A. HUKUM SYARA’
Secara etimologi kata hukum (alhukm) berarti “mencegah” atau “memutuskan”. Menurut terminologi
ushul iqh, hukum (alhukm) berarti:
“Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidla (perintah,
larangan, anjuran untuk melakukan
kalam Allah. Kalam Allah sebagai sifatnya adalah alkalam alnafsi (kalam yang ada pada diri Allah) yang
tidak mempunyai
denganhakikat hukum syara’. Kita hanya bisamengetahui kalam nafsi itu melalui kalam lafzi, yaitu kalam
yang mempu nyai
Al-Qur’an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi Allah. Dari segi ini, ayat-ayat Al-Qur’an populer
dikenal sebagai
dijangkau oleh manusia hanyalah kalam lafzi Allah dalam bentuk ayat-ayat Al-Qur’an, maka populer di
kalangan ahli ushul
hukum dalam Al-Qur’an, maupun tidak langsung seperti Halnya dihadis hukum dalam Sunnah Rasulullah
yang mengatur amal
perbuatan manusia. Hadis hukum dianggap sebagai kalam Allah secara tidak langsung, karena apa yang
diucapkan Rasulullah di bidang tasyri’ tidak lain adalah petunjuk dari Allah juga.
Dengan demikian, apa yang disebut hukum dalam pembahasan ini adalah teks ayat-ayat ahkam dan teks
Hadis ahkam.
Sejalan dengan hal ini, ada sebagian ulama-antara lain Abdul Karim Zaidan secara langsung menafsirkan
pengertian khitab
“Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang
mukalaf, baik dalam bentuk perintah,
tidak berbuat.”
Ada dua
a. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap
seorang mukalaf, sedangkan hukum wadh’i berupa penjelasan hubungan
Islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab
tanda bagi
dengan perbuatan manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir matahari) sebagai tanda
bagi masuknya waktu shalat Zuhur.
a. Hukum Taklifi
ushul iqh pada asalnya adalah teks aya tatau Hadis hukum. 4 Hukum ini dibagi menjadi 5 :
1) Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau Hadis dalam bentuk perintah yang mengharuskan untuk melakukan
suatu perbuat an. Misalnya, ayat yang memerintahkan untuk melaku kan shalat.
3) Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadis yang melarang secara pasti untuk melakukan suatu
perbuatan.
b. Hukum Wadh’i
Seperti telah disinggung di atas, hukum wadh’i adalah ketentuan syariat dalam bentuk menetapkan
sesuatu sebagai sebab, sebagai syarat, atau sebagai mani’. Hukum wadh'i di bagi menjadi 3 macam :
1) Sebab
Sebab menurut bahasa berarti “sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain5
2) Syarat
Menurut bahasa kata syarat berarti “sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain” atau
“sebagai tanda”. 5
3) Mani’
1. Pengertian Hakim
Kata hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum.” Dalam istilah ikih kata hakim
juga dipakai sebagai orang yang memutuskkan hukum di pengadilan yang sama maknanya dengan
qadhi. Dalam kajian ushul iqh, kata hakim
hakiki. 6
Para ulama ushul iqh sepakat bahwa pembuat hukum hanya Allah, namun mereka berbeda pendapat
dalam masalah apakah hukum-hukum yang dibuat Allah hanya dapat diketahui dengan turunnya wahyu
dan datangnya Rasulullah, atau akal secara independen bisa juga mengetahuinya. Perbedaan pendapat
ini berpangkal dari perbedaan pendapat tentang fungsi akal dalam mengetahui baik dan buruk suatu
hal. 6
ushul iqh berasal dari perbedaan pendapat di kalangan ahli ilmu kalam. Hal yang diperbedakan adalah
tentang apakah nilai
baik dan buruk suatu benda merupakan sifat esensi dari benda
C. MAHKUM FIH
1. Pengertian Mahkum Fih
Mahkum ih berarti “perbuatan orang mukalaf sebagai tempat menghubungkan hukum syara’”.7 Seperi
dalam surat Al Maidah ayat 1
ص ْي ِد َواَ ْنـتُ ْم ُح ُر ٌم ۗ اِ َّن هّٰللا َ يَحْ ُك ُم َما ي ُِر ْي ُد ْ َّٰۤيـاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ۤوْ ا اَوْ فُوْ ا بِ ْال ُعقُوْ ِد ۗ اُ ِحل
َّ ت لَـ ُك ْم بَ ِه ْي َمةُ ااْل َ ْن َع ِام اِاَّل َما يُ ْت ٰلى َعلَ ْي ُك ْم َغ ْي َر ُم ِحلِّى ال
"Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah janji-janji. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang
akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji
atau umrah). Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki."
