Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MAHKUM FIH
Disusun untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Bpk. Ahmad Yani M.Ag.

Disusun Oleh :
Kelompok 4
Fina Rofihatul (1121048000153)
Lentera Tahta Islami (11210480000084)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia
mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah Allah SWT. Ketentuan-
Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan
bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqih. Al-
Quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung
dalam sebagian ayat-ayatNya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selalu berhubungan dan
tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang
muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim
perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah tentang hukum syar’i.
Sebelum kita mempelajari banyak ilmu tentang fiqih, setidaknya kita mempelajari bagaimana
hukum-hukum fiqih menurut syara’ terlebih dahulu. Setiap hukum-hukum syar’i itu tidak dapat
bersangkutan dengan salah satu perbuatan mukallaf dari segi tuntutan, menyuruh pilih atau
menempatkan. Dari suatu ketetapan dikatakan bahwa yang berarti itu tidak lain dari dengan
perbuatan. Artinya hukum syar’i itu tidak bersangkut selain perbuatan mukallaf.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :
1. Apa pengertian Mahkum fih?
2. Apa saja syarat-syarat mahkum fih?
3. Apa saja macam-macam mahkum fih?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul fiqih menggunakan
istilah mahkum fih, karena didalam perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib
maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakna istilah mahkum bih, karena
perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat perintah maupun yang dilarang.
Dalam kajian Ushul Fiqih, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah:
‫ع‬
ِ ‫ار‬
ِ ‫ش‬َّ ‫ه َُو ال ِف ْع ُل ال ُم َكلَّفِ الَّذِى تَعَلَّ ُق بِ ِه ُح ْك ُم ال‬

Suatu perbuatan mukallaf yang bertalian atau berkaitan dengan hukum syara’[1]
Menurut ulama Ushul Fiqih, yang dimaksudkan dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ (Allah dan Rasulnya), baik yang
bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat
syarat, sebab, halangan, azimah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf.
Dan terdapat perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum.
Misalnya perbuatan manusia yang mukallaf berhubungan dan berkaitan dengan aturan agama Islam,
antara lain:
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah:43

ً ‫َواَقِ ْي ُموا ال‬


}43:‫صلوةَ { البقرة‬
Artinya: “dirikanlah shalat...” ( QS Al-Baqarah:43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan sholat, atau
berkaitan dengan kewajiban mendirikan sholat.
Firman Allah SWT. Dalam surat Al-An’am:13

ِ ‫س الًتِ ْى َح ًر َم هللا اِالً ِب ْل َح‬


}151 :‫ { األنعام‬.....‫ق‬ َ ‫َوالَ نَ ْقتُلُوا النً ْف‬
Artinya: “ janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan allah melainkan dengan suatu
(sebab) yang benar...” (QS.Al-An’am:151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkaitdengan perbuatan orang mukallaf, yaitu
larangan melakukan pembunuhan tanpa haq, maka pembunuhan tanpa haq itu hukumnya haram.
Rasulullah SAW. Bersabda:
}‫ث ْالقَاتِ ُل { رواه ابوداود ومالك واحمد بن حنبل‬
ُ ‫الَيَ ِر‬

Artinya: “pembunuh tidak mewarisi.” ( HR. Abu Dawud, Imam Malik, dan Ahmad Ibn Hanbal).
Dari hadist tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab seseorang tidak mendapat harta
warisan adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang
menjadi penghalangn (mani) untuk menerima waris.
Masalah menyempurnakan janji bagi mukallaf, adalah mahkum fih sebab bertalian dengan ijab, maka
hukumnya adalah wajib.
Menyangkut perbuatan manusia, mengenai mengerjakan puasa atau tidak melaksanakan puasa pada
bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau orang musafir, maka masalah itu adalah mahkum fih yang
bertalian dengan masalah ibadah.
Firman Allah Swt:
Artinya:
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-
Baqarah:185)
Berdasarkan dalil diatas, maka berbuka pada siang hari bagi orang yang sakit atau dalam perjalanan
adalah mubah.[2]
Dengan uraian-uraian diatas, jelaslah bahwa apabila diperhatikan semua perbuatan manusia itu ada
hubungannya dengan hukum syara’. Berarti semua perbuatan manusia yang mukallaf erat kaitannya
dengan hukum syara’. Jadi perbuatan manusia yang berkaitan dengan hukum syara’ itulah dinamakan
mahkum fih dalam hukum Islam.

