Anda di halaman 1dari 21

D.

PembagianHukum Islam

Ulama ushul al-Fiqh membagi hukum islam menjadi dua bagian besar, yaitu Hukum

Taklifi dan Hukum Wadh’i.

1. HukumTaklifi

Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan

atau ditinggalkan oleh mukallaf.

Hukum, yang mengandung tuntutan terbagi dua :

a. Tuntutan untuk di kerjakan

Tuntutan untuk dikerjakan terbagi pula menjadi dua, yaitu:

1) Pasti untuk dikerjakan, disebut wajib

2) Anjuran untuk dikerjakan, disebut sunnah.

b. Tuntutan untuk ditinggalkan

Tuntutan untuk ditinggalkan juga terbagi dua yaitu :

1) Pasti untuk ditinggalkan, disebut haram.

2) Anjuran untuk ditinggalkan, disebu tmakruh

Adapun hukum syar’i dalam bentuk pilihan hanya satu, yaitu mubah.

Hukum Taklifi ada lima macam, yaitu;

a) Wajib

Tuntutan pasti untuk dikerjakan, bila tidak dikerjakan diancam dosa namun bila

dikerjakan diberi ganjaran pahala.

b) Haram
Tuntutan pasti untuk ditinggalkan, bila dikerjakan diancam dosa, namun bila

ditinggalkan diberi ganjaran pahala.

c) Sunnah

Anjuran untuk dikerjakan, bila tidak dikerjakan tidak berdosa namun bila

dikerjakan diberi ganjaran pahala.

d) Makruh

Anjuran untuk ditinggalkan. Bila dilakukan juga tidak berdosa, tetapi bila

ditinggalkan mendapatkan pahala.

e) Mubah

Perbuatan yang diberi kebebasan kepada mukallaf untuk dikerjakan atau

ditinggalkan. Hukum dalam bentuk yang terakhir ini pada prinsipnya tidak ada

ganjaran dosa atau pahala, kecuali bila ada hal-hal tertentu yang mengubahnya

menjadi berpahala atau berdosa.

2. HukumWadh’i

Hukum Wadh’i adalah bentuk kedua dari hukum syar’i, Bedanya dari hukum

taklifi adalah, hukum wadh’i tentang sanksi atau konsekuensi hukum, melainkan

implikasi atau akibat hukum. Pada bagian ini tidak ada dimensi pahala atau dosa,

melainkan hanya implikasi kepada sah atau tidaknya suatu perbuatan hukum yang

dilakukan mukallaf.

Ada perbedaan pendapat antar para ahli ushul al-fiqh dan ahli fiqh dalam

mengartikan hukum syar’i (Islam).

a. Pihak pertama yang disebut (ushuliyun) mendefinisikan sebagai kitab (titah) Allah

yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf berupa tuntutan atau kebolehan atau
wadha’(yang mengandung ketentuan atau pemberitahuan ada atau tidaknya suatu

hukum).

b. Pihak kedua disebut (fuqaha’) mendefinisikan hukum islam sebagai efek yang

dikehendaki oleh titah Allah tentang perbuatan.

Jadi defenisi dari yang disebut terakhir ini ada ulama yang mengatakan hukum islam

(syar’i) itu adalah koleksi daya upaya fuqaha untuk menerapkan syariat terhadap

kebutuhan masyarakat.

Dari defenisi para ahli diatas, dapat dikatakan bahwa hukum Islam :

1) Menurut ahli ushul al-fiqh (ushuliyyun) adalah nash (teks firman Allah atau

hadis Rasulullah) itulah yang dikatakan hukum Islam (syar’i).

2) Menurut ahli fiqh (fuqaha), bukan nash (teks) itu secara langsung, melainkan

efek yang dikehendaki dari kandungan nash tersebut.

Namun walau terdapat perbedaan, kedua belah pihak sama-sama berkesimpulan

bahwa hukum syar’i ada lima macam, tetapi dengan sebutan yang berbeda yaitu :

No Ushulliyyun Fuqaha
1 Ijab Wajib
2 Nadb Mandub
3 Tahrim Haram
4 Karahah Makruh
5 Ibahah Mubah

Ijab adalah firman atau ketentuan yang menuntut untuk melakukan suatu perbuatan

dengan tuntutan pasti misalnya firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 43:

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang yang ruku’”
Ulama ushul mengatakan ayat tersebut mengandung perintah tentang

pengwajiban (ijab) mendirikan shalat dan menunaikan zakat bagi mukallaf.