hukum:
orang mukalaf, sehingga dengan demikian suatu perintah, misalnya, dapat dilaksanakan secara lengkap
seperti yang dikehendaki oleh Allah atau Rasul-Nya7
D. MAHKUM ‘ALAIH
dibebani hukum taklii).” 8 Seseorang baru dianggap layak dibebani hukum taklii bilamana pada dirinya
terdapat beberapa
persyaratan, yaitu:
1. Mampu memahami dalil-dalil hukum baik secara mandiri maupun dengan bantuan orang lain minimal
sebatas memungkinkannya untuk mengamalkan isi dari ayat atau
Hadis Rasulullah. 8
2. Mempunyai ahliyat alada’, yaitu kecakapan untuk bertindak secara hukum atau memikul beban taklif8
Bab 3
Sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-
dalil pokok
tiga dalil yang disebut terakhir ini hanya sebagai dalil pendukung yang hanya merupakan alat bantu
untuk sampai kepada
Rasulullah.
Sumber atau dalil ikih yang disepakati, seperti dikemukakan ‘Abd. al-Majid Muhammad al-Khafawi, ahli
hukum Islam
berkebangsaan Mesir, ada empat, yaitu Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, ijma’, dan qiyas
1. Al-Qur’an.
a. Pengertian Al-Qur’an
Al-Qur’an dalam kajian ushul iqh merupakan objek pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam
memecahkan suatu hukum. Al-Qur’an menurut bahasa berarti “bacaan”, dan
Nabi Muhammad SAW dengan bahasa Arab serta dianggap beribadah membacanya.”
b. Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah
Al-Qur’an turun dalam dua periode. Periode pertama terjadi di Mekkah sebelum Rasulullah SAW hijrah
ke Madinah, dan
umumnya membahas masalah keyakinan (akidah), dalam rangka meluruskan keyakinan umat di masa
Jahiliyah dan menanamkan ajaran tauhid. Mengapa masalah akidah yang harus
Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup secara umum mengandung tiga ajaran pokok, yaitu:
1) Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akidah (keimanyang membicarakan tentang hal-hal yang
wajib diyakini, seperti masalah tauhid, masalah kenabian, mengenai kitab-Nya, malaikat, hari akhir, dan
sebagainya yang berhubungan dengan doktrin akidah.
2) Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan akhlak, yaitu hal-hal yang harus dijadikan perhiasan diri oleh
setiap mukalaf
berupa sifat-sifat keutamaan dan menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa kepada kehinaan
(doktrin akhlak).
berhubungan dengan amal perbuatan mukalaf (doktrin syariah/ikih). Dari hukum amaliyah inilah timbul
dan berkembangnya ilmu ikih. Hukum amaliyah dalam Al-Qur’an
1) Hukum keluarga, mulai dari terbentuknya pernikahan sampai masalah talak, rujuk, iddah, dan
masalah warisan. Ayat-ayat yang mengatur masalah ini tercatat sekitar 70 ayat.
2) Hukum muamalat (perdata), yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan seseorang dengan yang
sejenisnya,
3) Hukum jinayat (pidana), yaitu hukum-hukum yang menyangkut dengan tindakan kejahatan.
sekitar 25 ayat.
kaya
1) Ibadah. Ayat-ayat hukum mengenai ibadah dikemukakan dalam Al-Qur’an dalam bentuk mujmal
(global) tanpa memerinci kaiiatnya, seperti perintah shalat, zakat, haji,
puasa. Kewajiban shalat ditegaskan, namun syarat dan rukunnya tidak disinggung sama sekali.