B. Syarat Mahkum Fih


Mahkum fih ialah pekerjaan yang harus dilaksanakan mukallaf yang dinilai hukumnya. Pekerjaan
yang ditaklifkan kepada mukallaf, dalam melaksanakannya diperlukan beberapa syarat :
a. Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak sanggup dikerjakan oleh
mukallaf atau mustahil dilakukan olehnya. Yang tak sanggup atau mustahil melaksanakan itu
ada suatu yang memang tak dapat dilakukan, seperti mengumpulkan antara dua hal yang
berlaawanan, yakni yang dzatnya daripada pekerjaan itu tidak ada , dan mustahil menurut adat
yaitu perbuatan-perbuatan itu sendiri mungkin terwujud tetapi mukallaf tak sanggup
melaksanakannya.
b. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh Allah, bahwa
pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama’ berpendapat, bahwa boleh ditaklifkan
kepada hamba sesuatu yang diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya abu lahab
terhadap rasa iman. Hal ini dapat dijadikan hujjah untuk membolehkan taklif terhadap sesuatu
yang mustahil.
c. Pekerjaan yang sukar sekali dilakukan. Diantara pekerjaan itu ada yang masuk dibawah
kesanggupan mukallaf, akan tetapi sukar sekali dilakasanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada
dua macam:
1) Yang kesukarannnya itu luarbiasa dalam arti sangat memberatkan bila perbuatan
itu dilakanakan.
2) Yang tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan, hanya
terasa lebih berat daripada yang biasa.
d. Pekerjan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya kesukaraan yang luar
biasa. Pekerjaan yang demikian adakalanya hasil dari sebab dan ikhtiar mukallaf sendiri,
padahal perbuatan itu sendiri menghendaki kesukaran dan adakalanya juga bukan krena
kehendak mukallaf dan ikhtiyarnya. [3]
Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu :
1. Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuan dapat ditangkap
dengan jelas dan sempurna sebagaimana ia dituntut.
Maka berdasarkan hal tersebut, nash-nash al-Qur’an yang sifatnya masih mujmal, yakni yang
belum dijelaskan maksudnya, tidak sah mentaklifkannya kepada mukallaf, kecuali sesudah
Rasulullaah SAW menjelaskan nash-nash al-Qur’an yang masih global tadi. Misalnya firman Allah
SWT :
" َ‫ص ََلة‬
َّ ‫" َواَقِ ْي ُم ال‬
Artinya : “...dan dirikanlah shalat..”
Nash al-Qur’an tersebut masih mujmal, belum dijelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan
tatacara pelaksanaannya. Bagaimanakah orang yang tidak mengetahui rukun-rukun shalat, syarat-
syaratnya, dan tatacara pelaksanaannya di taklif untuk mengerjakan shalat? Oleh karena itulah, maka
Rasulullah SAW menjelaskan kemujmalan nash tersebut, sekaligus memberikan contoh sebagaimana
sabdanya :