Nadb adalah firman Allah yang mengandung tuntutan untuk melakukan sesuatu

perbuatan dengan tingkat perintah yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran.

Misalnya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 282:

Hai orang-orang yang beriman, apabila bertransaksi tidak dengan secara tunai

(utang) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.

Ulama ushul fiqh mengatakan ayat ini mengandung anjuran (nadb) untuk

menuliskan hutang, sementara ulama fiqh mengatakan dianjurkannya (mandub) menulis

hutang piutang bagi mukallaf.

Tahrim adalah firman Allah yang mengandung tuntutan untuk tidak melakukan

sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.Misalnya Firman Allah dalam surat Al-

Maidah ayat3 :

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.

Ulama ushul fiqh mengatakan ayat ini mengandung pengharaman (tahrim)

bangkai, darah, dan daging babi bagi mukallaf

Karahah adalah Firman Allah yang mengandung tuntutan untuk tidak melakukan

sesuatu perbuatan dengan tingkat tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya merupakan

anjuran untuk tidak melakukan. Misalnya Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:

Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menanyakan (kepada

Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya akan menyusah kanmu.
Ulama ushul mengatakan bahwa ayat diatas mengandung anjuran tentang untuk

tidak menanyakan hal-hal sesuatu (karahah), sementara ulama fiqh mengatakan hukum

kurang baik (makruh)nya banyak bertanya tentang sesuatu justru akan memberatkan diri

sendiri oleh mukallaf.

Ibahah adalah Firman Allah yang mengandung pemberian kebebasan kepada

mukallaf untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan. Misalnya Firman Allah

dalam surat Al-Baqarah ayat 235:

Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.

Ulama ushul mengatakan ayat diatas mengandung pembolehan (ibahah) seorang laki-laki

meminang wanita dengan sindiran, sementara ulama fiqh membolehkan (mubah) seorang

laki-laki (mukallaf) meminang wanita dengan cara sendiran.

a. Wajib

Pada pokoknya yang disebut dengan wajib adalah perbuatan yang diberi pahala jika

mengerjakannya dan di beri siksa (‘iqab) apa bila meninggalkannya. Misalnya

mengerjakan Rukun Islam yang lima.

Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat :

1) Dilihat dari segi tertentu dan tidak tertunya perbuatan yang dituntut, dan wajib pada

bagian ini dibagi kepada dua, yaitu:

a) Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya

membaca Al- Fatihah dalam shalat.

b) Wajib mukhayyar yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam

perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya kifarat sumpah yang memberikan


pilihan tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau

memerdekakan budak.

2) Dilihat dari segi waktu yang tersedia untuk menunaikannya, adakalanya wajib itu

ditentukan waktunya, seperti shalat lima waktu dan puasa di bulan ramadhan, dan

adakalanya tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kifarat sumpah orang yang

melanggar sumpah.

Wajib yang ditentukan waktunya terbagi dua :

a) Wajib mudhayyaq, waktu yang ditentukan untuk melaksakan kewajiban itu

sama banyaknya dengan waktu yang dibutuhkan untuk itu. Misalnya bulan

Ramadhan untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Puasa itu sendiri

menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan.

b) Wajib muwassa’, waktu yang tersedia lebih banyak dari waktu yang

dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban tersebut. Misalnya, shalat Zuhur.

Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat tersebut jauh lebih lapang

dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk menunaikan shalat itu. Hal

ini memberikan kemungkinan kepada mukalafuntuk leluasa menunaikan

shalatnya di sembarang waktu dalam batas waktu yang ditentukan, di awal

waktu dan pertengahan atau juga penghujungnya.

3) Dilihat dari segi siapa saja yang harus melaksanakannya, wajib terbagi kepada dua

bagian :

a) Wajib ‘aini’ yaitu wajib dibebankan atas pundak setiap mukalaf. Misalnya,

mengerjakan shalat lima waktu, puasa ramadhan, dan lain sebagainya. Wajib ini

disebut juga fardhu ‘ain.


b) Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seorang anggota

masyarakat tanpa melihat siapa yang mengerjakannya. Apabila kewajiban itu

telah ditunaikan salah seorang diantara mereka, hilanglah tuntutan terhadap yang

lainnya. Namun, bila tidak seorang pun yang melakukannya, berdosalah semua

anggota masyarakat tersebut. Misalnya mendirikan tempat peribadatan,

mendirikan rumah sakit, sekolah, menyelenggarakan shalat jenazah, dan lain

sebagainya.

4) Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya, wajib terbagi kepada dua :

a) Wajib muhaddad,yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya.

Misalnya, jumlah zakat yang mesti dikeluarkan, jumlah rakaar shalat, dan lain-

lain.

b) Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas

bilangannya. Misalnya, membelanjakan harta dijalan Allah, berjihad, tolong

menolong. Dan laom sebagainya.

b. Haram

Haram adalah segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang

melakukannya akan disiksa, berdosa (‘iqob), dan yang meninggalaknnya diberi pahala.

Misalnya, mencuri, membunuh, tidak menafkahi orang yang menjadi tanggungan, dan

lain sebagainya. Perbuatan ini disebut juga maksiat, qabih.

Secara garis besar, haram dibagi kepada dua :

1) Haram karena perbuatan itu sendiri, atau haram karenazatnya. Haram seperti ini pada

pokoknya adalah haram yang memang diharamkan sejak semula. Misalnya,

membunuh, berzina, mencuri, dan lain-lain.


2) Haram karena berkaitan dengan perbuatan lain, atau haram karena faktor lain yang

datang kemudian. Misalnya, jual beli yang hukum asalnya mubah, berubah menjadi

haram ketika azdan Jum’at berkumandang. Begitu juga dengan puasa Ramadhan

yang semulanya wajib berubah menjadi haram karena dengan berpuasa itu akan

menimbulkan sakit yang mengancam keselamatan jiwa. Begitu juga dengan yang

lainnya.

c. Mandub

Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapat pahala, tetapi

bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa (iqob). Biasanya mandub ini

disebut juga sunat atau mustahab, dan terbagi kepada :

1) Sunnah ‘ain’yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepda setiap pribadi mukalaf

untuk dikerjakan, misalnya shalat sunnah rawatib.

2) Sunnah kiyafah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh

salah seorang saja dari suatu kelompok, misalnya mengucapkan salam, mendoakan

orang bersin, dan lain-lain.

Selain itu, sunnah juga dibagi kepada :

1) Sunnah muakkadah, yaitu perbuatan sunnah yang senantiasa dikerjakan oleh

Rasulullah, atau lebih banyak dikerjakan Rasulullah daripada yang tidak ia kerjakan.

Misalnya, shalat sunnah hari raya.

2) Sunnah ghairu muakkadah, yaitu segala macam perbuatannyasunnah yang tidak

selalu dikerjakan Rasulullah, misalnya bersedekah pada kafir miskin.

d. Makruh
Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang

meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat

dosa (iqob). Misalnya, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dan

lain sebagainya.

Pada umumnya ulama membagi makruh kepada dua bagian

1) Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada

mengerjakan, seperti contoh-contoh tersebut diatas.

2) Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya

itu zhanny, bukan qath’i. Misalnya bermain catur, memakan kalajengking, dan

memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiy dan Malikiy)

e. Mubah

Yang dimaksudkan dengan mubah adalah segala perbuatan yang diberi kebebasan

untuk memilihnya, melakukan atau tidak melakukan. Secara umum, mubah ini

dinamakan juga halal atau jaiz.

Mubah dibagi kepada tiga bagian :

1) Perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’, dan manusia

diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Misalnya, meminang

wanita dengan sindiran-sindiran yang baik (QS Al-Baqarah [2]:225)

2) Perbuatan yang tidak ada dalil syarak menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada

perintah untuk melakukannya. Hanya saja, perintah itu hanya dimasudkan

berdasarkan qarinah menunjukkan mubah atau kebolehan saja, bukan unutk wajib.

