PembagianHukum Islam
Ulama ushul al-Fiqh membagi hukum islam menjadi dua bagian besar, yaitu Hukum
1. HukumTaklifi
Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan
Adapun hukum syar’i dalam bentuk pilihan hanya satu, yaitu mubah.
a) Wajib
Tuntutan pasti untuk dikerjakan, bila tidak dikerjakan diancam dosa namun bila
b) Haram
Tuntutan pasti untuk ditinggalkan, bila dikerjakan diancam dosa, namun bila
c) Sunnah
Anjuran untuk dikerjakan, bila tidak dikerjakan tidak berdosa namun bila
d) Makruh
Anjuran untuk ditinggalkan. Bila dilakukan juga tidak berdosa, tetapi bila
e) Mubah
ditinggalkan. Hukum dalam bentuk yang terakhir ini pada prinsipnya tidak ada
ganjaran dosa atau pahala, kecuali bila ada hal-hal tertentu yang mengubahnya
2. HukumWadh’i
Hukum Wadh’i adalah bentuk kedua dari hukum syar’i, Bedanya dari hukum
taklifi adalah, hukum wadh’i tentang sanksi atau konsekuensi hukum, melainkan
implikasi atau akibat hukum. Pada bagian ini tidak ada dimensi pahala atau dosa,
melainkan hanya implikasi kepada sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum yang
dilakukan mukallaf.
Ada perbedaan pendapat antar para ahli ushul al-fiqh dan ahli fiqh dalam
a. Pihak pertama yang disebut (ushuliyun) mendefinisikan sebagai kitab (titah) Allah
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf berupa tuntutan atau kebolehan atau
wadha’(yang mengandung ketentuan atau pemberitahuan ada atau tidaknya suatu
hukum).
b. Pihak kedua disebut (fuqaha’) mendefinisikan hukum islam sebagai efek yang
Jadi defenisi dari yang disebut terakhir ini ada ulama yang mengatakan hukum islam
(syar’i) itu adalah koleksi daya upaya fuqaha untuk menerapkan syariat terhadap
kebutuhan masyarakat.
Dari defenisi para ahli diatas, dapat dikatakan bahwa hukum Islam :
1) Menurut ahli ushul al-fiqh (ushuliyyun) adalah nash (teks firman Allah atau
2) Menurut ahli fiqh (fuqaha), bukan nash (teks) itu secara langsung, melainkan
bahwa hukum syar’i ada lima macam, tetapi dengan sebutan yang berbeda yaitu :
No Ushulliyyun Fuqaha
1 Ijab Wajib
2 Nadb Mandub
3 Tahrim Haram
4 Karahah Makruh
5 Ibahah Mubah
Ijab adalah firman atau ketentuan yang menuntut untuk melakukan suatu perbuatan
dengan tuntutan pasti misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 43:
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang yang ruku’”
Ulama ushul mengatakan ayat tersebut mengandung perintah tentang
Nadb adalah firman Allah yang mengandung tuntutan untuk melakukan sesuatu
perbuatan dengan tingkat perintah yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran.
Hai orang-orang yang beriman, apabila bertransaksi tidak dengan secara tunai
Ulama ushul fiqh mengatakan ayat ini mengandung anjuran (nadb) untuk
Tahrim adalah firman Allah yang mengandung tuntutan untuk tidak melakukan
sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.Misalnya Firman Allah dalam surat Al-
Maidah ayat3 :
Karahah adalah Firman Allah yang mengandung tuntutan untuk tidak melakukan
sesuatu perbuatan dengan tingkat tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya merupakan
anjuran untuk tidak melakukan. Misalnya Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya akan menyusah kanmu.
Ulama ushul mengatakan bahwa ayat diatas mengandung anjuran tentang untuk
tidak menanyakan hal-hal sesuatu (karahah), sementara ulama fiqh mengatakan hukum
kurang baik (makruh)nya banyak bertanya tentang sesuatu justru akan memberatkan diri
mukallaf untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Misalnya Firman Allah
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.
