Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Atas dasar bahwa hukum syara’ itu ialah kehendak Allah tentang
tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat
hukum (lawgiver) ialah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam
kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian
ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus
juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan memberikan
petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam
sebagian ayat-ayatnya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai
muslim selalu berhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i.
Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi hukum
syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu,
muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah tentang
hukum syar’i.
B. Rumusan Masalah
1. Apa makna dari al-Ahkam dan bagaimana pembagiannya?
2. Apa makna dan contoh dari hukum taklify?
3. Apa makna dan contoh dari hukum wadh’i?
4. Apa perbedaan antara hukum taklifiy dengan wadh’i?
C. Tujuan penulisan
1. Merumuskan makna dari al-ahkam dan pembagiannya
2. Membedakan antara hukum taklify dengan hukum wadh’i
3. Menjabarkan hukum taklify dan hukum wadh’I dengan cara
membaginya satu persatu beserta contohnya
2

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian al-Ahkam(Hukum)

Al-ahkam (‫ )األحكم‬maknanya dilihat dari segi bahasa merupakan


bentuk jamak dari kata hukmun ( ‫ )حكٌم‬yang artinya keputusan / ketetapan.
Sedangkan menurut istilah dalam ushul fiqih yaitu

‫ير‬::‫ال الُم َك َّلِفين من طلٍب أوتخي‬::‫رع الُم تعِّل ق ِبَأْفع‬::‫اُب االش‬::‫ما ْاقتضاُه ِخ ط‬
‫ع‬:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::‫أووض‬
"Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau
pilihan atau peletakan" Dalam hal ini yang dimaksud dengan ‫ِخ طاب‬

‫( االشرع‬seruan syariat) adalah Al Quran dan As Sunnah. Dari pengertian


diatas terdapat tiga poin yang menjadi bentuk dari Al-Ahkam

1. Tuntunan ( ‫َطَلٍب‬.)

Tuntunan dalam hal ini dapat berupa tuntunan melakukan


sesuatu (perintah) atau pun tuntunan untuk meninggalkan sesuatu
(larangan) baik itu berupa keharusan (wajib) ataupun hanya keutamaan
Adapun Tiga tuntutan bagi mukallaf adalah:

a. Tuntutan berbuat. Contoh: Dirikanlah sholat dan tunaikan


zakat(Q.S. Al-Baqarah, 110)

Yang artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan


kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan
mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha
melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
3

b. Tuntutan membolehkan Contoh: Adakalanya kamu lepaskan


tawanan itu dan kemudian sebagai pemberian kepadanya atau
kamu terima tebusan darinya sampai berhenti peperangan.
c. Tuntutan menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang
lain. Contoh: Mendirikan sholat dari sesudah tergelincirnya
matahari, sampai gelap malam dan dirikanlah pula sholat subuh.
2. Pilihan(‫تخِيير‬.)

Sesuatu hal yang dalam melakukan ataupun meninggalkannya


tidak ada suatu ketentuan syara’ yang mengatur maka akan menjadi
suatu kebebasan untuk memilih melakukan ataupun tidak atau sering
disebut mubah

3. Peletakan(‫) وضع‬

Wadh’i adalah suatu hal yang diletakkan oleh pembuat syari'at


dari tanda-tanda, atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan.
Seperti suatu ibadah dapat dikatakan “sah” atau “batal”

Menambahkan sedikit dari pemaparan di atas, al-ahkam dalam


bahasan ilmu ushul fiqih adalah hukum-hukum yang hanya terkait
dengan amalan manusia yang bersifat dhohir. Menurut istilah ahli fiqh,
yang disebut hukum adalah bekasan dari titah Allah atau sabda
Rasulullah SAW. Apabila disebut syara’ maka yang dikehendaki
adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia, yaitu yang
dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berkaitan dengan
akidah dan akhlak.2 Jadi, tidak termasuk bahasan al-hakam dalam
ushul fiqih hukum-hukum yang bersifat bathiniyah seperti hukum
aqidah dan akhlaq.
4

2. Makna dan Contoh Hukum Taklifiy


a. Pengertian Hukum Taklify

Menurut bahasa adalah firman(titah) Allah yang berbentuk


yang berbentuk Thalab(tuntutan) dan Takhyir (pilihan) atas
perbuatan.Sedangkan menurut istilah:“Sesuatu yang mengandung
perintah untuk berbuat atau tidak berbuat ataupun memilih antara
berbuat atau tidak berbuat sesuatu perbuatan”.Dinamai demikian
karena hukum hukumnya(baik berbentuk perintah,larangan,maupun
pilihan perbuatan)berkaitan secara langsung dengan perbuatan
mukalllaf(orang yang dibebani pertanggungjawaban untuk
melaksanakan hukum tersebut).Pelaksanaaan hukum taklifiy
senantiasa dalam batas batas kemampuan seorang mukallaf untuk
melaksanakannya.Dengan kata lain,tidak seorang mukallaf pun yang
tidak dapat melakasanakan hukum taklifi yang dibebankan
kepadanya.Misalnya,hukum taklifi menetapkan,mukallaf yang sehat
(tidak sakit) dan mukim (tidak sedang bepergian {safar} wajib
melaksanakan puasa Ramadhan).

b. Pembagian Hukum Taklifiy dan Contohnya


a. Ijab(wajib)
Sebagaimana yang telah kami singgung di muka, bahwa
masing-masing pembagian hukum Taklifi memiliki pembagian lagi.
Termasuk juga Ijab. Para ulama’ Ushul Fiqh mengemukakan bahwa
hokum wajib itu bias dibagi dari berbagai segi, yaitu dilihat dari segi
waktunya, wajib dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Wajib Muthlaq, yaitu sesuatu yang dituntut syar’i untuk
dilaksanakan oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Mislanya,
kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang
melanggar sumpahnya.
2) Wajib Muwaqqat, yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan orang
mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa
5

Ramadhan. Shalat wajib dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu.


Demikian halnya puasa Ramadhan, sehingga apabila belum masuk
waktunya, kewajiban itu belum ada.
Kemudian wajib Muwaqqat dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :
a) Wajib Muwassa’ (kewajiban yang mempunyai batas waktu
lapang), yaitu waktu yang tersedia untuk melaksanakan
perbuatan yang diwajibkan itu lebih luas dari pada waktu
mengerjakan kewajiban itu. Umpamanya, waktu shalat Dzuhur
lebih luas dari pada waktu mengerjakan shalat Dzuhur.
b) Wajib Mudhayyaq (kewajiban yang memunyai batas waktu
sempit), yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus
diperuntukkan bagi suatu amalan, dan waktunya itu tidak bisa
digunakan untuk kewajiban lain yang sejenis. Maksudnya,
waktu yang tersedia persis sama dengan waktu mengerjakan
kewajiban itu, seperti puasa bulan Ramadhan.
c) Wajib Dzu Asy-Syibhaini, yaitu kewajiban yang mempunyai
waktu yang lapang, tetapi tidak bisa digunakan untuk
melakukan amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya,
waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa melaksankan
beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali, tetapi yang
diperhitungkan syara’ hanya satu saja. Akan tetapi ulama’
syafi’iyyah berpendapat bahwa untuk ibadah haji, termasuk
dalam wajib muthlaq, karena seseorang boleh
melaksanakannya kapanpun ia mau selama hidupnya. Juga
dalam pembahasan wajib Muwaqqat, ulama’ syafi’iyyah
mengemukakan tentang persoalan ‘Ada’, I’adah dan Qadha .
3) Wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum,
dibagi menjadi dua, yaitu :
a) Wajib Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap
orang yang sudah baligh berakal (mukallaf), tanpa kecuali.
Misalnya, shalat fardhu lima waktu. Kaitannya dengan wajib
6

‘Ain, muncul suatu pertanyaan di waktu tidak mampu


melaksanakan sendiri atau telah meninggal dunia, apakah bisa
gugur kewajiban itu dengan dilaksanakan orang lain?. Ulama’
ushul fiqh membagi hal itu menjadi tiga kategori.
1) Pertama, yang berhubungan dengan harta, seperti
kewajiban membayar zakat atau kewajiban mengembalikan
titipan orang lain kepada pemiliknya. Kewajiban seperti ini
disepakati pelaksanaanya bisa digantikan orang lain;
2) Kedua, kewajiban dalam bentuk ibadah Mahdhah, seperti
Shalat dan Puasa. Kewajiban seperti ini, disepakati tidak
bisa digantikan oleh orang lain.;
3) dan Ketiga, kewajiban yang mempnyai dua dimensi, yaitu
dimensi ibadah fisik dan dimensi harta. Dalam hal ini
ulama’ berbeda pendapat. Ada yang berpendapat tidak sah
digantikan orang lain, dan yang lainnya yaitu mayoritas
ulama’ berpendapat Haji sah digantikan orang lain .
b) Wajib kifayah yaitu perbuatan yang dapat dilaksanakan secara
kolektif.
4) Ditinjau dari segi kuantitasnya
a) Wajib Muhaddad yaitu kewajiban yang ditentukkan batas
kadarnya (jumlahnya).
b) Wajib qhairu muhaddad yaitu kewajiban yang tidak
ditentukkan batas kadarnya.
5) Ditinjau dari segi kandungan perintah
a) Wajib mu’ayyan yaitu suatu kewajiban yang objeknya adalah
tertentu tanpa ada pilihan lain. Seperti membayar zakat.
b) Wajib mukhayyar yaitu kewajiban yang objeknya dapat dipilih
dari alternative yang ada. Seperti, membayar kafarat, boleh
dengan member makan sepuluh orang memerdekakan budak.
7

c. Nadb (Sunnah)/ mandub, macam-macamnya yaitu:


Sunnah dapat dibagi menjadi beberapa macam:
1) Sunnah Mu’akkadah yaitu perbuatan tidak wajib yang
selalu dikerjakan oleh Rasul. Seperti, shalat sunnah
qobliyah dan ba’diyah yang mengiringi shalat fardhu lima
waktu.
2) Sunnah Ghairu Mu’akkadah yaitu segala perbuatan tidak
wajib kadang-kadang dikerjakan oleh rasul, kadang-kadang
saja ditinggalkan. Seperti, puasa setiap hari senin dan
kamis.
3) Sunnah al-Zawaid yaitu mengikuti kebiasaan sehari-hari
Rasul sebagai manusia. Seperti, cara makan, cara tidur, dan
cara berpakaian rasul .
d. Tahrim (haram), menurut para ulama’ Ushul Fiqh antara lain Abdul
Karim Zaidan, membagi haram kepada beberapa macam, yaitu:
1) Haram Li Dzatihi, yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat
karena esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan
manusia, dan kemudharatan itu tidak dapat terpisah dari zatnya.
Misalnya, larangan meminum khamr.
2) Haram Lighairihi, yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena
esensinya karena secara esensial tidak mengandung
kemudharaatan, namun dalam kondisi tertentu sesuatu itu dilarang
karena ada pertimbangan eksternal yang membawa pada sesuatu
yang dilarang secara esensial. Seperti, larangan berjual beli/
transaksi bisnis waktu adzan shalat jum’at.
e. Karahah (Makruh), macam-macamnya yaitu:
1) Makruh Tanzih ialah perbuatan yang terlarang bila ditinggalkan
akan diberi pahala tetapi bila dilakukan tidak berdosa dan tidak
dikenakan siksa. Seperti memakan daging kuda dan meminum
susunya dikala sangat butuh diwaktu peperangan.
8