Misalnya, perintah berburu ketika telah selesai melaksanakan ibadah haji (QS Al-

Maidah [5]:2)
3) Perbuatang yang tidak ada keterangannya sama sekali daru syar’i tentang kebolehan

atau tidak kebolehannya. Hal ini dikembalikan kepada hukum baraat al-ashliyah

(bebas menurut asalnya). Oleh sebab itu, segala perbuatan dalam bidang muamalah

menurut asalnya adalah dibolehkan selama ada dalil yang melarangnya. Untuk itu,

ulama ushul fiqh membuat kaidah “menurut asalnya segala sesuatu itu adalah

mubah.”

3. Pengertian Hukum Wadh’i

Yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu

sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain

atau juga sebagai penghalang (mani) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut.1 Oleh

karenanya ulama membagi hukum wadh’i ini kepada :sebab, syarat dan mani”. Namun,

sebagian ulama memasukkan sah dan batal, azimah, dan rukhshah ke dalam kategori

hukum wadh’i.

a. Sebab

Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan syar’i

sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum.Adanya sesuatu menyebabkan

adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum.

Ulama membagi sebab ini kepada dua bagian :

1) Sebab yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya, keadaan terpaksa menjadi

sebab bolehnya memakan bangkai dalam keadaan terpaksa (dharurah) dan

tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya shalat.

2) Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf. Sebab ini dibagi dua :

1
Baca dan bandingkan, ibid,.hlm. 32-35, dan Abdul Wahhab Kallaf, Op.Cit.,hlm 105-116. Lihat juga
Mukhtar Yahya dan Faturrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1986),
hlm.141-145.
a) Yang termasuk dalam hukum taklif, seperti menyaksikan bulan menjadikan

sebab wajib menjalankan puasa (QS Al-Baqarah [2]:185).

b) Yang termasuk dalam hukum wadh’i seperti perkawinan menjadi sebabnya

hak warisan antar suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini

mertua, dan lain sebagainya.

b. Syarat

Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang tergantung adanya

hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak

ada pula hukum.Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya

hukum.Misalnya, wajib zakat barang perdagangan apabila usaha perdagangan itu

sudah berjalan satu tahun, bila syarat berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi,

zakat itu belum wajib. Namun dengan adanya syarat berjalan, satu tahun itu saja

belumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung kepada sampai atau tidaknya

dagangan tersebut senisab (jumlah atau kadar tertentu secara syar’i)

Ulama ushuliyyin membagi syarat kepada beberapa bagian :

1) Syarat Hakiki (syar’i), yaitu segala perkerjaan yang diperintahkan sebelum

mengerjakan yang lainnya dan perkerjaan itu tidak diterima (sah) bila pekerjaan

yang pertama belum dilakukan. Seperti adanya saksi menjadi syarat sah akad

pernikahan.

Syarat hakiki ini dibagi kedalam dua bagian :

a) Syarat untuk menyempurnakan sebab.

Misalnya, adanya dua orang saksi yang adil adalah syarat penyempurna akad

perkawinan yang menjadi sebab halalnya “berkumpul” antara seorang laki-


laki dan perempuan, adanya unsure kesengajaan dan permusuhan adalah dua

buah syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya hukumam

qishas. Begitu juga genap satu tahun adalah syarat penyempurnaan untuk

memenuhi nisab yang menjadi sebab wajib zakat.

b) Syarat untuk menyempurnakan musabbab. Misalnya

Misalnya, bersuci adalah syarat penyempurnaan shalat yang wajib

disebabkan telah masuknya waktu shalat.

2) Syarat Ja’li,yaitu segala syarat yang dibuat oleh orang-orang yang mengadakan

transaksi dan dijadikan tempat bergantung tempat bergantungnya serta

terwujudnya transaksi tersebut. Misalnya, seorang pembeli membuat syarat

bahwa ia mau membeli sesuatu barang dai seseorang penjual dengan syarat

boleh dengan cara mencicil. Bila syarat itu diterima oleh si penjual, jual beli

tersebut dapat dilakukan.

Syarat yang dibuat oleh orang yang melakukan transaksi (ja’li) ini disebut

syarat kamal (syarat penyempurnaan), bila hal itu dimaksudkan untuk menambah

kesempurnaan masyruth (yang disyaratkan)nya, yakni ketiadaannya tidak akan

menyebabkan gagalnya masyruth, tetapi hanya menjadikan kurang sempurnanya

masyruth tersebut. Selain itu, syarat seperti ini disebut sah bila starat tersebut

dijadikan untuk megesahkan masyruthnya. Artinya, bila tidak ada syarat, tidak akan

terwujud masyruthnya.