2) Kafarat (denda). Kafarat adalah semacam denda yang bermakna ibadah, karena merupakan
penghapus bagi sebagian dosa.
menjelaskan prinsip-prinsip dasar, seperti larangan memakan harta orang lain secara tidak sah dan
keharusan ada nya
4) Hukum keluarga. Hukum bidang ini mencakup bidang-bidang rumah tangga dan mawaris
5) Hukum pidana. Di samping ada larangan melakukan kejahatan secara umum, bidang ini juga secara
khusus menjelaskan hukum berbagai tindakan kejahatan yang dapat
a. Pengertian Sunnah
Kata Sunnah secara bahasa berarti “perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik atau perilaku
yang buruk.”
Menurut istilah ushul iqh, Sunnah Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib
(guru besar Hadis
berhubungan dengan hukum, baik berupa ucapan (Sunnah qaulyyiah), perbuatan (Sunnah ii’liyyah), atau
pengakuan (Sunnah taqririyah).” 13
Dalam
Rasulullah:
Dari al-Munzir bin Jarir, dari bapaknya, dari Nabi SAW bersabda:
Islam ini, maka ia akan mendapat pahalanya dan pahala orang yang
mendapat dosanya dan dosa orang yang menirunya dan sedikit pun
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri
(pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
dalam kajian ushul iqh dibagi kepada dua macam, yaitu Hadis
mereka yang jujur serta berjauhan tempat antara yang satu dan
kelompok berikutnya yang jumlahnya tidak kurang dari kelompok pertama, dan begitulah selanjutnya
sampai dibukukan oleh pentadwin (orang yang membukukan) Hadis, dan pada masingmasing tingkatan
itu sama sekali tidak ada kecurigaan bahwa
menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an maka hapuslah dan ceritakanlah Hadis dariku serta jangan
berbuat dosa. Barangsiapa yang
berbuat dusta atas diriku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempatnya di neraka.” (HR.
Muslim)
676 H), ahli Hadis dan ahli ikih dari kalangan Syai’iyah, Hadis
dalam setiap berdoa. Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai peristiwa dan dalam berbagai redaksi
antara lain diriwayatkan oleh Tirmizi.
16
ahad terbagi kepada tiga macam. Pertama, Hadis masyhur, yaitu Hadis yang pada masa sahabat
diriwayatkan oleh tiga orang
perawi, tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya Hadis itu menjadi Hadis mutawatir dilihat
dari segi jumlah perawinya. 16
ayat-ayat global. Misalnya Hadis i’liyah (dalam bentuk perbuatan) Rasulullah yang menjelaskan cara
melakukan
shalat yang diwajibkan dalam Al-Qur’an dalam Hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, dan demikian
pula tentang penjelasannya mengenai masalah haji seperti dalam Hadis
2) Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas sesuatu kewajiban yang disebutkan pokok-
pokoknya di dalam Al-Qu’ran.17
3) Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam AlQur’an. Contohnya Hadis riwayat al-Nasa’i dari
Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda mengenai keharaman memakan binatang buruan yang
mempunyai taring dan
3. Ijma’
a. Pengertian Ijma’
Zaidan, “kesepakatan para mujtahid dari kalangan umat Islam tentang hukun syara’ pada satu masa
setelah Rasulullah wafat.”
Kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma’ yang mengikat umat Islam. Menurut Mazhab Maliki,
kesepakatan sudah
dianggap ijma’ meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk Madinah yang dikenal dengan ijma’
ahl al-Madinah. Menurut kalangan Syi’ah, ijma’ adalah kesepakatan para imam
di kalangan mereka18.
bahwa ijma’ sah dijadikan sebagai landasan hukum dengan berbagai argumentasi, antara lain:
dan Sunnah sebagai landasan ijma’. Contoh ijma’ yang dilandaskan atas Al-Qur’an adalah kesepakatan
para ulama atas keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan. Kesepekatan tersebut dilandasakan
atas ayat 23 surah al-Nisaa’ 18
d. Macam-macam Ijma’
Menurut Abdul Karim Zaidan, ijma’ terbagi menjadi dua,
yaitu ijma’ sarih (tegas) dan ijma’ sukuti (persetujuan yang diketahui lewat diamnya sebagian ulama).
mana masing-masing mujtahid menyatakan persetujuannya secara tegas terhadap kesimpulan itu.