2) Makruh Tahrim ialah perbuatan yang dilakukan namun dasar


hukukmnya tidak pasti. Seperti, larangan mengkhitbah wanita yang
sedang dalam khitbahan orang lain .
f. Ibahah (kebolehan)/ Mubah. Pembagian mubah menurut Abu Ishaq
Asy-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi Mubah kepada
tiga macam, yaitu:
1) Mubah yang berfungsi mengantarkan seseorang pada sesuatu hal
yang wajib dilakukan. Misalnya, makan dan minum merupakan
suatu hal yang mubah, namun berfungsi mengantarkan seseorang
sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang telah
dibebankan kepadanya. Seperti, shalat. Demikian Abu Ishaq Asy-
Syatibi dalam menjelaskan, hanya dianggap mubah dalam hal
memilih makanan halal mana yang akan dimakan. Akan tetapi
seseorang tidak diberi kebebasan untuk memilih antara makan atau
tidak, karena meninggalkan makan samasekali dalam hal ini akan
membahayakan dirinya.
2) Sesuatu baru dianggap Mubah hukumnya bilamana dilakukan
sekali-kali, tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu.
Seperti, bermain atau mendengarkan nyanyian hukumnya adalah
mubah bila dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya
menghabiskan waktu hanya untuk bermain atau mendengarkan
nyanyian.
3) Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk
mencapai sesuatu yang mubah pula. Mislanya, membeli perabot
rumah tangga hanya untuk kepentingan kesenangan (tersier).
3. Makna dan contoh hukum wadh’iy
1. Makna dari Wadh’iy

Hukum Wadh’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu


adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau
penghalang terhadap sesuatu. Hukum wadh’iy adalah firman(titah) Allah
9

yang berbentuk ketentuan ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai


sebab atau syarat halangan dari ketetapan hukum taklifi.Sehingga pada
hakikatnya,hukum wadh’iy sangat erat kaitannya dengan hukum taklifi
baik dalam bentuk sebab(sabab),sehingga melahirkan
akibat(musabbab) suatu hukum taklifi,atau dalam bentuk syarat
sehingga memungkinkan berlakunya (masyruth) suatu hukum
taklifi.atau dalam bentuk halangan (mani’) sehingga hukum taklifi jadi
tidak terlaksana(mamnu’).

2. Pembagian Hukum Wadh’iy dan Contohnya

Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab,


syarat, mani, rukhsah dan azimah, sah dan batal.

1. Sebab (As-Sabab)

Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara


etimologis, artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan
dengannya sampai pada suatu tujuan. “dari kata inilah dinamakan
“jalan”, itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa menyampaikan
seseorang kepada tujuan.Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan
bahwasanya sebab adalah sesuatu yang keberadaannya dijadikan
Syari’ sebagai pertanda keberadaan suatu hokum dan ketiadaan
sebab sebagai pertanda tidak adanya hukum.
Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Al-Sabab al waqti. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang
dijadikan Syari’ sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah
SWT berfirman:
Artinya: “Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir”.
(QS. Al-Isra`: 78)
b. Sabab al- ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab keharaman
khamr, sebagaimana sabda Rasul:
10

Artinya: “Setiap yang memabukkan itu adalah haram” (H.R


Muslim, Ahmad Ibnu Hambal dan Ashhab Al-Sunan)
2. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung
adanya hukum dengan adanya syarat dan dengan tidak adanya
syarat maka hukum tidak ada. Syarat letaknya di luar hakikat
sesuatu maka apabila ia tidak ada maka masyrut pun tidak ada
tetapi tidak mesti dengan adanya ada juga masyrut.
Syarat yang ditetapkan mungkin sebagai pelengkap sebab
hukum seperti pembunuhan itu dilakukan dengan berencana. Akad
nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri, namun agar
akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi.
Demikianlah dalam semua perjanjian dan tindakan baru dianggap
sah dan mengikat kedua belah pihak apabila terpenuhi syarat-
syaratnya.
Syarat syar’i dapat dibagi menjadi 2 macam:
a. Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-
kadang dalam bentuk tuntutan untuk memperbuatnya seperti
wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang dalam bentuk
tuntutan untuk tidak memperbuatnya seperti akad nikah tahlil,
ialah nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk
memperbolehkan suami pertama menikahi kembali istrinya
yang ditalak tiga.
b. Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul
bagi yang memiliki harta kekayaan yang cukup nisab menjadi
syarat wajib mengeluarkan zakat.
3. Sedangkan Syarat ja’li dapat dibagi menjadi 3 macam:
a. Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu
perbuatan hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah
perbuatan hukum itu.
11

b. Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan


hukum yang dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah
perbuatan hukum itu.
c. Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan
hikmah perbuatan hukum. Syarat yang seperti ini kalau terjadi
dalam bidang ibadah tidak berlaku karena tidak ada seorang
juapun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah. Namun,
kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.
4. Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ menurut para ahli ialah:
“ Mani’ialah apa yang memastikan adanya tidak ada
hukum atau batal sebab hukum sekalipun menurut syara’ telah
terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya mani’ (yang
mencegah) berlakunya hukum atasnya”.
Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan
ada atau sebab hukum menjadi batal sekalipun memenuhi syarat
dan rukunnya.
Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya karena
yang membunuh itu adalah ayah yang menjadi mani’ sehingga
kepadanya tidak dapat dilaksanakan hukuman qisas sekalipun
sebab lahirnya ketentuan hukum seperti pembunuhan telah
tercapai.
Para ulama dalam kalangan mazab Hanafi membagi mani’
menjadi 5 macam:
a. Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual
orang yang merdeka. Tidak boleh memperjualbelikan orang
yang merdeka, karena orang yang merdeka bukan termasuk
barang yang boleh diperjualbelikan sedang membeli menjadi
sebab berpindahnya hak mi,ik dan membeli menjadi sebab
kebolehan menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang
dibeli.
12

b. Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya


hukum bagi orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian
dan menjadi penghalang sebab bagi orang yang mengikat
perjanjian. Seperti menjual barang bukan miliknya, penjual
yang seperti ini tidak sah karena terdapat mani’ ialah barang
yang dijuala adalah milik orang lain. Namun apabila pemilik
barang yang dijual menyetujui penjualan itu, maka perjanjian
itu menjadi sah.
c. Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar
syarat dari pihak penjualan yang menghalangi pembelian
mempergunakan haknya terhadap barang yang diberinya
selama masa khiyar syarat berlaku. Umpamanya di A tidak
boleh dan si B bahwa barang yang dijualnya kepada si B tidak
boleh dipergunakan selama tiga hari karena si A masih pikir-
pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu dan kalau
pendiriannya berubah dalam masa itu penjualan dibatalkan.
Sebelum syarat berakhir pembeli haknya terhadap barang yang
dibelinya.
d. Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti
khiyar ru’yah. Khiyar ru’yah tidak menghalangi lahirnya hak
milik, namun hak milik itu dianggap belum sempurna sebelum
pembeli melihat barang itu sudah berada ditangan pembeli.
Kalau pembeli sudah melihat barang yang dibelinya ia boleh
meneruskan pembelian selama barang yang dibelinya cocok
sifatnya dengan apa yang ditetapkan tetapi dalam hal barang
yang dijual belikan tidak cocok dengan persyaratan yang
ditetapkan pembeli dapat membatalkan tanpa menunggu
persetujuan penjual dan tanpa melalui peradilan.
e. Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti ‘aib. Si A
sebagai pembeli sesuatu barang yang memang belum tahu
keadaan barang yang dibelinya kemudian ternyata cacat,
13

pembeli berhak memilih antara meneruskan perjanjian atau


mengembalikan barang yang dibelinya. Hanya haknya
mengembalikan barang itu sesudah mendapat persetujuan dari
penjual atau melalui peradilan dan lamanya hak
mengembalikan tidak lebih dari tiga hari.
5. Azimah dan Rukhsah
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan azimah ialah:
“Hukum yang disyriatkan Allah semenjak semula bersifat
umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu
dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu”.
Jadi azimah merupakan hukum yang ditetapkan semenjak
semula tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang
tertentu dan bukan pula untuk tempat dan waktu tertentu.
Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan setiap orang,
diwajibkan pada semua keadaan asal saja mukallaf dipandang
cakap melakukannya.
Dan yang dimaksud dengan rukhsah ialah:
“ hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan
kemudahan bagi mukhalaf pada keadaan tertentu yang
menyebabkan kemudahan”.
Rukhsah seperti yang telah diuraikan diatas mempunyai empat
macam:
a. Rukhsah yang menjadi pengecualian hukum umum
dikarenakan terdapat kesulitan dalam melaksanakan ketentuan
umum. Bentuk rukhsah yang seperti ini seperti kebolehan utang
piutang perjanjian silm, diat yang dibebankan kepada seluruh
anggota keluarga yang membunuh.
b. Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang
diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:“Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat
14

sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum


kami. . .” (Q.S. Al Baqarah: 286)
c. Rukhsah yang ditetapkan untuk memberikan keluasan dalam
ibadah sehingga terdapat kemudahan dan orang yang dapat
melaksanakan ibadah lebih banyak.
d. Rukhsah menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul
ialah hukum pengecualian dari ketentuan hukum umum.
6. Sah dan Batal
Lafal ‘sah’ dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur
kewajiban didunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di
akhirat. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai
dengan yang diperintahkan syara’ dan perbuatan itu akan
mendatangkan pahala diakhirat. Sebaliknya, lafal ‘batal’ yang
dapat diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidak
menggugurkan kewajiban didunia dan di akhirat tidak memperoleh
pahala.
Secara umum bahwasanya sah adalah perbuatan yang
dilakukan mukalaf dengan memenuhi rukun dan syaratnya, dengan
tata cara yang yang di tetapkan syara’, tanpa ada halangan, dan
tujuan dari perbuatan yang ditentukan syara’ tercapai. Apabila
perbuatan tersebut tidak tercapai maka dianggap bathil

D. Perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadh’iy


1. Dalam hukum taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan,
meninggalkan, atau memilih antara melakukan dan meninggalkan.
Dalam hukum wadh’i hal ini tidak ada, melainkan hanya mengandung
keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu diantara
keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang atau syarat.
2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk
dilaksanakan, dilaksanakan atau memilih. Sedangkan hukum wadh’I
tidak bermaksud untuk langsung dikerjakan oleh mukallaf hukum
15

wadh’I ditentukan syari’ agar dapat dilaksanakan hukum taklifi.


Contohnya: zakat hukumnya wajib, akan tetapi kewajiban ini tidak
bisa dilaksanakan apabila hartanya tidak mencapai nisab dan belum
sampai tahun (haul)
3. Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk
melaksanakan atau meninggalkannya karena dalam hukum taklifi tidak
boleh ada kesulitan dan kesempitan ( haraj ) yang tidak sanggup
dipikul oleh mukallaf. Dalam hukum wadh’I hal ini tidak dipersoalkan.
4. Hukum taklifi ditujukan kepada mukallaf, yaitu orang yang sudah
baligh dan berakal. Sedangkan hukum wadh’I ditujukan kepada
seluruh manusia.
E. Makna al-Mahkum ‘alaihi
1. Pengertian Mahkum Alaih

Ulama ushul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan


mahkum alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab
Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf . Sehingga istilah mahkum
alaih disebut dengan subyek hukum.

Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum.


Sehingga orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu
bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah
maupun dengan larangan-Nya. Semua tindakan mukallaf harus
dipertanggungjawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka
ia akan mendapatkan pahala dan kewajibannya terpenuhi. Sebaliknya,
jika ia mengerjakan larangan Allah maka ia akan mendapatkan dosa
dan kewajibannya belum terpenuhi

a. Dasar Taklif

Terdapat dalam Hadits Rasulullah SAW, sebagai berikut:


16

‫ َع ِن الَّن ا ِئِم َح َّتى َيْس تْيِقَظ َو َع ِن الَّص ِّبِّي حَّتى َيْح َتِلَم َو َع ِن الَم ْج ُن ْو ِن َح َّتى‬: ‫ُرِف َع الَقَلُم َعْن َثاَل ٍث‬
‫ُيِفْيَق‬

