Anda di halaman 1dari 17

Hakim,

Mahkum Fiih,
Mahkum A’laih
Kelompok 2 :
Muhammad Fatan Jundilah ( 10030120057 )
Arifani Amril ( 10030120051 )
   Al-Hakim

Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fiqh, hakim
merupakan orang yang memutuskan hukum dipengadilan yang sama maknanya dengan qadhi. Dalam
kajian ushul fiqh, hakim juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama ushul sepakat bahwa yang menjadi pembuat hukum hakiki dari hukum syariat adalah Allah,
sebagaimana firman-Nya:

ِ ‫ق ۖ َوهُ َو َخ ْي ُر ْالفَا‬
‫صلِين‬ َّ ‫نَ بِ ِه ۚ ِإ ِن ْال ُح ْك ُم ِإاَّل هَّلِل ِ ۖ يَقُصُّ ْال َح‬Q‫ بِ ِه ۚ َما ِع ْن ِدي َما تَ ْستَ ْع ِجلُو‬Q‫قُلْ ِإنِّي َعلَ ٰى بَيِّنَ ٍة ِم ْن َربِّي َو َك َّذ ْبتُ ْم‬

Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang
kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan
kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan
Dia Pemberi keputusan yang paling baik". (QS. Al-An’am: 57).
Golongan mu’tazillah berpendapat, bahwa sebelum rasul
dibangkit, akal manusia itulah yang menjadi hakim,
karena akal manusia dapat mengetahui baik atau
buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau
karena sifatnya.
Oleh kerena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang
dipandang baik oleh akal dan meninggalkan apa yang
dipandang buruk oleh akal. Allah akan memberikan
pahala kepada para mekallaf yang berbuat
baikberdasarkan kepada pendapatnya, sebagaimana
Allah memberi pahala berdasarkan apa yang diketahui
mukallaf dengan perantara syara’.
Golongan Asy’ariyah berpendapat, bahwa sebelum datang
syara’ tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan
mukallaf. Golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyah sependapat
bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang
buruk, yakni yang bersesuaian tabi’at: dipandang baik oleh
akal yang tidak bersesuaian dengan tabi’at dipandang buruk
oleh akal.
● Titik perselisihan antara golongan Mu’tazilah dengan
golongan Asy’ariyah ialah tentang apakah perbuatan itu
menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung
pada  perbuatan, walaupun syara’ belum menerangkannya,
sedang golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa
dan  tidak diberi pahala manusia sebelum datang syara’,
kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu
perbuatan.
Meskipun ulama ushul sepakat bahwa pembuat
hukum hanya Allah SWT, namaun mereka
berbeda pendapat dalam masalah apakah hukum-
hukum yang dibuat Allah hanya dapat diketahui
dengan turunnya wahyu, atau akal dapat
mengetahui hukum itu dengan baik. Dalam hal
ini, Abu Husen al-Bashri (w. 436 H) membagi
amal perbuatan manusia kedalam dua kategori:

a.       Perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang


hukumnya dapat diketahui dengan akal pikiran.
b.      Perbuatan syar’iyah, yaitu berbuatan
dimana syara’ ikut menentukan hukum dan
bentuknya.
  Perbuatan kategori ini terdiri dari dua macam, yaitu:
1.      Perbuatan dimana hanya dengan syariat dapat
diketahui hukum, bentuk, dan kedudukannya sebagai ibadah
bagi pelakunya, seperti ibadah shalat

2.      Perbuatan dengan syariat berperan mengubah,


menambah, atau mengurangi persyaratan-persyaratan yang
talah diketahui akal pikiran. Dalam hal ini, syariat
memodifikasi sesuatu perbuatan, sehingga disebut sebagai
perbuatan yang bersifat syar’i.

