dan
adakalanya di luar batas kemampuan mukallaf. Contoh hukum wad’i
adalah menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari
menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat Zuhur. 12
Hukum wad’i dibagi menjadi lima hal, yaitu: 13

a. Sebab: perkara yang dijadikan syara’ sebagai tanda atas adanya


musabab, tidak adanya musabab karena tidak adanya sebab. Semua
tanda yang memunculkan hukum, apabila antara hukum dan tanda
ketentuan hukum nampak jelas dan tanda itu cocok untuk dijadikan
sebab lahirnya hukum maka bisa dinamakan ‘illat. Setiap ‘illat itu pasti
sebab, namun tidak semua sebab bisa disebut ‘illat. Sebab ada beberapa
macam, yaitu:

1) Sebab yang menjadikan munculnya hukum taklifi. Contoh:


masuknya waktu sholat menjadi sebabnya wajib mengerjakan sholat.

12
Ibid, 113
13
Ibid, 118-123

8
2) Sebab yang menjadikan ditetapkanya sesuatu menjadi halal atau
menjadi hilang. Contoh: nikah menjadi sebab munculnya ikatan
yang halal dan wakaf menjadi sebab hilangnya kepemilikan.

3) Sebab itu berupa perbuatan seorang mukallaf yang mampu baginya


utuk melakukan. Contoh: membunuh dengan sengaja menjadi sebab
jatuhnya hukuman qishos.

4) Adanya sebab itu adalah perkara yang bukan dari pekerjaan mukallaf
dan di luar kemampuan manusia. Contoh masuknya waktu jadi sebab
wajibnya shalat.

b. Syarat: perkara yang menjadi ketergantungan adanya hukum, karena


adanya syarat menjadi sebab adanya hukum dan karena tidak adanya
syarat menjadi sebab tidak adanya hukum dan syarat bukan bagian dari
perkara itu. Contoh wudhu sebagai syarat syahnya shalat, shalat bila ada
wudhu maka shalatnya bisa dinyatakan sah, tapi tidak selalu wudhu
dilakukan karena adanya shalat.

c. Mani’: perkara yang adanya ini menyebabkan tidak adanya hukum atau
batalnya sebab-sebab hukum walaupun menurut syara’ telah terpenuhi
syarat dan rukunnya, tapi karena adanya mani’ mencegah berlakunya
hukum. Contoh: hutang menjadi sebab gugurnya kewajiban zakat.

d. Rukhsah dan Azimah: rukhsah adalah hukum yang telah ditetapkan oleh
Allah untuk memberikan kemudahan pada mukallaf pada keadaan
tertentu yang menyebabkan kemudahan. Sedangkan azimah adalah
hukum yang disyariatkan Allah semenjak aslinya, bersifat umum yang
tidak dikhususkan pada satu keadaan atau kasus tertentu, dan bukan pula
belaku pada mukallaf tertentu. Contohnya shalat diwajibkan pada setiap
orang mukallaf.

9
e. Sah dan Batal: Sah adalah suatu perkara yang telah memenuhi rukun
dan syarat serta dilakukan sesuai ketentuan syara’. Contoh shalat, zakat,
haji, dan jual beli. Sedangkan batal adalah Perkara yang belum terpenuhi
rukun dan syaratnya. Contoh shalat, zakat, jika belum terpenuhi syarat
dan rukunnya maka menjadi batal.

B. Al-Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti orang yanng memutuskan hukum.
Sedangkan dalam istilah fiqh kata hakim dipakai sebagai orang yang
memutuskan hukum di pengadilan yang maknanya sama dengan qadi.14
Namun secara hakikat hakim adalah Allah SWT semata dan tidak ada yang
lain. Para utusan Allah hanya sekedar menyampaikan risalah dan hukum-
hukumnya saja. Mereka semua tidak menciptakan atau menetapkan hukum.
Sementara para mujtahid hanya sekedar menyingkap tabir-tabir hukum. Mereka
juga bukan pencipta hukum syariat, sekalipun secara adat mereka juga
terkadang disebut hakim.15