َ ُ ‫صلُّ ْوا َك َما َراَ ْيت ُ ُم ْونِى ا‬


" ‫ص ِل ْى‬ َ "
Artinya : “lakukan shalat sebagaimana kamu melihatku shalat”.
Begitu pula perintah-perintah syara’ lainnya, seperti zakat, puasa, dan sebgainya.[4] Tuntutan
untuk melaksanakannya tidak sah sebelum diketahui syarat-syarat, rukun, waktu dan
sebagainya.[5] Oleh karena itulah, maka Allah SWT memberikan otoritas penjelasan melalui
rasulnya, sebagaimana FirmanNya:
Artinya : “keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).
Rasulullah SAW menjelaskan apa yang mujmal dalam Al-Qur’an melalui sunnahnya baik yang
berupa qauliyah, maupun fi’liyah.[6]
2. Mukallaf harus mengetahui sumber takiif.
Seseorang harus mengetahui bahwa pentaklifan itu datang dari orang yang mempunyai otoritas
untuk memberikan taklif yaitu Allah SWT. Sehingga dengan pengetahuan itu ia dapat
melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata.
Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang dituntut kepadanya,
adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya. Oleh karena
itu ketika seseorang telah dinyatakan baligh dalam keadaan berakal dan diperkirakan mampu
mengetahui hukum-hukum syara’, baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan
cara bertanya kepada para ulama’, maka sudah bisa dinyatakan bahwa ia mengetahui dan
menanggung beban syari’at, serta tidaklah diterima suatu alasan karena kebodohan atau ketidak-
tahuaannya. Sesuai dengan pendapat para fuqaha: “tidaklah diterima di dunia Islam udzur (halangan)
yang disebabkan oleh kebodohan.
Dan diantara sebab adanya pernyataan tentang “dimungkinkan mengetahui hukum”, itu karena
apabila disyaratkan seorang mukallaf harus mengetaahui tuntutan yang dibebankan kepadanya, maka
perbuatan yang harus dilakukan itu tidak akan terwujud. Dan akan banyak sekali manusia yang
berhalangan karena tidak mengetahui hukum syara’.[7]
Jadi, setiap hukum syara’ yang mukallaf mungkin mengetahui dalilnya, dan mengetahui
bahwa dalilnya adalah hujjah syar’iyah, maka mukallaf wajib mengikuti apa yang diambil dari dalil
itu. Baik pengambilannya melalui akal pikirannya sendiri atau melalui perantara, semisal bertanya
kepada orang yang mengetahuinya.[8]
3. Perbuatan yang ditaklifkan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan.
Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain :
Pertama : tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan
berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik berdasarkan zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari
luar zatnya. Contoh yang mustahil berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah
dan larangan dalam suatu tuntutan dan dalam waktu yang bersamaan.
Sedang contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu yang bisa digambarkan
dengan akal, akan tetapi secara adat kebiasaan hal tersebut tidak mungkin dilakukan, misalnya
menyuruh manusia terbang tanpa menggunakan alat, atau mengangkat gunung, dan lain-lain.
Diantara dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama adalah :
Adanya firman Allah SWT:
Artinya : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. "(Q.S. al-
Baqarah: 286)
Kalau tuntutan yang mustahil itu dianggap sah maka harus dilaksanakan. Padahal tidak mungkin
berkumpul antara suatu kemustahilan dengan adanya perbuatan. Selain itu, apabila tuntutan
dinyatakan dengan sesuatu yang mustahi, maka berarti perintah Allah itu tidaklah berguna. Dan hal
itu tidaklah mungkin.
Kedua : Para ulama ushul fiqih menyatakan tidak sah hukumnya seseorang melakukan
perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak dibenarkan
melakukan shalat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya.
Dengan kata lain, bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.
Hal yang mungkin dilakukan adalah mensehati dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Hadits-hadits yang menyatakan demikian antara lain hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas, “tidak boleh shalat seseorang untuk orang lain, begitu pula tidak boleh berpuasa untuk
orang lain”. Dan Aisyah berkata, “ janganlah kamu shalat untuk menggantikan orang yang telah mati,
namun beri makanlah kepada mereka (pahalanya). Kecuali haji yang dibolehkan oleh Imam Malik.
Golongan Asy’ari berpendapat bahwa dibolehkannya menggantikan kewajiban orang lain yang
berhubungan dengan badan adalah berlawanan dengan golongan mu’tazilah, seperti dibolehkannya
melaksanakan haji untuk orang lain. Bahkan golongan Syafi’i, al-Auja’i, dan Hambali membolehkan
wali menggantikan puasa untuk orang yang sudah meninggal. Diantara alasan mereka adalah:
ُ‫ع ْنهُ َو ِليُّه‬
َ ‫ام‬
َ ‫ص‬ ِ ‫علَ ْي ِه‬
َ ‫صيَا ٌم‬ َ ‫َو َم ْن َما تَ َو‬
Artinya: “siapa yang meninggalkan dunia dan ia berutang puasa, maka walinya berkewajiban
mengerjakan puasa itu. (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad Ibn Hanbal).
Ketiga : tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah
manusia, seperti gembira, marah, takut, dan sebagainya, karena hal itu diluar kendali manusia.[9]
Misalnya sabda Nabi SAW:
‫علَ ْيكُ ْم مِ ْن ِن َعمِ ِه‬ َ ‫هللا ِل َما ا ُ ْسد‬
َ ‫ِي‬ َ ‫اَحِ ب ُّْوا‬
Artinya : “Cintailah Allah karena berbagai kenikmatan yang diberikannya kepadamu”
Lahiriah hadits tersebut adalah pentaklifkan cinta, akan tetapi hakekatnya adalah pentaklifan untuk
memikirkan pada kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Allah kepada kamu sehingga kamu
senantiasa ingat dan bersyukur kepada Allah.[10]