Perlu ditambahkan bahwa ada pekerjaan yang tegantung adanya kepada sebab

dan syarat sekaligus.Telah adanya sebab tetapi syarat belum ada, maka sebab

tersebut tidak dapat bekerja atau tidak dapat memengaruhi kepada pekerjaan
itu.Wudhu adalah syarat sah shalat maghrib, misalnya, dan terbenamnya matahari

adalah sebab wajibnya shalat itu. Sebelum berwudhu, tidak sah mengerjakan shalat

magrib meskipun matahari telah tebenam di ufuk barat.

c. Mani’

Yang dimaksud dengan mani’ adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat

meniadakan hukum atau dapat membatalkansebab hukum. Dari definisi diatas dapat

diketahui bahwa mani’itu dibagi kepada dua macam :

1) mani’ terhadap hukum.

Misalnya, perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah

mani’(pebghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun sebab untuk saling

memusakai sudah ada, yaitu perkawinan. Begitu juga najis yang terdapat

didalam tubuh atau dipakaian orang yang sedang shalat.Yaitu suci dari

najis.Oleh sebab itu, tidak ada hukum sahnya shalat dengan adanya najis pada

tubuh atau pakaian orang yang shalat. Hal ini disebut mani’ terhadap hukum.

2) Mani’ terhadap sebab hukum.

Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya.

Namun karena ia mempunyai hutang yang jumlahnya mengurangi nisab zakat, ia

tidak wajib membayar zakat, karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi.

Namun, keadaanya mempunyai banyak hutang tersebut menjadikan penghalang

sebab adanya hukum wajib zakat. Dengan demikian, mani’ dalam contoh ini

adalah menghalangi sebab hukum zakat.2Hal ini disebut mani’terhadap sebab

hukum.

2
Lihat dan bandingkan, Muhammad Al-Kudhary, Op.Cit.,hlm. 54-64. Baca juga Abdul Wahhab Kallaf, Op.cit
hlm 102, 117 , 121.
Kemudian.Al-Amidi menambahkan pembicaraan mengenai shah dan bathl,

serta azimah, dan rukhshah kedalam pembagian hukum wadh’i ini.3

d. Sah (shah) dan batal (Bathl)

Secara harafiah, shah berarti “lepas tanggung jawab” atau “gugur kewajiban di

dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat”. Shalat dikatakan sah karena

telah dilaksanankan sesuai dengan yang diperintahkan syara’.Sebaliknya bathl dapat

diartikan tidak dapat melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di

dunia, dan di akhirat tidak mendapat pahala.

Setiap perbuatan yang dibebankan kepada mukalaf sudah ditetapkan rukun dan

syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan perintah Allah atau sekurang-

kurangnya tidak dilarang.Setiap perbuatan yang telah memenuhi rukun dan syarat

serta dilaksanakan menurut ketentuan yang ditetapkan syara’ dinamakan sah dan

sebaliknya perbuatan yang kurang rukun dan syarat serta bertentangan dengan

ketentuan syara’ dinamakan bathl.

Kalau perbuatan yan dituntut syara’ dikatan sah, orang yang melaksanakannya

dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah ia dari tanggung jawab, tidak dituntut

hukuman, baik di dunia maupun di akhirat, bahkan ia mendapat pahal di akhirat

kelak. Sebaliknya perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan dan rukun serta

bertentangan dengan ketentuan syara’ tidak dapat menghapus kewajiban, pelakunya

pun dituntut, baik di dunia maupun di akhirat.

Menurut para ulama, setiap apakah ibadah maupun muamalah bertujuan untuk

mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.Dalam hal ini

3
Lihat, Al-khudhary, hlm.54, 72, Mukhtar Yahya, hlm.152, sehingga pembagian itu menjadi 5. Lihat juga,
Chairul Umam dkk, Ushul figh I, (Bandung:Pustaka Setia, 1998), hlm. 216.
termasuk semua macam-macam perjanjian yang mengandung dua tujuan pokok

yaitu, memenuhi tuntutan syara’ dan mewujudkan kemaslahatan hidup.

Namun, sebagian ulama di kalangan mazhab Hanafiy mengatakan bahwa dalam

tujuan perjanjian, tujuan kedua (mewujudkan kemaslahatan hidup) lebih menonjol,

karena itu mereka membedakan antara ibadah dan muamalah.Dalam ibadah mereka

sepakat dengan para ulama di kalangan mazhab Syafi’iy, yaitu hanya berlaku dua

hal, yakni shah dan bathl.Ibadah yang batal tidak dapat menghapus kewajiban dan

yang bersangkutan wajib mengqadha.Namun dalam perjanjian terdapat tiga macam;

perjanjian yang tidak sah dibagi menjadi dua macam yaitu batal (bathl) dan rusak

(fasid).perjanjian batal ialah perjanjian yang rukun dan syaratnya kurang. Sedangkan

perjanjian rusal (fasid) ialah perjanjian yang tidak sempurna syaratnya.perjanjian jual

beli yang dilakukan oleh orang gila atau anak yang belum mencapai usiammayiz

(dewasa) atau memperjualbelikan sesuatu yang tidak ada dinamakan perjanjian yang

batal. Jual beli dengan harga yang tidak ditentukan jumlahnya maka perjanjian itu

dinamakan perjanjian fasid. Akad nihah dari orang yang belum mencapai

usiamamayiz (dewasa) atau menikah dengan wanita yang haram dinikahi padahal dia

telah mengetahuinya, maka perjanjian itu dinamakan perjanjian yang fasid.

Perjanjian yang batal sama sekali tidak punya pengaruh, sedangkan perjanjian fasid

masih mempunyai pengaruh. Karena itu dlam perjanjian pernikahan yang fasid,

suami wajib membayar mahar, istri tetap menjalankan masa iddahnya, dan keturunan

anak masih dapat dihubungkan dengan suaminya.

e. ‘Azimah dan Rukhshah

1) Pengertian ‘Azimah
Yang dimaksud dengan ‘azimahadalah peraturan-peraturan Allah yang asli

dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Artinya, hukum itu berlaku

bagi setiap mukkalaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena

darurat atau pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut terlaksana belum

ada peraturan lain yang mendahuluinya.misalnya, bangkai, menurut hukum

asalnya, adalah haram dimakan oleh semua orang. Ketentuan ini disebut juga

dengan hukum pokok (‘azimah).

2) Pengertian Rukhshah

Yang dimaksud dengan Rukhshah adalah peraturan-peratuan yang tidak

dilaksanakan karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan

‘azimah.Dengan kata lain, rukshah adalah pengecualian hukum-hukum pokok

(‘azimah) sebagaimana disebut sebelumnya.

3) Hukum ‘Azimah dan Rukhshah

Selama tidak ada hal-hal yang menyebabkan adanya rukshah, seorang

mukallaf diharuskan mengambil ‘azimah, karena memang begitulah ketentuan-

ketentuan pokok dari Allah dalam mensyariatkan peraturan-Nya. Namun, bila

ada hal yang memberatkan sehingga menimbulkan kefatalan, dibolehkan

mengambil rukhshah. Misalnya, seseorang yang dlam keadaan terpaksa

dibolehkan memakan bangkai, yang hukum asalnya haram. Artinya, dalam

keadaan normal seseorang diwajibkan untuk tidak memakan bangkai sehingga

memakan bangkai itu haram hukumnya bagi orang tersebut. Namun, bila dalam

keadaan terpaksa orang itu diberi kebolehan memakan bangkai tersebut. Maka

dengan sendirinya hukum rukhshah tersebut adalah mubah. Ketentuan semacam


ini dapat dilihat dalam firman Allah surat Al-Baqarah ayat 173 yang

membolehkan kita memakan apa yang diharamkan ketika terpaksa. Begitu juga

ayat 101 surat An-nisa’ yang membolehkan kita mengqashar shalat. Jadi,

rukhshah ini hukumnya boleh, bukan wajib.

4) Maksud Rukhshah

Rukhshah diberikan oleh syari’ sebagai keringanan bagi mukallaf

sehingga mereka bebas memilih antara ‘azimah dan rukhshah. Namun,

adakalanya pularukhshah itu diwajibkan melaksanakannya bila hal itu berkaitan

dengan pertimbangan-pertimbangan lain. Misalnya, memakan daging babi

merupakan rukshah dalam keadaan sangat terpaksa dan itu satu-satunya jalan

untuk memelihara jiwa maka saat itu diwajibkan hukumnya. Dalam keadaan

demikian, rukhshah sudah berubah menjadi ‘azimah, yaitu wajib menyelamatkan

diri dari kehancuran atau haram membiarkan diri jatuh pada kecelakaan.