C. Mahkum Fih
Dalam istilah ushul fiqh yang di sebut mahkum fih hukum adalah perbuatan
mukallaf itu sendiri karena hukum Islam memang diberlakukan pada perbuatan
mukallaf.16 Yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan seorang
mukallaf yang berkaitan dengan taklif atau pembebanan. Taklif berasal dari
Allah ditujukan pada manusia dalam setiap perbuatannya. Tujuan dari taklif
adalah sebagai bentuk uji coba atau ibtila’ dari Allah kepada para hambanya
supaya dapat diketahui mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba
yang maksiat kepadanya. Dengan demikian taklif akan selalu berkaitan dengan
perbuatan mukallaf dan perbuatan inilah yang disebut dengan mahkum alaih.17

14
Isnu Cut Ali, “Hukum, Hakim,.. 84
15
Ibid, 84
16
Moh Bahruddin, Ilmu Ushul Fiqh (Bandar Lampung: CV Anugrah Utama Raharja, 2019),
109
17
Isnu Cut Ali, “Hukum, Hakim,.. 85

10
Dari sini terlihat jelas bahwa setiap bentuk taklif adalah perbuatan. Ketika
taklif itu berupa taklif ijab atau nadb maka hukum tersebut akan terlaksana
dengan adanya sebuah tindakan atau perbuatan dan jika taklif itu berupa
karahah atau haram, maka hukum tersebut akan terlaksana dengan adanya
tindakan atau perbuatan meninggalkan. Jadi, tindakan pencegahan atau
meninggalkan sesuatu itu juga dianggap sebagai sebuah fi’lun.18 Terdapat
beberapa syarat untuk absahnya sebuah taklif dalam perbuatan, diantaranya
adalah:19
a. Perbuatan tersebut harus diketahui secara sempurna oleh seorang mukallaf
sehingga tergambar tujuan yang jelas dan mampu melaksanakannya.
Dengan demikian seorang itu tidak diwajibkan melaksanakan sholat
sebelum jelas rukun-rukun dan kaifiyahnya.
b. Perbuatan itu diketahui berasal dari dzat yang mempunyai kewenangan
untuk memberikan taklif. Sebab dengan pengetahuan ini seseorang akan
mampu mengarahkan kehendak untuk melaksanakannya. Yang perlu
diperhatikan dalam masalah ini adalah mengenai pengetahuan. Pengetahuan
yang dimaksud adalah imkan al-Ilm bukan pengetahuan secara praktis.
Artinya, ketika seorang itu telah mencapai taraf berakal dan mampu
memahami hukum-hukum syar’i dengan sendiri atau dengan cara bertanya
pada ahlinya, maka ia telah dianggap sebagai orang yang mengetahui apa
yang ditaklifkan kepadanya.
c. Perbuatan tersebut harus bersifat mungkin untuk dilaksanakan atau
ditinggalkan. Mayoritas ulama menyatakan bahwa taklif itu tidak sah jika
berupa perbuatan yang mustahil untuk dikerjakan, seperti mengharuskan
untuk melaksanakan dua hal yang saling bertentangan, mewajibkan dan
melarang dalam satu waktu, mengharuskan manusia untuk terbang dll.
Meski demikian, ternyata masih ada sekelompok ulama yang
memperbolehkan taklif pada perbuatan yang mustahil. Pendapat ini
dipegangi oleh ulama-ulama dari kalangan Asy’ariyah. Mereka mengajukan

18
Ibid, 85
19
Ibid, 86

11
hujjah andaikan taklif terhadap hal yang mustahil itu tidak diperbolehkan
maka tidak akan pernah terjadi, sementara kenyataannya taklif itu telah
terjadi, seperti pada kasus taklif yang diberikan pada Abu Jahal untuk
beriman dan membenarkan risalah rasul. Dalam hal ini Allah telah
mengetahui bahwa Abu jahal tidak akan pernah beriman. Pendapat ini
disanggah jumhur bahwa maskipun pada kenyataannya Abu jahal tidak
beriman, namun taklif tersebut sebenarnya masih bersifat mungkin dan
tidak mustahil bagi abu jahal.