Dari uraian diatas munkin tergambar bahwa taklif itu hanya berlaku terhadap apa yang dapat
dikerjakan manusia dan tidak akan menimbulkan kesulitan. Namun semua perbuatan yang dibebankan
syara’ selalu menimbulkan kesulitan, sedang arti taklif itu sendiri mengandung arti kesulitan atau
biasa disebut Masyaqqah.[11] Masyaqqah ada dua macam :
A. Masyaqqah mu’tadah
Masyaqqah mu’tadah adalah, kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan
bahaya pada dirinya. Kesulitan yang seperti ini tiidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengerjakan
taklif, karena setiap perbuatan itu tidak akan terlepas dari kesulitan dalam melaksanakannya. Bahkan
definisi taklif sendiri adalah permintaan untuk merealisasikan sesuatu yang didalamnya terdapat
kesulitan. Namun hal ini bukan berarti tujuan syar’i itu mengatasi kesulitan. Tujuan utama syari’at
adalah kemaslahatan dan ketertiban.[12]
Pengharusan mukallaf untuk memikul kesulitan-kesulitan dalam batas kemampuannya adalah
dalam rangka mencapai kemaslahatan yang timbul daripadanya. Seperti seorang dokter yang
mengharuskan orang sakit meminum obat yang pahit, karena kesembuhannya yang akan timbul dari
memakan obat tersebut. Jadi ia menanggung kepahitannya adalah dalam rangka kesembuhannya dari
penyakitnya.
Shalat, zakat, puasa, dan segala yang diperintahkan dan dilarang kepada mukallaf adalah
mengandung kesulitan dan keberatan, akan tetapi hal tersebut merupakan kesulitan yang dapat dipikul
dan dalam batas-batas kemampuan. Hal itu merupakan sarana untuk mencapai suatu kemaslahatan
yang harus ditempuhnya untuk kelangsungan hidupnya. [13]
B. Masyaqqah ghairu mu’tadah
Masyaqqah ghairu mu’tadah adalah suatu kesulitan atau kesusahan yang diluar kekuasaan
manusia dalam mengatasinya dan akan merusak jiwanya, bila dipaksakan.[14] Misalnya, melakukan
puasa wishal, shalat semalam suntuk, puasa sambil berdiri dibawah sinar matahari. Kesulitan-
kesulitan yang seperti itu bukan termasuk taklif syara’, karena syara’ selalu berusaha menyingkirkan
manusia dari kesulitan seperti bolehnya berbuka bagi orang yang sakit dan musafir, dibolehkannya
tayammum sebagai ganti wudhu bagi yang sakit dan tidak menemukan air. Diboehkannya memakan
makanan yang diharamkan ketika dalam keadaan darurat, dan sebagainya. Semua ini memberikan
kelonggaran.[15]
Alasan yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih dalam hal ini adalah:
Ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang menghilangkan kesulitan dan kesempitan dalam syara’.
Seperti :
Firman Allah pada surat al-Hajj : 78
Artinya : “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “(QS.
Al-Hajj : 78).
Firman Allah pada surat an-Nisa : 28
Artinya : “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu[286], dan manusia dijadikan bersifat
lemah.”(QS. an-Nisa : 28).
Firman Allah pada surat al-Baqarah : 185
Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (QS. al-Baqarah : 185).