5) Macam-macam Rukhshah

Ulama ushul fiqh mengelompokkan rukhshah kepada empat bagian :

a) Pembolehan sesuatu yang dilarang (diharamkan) dalam keadaan darurat atau

karena hajat yang sangat mendesak sebagai keringanan bagi mukalaf.

Misalnya, barang siapa yang dipaksa mengucapkan kata-kata tersebutselama

hatinya tetap beriman kepada Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah surat

Al-Nahl 106:

Barangsiapa yang kafir kepada Allahsesudah dai beriman (dia mendapatkan

kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap

tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)


b) Pembolehan meninggalkan yang wajib karena uzur, dimana jika

melaksanakan kewajiban itu akan menimbulkan kesulitan bagi si mukallaf.

Misalnya, orang sakit atau sedang dalam bepergian di bolehkan tidak

berpuasa di bulan Ramadhan. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-

Baqarah: 184:

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan

(lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa) sebanya hari yang

ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.

c) Pemberian pengecualian sebagian berkaitan karena menyangkut kebutuhan

masyarakat dalam perkara kehidupan bidang muamalat (sehari-hari).

Misalnya transaksi jual beli yang belum ada ada saat perikatan diadakan, tapi

harganya sudah dibayar terlebih dahulu. Pada prinsipnya jual beli seperti itu

barang yang akan diperjualkan itu ada saat transaksi dilakukan, karena hal itu

perlu dan sangat dibutuhkan masyarakat maka perikatan seperti si sahkan

secara rukhshah. Ini sesuai dengan hadis Nabi:

“ Rasul melarang manusia bertransaksi sesuatu yang tidak ada padanya,

namun beliau memberi dispensasi untuk jual beli dengan cara pesan “

d) Pembatalan-pembatalan hukum-hukum yang merupakan beban yang

memberatkan bagi umat terdahulu. Misalnya memotong bagian kain yang

kena najis, mengeluarkan zakat seperempat harta, tidak boleh shalat selain di

masjid dll.sebagai keringanan rukshah bagi mereka (mukallaf). Karena itu ,

kalau ketentuan bagi umat terdahulu itu diberlakukan bagi umat islam. Hal ini

di isyaratkan Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 286,


Ya Tuhan kami jangan kau bebankan kepada kami beban yang berat

kepada sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum

kami.

3. Perbedaan antara Hukum Taklifi dengan Hukum Wadh’i

Dari uraian sebelumnya dapat dilihat perbedaan antara hukum taklifi dan hukun

wadh’i yaitu :

a) Hukum taklifi adalah hukum Allah yang berisi tuntutan-tuntutan untuk berbuat

atau tidak berbuat suatu perbuatan, atau membolehkan memilih antara berbuat

dan tidak berbuat

b) Hukum wadh’i adalah tidak mengandung tuntutan memberi pilihan, Hanya

menerangkan sebab atau halangan (mani’) suatu hukum, sah, dan batal. Dengan

kata lain, hukum taklifi adalah segala hukum Allah yang disertai sanksi hukum

(pahala atau dosa), sementara hukum wadh’i tidak mempunyai saknksi hukum,

melainkan konsekuensi atau implikasi hukum, seperti sah atau tidaknya suatu

perbuatan. Dilihat dari sudut kemapuan mukallaf untuk memikulnya hukum

taklifiselalu dalam kesanggupan mukallaf, baik dalam mengerjakan atau

meninggalkannya, sedangkan hukum wadh’i kadang-kadang dapat di kerjakan

(disanggupi) oleh mukallaf dan kada-kadang tidak.


FILSAFAT HUKUM ISLAM

DOSEN PEMBIMBING :
Prof, Dr. Alaidin Koto, M,A

DISUSUN OLEH :
ARMIN (181022151)

MAGISTER HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU –RIAU
2019
RESUME HUKUM FILSAFAT ISLAM

Anda mungkin juga menyukai