D. Mahkum Alaih
Mahkum alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya itu berkaitan
dengan hukum dari syari’. Sedangkan dalam istilah ushul fiqh mukallaf adalah
orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan
dengan perintah Allah maupun larangan-Nya. Semua tindakan hukum yang
dulakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya baik di dunia
maupun di akhirat.20 Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah
perbuatan hukum yang sah apabila mukallaf tersebut memenuhi dua
persyaratan, yaitu:21
a. Mukallaf tersebut harus mampu memahami dalil taklif. Yaitu, mampu
memahami nash-nash perundangan yang ada dalam al-Qur’an maupun As-
Sunnah dengan kemampuannya sendiri atau melalui perantara. Hal ini
penting, sebab seseorang yang tidak mampu memahami dalil taklif, maka ia
tidak mungkin melaksanakan apa yang telah ditaklifkan kepadanya.
Kemampuan untuk memahami dalil taklif hanya bisa terealisasi dengan akal
dan adanya nash-nash taklif. Akal adalah perangkat untuk memahami dan
merupakan penggerak untuk bertindak. Sifat dasar akal ini abstrak, tidak
bisa ditemukan oleh indra zhahir, oleh karenanya syari’ mengimbangi
dengan memberikan beban hukum (taklif) dengan sesuatu yang benar, yang
bisa diketahui oleh indera luar yaitu taraf baligh. Pada saat baligh inilah

20
Moh Bahruddin, Ilmu Ushul.., 117
21
Ibid, 119

12
seorang dianggap mampu untuk memahami petunjuk-petunjuk taklif.
Praktis, orang gila dan anak kecil tidak tercakup dalam kategori mukallaf.
b. Seorang itu diharuskan cakap atas perbuatan yang ditaklifkan kepadanya.
Terkait dengan hal ini, Al-Amidi mengatakan bahwa para cendikiawan
Muslim sepakat bahwa syarat untuk bisa disebut sebagai seorang mukallaf
adalah berakal dan paham terhadap apa yang ditaklifkan, sebab taklif adalah
khitab dan khitabnya orang yang tidak berakal adalah mustahil, layaknya
batu padat dan hewan.
Ulama ushul membagi jenis kecakapan ini menjadi dua bagian yaitu: 22
 Ahliyah al-Wujub, yaitu kecakapan manusia untuk menerima hak dan
kewajiban. Pijakan utama dari konsep ahliyah al-wujub ini adalah adanya
kehidupan, artinya selama orang itu bernafas maka orang tersebut bisa
disebut sebagai ahliyah al-wujub. Ahliyah ini terbagi menjadi dua, yaitu
ahliyah al-wujub naqishah dan ahliyah al-wujub kamilah. Jenis ahliyah
yang pertama adalah jika seorang itu cakap untuk menerima hak saja bukan
kewajiban, seperti janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ia
masih bisa menerima hak untuk mewarisi, tetapi ia tidak bisa menerima
kewajiban yang dibebankan kepadanya. Sedangkan yang kedua adalah
ketika seorang itu mampu menerima hak sekaligus kewajibannya. Ini
berlaku kepada setiap manusia.
 Ahliyah Al-Ada’, yaitu kecakapan seseorang untuk bertindak. Artinya,
tindakan orang tersebut baik berupa perbuatan maupun ucapan, secara
syariat telah dianggap “absah” (mu’tabaran syar’an). Terkait dengan
konsep ini, manusia terbagi menjadi tiga jenis klasifikasi, yaitu: Pertama,
Seseorang tidak mempunyai kecakapan bertindak sama sekali seperti orang
gila dan anak kecil. Kedua, seorang tersebut mempunyai kecakapan
bertindak namun belum sempurna, seperti anak mumayyiz yang belum
sampai pada taraf baligh dan orang idiot (ma’tuh). Ketiga, Seseorang yang

22
Ibid, 121-123

13
mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna seperti seorang yang
telah berakal dan baligh.

KESIMPULAN
Syariat adalah hal yang mencakup segala sesuatu yang membawa seseorang
menjadi muslim. Syariah sangat dibutuhkan untuk mencetak hukum fiqh, dan alat
yang digunakan adalah ushul fiqh. Di dalam Ushul Fiqh terdapat teori dan konsep-
konsep dasar tentang ruang lingkup hukum syar’i, yaitu: Al-Hukmu, Al-Hakim,
Mahkum Fih dan Mahkum Alaih.
DAFTAR PUSTAKA

Darmawati, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenamedia Group Devisi Kencana, 2019)


Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra,
2010)
Ahmad Sanusi, Tohari, Ushul Fiqh (Depok: PT Raja Grafindo, 2015)
Isnu Cut Ali, “Hukum, Hakim, Mahkum Fih Dan Mahkum ‘ Alaih (Studi
Pemahaman Dasar Ilmu Hukum Islam)” Al-Madaris, Vol. 2, No.1 (2021)
Moh Bahruddin, Ilmu Ushul Fiqh (Bandar Lampung: CV Anugrah Utama Raharja,
2019)

14

Anda mungkin juga menyukai