C. Macam–Macam Mahkum Fih


Para ulama’ usul fiqih membagi mahkum fih dari dua segi yaitu:
Dari segi keberadaan secara material dan syara’, mahkum fih terdiri dari:
1. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang berkait dengan
syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf tetapi
perbuatan itu tidak terkait demgan hukum syara’.
2. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti
perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’,
yaitu hudud dan qishash.
3. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ yang ditentukan, seperti
shalat dan zakat.
4. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan hukum syara’
yang lain, seperti nikah, jual beli dan sewa menyewa.
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, yaitu:
1. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan
umum tanpa kecuali. Hak sifatnya semata-mata Allah ini, menurut Ulama’ Ushul Fiqih ada
delapan macam:
a. Ibadah mahdlah (murni), seperti iman dan rukun.
b. Ibadah yang didalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat
fitrah.
c. Bantuan/satuan yang mengandug makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan dari
bumi.
d. Biaya/ satuan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang
dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana seperti hukuman berbuat zina.
f. Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi waris, karena ia membunuh
pemilik harta tersebut.
g. Hak-hak yang harus dibayarkan, kewajiban mengelurakan seperlima harta terpemdam dan
harta rampasan perang.
2. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta yang
rusak.
3. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah didalamnya lebih dominan.
Seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf
4. Kompromi antara hak Allah dam hak hamba, tetap hak hamba didalamnya lebih dominan,
seperti dalam masalah qishash. [16]
BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Mahkum fih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i. Adapun
syarat mahkum fih yaitu Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan sehingga tujuannya
dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan
untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelumnya dia tahu persis rukun, syarat, dan cara-cara shalat
tersebut.Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu
dari allah SWT, sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah
allah semata. sebenarnya, hal itu sama dengan hukum yang berlaku yang positif, yakni tidak ada
keharusan untuk mengerjakannya suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Perbuatan
harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Adapun macam-macam mahkum fih terbagi
menjadi dua segi yaitu keberadaan secara material dan syara’dan dari segi hak yang terdapat dalam
perbuatan itu.
DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Uman, Chaerul, dkk. 2000. Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia.
Khallaf, Syekh Abdulwahab. 1990. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Muchtar, Kamal dkk. 1995. Ushul Fiqh. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.

[1]Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, Hlm. 166.


[2] Chaerul Uman, dkk, Ushul Fiqih, Hlm. 329-330.
[3] Kamal Muchtar, dkk, Ushul Fiqh, Hlm. 38-40.
[4] Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 189.
[5] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 320.
[6] Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 189-190.
[7] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 320-321.
[8] Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 191.
[9] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 321-323.
[10] Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 193.
[11] Syafi’i karim, Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001, Hlm: 138-139.
[12] Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 327.
[13] Syekh Abdulwahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Hlm. 195.
[14]Rachmat Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 327.
[15] Syafi’i karim, Fiqih Ushul Fiqih, Hlm. 139.
[16] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Hlm. 331-332.

Anda mungkin juga menyukai