Ulama ushul mengatakan ayat diatas mengandung pembolehan (ibahah) seorang laki-laki
meminang wanita dengan sindiran, sementara ulama fiqh membolehkan (mubah) seorang
a. Wajib
Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah perbuatan yang diberi pahala jika
1) Dilihat dari segi tertentu dan tidak tertunya perbuatan yang dituntut, dan wajib pada
b) Wajib mukhayyar yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam
memerdekakan budak.
2) Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikannya, adakalanya wajib itu
ditentukan waktunya, seperti shalat lima waktu dan puasa di bulan ramadhan, dan
adakalanya tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kifarat sumpah orang yang
melanggar sumpah.
sama banyaknya dengan waktu yang dibutuhkan untuk itu. Misalnya bulan
b) Wajib muwassa’, waktu yang tersedia lebih banyak dari waktu yang
Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat tersebut jauh lebih lapang
dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk menunaikan shalat itu. Hal
3) Dilihat dari segi siapa saja yang harus melaksanakannya, wajib terbagi kepada dua
bagian :
a) Wajib ‘aini’ yaitu wajib dibebankan atas pundak setiap mukalaf. Misalnya,
mengerjakan shalat lima waktu, puasa ramadhan, dan lain sebagainya. Wajib ini
telah ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang
lainnya. Namun, bila tidak seorang pun yang melakukannya, berdosalah semua
sebagainya.
Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaar shalat, dan lain-
lain.
b. Haram
melakukannya akan disiksa, berdosa (‘iqob), dan yang meninggalaknnya diberi pahala.
Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan, dan
1) Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karenazatnya. Haram seperti ini pada
datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi
haram ketika azdan Jum’at berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan
yang semulanya wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa itu akan
menimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan yang
lainnya.
c. Mandub
Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapat pahala, tetapi
bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa (iqob). Biasanya mandub ini
1) Sunnah ‘ain’yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepda setiap pribadi mukalaf
2) Sunnah kiyafah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh
salah seorang saja dari suatu kelompok, misalnya mengucapkan salam, mendoakan
Rasulullah, atau lebih banyak dikerjakan Rasulullah daripada yang tidak ia kerjakan.
d. Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang
dosa (iqob). Misalnya, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dan
lain sebagainya.
1) Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada
2) Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya
itu zhanny, bukan qath’i. Misalnya bermain catur, memakan kalajengking, dan
e. Mubah
Yang dimaksudkan dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi kebebasan
untuk memilihnya, melakukan atau tidak melakukan. Secara umum, mubah ini
1) Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’, dan manusia
2) Perbuatan yang tidak ada dalil syarak menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada
berdasarkan qarinah menunjukkan mubah atau kebolehan saja, bukan unutk wajib.
Misalnya, perintah berburu ketika telah selesai melaksanakan ibadah haji (QS Al-
Maidah [5]:2)
3) Perbuatang yang tidak ada keterangannya sama sekali daru syar’i tentang kebolehan
atau tidak kebolehannya. Hal ini dikembalikan kepada hukum baraat al-ashliyah
(bebas menurut asalnya). Oleh sebab itu, segala perbuatan dalam bidang muamalah
menurut asalnya adalah dibolehkan selama ada dalil yang melarangnya. Untuk itu,
ulama ushul fiqh membuat kaidah “menurut asalnya segala sesuatu itu adalah
mubah.”
Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain
atau juga sebagai penghalang (mani) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.1 Oleh
karenanya ulama membagi hukum wadh’i ini kepada :sebab, syarat dan mani”. Namun,
sebagian ulama memasukkan sah dan batal, azimah, dan rukhshah ke dalam kategori
hukum wadh’i.
a. Sebab
Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan syar’i
sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum.Adanya sesuatu menyebabkan
adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.
2) Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf. Sebab ini dibagi dua :
1
Baca dan bandingkan, ibid,.hlm. 32-35, dan Abdul Wahhab Kallaf, Op.Cit.,hlm 105-116. Lihat juga
Mukhtar Yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1986),
hlm.141-145.
a) Yang termasuk dalam hukum taklif, seperti menyaksikan bulan menjadikan
hak warisan antar suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini
b. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya
hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak
ada pula hukum.Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya
sudah berjalan satu tahun, bila syarat berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi,
zakat itu belum wajib. Namun dengan adanya syarat berjalan, satu tahun itu saja
belumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya
mengerjakan yang lainnya dan perkerjaan itu tidak diterima (sah) bila pekerjaan
yang pertama belum dilakukan. Seperti adanya saksi menjadi syarat sah akad
pernikahan.
Misalnya, adanya dua orang saksi yang adil adalah syarat penyempurna akad
qishas. Begitu juga genap satu tahun adalah syarat penyempurnaan untuk
2) Syarat Ja’li,yaitu segala syarat yang dibuat oleh orang-orang yang mengadakan
bahwa ia mau membeli sesuatu barang dai seseorang penjual dengan syarat
boleh dengan cara mencicil. Bila syarat itu diterima oleh si penjual, jual beli
Syarat yang dibuat oleh orang yang melakukan transaksi (ja’li) ini disebut
syarat kamal (syarat penyempurnaan), bila hal itu dimaksudkan untuk menambah
masyruth tersebut. Selain itu, syarat seperti ini disebut sah bila starat tersebut
dijadikan untuk megesahkan masyruthnya. Artinya, bila tidak ada syarat, tidak akan
terwujud masyruthnya.
Perlu ditambahkan bahwa ada pekerjaan yang tegantung adanya kepada sebab
dan syarat sekaligus.Telah adanya sebab tetapi syarat belum ada, maka sebab
tersebut tidak dapat bekerja atau tidak dapat memengaruhi kepada pekerjaan
itu.Wudhu adalah syarat sah shalat maghrib, misalnya, dan terbenamnya matahari
adalah sebab wajibnya shalat itu. Sebelum berwudhu, tidak sah mengerjakan shalat
c. Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat
meniadakan hukum atau dapat membatalkansebab hukum. Dari definisi diatas dapat
Misalnya, perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah
memusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat
didalam tubuh atau dipakaian orang yang sedang shalat.Yaitu suci dari
najis.Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya shalat dengan adanya najis pada
tubuh atau pakaian orang yang shalat. Hal ini disebut mani’ terhadap hukum.
tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi.
sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian, mani’ dalam contoh ini
hukum.
2
Lihat dan bandingkan, Muhammad Al-Kudhary, Op.Cit.,hlm. 54-64. Baca juga Abdul Wahhab Kallaf, Op.cit
hlm 102, 117 , 121.
Kemudian.Al-Amidi menambahkan pembicaraan mengenai shah dan bathl,
Secara harafiah, shah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban di
dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Shalat dikatakan sah karena
Setiap perbuatan yang dibebankan kepada mukalaf sudah ditetapkan rukun dan
syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan perintah Allah atau sekurang-
kurangnya tidak dilarang.Setiap perbuatan yang telah memenuhi rukun dan syarat
serta dilaksanakan menurut ketentuan yang ditetapkan syara’ dinamakan sah dan
sebaliknya perbuatan yang kurang rukun dan syarat serta bertentangan dengan
Kalau perbuatan yan dituntut syara’ dikatan sah, orang yang melaksanakannya
dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah ia dari tanggung jawab, tidak dituntut
kelak. Sebaliknya perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan dan rukun serta
Menurut para ulama, setiap apakah ibadah maupun muamalah bertujuan untuk
3
Lihat, Al-khudhary, hlm.54, 72, Mukhtar Yahya, hlm.152, sehingga pembagian itu menjadi 5. Lihat juga,
Chairul Umam dkk, Ushul figh I, (Bandung:Pustaka Setia, 1998), hlm. 216.
