MAHKUM FIH
Disusun untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Bpk. Ahmad Yani M.Ag.
Disusun Oleh :
Kelompok 4
Fina Rofihatul (1121048000153)
Lentera Tahta Islami (11210480000084)
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1. Apa pengertian Mahkum fih?
2. Apa saja syarat-syarat mahkum fih?
3. Apa saja macam-macam mahkum fih?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul fiqih menggunakan
istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib
maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakna istilah mahkum bih, karena
perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah maupun yang dilarang.
Dalam kajian Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:
ع
ِ ار
ِ شَّ ه َُو ال ِف ْع ُل ال ُم َكلَّفِ الَّذِى تَعَلَّ ُق بِ ِه ُح ْك ُم ال
Suatu perbuatan mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’[1]
Menurut ulama Ushul Fiqih, yang dimaksudkan dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasulnya), baik yang
bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat
syarat, sebab, halangan, azimah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf.
Dan terdapat perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum.
Misalnya perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam,
antara lain:
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah:43
Artinya: “pembunuh tidak mewarisi.” ( HR. Abu Dawud, Imam Malik, dan Ahmad Ibn Hanbal).
Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab seseorang tidak mendapat harta
warisan adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang
menjadi penghalangn (mani) untuk menerima waris.
Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah mahkum fih sebab bertalian dengan ijab, maka
hukumnya adalah wajib.
Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak melaksanakan puasa pada
bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau orang musafir, maka masalah itu adalah mahkum fih yang
bertalian dengan masalah ibadah.
Firman Allah Swt:
Artinya:
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-
Baqarah:185)
Berdasarkan dalil diatas, maka berbuka pada siang hari bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan
adalah mubah.[2]
Dengan uraian-uraian diatas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua perbuatan manusia itu ada
hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya
dengan hukum syara’. Jadi perbuatan manusia yang berkaitan dengan hukum syara’ itulah dinamakan
mahkum fih dalam hukum Islam.
Dari uraian diatas munkin tergambar bahwa taklif itu hanya berlaku terhadap apa yang dapat
dikerjakan manusia dan tidak akan menimbulkan kesulitan. Namun semua perbuatan yang dibebankan
syara’ selalu menimbulkan kesulitan, sedang arti taklif itu sendiri mengandung arti kesulitan atau
biasa disebut Masyaqqah.[11] Masyaqqah ada dua macam :
A. Masyaqqah mu’tadah
Masyaqqah mu’tadah adalah, kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan
bahaya pada dirinya. Kesulitan yang seperti ini tiidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengerjakan
taklif, karena setiap perbuatan itu tidak akan terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya. Bahkan
definisi taklif sendiri adalah permintaan untuk merealisasikan sesuatu yang didalamnya terdapat
kesulitan. Namun hal ini bukan berarti tujuan syar’i itu mengatasi kesulitan. Tujuan utama syari’at
adalah kemaslahatan dan ketertiban.[12]
Pengharusan mukallaf untuk memikul kesulitan-kesulitan dalam batas kemampuannya adalah
dalam rangka mencapai kemaslahatan yang timbul daripadanya. Seperti seorang dokter yang
mengharuskan orang sakit meminum obat yang pahit, karena kesembuhannya yang akan timbul dari
memakan obat tersebut. Jadi ia menanggung kepahitannya adalah dalam rangka kesembuhannya dari
penyakitnya.
Shalat, zakat, puasa, dan segala yang diperintahkan dan dilarang kepada mukallaf adalah
mengandung kesulitan dan keberatan, akan tetapi hal tersebut merupakan kesulitan yang dapat dipikul
dan dalam batas-batas kemampuan. Hal itu merupakan sarana untuk mencapai suatu kemaslahatan
yang harus ditempuhnya untuk kelangsungan hidupnya. [13]
B. Masyaqqah ghairu mu’tadah
Masyaqqah ghairu mu’tadah adalah suatu kesulitan atau kesusahan yang diluar kekuasaan
manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya, bila dipaksakan.[14] Misalnya, melakukan
puasa wishal, shalat semalam suntuk, puasa sambil berdiri dibawah sinar matahari. Kesulitan-
kesulitan yang seperti itu bukan termasuk taklif syara’, karena syara’ selalu berusaha menyingkirkan
manusia dari kesulitan seperti bolehnya berbuka bagi orang yang sakit dan musafir, dibolehkannya
tayammum sebagai ganti wudhu bagi yang sakit dan tidak menemukan air. Diboehkannya memakan
makanan yang diharamkan ketika dalam keadaan darurat, dan sebagainya. Semua ini memberikan
kelonggaran.[15]
Alasan yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih dalam hal ini adalah:
Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang menghilangkan kesulitan dan kesempitan dalam syara’.
Seperti :
Firman Allah pada surat al-Hajj : 78
Artinya : “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “(QS.
Al-Hajj : 78).
Firman Allah pada surat an-Nisa : 28
Artinya : “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan manusia dijadikan bersifat
lemah.”(QS. an-Nisa : 28).
Firman Allah pada surat al-Baqarah : 185
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (QS. al-Baqarah : 185).
A. Kesimpulan
Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i. Adapun
syarat mahkum fih yaitu Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan sehingga tujuannya
dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan
untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelumnya dia tahu persis rukun, syarat, dan cara-cara shalat
tersebut.Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu
dari allah SWT, sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah
allah semata. sebenarnya, hal itu sama dengan hukum yang berlaku yang positif, yakni tidak ada
keharusan untuk mengerjakannya suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Perbuatan
harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Adapun macam-macam mahkum fih terbagi
menjadi dua segi yaitu keberadaan secara material dan syara’dan dari segi hak yang terdapat dalam
perbuatan itu.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Uman, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia.
Khallaf, Syekh Abdulwahab. 1990. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.