Diangkatnya pembebanan hukum dari tiga (jenis orang): orang


tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia balig, dan orang gila sampai
ia sembuh. (H.R. Bukhori, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, dan
Daruquthni dari Aisyah dan Ali bin Abi Thalib)

Dari hadits tersebut dapat dipahami bahwa seseorang belum


dikenakan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia cakap untuk bertindak
hukum. Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa seseorang baru bisa
dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif
yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum
berakal seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Karena
mereka tidak atau belum berakal, maka mereka dianggap tidak bisa
memahami taklif dan syara’. Termasuk ke dalam hal ini adalah orang yang
dalam keadaan tidur, mabuk dan lupa. Karena orang tidur, mabuk dan lupa
termasuk dalam keadaan tidak sadar atau hilang akal. Syarat-syarat Taklif

Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa seseorang itu dikenai


hukum apabila orang tersebut memenuhi dua syarat, yaitu:

1. Orang itu telah mampu memahami khitab syari’ (tuntutan syara’) yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung
maupun melalui orang lain, karena seseorang yang melakukan suatu
pekerjaan disuruh atau dilarang tergantung pada pemahamannya
terhadap suruhan dan larangan yang menjadi khitab syari’. Dengan
demikian, orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami
khitab syari’ tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
2. Kemampuan untuk memahami taklif tersebut hanya bisa dicapai
dengan akal manusia, karena akallah yang bisa mengetahui taklif itu
harus dikerjakan atau ditinggalkan.
17

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Ahkam (hukum) merupakan titah Allah Swt., yang menyangkut


tindakan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak, atau
dalam bentuk ketentuan-ketentuan yang lain. Al Ahkam di bagi menjadi
dua, yakni Al Ahkam Taklifi dan Al Ahkam Wadh’i. Jika Al Ahkam Taklifi
terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih
berbuat atau tidak berbuat. Maka, Al Ahkam Wadh’i mengandung
pembahasan keterkaitan antara dua persoalan. Sehingga salah satunya bisa
dijadikan sebab, penghalang, atau syarat.
Al Hakim (pembuat hukum) merupakan pembuat syari’at secara
hakiki, yakni Allah Swt. (pengertian dalam Islam), yang telah disepakati
oleh para ulama. Yang menyoroti perbedaan pendapat adalah ketika kita
membahas mengenai kemampuan (fungsi) akal dalam mengetahui tahsin
(baik) dan taqbih (buruk) suatu hal. Yang utama berargumen adalah
golongan Asy’ariyah, Maturidiyah, dan Mu’tazilah. Bahwa, menurut
golongan Asy’ariyah dan Maturidiyah yang menjadi sumber hukum
hanyalah wahyu semata, dan bahwa akal tidak mempunyai kewenangan
dalam hal tersebut. Yang kemudian menurut golongan Mu’tazilah akal
menjadi sumber hukum dalam hal-hal yang tidak disebutkan dalam
Alquran.
B. Saran

Dalam era islam masa kini, masih banyak orang yang melanggar dan
tidak mengikuti aturan atau hukum yang dibuat Hakim. Padahal hukum sudah
18

jelas tercantum dalam Al-qur’an dan Sunnah Nabi. Manusia sebagai subjek
hukum seharusnya dapat mampu menjalankan perbuatan dalam Al-qur’an dan
sunnah yang sebagai ojek hukum. Jika Subjek dan Objek hukum tidak berjalan
dengan baik, telah dijelaskan dalam hukum akan ada beban hukum yang
dibebankan pada manusia itu sendiri.Demikianlah akhir makalah ini. Jika ada
penulisan makalah yang kurang tepat kami mohon maaf. Terimakasih kepada
pembaca yang telah menyempatkan membaca makalah tentang ahkam, Hakim,
dan Mahkum ‘alaih yang kami buat. Semoga bermanfaat.
19

DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta. Kencana Prenada Media Group

Jumantoro, Totok. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah.

Umam Khairul. dkk. 2000. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia. Cet. Kedua

Ali, Mohammad, Daud, Haji. 2014. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers

Anda mungkin juga menyukai