termasuk semua macam-macam perjanjian yang mengandung dua tujuan pokok
karena itu mereka membedakan antara ibadah dan muamalah.Dalam ibadah mereka
sepakat dengan para ulama di kalangan mazhab Syafi’iy, yaitu hanya berlaku dua
hal, yakni shah dan bathl.Ibadah yang batal tidak dapat menghapus kewajiban dan
perjanjian yang tidak sah dibagi menjadi dua macam yaitu batal (bathl) dan rusak
(fasid).perjanjian batal ialah perjanjian yang rukun dan syaratnya kurang. Sedangkan
perjanjian rusal (fasid) ialah perjanjian yang tidak sempurna syaratnya.perjanjian jual
beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak yang belum mencapai usiammayiz
(dewasa) atau memperjualbelikan sesuatu yang tidak ada dinamakan perjanjian yang
batal. Jual beli dengan harga yang tidak ditentukan jumlahnya maka perjanjian itu
dinamakan perjanjian fasid. Akad nihah dari orang yang belum mencapai
usiamamayiz (dewasa) atau menikah dengan wanita yang haram dinikahi padahal dia
Perjanjian yang batal sama sekali tidak punya pengaruh, sedangkan perjanjian fasid
masih mempunyai pengaruh. Karena itu dlam perjanjian pernikahan yang fasid,
suami wajib membayar mahar, istri tetap menjalankan masa iddahnya, dan keturunan
1) Pengertian ‘Azimah
Yang dimaksud dengan ‘azimahadalah peraturan-peraturan Allah yang asli
dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku
bagi setiap mukkalaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena
darurat atau pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut terlaksana belum
asalnya, adalah haram dimakan oleh semua orang. Ketentuan ini disebut juga
2) Pengertian Rukhshah
memakan bangkai itu haram hukumnya bagi orang tersebut. Namun, bila dalam
keadaan terpaksa orang itu diberi kebolehan memakan bangkai tersebut. Maka
membolehkan kita memakan apa yang diharamkan ketika terpaksa. Begitu juga
ayat 101 surat An-nisa’ yang membolehkan kita mengqashar shalat. Jadi,
4) Maksud Rukhshah
merupakan rukshah dalam keadaan sangat terpaksa dan itu satu-satunya jalan
untuk memelihara jiwa maka saat itu diwajibkan hukumnya. Dalam keadaan
diri dari kehancuran atau haram membiarkan diri jatuh pada kecelakaan.
5) Macam-macam Rukhshah
hatinya tetap beriman kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat
Al-Nahl 106:
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
berpuasa di bulan Ramadhan. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-
Baqarah: 184:
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
Misalnya transaksi jual beli yang belum ada ada saat perikatan diadakan, tapi
harganya sudah dibayar terlebih dahulu. Pada prinsipnya jual beli seperti itu
barang yang akan diperjualkan itu ada saat transaksi dilakukan, karena hal itu
namun beliau memberi dispensasi untuk jual beli dengan cara pesan “
kena najis, mengeluarkan zakat seperempat harta, tidak boleh shalat selain di
kalau ketentuan bagi umat terdahulu itu diberlakukan bagi umat islam. Hal ini
kami.
Dari uraian sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum taklifi dan hukun
wadh’i yaitu :
a) Hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat
atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat
menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah, dan batal. Dengan
kata lain, hukum taklifi adalah segala hukum Allah yang disertai sanksi hukum
(pahala atau dosa), sementara hukum wadh’i tidak mempunyai saknksi hukum,
melainkan konsekuensi atau implikasi hukum, seperti sah atau tidaknya suatu
DOSEN PEMBIMBING :
Prof, Dr. Alaidin Koto, M,A
DISUSUN OLEH :
ARMIN (181022151)
MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU –RIAU
2019
RESUME HUKUM FILSAFAT ISLAM