Adapun ijma’ sukuti adalah
bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya
diam tanpa komentar.
4. Qiyas
a. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti “mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk diketahui adanya
persamaan antara keduanya.” Menurut istilah ushul fiqh. 19 dan Qiyas adalah salah satu kegiatan ijtihad
yang tidak ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Jabal ketika yang disebut terakhir ini dikirim menjadi hakim di Yaman.20
c. Rukun Qiyas
Qiyas baru dianggap sah bilamana lengkap rukun-rukunnya. Para ulama ushul iqh sepakat bahwa yang
menjadi rukun
Kedua, adanya hukum ashal, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada ashal yang hendak ditetapkan pada
far’u (cabang)
dengan jalan qiyas. Misalnya hukum haram khamar yang ditegaskan dalam Al-Qur’an. 20
dikembangkan. 21
d. Macam-macam Qiyas
Seperti dikemukakan Wahbah az-Zuhaili, dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashal
(pokok tempat
1) Qiyas awla, yaitu bahwa ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih utama daripada ‘illat yang
terdapat pada ashal (pokok). Misalnya, men-qiyas-kan hukum haram memukul kedua orangtua kepada
hukum haram mengatakan “ah”21
cabang (far’u) sama bobotnya dengan bobot ‘illat yang terdapat pada ashal (pokok). 21
3) Qiyas al-adna, yaitu qiyas di mana ‘illat yang terdapat pada far’u (cabang) lebih rendah bobotnya
dibandingkan dengan ‘illat yang terdapat dalam ashal (pokok).
urf (adat istiadat), istishab, syar’u man qablana, mazhab sahabat, dan sadd al-zari’ah. 22
1. Istihsan
Istihsan qiyasi terjadi pada suatu kasus yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk
qiyas, yaitu qiyas
jali atau qiyas khai. Seperti telah dijelaskan kedua istilah tersebut pada pembagian qiyas, dan pada
dasarnya bila dilihat dari
segi kejelasan ‘illat-nya, maka qiyas jali lebih pantas didahulukkan atas qiyas khai22
yaitu:
1) Istihsan bin-nas, yaitu hukum pengecualian berdasarkan nash (Al-Qur’an atau Sunnah) dari kaidah
yang bersifat umum yang berlaku bagi kasus-kasus 23
akad pesanan, barang yang akan dijualbelikan tersebut belum ada. Memperjualbelikan benda yang
belum ada waktu melakukan akad dilarang dalam Hadis Rasulullah (HR.
Abu Daud). 23
3) Istihsan yang berlandaskan ‘urf (adat kebiasaan). Misalnya, boleh mewakakan benda bergerak seperti
buku-buku dan perkakas alat memasak. 23
4) Istihsan yang didasarkan atas maslahah mursalah. Misalnya, mengharuskan ganti rugi atas diri
seorang penyewa rumah jika peralatan rumah itu ada yang rusak di tangannya, kecuali jika kerusakan itu
disebabkan bencana alam
hukum,
1. Firman Allah :
َ ولِٓئ
ِ ك هُ ْم اُولُوا ااْل َ ْلبَا
ب َ ولِٓئ
ٰ ُك الَّ ِذ ْينَ ه َٰدٮهُ ُم هّٰللا ُ َوا ٰ ُالَّ ِذ ْينَ يَ ْستَ ِمعُوْ نَ ْالقَوْ َل فَيَتَّبِعُوْ نَ اَحْ َسنَهٗ ۗ ا
"(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka
itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang
mempunyai akal sehat."
2. Sabda Rasulullah :
dalam musnadnya)
Hadis ini menurut pandangan mereka menganjurkan untuk mengikuti apa yang dianggap baik oleh
orang-orang
2. Maslahah Mursalah
a. Pengertian Maslahah
b. Macam-macam Maslahah
25
tegas diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan-ketentuan hukum untuk merealisasikannya25
maslahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentangan dengan ketentuan
syariat. 25
3) Al-maslahah al-mursalah, dan maslahat macam inilah yang dimaksud dalam pembahasan ini, yang
pengertiannya adalah seperti dalam deinisi yang disebutkan di atas. 25
Maslahah Mursalah
tidak sah menjadi landasan hukum dalam bidang ibadah, karena bidang ibadah harus diamalkan
sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasulullah, dan oleh karena itu bidang ibadah tidak
berkembang.
Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalat. Kalang an Zahiriyah, sebagian dari kalangan
Syai’iyah dan Hanaiyah tidak mengakui maslahah mursalah sebagai landasan
pembentukan hukum,26
1) Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat hakiki, yaitu yang benar-benar akan
mendatangkan
2) Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum, bukan kepentingan
pribadi.
a. Pengertian Urf
b. Macam-macam ‘Urf
27
salah) untuk dijadikan landasan hukum. Pembicaraan selanjutnya adalah tentang ‘urf sahih. Menurut
hasil penelitian alTayyib Khudari al-Sayyid, guru besar ushul iqh di Universitas
bahwa mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan
Hanaiyah dan kalangan Malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syai’iyah. 27
Landasan Hukum27
1) ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang sahih dalam arti tidak
2) Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk negeri
itu.
4) Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut, sebab jika
kedua belah
pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang
dipegang
memberi peluang lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, di samping banyak masalah yang tidak
tertampung oleh
mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada
dibentuk oleh mujtahid berdasarkan ‘urf, akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Inilah yang dimaksud
oleh para ulama,
diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan tempat” ( مكنة وال الزمان بتغر
)الحكام تغر. 28
4. Istishab
a. Pengertian Istishab
Kata istishab secara etimologi berarti “meminta ikut serta 29secara terus-menerus”. 29Deinisi lain yang
senada dengan itu dikemukakan oleh
Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah (w. 751H), tokoh ushul iqh Hambali, yaitu “menetapkan berlakunya suatu
hukum yang telah
b. Macam-macam Istishab
1) Istishab al-ibahah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas hukum ashal dari sesuatu, yaitu
mubah (boleh). Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang muamalat.
29
2) Istishab al-baraah al-ashliyah, yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap
orang bebas
3) Istishab al-hukm, yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama
tidak ada bukti yang mengubahnya. 29
4) Istishab al-wasf, yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada
sebelumnya
sampai ada bukti yang mengubahnya.
1) Kalangan Hanabilah dan Syai’iyah berpendapat bahwa istishab al-wasf dapat dijadikan landasan
secara penuh, baik
dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada.30
2) Kalangan Hanaiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishab al-wasf hanya berlaku untuk
mempertahankan 30haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru. 30
atau ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim,
Nabi Musa, Nabi Isa
a.s. Apakah syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad
SAW30
Para ulama ushul iqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam, karena kedatangan
syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula para ulama ushul iqh
sepakat, bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan dalam Al-Qur’an adalah 31berlaku bagi umat
Islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat
6. Mazhab Sahabi
Yang dimaksud dengan mazhab Sahabi ialah “pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus di
mana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.” 31
Yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib ahli
hadis
berkebangsaan Syria dalam karyanya Ushul al-Hadis adalah31 setiap orang Muslim yang hidup bergaul
bersama Rasulullah
dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah.31
7. Sadd az-Zari’ah
Kata sadd menurut bahasa berarti “menutup”, dan kata azzari’ah berarti “wasilah” atau “jalan ke suatu
tujuan”. Dengan
kepada suatu tujuan.”31 Menurut istilah ushul iqh, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, sadd al-
zari’ah berarti:
Objek utama yang akan dibahas dalam ushul iqh adalah AlQur’an dan Sunnah Rasululullah. Untuk
memahami teks-teks
praktik penalaran ikih. Bahasa Arab dalam menyampaikan 32suatu pesan dengan berbagai cara dan
dalam berbagai tingkat
kejelasannya.32
(Memberikan Pilihan)
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an dalam menyampaikan ajaran Allah dan begitu juga Sunnah Rasulullah
ada yang berbentuk amar (perintah), nahi (larangan), atau takhyir (memberikan pilihan). 32
a. Amar (Perintah)
Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
pihak yang lebih rendah tingkatannya. 33
Bentuk Amar33
(B)Sebagai ejekan dan penghinaan, misalnya irman Allah berkenaan dengan orang yang ditimpa siksa di
akhirat33
Kaidah pertama, للوجوب المر ى الصل. Meskipun suatu perintah dapat menunjukkan berbagai pengertian,
namun pada
dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib dilaksanakan kecuali ada indikasi atau dalil yang
memalingkannya dari hukum tersebut. 33
Kaidah kedua, الوحدة أو التكرار على المر دللة, adalah suatu perintah haruskah dilakukan berulang kali atau
cukup dilakukan
suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil 33
Kaidah ketiga, الراخى أو الفور على المر دللة, adalah suatu perintah haruskah dilakukan sesegera mungkin atau
bisa ditunda?
itu, karena yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan34
b. Nahi (Larangan)
Bentuk Nahi
Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya mungkin menunjukkan
berbagai pengertian, antara lain: 34
ت َح ٰتّى يُْؤ ِم َّن ۗ َواَل َ َمةٌ ُّمْؤ ِمنَةٌ خَ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر َك ٍة َّولَوْ اَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۚ َواَل تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َح ٰتّى يُْؤ ِمنُوْ ا ۗ َولَ َع ْب ٌد ُّمْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِّم ْن َواَل تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ٰك ِـ
هّٰللا ٓ
ِ َّار ۖ َو ُ يَ ْدع ُْٓوا اِلَى ْال َجـنَّ ِة َو ْال َم ْغفِ َر ِة بِاِ ْذنِ ٖه ۚ َويُبَيِّنُ ٰا ٰيتِ ٖه لِلن
َاس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُوْ ن ٰ
ِ َّك َّولَوْ اَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ اُولِئكَ يَ ْد ُعوْ نَ اِلَى الن ٍ ُّم ْش ِر
"Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya
perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil
pelajaran."
ٰۤيـاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَسْــَئلُوْ ا ع َْن اَ ْشيَٓا َء اِ ْن تُ ْب َد لَـ ُك ْم تَ ُسْؤ ُك ْم ۚ َواِ ْن تَسْـَئـلُوْ ا َع ْنهَا ِح ْينَ يُنَ َّز ُل ْالقُرْ ٰانُ تُ ْب َد لَـ ُك ْم ۗ َعفَا هّٰللا ُ َع ْنهَا ۗ َوهّٰللا ُ َغفُوْ ٌر َحلِ ْي ٌم
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu, (justru) menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika Al-Qur'an sedang
diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu. Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan
Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun."
yang dilarang itu kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.35
Kaidah kedua
األ لصل فى النهي يطلق الفساد مطلقاsuatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika
dikerjakan
Kaidah ketiga, أمربضده الشيء عن النهي. Suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah terhadap
kebalikannya. 35
c. Takhyir (Memberi Pilih)36
Hukum yang ditunjukkan oleh ayat atau Hadis dalam bentuk takhyir itu adalah halal atau mubah (boleh
dilakukan), dalam arti tidak berpahala jika dilakukan dan tidak berdosa jika
ditinggalkan. 36
Menurut para ulama ushul iqh ayat-ayat hukum bila dilihat dari segi cakupannya dapat dibagi kepada
lafal umum (‘am)
Seperti disimpulkan Muhammad Adib Saleh, lafal umum adalah lafal yang diciptakan untuk pengertian
umum sesuai
dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu. 36
36
dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhsis (pengkhususan).
c). Lafal umum yang terbebas dari indikasi baik menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna
umumnya atau
yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para ulama
ushul iqh sepakat,
(pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti (qath’i) selama tidak ada indikasi yang
menunjukkan pengertian lain. 37
dan kata muqayyad ( )امقيدberarti terikat. Kata mutlaq menurut istilah seperti dikemukakan Abdul
Wahhab Khallaf, ahli ushul
dari suatu lafal yang diucapkan. 38Menurut ulama ushul iqh, mantuq dibagi kepada mantuq
1) Mafhum Muwafaqah
Mahum muwafaqah merupakan penunjukan hukum melalui motivasi tersirat atau alasan logis di mana
rumusan hukum
b) Mafhum Mukhalafah
Mahum mukhalafah didapati pada objek hukum yang dikaitkan dengan sifat, syarat, batasan waktu, atau
jumlah bilangan
tertentu, 39
membagi lafal dari segi jelas ( )واضحdan tidak jelasnya ()واضح غر
a. Nash
Secara etimologi, nash berarti azzuhur (jelas). Dan menurut istilah pengertian nash mengalami
perkembangan.
Pengertian nash menurut Imam Syai’i (w. 204 H.) adalah nash secara umum, yaitu teks Al-Qur’an dan
b. Zhahir
Secara bahasa berarti al-wudhuh (jelas). Adapun menurut
istilah, menurut jumhur ulama ushul iqh antara lain seperti dikemukakan Ibnu al-Subki (w. 771 H) dari
kalangan
Syai’iyyah, berarti lafal yang menunjukkan suatu pengertian yang hanya sampai ke tingkat zhanny
(dugaan keras). 40
c. Mujmal
Secara etimologi berarti “sekumpulan sesuatu tanpa memperhatikan satu per satunya.” Adapun
menurut istilah, seperti dikemukakan Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H), ahli ushul iqh dari kalangan
Syai’iyah, mujmal berarti lafal yang tidak jelas pengertiannya sehingga untuk memahaminya
memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan). 40
ahli ushul iqh berkebangsaan Mesir, membagi lafal dari segi pemakaiannya kepada hakikat dan majaz.
Lafal hakikat adalah lafal yang digunakan kepada pengertian aslinya sesuai dengan maksud
penciptaannya. 40
7. Ta’wil
karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna itulah yang dimaksud oleh lafal tersebut. 41
MAQASID SYARI’AH
pandangan para ahli ushul iqh Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah di samping menunjukkan hukum dengan
bunyi bahasanya, juga dengan ruh tasryi’ atau maqasid syari’ah.41
dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang
berorientasi kepada
dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk
menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah
1. Ta’arud
hal. Adapun menurut istilah, seperti dikemukakan Wahbah Zuhaili, bahwa satu dari dua dalil
menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh dalil yang lain. Pada dasarnya,
seperti ditegaskan Wahbah Zuhaili, tidak ada pertentangan dalam kalam Allah dan Rasul-Nya. Oleh
sebab itu, adanya anggapan ta’arud antara dua atau beberapa dalil, hanyalah dalam pandangan
mujtahid, bukan pada hakikatnya. Dalam kerangka pikir ini, maka ta’arud mungkin terjadi baik pada
dalil-dalil yang qath’i, maupun dalil yang zhanni. 42
2. Tarjih
a. Pengertian Tarjih
Tarjih menurut bahasa berarti membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan. Menurut istilah, seperti
dikemukakan
menguatkan salah satu dari dua dalil yang zhanni untuk dapat diamalkan.
b. Cara Mentarjih
‘Ali ibn Saif al-Din al-Amidi (w. 631 H), ahli ushul iqh dari
1) Tarjih dari segi sanad. Tarjih dari sisi ini mungkin dilakukan antara lain dengan meneliti rawi yang
menurut jumhur ulama ushul iqh, Hadis yang diriwayatkan oleh perawi
yang lebih banyak jumlahnya, didahulukan atas Hadis yang lebih sedikit43
beberapa bentuk,43