 
    Mahkum Fiih
Mahkum Fiih adalah perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dibebani suatu hukum (perbuatan
hukum).
ْ َ Q‫ ْي ِه‬QQQ‫)ف‬adalah
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum fih)   Q‫ل َمحْ ُكوْ ُم‬QQ‫ا‬ ِ objek
hukum, yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan titah syari’ (Allah dan Rasul-Nya), yang
bersifat tuntutan mengerjakan, tuntunan meninggalkan suatu pekerjaan,memilih suatu pekerjaan,
dan bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhshah, sah, serta batal.
Jadi, mahkum fih itu merupakan hasil perbuatan manusia yang mukallaf erat hubungannya atau
bersangkutan dengan hukum syara’ agama Islam. Misalnya perbuatan manusia
yang mukallaf  berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam, antara lain:
1.      Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah  mahkum fih, sebab bertalian
dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib.
2.      Menyangkut masalah tidak dilaksanakan terhadap manusia, adalah mahkum fih, dan bertalian
dengan ketentuan Allah dalam firman-Nya:
َ ‫َوالَ تَ ْقتُلُو النَّ ْف‬
‫س‬
Artinya:
“Janganlah kamu membunuh manusia.”
3.      Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak melaksanakan
puasa pada bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau orang musafir/dalam prerjalanan jauh,
maka masalah itu adalah mahkum fih, bertalian dengan masalah ibadah.
Dengan uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua perbuatan manusia itu ada
hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua perbuatan manusia yang mukallaf erat
kaitannya dengan hukum syara’, dan semua itu disebut Mahkum Fih dalam hukum Islam.
Para kalangan madzab Hanafi yang berpendapat tidak akan terjadi takhlif sebelum tercapai syarat
sahnya takhlif mengemukakan alasan :
a.    Kalau terjadi takhlif sebelum tercapai syarat sah takhlif berarti takhlif tidak dapat
dilaksanakan, sedangkan takhlif yang tidak dilaksanakan adalah batal.
b.    Dalam ucapan Rasulullah ketika mengangkat Muadz bin Jabal menjadi Gubernur Yaman
beliau berkata:
 “Ajaklah mereka (menuturkan) syahadat bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah rasul
Allah. Jika mereka telah menerimanya beri tahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan
kepada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Kalau mereka telah mnerimanya beri tahukan
Allah mewajibkan zakat atas harta kekayaan dari orang yang kaya untuk diserahkan kepada yang
miskin dari mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas) 
c.    Semua ibadah orang yang kafir tidk diterima karena ibadah memerlukan niat, sedangkan niat
dari orang yang kafir tidak sah kecuali terlebih dahulu beriman.
d.   Perintah melaksanakan ibadah untuk memperoleh pahala, sedangkan orang kafir tidak berhak
menerima pahala.
e.    Kalau orang yang kafir dibebankan melaksanakan shalat tentunya mereka dikenakan hukuman
di dunia sebagaimana seorang muslim yang meninggalkan sholat.
  
Telah menjadi ijma’ seluruh ulama bahwa tidak ada pembebanan selain pada pembuatan orang mukallaf. Oleh karena
itu, apabila syar’i mewajibkan atau mensunnahkan suata perbuatan kepada seorang mukallaf, maka beban itu
merupakan perbuatan  yang harus dikerjakan. Demikian juga apabila syar,i mengharamkan atau memakruhkan sesuatu,
maka beban tersebut juga merupakan perbutan yang harus ditinggalkan.
 
Perbuatan yang dibebankan (mahkum bih) kepada orang mukallaf itu mempunyai tiga syarat sebagai berikut:
a.       Perbutan itu diketahui oleh orang mukallaf secara sempurna, sehingga ia dapat mengerjakannya sesuai dengan
tuntutan,
b.      Hendaklah diketahui bahwa pembebanan itu berasal dari yang mempunyai kekuasaan memberi beban dan dari
pihak yang wajib diikuti segala hukum-hukum yang dibuatnya,
c.       Perbuatan itu adalah perbuatan yang mampu dikerjakan atau ditinggalkan, sehingga tidak dibenarkan memberi
beban yang mustahil untuk dilaksanakan.
Manusia tidak diperintahkan mengerjakan perbuatan yang tidak muungkin (mustahil) dapat dilakukan,  sebagaimana
firman Allah SWT:

 
َ ‫ت ۗ َربَّنَا اَل تَُؤ ا ِخ ْذنَا ِإ ْن نَ ِسينَا َأ ْو َأ ْخطَْأنَا ۚ َربَّنَا َواَل تَحْ ِملْ َعلَ ْينَا ِإصْ رًا َك َما َح َم ْلتَهُ َعلَى الَّ ِذ‬
‫ين ِم ْن‬ ْ َ‫ت َو َعلَ ْيهَا َما ا ْكتَ َسب‬ْ َ‫● اَل يُ َكلِّفُ هَّللا ُ نَ ْفسًا ِإاَّل ُو ْس َعهَا ۚ لَهَا َما َك َسب‬
َ ‫اَل نَا فَا ْنصُرْ نَا َعلَى ْالقَ ْو ِم ْال َكافِ ِر‬Q‫ت َم ْو‬
‫ين‬ َ ‫ارْ َح ْمنَا ۚ َأ ْن‬Q‫ف َعنَّا َوا ْغفِرْ لَنَا َو‬ ُ ‫قَ ْبلِنَا ۚ َربَّنَا َواَل تُ َح ِّم ْلنَا َما اَل طَاقَةَ لَنَا بِ ِه ۖ َوا ْع‬
 
Artinya:
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada
Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih ialah orang-orang mukallaf yang dibebani hukum. Adapun syarat-syarat sahnya
seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yakni:
a.       Sanggup memahami khitab-khitab pembebanan atau tuntutan syara’ yang terkandung dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Oleh karena itu, orang yang tidak memiliki
kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan),
b.      Mempunyai kemampuan menerima beban. Dasar pembebanan hukum bagi seorang mukallaf adalah akal
dan pemahaman.
Kemampuan seseorang untuk menerima kwajiban dan mnerima hak oleh para ulama ushuliyyun dibagi kepada
dua  macam, yaitu:
•   Ahliyatul wujub, yaitu kepantasan seseorang untuk memberi hak dan kewajiban. Kepantasan ini ada pada
setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, kanak-kanan maupun dewasa, sehat maupun sakit.
Semua orang mempunyai kepantasan diberi hak dan kewajiban, sebab dasar dari kepantasan ini adalah
kemanusiaan. Artinya, selama manusia itu masih hidup, kepantasan tersebut tetap dimiliknya,
•   Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat)ialah kepantasan seseorang untuk dippandang sah segala perkataan
dan perbuatannya. Misalnya, bila mengadakan suatu perjanjian atau perikatan, tindakan itu adalah sah dan
dapat menimbulkan akibat hukum, sehingga masa datangnya aliyatul ada’ menurut syara’ adalah bersamaan
dengan tibanya usia taqlif yang dibatasi dengan aqil dan baligh.
Ahliyatul ada’ terbagi atas dua macam, yaitu:
1.   Ahliyatul ada’ sempurna 2.   Ahliyatul ada’ tidak sempurna
(tam) adalah ketika seorang yang (naqish) yaitu anak yang cakap atau
telah berakal mencapai umur semisalnya dinisbahkan untuk
dewasa (baligh) dinisbahkan muamallah dan perikatan. Adapun taklif
untuk hukum  syara’, dan syara’ bagi anak yang cakap sama
balighnya orang yang cakap dengan anak yang tidak cakap. Seperti
dinisbahkan untuk muamallah shalatnya anak kecil dianggap seperti
harta (perdata), orang yang tidak cakap (gila).
Sedangkan dalam masalah muamallah
dianggap sah jual belinya.
Ahwaridh ahliyah ada dua macam, yakni samawiyah dan kasabiyah.
     Samawiyah adalah hal-hal yang berada diluar usaha dan ikhtiar
manusia. Halangan samawiyah ada sepuluh macam, yaitu:

a. Keadaan belum
c. Kurang akal
dewasa

b. Sakit gila d. Keadaan tidur


g. Sakit
e. Pingsan

f. Lupa h. Menstruasi
i. Nifas j. Meninggal dunia.
Kasabiyah adalah perbuatan-perbuatann yang diusahakan manusia yang
menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak.
Halangan kasabiyah itu ada tujuh macam, yaitu:

a. Boros, b. Mabuk c. Bepergian

d. Lalai e. Bergurau (main- f. Bodoh (tidak g. Terpaksa (ikrah).


main) mengetahui)
Memperhatikan akibat ahliyatul ada’. Maka gangguan-
gangguan itu terbagi kepada beberapa jenis antara
lain:

a.       Gugur ahliyatul ada’, khusus bagi manusia gila


dan sedang tidur.
b.      Kurang ahliyatul ada’ (tidak gugur seluruhnya),
seperti manusia makhluk (orang yang lemah
pikirannya) dan juga anak-anak yang mumayiz.
c.       Tidak menghilangkan dan tidak pula mengurangi
ahliyatul ada’, tatpi hanya mengubah sebagian
hukum untuk kemaslahatan.
 
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai