Anda di halaman 1dari 16

Hukum Taklifi dan Wadh'i

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembahasan tentang hukumsyara adalah salah satu dari beberapa objek kajian Ushul
Fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi Ushul Fiqh adalah bagaimana menyimpulkan
hukumsyara dari sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan
hukum syara dalam pembahasan ini, maka lebih dulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara itu
sendiri serta berbagai macamnya.
Istilah hukum syara bermakna hukum-hukum yang digali dari syariat Islam. Berbicara
tentang hukum syara melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengannya, seperti pembicaraan tentang pembagian hukum syari yaitu hukumtaklifi dan
hukum wadhi. Serta pembicaraan tentang hakim, al-mahkum fih, dan tentang al-mahkum alaih.
Oleh karena itu, pada pembahasan ini akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut.
B.
a.
b.
c.

Rumusan Masalah
Apa ituhukum syari?
Apa saja pembahasan-pembahasan hukum dalam ilmu Ushul Fiqh?
Apa saja macam-macam hukum dan pembagiannya?

C.
a.
b.
c.

Tujuan
Mengetahui hukum-hukum syari
Mengetahui pembahasan-pembahasan hukum dalam ilmu Ushul Fiqh
Mengetahui macam-macam hukum dan pembagiannya

BAB II
PEMBAHASAN
Istilah hukum syara bermakana hukum-hukum yang digali dari syariat islam. Hukum
syara melibatkan pembicaaraan tentang pembagian hukum syara, hakim (pembuat hukum), almahkum fih (perbuatan manusia), dan tentang al-mahkum alaih (mukalaf).
A. Pengertian Hukum
Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti mencegah atau memutuskan. Menurut
terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti:

Khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa Iqtidla
(perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir
(kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau
Wald (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani [penghalang]).
Ayat-ayat atau hadis-hadishukum dapat dikatagorikan kepada beberapa macam;
a. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang diperintahkan itu
sifatnya wajib.
b. Larangan melakukan suatu perbuatan. Perbuatan mukalaf yang dilarang itu sifatya haram.
c. Anjuran untuk melakukan suatu perbuatan, dan peebuatan yang dianjurakan untuk dilakukan itu
sifatnya mandub.
d. Anjuran untuk meninggalkan suatu perbuatan. Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan itu
sifatnya makruh.
e. Memberi kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan, dan perbuatan yang
diberi pilih untuk dilakukan atu ditinggalkan itu sifatnya mubah.
f. Menetapkan sesuatu sebagai sebab.
g. Menetapkan sesuatu sebagai syarat.
h. Menetapkan sesuatu sebagai mani (penghalang).
i. Menetapkan sesuatu sebagaikriteria sah dan fasad/batal.
j. Menetapkan sesuatu sebagai kriteria azimah dan rukhsah.
B.

Pembagian Hukum Syara


Secara garis besar para ulama Ushul Fiqh membagi hukum kepada dua macam, yaitu hukum
taklifi dan hukum wadhi. Hukum taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah:
Ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan orang
mukalaf, baik dalam bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak
melakukan, atau dalam bentuk memberi kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadhi adalah:
Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat dan mani (sesuatu yang
menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi.
Ada dua perbedaan mendasar antara dua macam hukum tersebut:

a.

Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan
terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum wadhi berupa penjelasan hubungan suatu
peristiwa dengan hukum taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat wajub
dilaksanakan umat Islam, dan hukum wadhi menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di
tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.

b.

Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas kemampuanseorang
mukalaf. Sedangkan hukum wadhi sebagiannya ada yang di luar kemampuan manusia dan
bukan merupakan aktivitas manusia. Misalnya seperrti dalam contoh di atas tadi, keadaan
tergelincir matahari bukan dalam kemampuan manusia dan bukan pula merupakan aktivitasnya.
Hubungannya dengan perbuatan manusia hanyalah karena Allah menjadikannya (tergelincir
matahari) sebagai tanda bagi masuknya waktu shalat zuhur.
Pembagianhukumsyara sebagaiberikut:
a. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah syari yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan
oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan.
Dengan kata lain adalah yang dituntut melakukannya atau tidak melakukannya atau
dipersilahkan untuk memilih antara memperbuat dan tidak memperbuat.
Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian yaitu; ijab (wajib), nadb (sunat) ,
tahrim(haram), karahah (makruh), dan ibahah (mubah).
Ijab adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah [2]:43:
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukulah beserta orang-orang yang ruku.
Nadb adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang
tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya, firman Allah surat Al-Baqarah
[2]:282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.
Tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan
tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 3:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.
Kemudian, karahah adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat.
Misalnya firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:
Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu
niscaya menyusahkanmu.
Sedangkan ibahah adalah firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukalaf untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam surat AlBaqarah ayat 235:
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.
Golongan Hanafiyah membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian, yaitu dengan membagi
firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti kepada dua bagian,
yaitu fardhu dan ijab.
Menurut kelompok ini bila suatu perintah didasarkan dengan dalil yang qathi, seperti dalil
Al-Quran dan hadis mutawatir maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu

berdasarkan dalil yang zhanni, maka ia dinamakan ijab. Begitu pula larangan. Bila larangan itu
berdasarkan dalil zhanny, maka ia disebut karahah tahrim.
Dengan pembagian seperti di atas, golongan Hanafiyah membagi
hukum taklifi kepadafardhu, ijab, tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah.
Sekalipun golongan yang disebut terakhir ini membagi hukum taklifi kepada tujuh bagian,
tapi pada umumnya ulama sepakat membagi hukum tersebut kepada lima bagian seperti yang
telah disebut di atas. Kelima macam hukum itu menimbulkan efek terhadap
perbuatanmukalaf dan efek itulah yang dinamakn al-hakam al-khamsah oleh ahli fiqih,
yaitu wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.
1. Wajib
a. PengertianWajib
Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah:
Wajib menurut syara ialah apa yang dituntut oleh syara kepada mukallaf untuk
memperbuatnya dalam tuntutan keras.
Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan
jika ditinggalkan akan berdosa.
Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib yang ditunjuk
melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah) dalam firman Allah:
Artinya: ... dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. (QS. Thaha:14)
Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri yang
menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu .... (QS. Al-Baqarah: 183)
b. PembagianWajib
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
1) Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut,wajib dapat dibagi dua:
a. Wajib muayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya membaca fatihah
dalam shalat.
b. Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam perbuatan yang telah
ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi tiga alternatif, memberi makan sepuluh
orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.
2) Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk mengerjakan yang
diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi menjadi dua macam:

a. Wajib muwassa, waktu yang tersedia untuk melaksanakan yang diwajibkan itu lebih luas atau
lebih banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu. Misalnya shalat zuhur. Waktu yang tersedia
untuk melaksanakan shalat zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai
untuk melaksanakan shalat zuhur. Maka wajib yang seperti ini dapat dilaksanakan pada awal
waktu atau pada pertengahan waktu atau pada akhir waktu. Jika wajib muwassa ingin dikerjakan
pada pertengahan atau akhir waktu maka menurut para ulama hendaklah berniat setelah tiba
waktunya (awal waktu) untuk menunda pelaksanaannya pada waktu yang diinginkan karena
kalau tidak diniatkan maka mungkin termasuk orang yang melalaikan waktu.
b. Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia persis sama atau sama banyak dengan
waktu mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan Ramadhan. Puasa itu sendiri
menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan. Karena itulah wajib mudhayyiqtidak dapat ditunda
dari waktu yang tersedia untuk mengerjakannya.
3) Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada dua bagian:
a.

Wajib ain, ialah tuntutan syara untuk melaksanakan sesuatu perbuatan dari setiap mukallaf dan
tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti kewajiban mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji.
Wajib ini disebut juga fardhu ain.

b. Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan jika ada salah
seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap sudah terlaksana, namun bila tidak
ada seorangpun yang mengerjakannya, maka berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti
amar maruf dan nahi munkar, shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan lain
sebagainya.
4) Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan, terbagi kepada dua:
a.

Wajib muhaddad, ialah yang ditentuka oleh syara bentuk perbuatan yang dituntut dan mukallaf
dianggap belum melaksanakan tuntutan itu sebelum melaksanakan seperti yang telah dituntut
oleh syara atau dengan kata lain adalah kewajiban yang telah ditentukan kadar atau jumlahnya.
Contohnya shalat, zakat, dan pelunasan hutang. Shalat lima waktu telah ditetapkan waktunya,
jumlah rakaatnya, rukun dan syaratnya. Zakat telah ditetapkan jenis benda yang wajib dizakati
dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan. Wajib muhaddad kalau tidak dilaksanakan maka
menjadi hutang dan boleh diambil dengan paksa.

b. Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan yang wajib dan tidak wajib yang tidak ditentukan cara
pelaksanaanya dan waktunya atau kewajiban yang tidak ditentukan batas bilangannya, seperti
infak fi sabilillah, memberi bantuan kepada orang yang berhajat, tolong menolong, dan lain
sebagainya. Wajib ghairu muhaddad jika tidak dilaksanakan tidak menjadi hutang dan tidak
boleh dipaksa.

2. Mandub
a. PengertianMandub
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan mandub ialah:
Yang dituntut oleh syara memperbuatnya dari mukallaf namun tnututannya tidak begitu
keras.
Atau dengan kata lain segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila
tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa atau dosa (iqab).
Perbuatan mandub dapat dikenal melalui lafal yang tercantum dalam nash seperti
dicantumkan kata disunnatkan atau dianjurkan atau dibawakan dalam bentuk amar namun
ditemui tanda yang menunjukkan bahwa tuntutan itu tidak keras dari nash itu sendiri. Seperti
dalam firman Allah:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah (hutang piutang)
tidak secara tunai hendaklah kamu menulisnya .... (QS. Al-Baqarah 282)
Dalam ayat lain diterangkan:
Artinya: ... maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu tidak menulisnya.... (QS. AlBaqarah 282)
Ayat yang kedua ini dapat dipahami bahwa menulis hutang piutang itu hanya mandub
(sunnat). Dan juga mungkin tanda yang dapat dipergunakan untuk memalingkan amar yang
mempunyai arti wajib ke arti mandub melalui kaidah umum agama atau melalui kaidah fiqih dan
mungkin juga ditunjuk oleh urutan hukuman bagi orang yang meninggalkannya.
b. PembagianMandub
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi menyamakn arti sunat dan nafal dengan mandub,
mandub menurut mereka ada tiga macam:
1) Sunat Hadyi ialah suatu perbuatan yang diperintahkan untuk menyempurnakan perbuatan wajib
seperti azan dan shalat berjamaah. Orang yang meninggalkan perbuatan yang seperti ini
dikatakan tersesat dan tercela dan kalau seandainya seisi kampung bersepakat meninggalkannya
maka mereka dapat diperangi.
2) Sunat Zaidah ialah semua perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagia sifat terpuji bagi
mukallaf karena mengikuti jejak nabi sebagai manusia biasa seperti dalam makan, minum, tidur
dan sebagainya dan kalau perbuatan itu dilakukan menjadi kebaikan bagi mukallaf dan kalau
ditinggalkan tidak dapat dikatakan makruh.
3) Nafal ialah perbuatan yang dianjurkan memperbuatnya sebagai pelengkap dari perbuatan wajib
dan sunat seperti shalat sunat. Perbuatan yang seperti itu kalau diperbuat akan memperoleh
pahala dan kalau ditinggalkan tidak akan mendapat siksa dan tidak pula dicela.
Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi kepada:

a) Sunat ain, ialah segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukallaf untuk
dikerjakan, misalnya shalat sunat rawatib.
b) Sunat kifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang
saja dari suatu kelompok, seperti mengucapkan salam, mendoakan orang bersin, dan lain
sebagainya.
Para ulama dalam kalangan mazhab Syafii membagi mandub menjadi dua macam ialah:
1) Sunat muakkad, ialah perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dikenakan siksa
bagi yang meninggalkannya tetapi dicela. Contohnya perbuatan sunat yang menjadi pelengkap
perbuatan wajib seperti azan, shalat berjamaah, shalat hari raya, berkurban dan akikah, karena
perbuatan-perbuatan yang seperti itu selalu diperbuat Rasulullah SAW. hanya sekali atau dua kali
beliau tinggalkan yang menunjukkan perbuatan itu bukan wajib namun digemari oleh beliau.
2) Sunat Ghairu muakkad, ialah segala perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun tidak dicela
meninggalkannya tetapi Rasulullah SAW. sering meninggalkannya, atau dengan kata lain yaitu
segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul,.
3. Haram
a. Pengertian Haram
Para ahli ushul mengatakan tentang haram ialah:
apa yang dituntut oleh syara untuk tidak melakukannya dengan tuntutan keras.
Atau dengan kata lain dilarang memperbuatnya dan kalau diperbuat akan mendapat siksa dan
kalau ditinggalkan akan mendapat pahala.
Tuntutan yang seperti ini dapat diketahui melelui lafal nash seperti dalam firman Allah:
Artinya: diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi (daging) hewan yang
disembelih atas nama selain Allah... ( QS. Al-Maidah 3)
b. Pembagian Haram
Secara garis besarnya haram dibagi kepada dua:
1) Haram li zatihi, ialah haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karena zatnya. Haram
seperti ini pada pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnya
membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.
2) Haram li gairihi, ialah Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor
lain yang datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi
haram ketika azan jumat sudah berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan yang
semulanya wajib berubah berubah menjadi haram kerena dengan berpuasa itu akan menimbulakn
sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan lainnya.
Para ulama dalam kalangan mazhab Hanafi membagi haram ini menjadi dua macam yang
dilihat dari segi kekuatan dalil yang menetapkan ialah:

1) Haram yang ditetapkan melalui dalil qathi ialah harm dari Al quran, Sunnah Mutawatir dan
Ijma. Haram yang ditetapkan melalui dalil qathi ini sebagi kebalikan fardhu. Contohnya seperti
larangan berbuat zina seperti yang diterangakan dalam ayat 32 Surah Al Isra.
2) Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis Ahad dan kias dan haram seperti ini
sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut tahrim. Contohnya seperti larangan
bagi kaum pria memakai perhiasan emas dan kain sutra murni yang diterangkan dalam hadis
ahad yang diantaranya:
kedua ini haram atas umatku yang lelaki(HR Abu Daud, Ahmad dan Nasai dari Ali bin
Thalib)
4. Makruh
a. PengertianMakruh
Makruh menurut para ahli ushul ialah:
apa yang dituntut syara untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras.
Atau dengan kata lain sesuatu yang dilarang memperbuatnya namun tidak disiksa kalau
dikerjakan. Misalnya merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap,
dan lain sebagainya.
b. PembagianMakruh
Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian:
1) Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada mengerjakan.
2) Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny,
bukan qathi. Misalnya, bermain catur, memakan kala, dan memakan daging ular (menurut
mazhab Hanafiyah dan Malikiyah).
5. Mubah
a. PengertianMubah
Yang dimaksud dengan mubah menurut para ahli ushul ialah:
apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih anatara memperbuat
atau meninggalkannya.
b. PembagianMubah
Mubah dapat dibagi tiga macam, yaitu:
Yang diterangkan syara tentang kebolehannya memilih antara memperbuat atau tidak
memperbuat
1) Tidak diterangkan kebolehannya namun syara memberitahukan akan dapat memberi
kelonggaran dan kemudahan bagi yang melakukannya

2) Tidak diterangkan sama sekali baik kebolehan memperbuatnya yang seperti inui kembali pada
kaidah baratul ashliyah.
b.

Hukum Wadhi
Seperti yang telah disebutka di atas, hukum wadhi adalah ketentuan syariat dalam bentuk
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat dan mani. Dengan demikian hukum wadhi terbagi
kepada tiga macam, yaitu:

1.
a.

Sebab
Pengertian sebab
Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu
yang lain. Dengan lantaran adanya sebab, wajib adanya akibat. Sebaliknya, ketiadaan sebab
menyebabkan ketiadaan akibat. Menurut istilah ushul fiqh, sepeti yang dikemukakan AbdulKarim Zaidan, sebab berarti:
Sesuatu yang dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya
sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum.

b.
1)

Macam-macam sebab
Sebab, kadang-kadang menjadi sebab pada hukum Taklifi. Misalnya waktu, yang menjadi
sebab kewajiban mendirikan shalat, karena firman Allah SWT yang artinya:
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir. (QS.al-Isra:78)
Menyaksikan hilal Ramadhan, menjadi sebab kewajiban berpuasa, sebagaimana firman Allah
SWT yang artinya:
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa di bulan itu. (QS.al-Baqarah:185)

2)

Kadang-kadang sebab itu menjadi sebab untuk menetapkan kepemilikan, kehalalan atau
emnghilangkan keduanya. Seperti jual beli untuk menetapkan kepemilikan dan menghilangkan
kepemilikan, memerdekakan budak dan wakaf untuk menggugurkan kepemilikan, atau akad
perkawinan untuk menetapkan kehalalan.

3)

Kadang-kadang sebab itu berupa perbuatan yang mampu dilakukan mukalaf, seperti ia
membunuh secara sengaja menjadi sebab kewajiban qishash. Akad jual beli, perkawinan, atau
lainnya menjadi sebab adanya hukum atas perbuatan-perbuatan tersebut.

4)

Kadang-kadang sebab berupa sesuatu yang tidak mampu dilakukan mukallaf. Seperti masuk
waktu yang menjadikan sebab kewajiban shalat. Hubungan kerabat menjadi sebab adanya hak
waris dan pewaris. Sifat kecil menjadi sebab keharusan perwallian atas si kecil tersebut.

2.

Syarat

a.

Pengertian Syarat
Menurut bahasa kata syarat berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain
atau sebagai tanda. Tidak adanya syarat menjadikan tidak adanya yang disyaratkan, tetapi
adanya syarat belum tentu menjadikan adanya yang disyaratkan. Menurut istilah Ushul Fiqh,
seperti yang dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, syarat adalah:
Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan berada di luar dari hakikat
sesuatu itu.
Misalnya, wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya shalat
tergantung adanya wudhu, namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian dari
pelaksanaan shalat. Sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat bagi sahnya akad nikah.
Yang disebut terakhir ini adalah rukun.

b.

Pembagian Syarat
Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:

1)

Syarat Syari, yaitu syarat yang datang langsung dari syariat sendiri. Misalnya,
keadaanrusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazir) bagi
seorang anak yatim dijadikan oleh syariat sebagai syarat bagi wajib menyerahkan harta miliknya
kepadanya

2)

Syarat Jaly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu sendiri. Misalnya,
seorang suami berkata kepada istrinya: Jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah
talakmu satu, dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk
membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar hutangnya.

3.

Mani

a.

Pengertian Mani
Kata mani secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Secara terminologi, seperti
dikemukakan oleh Abdul-Karim Zaidan, kata mani berarti:

Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab.
Misalnya, seperti adanya pembunuhan yang disengaja dan aniaya, tetapi terhalang untuk
dilakukan qishash, karena si pembunuh adalah ayah korban itu sendiri.
b.

Pembagian mani
Para ahli Ushul Fiqh membagi mani kepada dua macam:

1)

Mani al-Hukm, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum.
Misalnya, keadaan haid bagi wanita ditetapkan Allah sebagai mani bagi kecakapan wanita itu
untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak wajib dilakukannya waktu haid.

2)

Mani al-Sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai pengahalang bagi berfungsinya
suatu sebab sehingga dengan demikian sebab itu tidak lagi mempunyai akibat hukum.
Contohnya, bahwa sampainya harta satu nisab, menjadi sebab seseorang mengeluarkan zakat.
Namun, karena orang tersebut dalam keadaan berhutang di mana hutang itu bila dibayar akan
mengurangi hartanya dari satu nisab, maka dalam kajian fikih hutang itu menjadi mani bagi
wajib zakat harta itu.

4. Rukhsah dan Azimah


Pengertian Rukhsah
Secarabahasarukhsahberartikemudahandankelapangan.Secaraistilahrukhsahadalah
ketentuanyangdisyariatkanolehAllahsebagaikeringananuntukorangmukallafdalamhalhal
yangkhususataukondisikondisitertentu.Dengandemikian,rukhsahterjadipadasaatseorang
mukallafmengalamimasamasayangsulitdandaruratyangdikehendakiadanyakemudahandari
AllahSwt.
b. Pembagian Rukhsah
Rukhsah itu adabebrapa macam antara lain:
1) Membolehkan hal-hal yang haram disebabkan kondisi darurat. Misalnya membolehkan
memakan bangkai bagi orang yang terpaksa memakannya kaena dalam keadaan kelaparan dan
tidak ada makanan lain kecuali bangkai itu.
a.

2) Membolehkan meninggalkan suatu yang wajib karena ada uzur. Misalnya diperbolehkan tidak
berpuasa di bulan Ramadhan karena ada uzur seperti sakit atau dalam keadaan bepergian.
3) Memberikan pengecualian sebagian perikatan karena di hajat dalam lalu lintas muamalah.
Misalya salam, yakni perikatan jual beli barang yang belum ada wujudnya saat perikatan
dilakukan, tetapi harganya telah dibayar terlebih dahulu. Perikatan itu sah, secara rukhsah.

4)

Menghilangkan beban yang berat yang berlaku pada syariat terdahulu. Misalnya mencuci
pakaian yang kena najis dengan air yang suci,sebagai rukhsah terhadap tata cara mensucikan
pakaian yang kena najis menurut syariat sebelum islam, yakni dengan memotong bagian
pakaian yang kena najis itudan melakukan taubat sebagai rukhsah terhadap tata cara diri
menyatakan penyesalan diri dari suatu maksiatdengan membunuh diri, sebagaimana dilakukan
oleh umat terdahulu.
Segala macam rukhsah sebagaimana tersebut diatas sebenarnya hanya kembali kepada
kaidah-kaidah yang berbunyi: ad-dharurat tubihul mahdhurat (kemudharatan itu menghalalkan
yang terlarang).

c.

Pengertian Azimah
AdapunAzimahsecarabahasaberartitekadyangkuat.SecaraistilahulamaUshulFiqh
mendefinisikannyadenganhukumhukumyangditetapkanAllahSwtkepadasemuahambaNya
sejaksemula.Iamerupakanperaturansyarayangasliyangberlakuumum.Artinyadiadi
syariatkansebagaiaturanumumbagiseluruhmukallafdalamkeadaannormal.Misalnya
bangkai,menurutasliadalahharamdimakanolehsemuamukallaf.Akantetapibagiyang
keadaanterpaksa,diperkenankanmemakannya,asaltidakberlebihlebihan.Haramnyabangkai
adalahazimah,sedangkanbolehmemakannyadalamkeadaanterpaksaadalahrukhsah.

5. Shah dan Bathal


a. Pengertian Shah dan Bathal
Secara etimologi, kata shah berarti baik. Pengertian shah menurut ulama
ushul fiqh adalah tercapainya sesuatu yang memberikan pengaruh secara
syara. Karena perbuatan itu mempunyai akibat hukum.Dan suatu perbuatan
dinilai shah ketika sejalan dengandenagn kehendak syari. Tegasnya,
perbuatan mukallaf dinilai shah apabila dipenuhi rukun dan syaratnya.
Ulama Hanafi membagi perbuatan dan perikatan-perikatan tersebut itu sebagai berikut:
Amal perbuatan adakalanya shahih dan adakalanya bathil. Kalau suatu ibadah puasa
dikatakatan bathil, maka sama artinya dengan fasid, yakni tidak dapat menggugurkan kewajiban,
karena itu harus di qadha. Adapun ama lperbuatan yang berhubungan dengan muamalat atau
segala macam perikatan mereka membagi kepada tiga macam Yakni shahih, bathil, dan fasid.
Sedangkan istilah bathal merupakan lawan dari shah,yakni: terlepasnya
hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hukum
yang ditimbulkannya.Misalnya jika perbuatan yang dilakukan oleh orang
mukallaf itu berupa suatu kewajiban, maka perbuatan yng dilakukan itu tidak
dapat menggugurkan kewajibandan tidak dapat membebaskan tanggungan
serta ia tidak berhak mendapatkan pahala di akhirat.
C. Hakim

Kata hakim secara etimologi adalah orang yang memutuskan hukum. Dalam kajian Ushul
Fiqh, kata hakim berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa yang menjadi sumber atau pembuat hakiki dari hukum
syariat adalah Allah. Sebagaimana firman Allah
...menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik. (QS. al-Anam/6:57)
Yang menjadi perbedaan pendapat para ulama adalah apakah hukum-hukum Allah dapat
diketahui oleh akal secara langsung tanpa perantara para Rasul Allah dan kitab-kitab-Nya.
Memang tidak ada perbedaan pendapat bahwa al hakim adalah Allah, tetapi perbedaan pendapat
itu pada cara mengetahui hukum-hukum Allah.
Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi beberapa pendapat:
a.

Kalangan Mutazilah berpendapat bahwa perbuatan dapat dibagi menjadi dua:

1) Perbuatan yang sifat baik dan buruknya bersifat esensial. Berkata benar sepanjang esensialnya
baik adalah baik, dan sebaliknya berbohong sepanjang esensialnya adalah buruk. Demikianlah
halnya sifat-sifat terpuji, sepanjang esensialnya adalah baik sehingga akal pikiran manusia
mampu menyatakan bahwa hal itu baik setiap kali menyaksikannya. Sebaliknya sifat tercela
sepanjang esensialnya adalah buruk sehingga akal pikiran manusia mampu menyatakan bahwa
hal itu buruk setiap kali menyaksikannya. Akal pikiran manusia menurut aliran ini mampu
mengenal baik dan buruk ada yang tanpa memerlukan renungan (badihy) dan ada yang
membutuhkan renungan (nadzhary).
2) Perbuatan-perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal nilai baik dan buruknya, seperti ibadah
dan cara-caranya. Dan memerlukan wahyu untuk mengetahui baik dan buruknya.
Sejalan dengan hal di atas, Abu al-Husein al-Basri (w.436 H/1044 M), seorang tokoh Mutazilah,
dalam bukunya al-Mutamad (Juz 1/370), membagi akal perbuatan manusia menjadi dua:
Pertama, perbuatan aqliyah, yaitu perbuatan yang hukumnya dapat diketahui dengan akal
pikiran.
Kedua, perbuatan syariyah, yaitu perbuatan di mana syara ikut menentukan hukum dan
bentuknya. Perbuatan dalam hal ini terdiri dari dua macam:
a) Perbuatan di mana hanya dengan syariat dapat diketahui hukum, bentuk, dan kedudukannya
sebagai ibadah bagi pelakunya. Misalnya, ibadah shalat.

b) Perbuatan di mana syara berperan mengubah, menambah, atau mengurangi persyaratanpersyaratannya yang telah diketahui akal pikiran. Dalam hal ini syariat memodifikasi suatu
perbuatan, sehingga disebut sebagai perbuatan yang bersifatsyari.

b.

Kalangan Maturidiyah berpendapat bahwa sesuatu itu ada yang baik dan ada pula yang buruk
menurut esensinya. Di samping itu, ada pula hal-hal yang tidak diketahui oleh akal baik dan
buruknya. Menurut pendapat ini, meskipun akal pikiran bisa mengetahui baik dan buruk suatu
perbuatan, namun umat manusia tidak wajib dalam arti tidak berpahala mengikuti kesimpulan
akal pikirannya itu. Jadi, menurut aliran ini, masalah dosa dan pahala, mutlak hanya dapat
diketahui dengan wahyu. Menurut aliran ini akal semata tidak dapat dijadikan landasan hukum.
Setiap ketetapan hukum haruslah bereferensi kepada wahyu.

c.

Kalangan Asyariyah berpendapat tidak ada yang bersifat baik dan buruk menurut esensinya.
Baik dan buruk bagi sesuatu adalah sifat yang datng kemudian, bukan bersifat esensial. Yang
membuat sesuatu baik atau buruk adalah perintah atau larangan Allah. Akal tidak punya
wewenang untuk menetapkan baik atau buruknya sesuatu. Sesuatu dikatakan baik karena wahyu
menilainya baik, sebaliknya sesuatu dikatakan buruk karena wahyu menilainnya buruk. Oleh
sesab itu, sebelum turun wahyu, tidak ada beban taklif bagi manusia dan oleh karena itu belum
ada pertimbangan dosa dan pahala bagi suatu tindakan.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa menurut kalangan Maturidiyah dan Asyariyah
bahwa yang menjadi sumber hukum hanyalah wahyu Allah semata, dan bahwa akal tidak punya
wewenang dalam hal tersebut.
Meskipun demikian, menurut dua aliran ini bukan berarti akal tidak berfungsi sama sekali
dalam hal ini. Dalam kedua aliran ini akal hanya berfungsi sebagai alat untuk memahami wahyu
Allah. Sedangkan menurut Mutazilah akal menjadi sumber hukum dalam hal-hal yang tidak
disebutkan dalam Al-Quran.

D. Al-Mahkum Fih
Mahkum fih berarti perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syara.
Misalnya dalam firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (QS. al-Maidah:1)
Kewajiban yang diambil dari khithab ini adalahberhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu
memenuhi janji yang kemudian dijadikan hukum wajib.
Syarat-syarat sah tuntutan dengan perbuatan adalah sebagai berikut:

1)

Tuntutan perbuatan itu harus diketahui mukallaf secara jelas sehingga ia mampu
melaksanakannya sebagaimana yang dituntutkan.
Misalnya firman Allah SWT.:
Dirikanlah shalat, (QS. al-Baqarah:43)
Oleh karena nash itu masih global, Rasulullah menjelaskannya dengan sabda beliau:
Shalatlah kalian, sebagaimana kalian melihatku melaksanakan shalat

2)

Hendaknya diketahui bahwa tuntutan itu keluar dari orang yang punya kekuasaan menuntut dan
dari orang yang hukumnya wajib diikuti mukallaf. Karena dengan pengetahuan ini keinginan
mukalla akan mengarah untuk mengikuti tuntutan itu.

3)

Perbuatan yang dibebankan kepada mukallaf harus berupa sesuatu yang mungkin, atau mampu
dilakukan atau dihindari oleh mukallaf. Dari sini ada duan cabang: pertama, tidak sah menurut
syara pembebanan yang mustahil, baik mustahil sebab perbuatan itu sendiri atau mustahil sebab
yang lain. Kedua, tidak sah menurut syara membebani seorang mukallaf agar orang lain berbuat
atau meninggalkan suatu perbuatan. Karena melakukan atau meninggalkan perbuatan orang lain
itu tidak mungkin bagi dirinya sendiri.

E.

Al-Mahkum Alaih (Mukallaf)


Al-mahkum alaih adalah mukallaf yang perbuatannya berhubunngan dengan hukum syari.
Seorang mukallaf dianggap sah menanggung beban menurut syara harus memenuhi dua
syarat:
Pertama: Mukallaf mampu memahami dalil taklif (pembebanan). Karena orang yang tidak
mampu memahami dalil taklif, tentu dia tidak dapat melaksanakan tuntutan itu dan tujuan
pembebanan tidak dapat tercapai.
Kedua: mukallaf adalah ahli dengan sesuatu yang dibebankan kepadanya. Ahli menurut bahasa
artinya layak dan pantas.
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.


. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
. 2002. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam. Jakarta: Pustaka
Amani.
Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syukur, Asywadie. 1990. Pengantar dan Ushul Fikih. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Umar, Mukhsin Nyak. 2008. Ushul Fiqh. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, Darussalam Banda Aceh
bekerja sama dengan AK Group Yogyakarta.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam. Bandung: PT
Almaarif.

Anda mungkin juga menyukai