Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM SYARA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Fiqih Mua’malah

Disusun Oleh :

MUHAMMAD FARHAN ATTHORIQ


MUHAMMAD RAFSAN GANI
MUCHTARIL AHDA PANJAITAN

Ekonomi Syari'ah Kelas C


Fakultas Syari'ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Berkat limpahan Rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para
sahabatnya hingga akhir zaman kelak.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
kami yakni Fiqih Mua’malah.

Kami selaku penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu , kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun. Semoga dengan terselesaikannya makalah ini dapat menambah
wawasan kita tentang hukum syara.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

11 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................2
2.1. Hukum Syara’...............................................................................................2
2.2. Pembagian Hukum Syara’........................................................................2

BAB III PENUTUP...........................................................................................................14


3.1. Kesimpulan…………………………………………………………………………………..14
3.2 Saran…………………………………………………………………………………………….14

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum Syara’ atau hukum Islam menurut para ulama fiqih hukum
syara’ atau hukum Islam ialah efek dikehendaki oleh kitab syar’I dalam perbuatan
seperti wajib, haram dan mubah. Syari’at menurut Bahasa berarti jalan, sedangkan
menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatnya
baik hukum yang berhubungan dengan aqidah maupun amaliyah. Menurut Prof.
Mahmud Syatout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya
manusia berpegang teguh kepada-Nya didalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat.

Didalam Islam, semua umat muslim adalah saudara. Sehingga,


kewajiban dari seorang muslim adalah saling mengingatkan kepada saudara
seiman. Jadi bagi kita yang telah mengetahui pengertian hukum Islam sangat
diharapkan jika kita mengingatkan dan menyebarluaskan ilmu tersebut terhadap
muslim yang lain. Selain itu mendapat pahala karena berdakwah, dan juga bisa
bertukar pikiran dengan orang yang kita ingatkan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang tadi, maka yang menjadi rumusan masalah
dari makalah ini adalah :

1. Apa Pengertian Hukum Syara’ ?


2. Apa Saja Unsur-unsur Hukum Syara’ ?

1.3 Tujuan
1. Untuk Memahami Pengertian Hukum Syar’.
2. Untuk Mengetahui Unsur-unsur Hukum Syara’.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Syara


Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berartii “mencegah” atau “memutuskan”.
Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm( Artinya; Khitab (kalam) Allah yang
mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa iqtidha (perintah, larangan, anjuran
untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), Takhyir (kebolehan untuk orang
mukalaf memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau Wadl (ketentuan yang
menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau mani‟ (penghalang) Khitab Allah yang di
maksud dalam defenisi tersebut adalah Kalam Allah.
Kalam Allah sebagai sifatnya adalah al-kalam al-nafsi (kalam yang ada pada
diri Allah) yang tidak mempunyai huruf dan suara. Kalam Allah seperti itulah yang
dimaksud hakikat hukum syara‟. Kita hanya bisa mengetahui kalam nafsi itu melalui
kalam lafdzi, yaitu kalam yang mempunyai huruf dan suara yang terbentuk dalam
ayat-ayat al-Qur‟an. Ayat al-Qur‟an merupakan dalil (petunjuk) kepada kalam nafsi
Allah. Dari segi ini, ayat-ayat al-Qur‟an populer dikenal sebagai dalil-dalil hukum
yang dikandung oleh kalam nafsi Allah. Oleh karena yang dapat dijangkau oleh
manusia hanyalah kalam lafdzi Allah dalam bentuk ayat-ayat al-Qur‟an, maka
populer dikalangan ahli-ahli Ushul Fiqh bahwa yang dimaksud dengan teksteks ayat
adalah hukum itu sendiri yang mengatur perbuatan manusia.

2.2. Pembagian Hukum


Secara garis besar mayoritas ulama ushul fiqih membagi hukum kepada
dua bagian, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh'i :

1. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi dan pembagiannya Hukum taklifi adalah suatu tuntutan
Allah dan Rasulnya yang berkaitan dengan perintah untuk mengerjakan sesuatu
atau perintah untuk meninggalkan larangan suatu perbuatan yang dilarang.
Apabila tuntutan tersebut berbentuk Ijab, maka perbuatan perintah untuk
menegerjakannya adalah suatu kewajiban bagi setiap mukallaf. Sebaliknya jika
tuntutan itu berupa larangan dan perintah untuk meninggalkannya ataupun
menajuhinya, maka perbuatan itu haram untuk dilakukakan dan diperbuat oleh
mukallaf.
Akan tetapi, jika tuntutan itu memiliki sifat apabila dikerjakan oleh mukallaf
maka ia akan mendapatkan pahala/ganjaran, maka dalam istilah hukum Syara
2
disebut dengan Sunnah. Begitu juga jika tuntutan itu bersifat boleh dalam
melaksanakannya maka hukum itu disebut mubah. Apabila tuntutan untuk
meninggalkan suatu perbuatan tidak memaksa dan tidak juga dengan melarang,
maka hukum ini disebut dengan karahah atau makruh.

a. Ijab
Ijab yaitu tuntutan dari Allah dan rasulnya yang bersifat kewajiban untuk
mengerjakannya dan melaksanakannya dalam kondisi bagaimanapun terkecuali
ada illat yang membolehkannya, dan mukallaf yang meninggalkannya akan
dikenal hukuman atau siksa.
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara
harus dan mesti dilaksanakan, orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala,
dan orang yang meninggalkannya akan mendapatkan siksa. Wajib dibagi kepada
beberapa bagian sebagai berikut:

1) Pembagian wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya.


Wajib mutlaq yaitu sesuatu pekerjaan yang wajib dikerjakan, akan tetapi
tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kaffarat sebagai hukuman bagi
seseorang yang melanggar sumpahnya,
Wajib muaqqat yaitu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh mukallaf
pada waktu yang telah ditentukan, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan
zakat fitrah. Waktu disini merupakan bagian dari kewajiban itu sendiri, sehingga
apabila belum masuk waktunya, maka kewajiban itu belum ada. Wajib dzu syibhain
yaitu kewajiban yang memiliki waktu
Amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya ibadah haji hanya
dilakukan pada bulan Zulhijjah, maka dari segi ini disebut mudhayaq, karena tidak
bisa dilakukan kecuali pada bulan itu. Tetapi bisa menjadi muawassa ibadah haji itu,
karena boleh dikerjakan kapan seseorang mampu melaksanakannya.

Ulama ushul membagi wajib Muaqqat menjadi tiga bagian, yang semuanya
itu berhubungan dengan wajib Muaqqat yaitu 'ada, l'adah, dan qadha. Ada menurut
Ibn hajib dalah melaksanakann suatu amalan untuk pertama kalinya pada waktu

3
yang ditentukan oleh syara'. l'adah adalah amalan yang dikerjakan untuk kedua
kalinya pada waktu yang telah ditentukan, karena amalan yang pertama kali tidak
sah atau mengandung udzur. Qadha, adalah suatu amalan yang dikerjakan diluar
waktu yang telah ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti.

2) Wajib dilihat dari segi ukuran, batasan, dan jumlahnya terbagi


menjadi dua:
Wajib muhaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukuran,
bilangan dan jumlahnya oleh syara'. Misalnya, jumlah harta yang wajib
dizakatkan, jumlah rakaat dalam shalat. Jumlah dan ukuran ini tidak boleh
ditambah atau dikurangi.
Wajib ghairu muaddad yaitu kewajiban yang tidak ditentukan oleh syara'
bilangan, jumlah, dan ukurannya. Tetapi diserahkan kepada Ulama dan
petnimpin umat untuk menentukannya. Misalnya, penentuan jumlah
hukuman dalam jarimah ta'jir (tindak pidana diluar hudud dan qishas) yang
diserahkakn kepada hakim.

3) Wajib dilihat dari segi mukallaf yang dibebani kewajiban terbagi


menjadi dua:

1) Wajib aini
2) Wajib kifai’i.

b. Nadb
Nadb adalah sesuatu tuntutan yang bersifat anjuran, orang yang
melakukannya akan mendapatkan pahala, dan orang yang meninggalkannya
tidak akan mendapatkan siksa. Para ulama ushul membagi mandub/nadb
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sunnah Muakkadah (sunah yang kuat). Yaitu sunnah yang
selalu di tekuni oleh nabi dan nabi tidak pernah meninggalkannya
kecuali sekali atau dua kali saja untuk menunjukan bahwa hal itu
bukan 9 suatu kewajiban. Posisi sunnah muakaddah ini akan
menguatkan bahwa orang yang meninggalkannya sunnah ini tidak
mendapat dosa tetapi mendapat celaan, sunnah muakaddah ini dapat
dikatakan sebagai penyempurna kewajiban. Contoh yang termasuk
sunnah muakkadah adalah azan, shalat berjamaah, berkumur dalam
4
berwudhu, membaca surat atau ayat-ayat setelah membaca surrah al-
fatihah dalam shalat, shalat witir. Shalat dua rakaat sebelum fajar
shalat sunnah setelah zuhur, setelah magrib dan setelah isya, nikah
bagi orang yang sudah mampu yang sanggup mengendalikan
nafsuya.

2. Sunnah ghairu Muakkad (tidak kuat), yaitu sunnah


yang jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan
tidak mendapat siksa juga tidak tercela. ghairu muakkaddah ini adalah
semua perbuatan yang tidak di tekuni oleh rasul dalam
mengerjakannya. Nabl mengerjakan hanya sesekali saja dan
terkadang tidak mengerjakannya. Contoh sunnah ghairu muakkaddah
seperti shalat sunnah sebelum zuhur, sebelum ashar, dan sebelum
isya, bersedekah yang bukan Was pada waktu terpaksa, berpuasa hari
senin dan kamis dan sebagainnya.

3. Sunnah tambahan (zaidah). Yang dimaksud dengan


sunnah tambahan ini adalah, yaitu sesuatu yang dianggap sebagal
pelengkap bagi mukallaf. Dan sunnah ini tidak sejajar dengan sunnah
yang terdahulu. Yang dimaksud dengan sunnah zaidah ini ialah
mengikuti rasul dalam segala perbuatannya berupa kebiasaan rasul
sebagal manusia biasa. Dan jika ditiru merupakan hal yang positif
bagi mukallaf karena bagian bukti dari cinta kepada rasul. Dan bagi
yang meninggalkannya tidak dianggap sebagal orang Jahat seperti
mengikuti cara makan dan minum, memelihara jenggot dan mencukur
kumis. Sunnah zaidah ini juga disebut adab dan fadhilah.

c. Ibabah
Ibahah adalah tuntutan Allah yang redaksinya bersifat memilih
(fakultatif) 10 Antara mengerjakan atau tidak. Secara sederhana, maka makna
mubah menurut Abd Wahab Khalaf . Mubah adalah sesuatu tuntutan dari Allah
bagi manusia untuk memilih antara mengerjakannya atau meninggalkannya. d.
Karabah Karahah adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, akan
tetapi menggunakan bahasa redaksi yang tidak melarang, dan seseorang yang
mengerjakan hal tersebut tidak akan mendapatkan siksa, namun apabila
seseorang itu tidak mengerjakannya maka mendapatkan kebaikan.

5
Makruh adalah suatu tuntutunan syariat kepada mukallaf untuk mencegah
melakukannya, dengan redaksi yang tidak melarang (tidak memaksa). Ulama
hanafiyah membagi makruh kepada dua bagian, yaitu makruh tahrim dan makruh
tanzih. Makruh tahrim adalah tuntutan untuk meninggalkan sutu perbuatan secara
pasti akan tetapl menunjukannya bersifat zhanni. Seperti larangan dalil yang
memakal sutera dan perhiasan emas bagi laki-laki. Makruh tanzih Jalah tuntutan
untuk meninggalkan, tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Misalnya merokok
yang dilakukan oleh pria dewasa makruh, akan tetapi bila dilakukan oleh anak
dibawa) umur menjadi haram.
Tahrim adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan yang
menggunakan redaksi tuntutan memaksa/melarang. Haram ialah tuntutan syariat
untuk mencegah mengerjakannya dengan redaksi tuntunan memaksa (harus), dan
orang yang meninggalkannya akan mendapatkan pahala, sebaliknya orang yang
mengerjakannya akan mendapatkan siksa. Haram dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu pertama haram asasi (asal), yaltu hukum yang ditegaskan oleh
Allahbahwa hukum Itu haram sejak dari permulaan ata haram secara zat.
Karenanya di dalamnya mengandung kerusakan dan bahaya terhadap agama,
jiwa, akal, harta, agama, dan keturuna. Contohnya berzina, minum arak, makan
bangkai, dan minum arak.
Kedua haram karena sesuatu yang lain maksudnya hukum asal sesuatu
tadinya bukan haram tetapi mungkin berupa hukum wajib, sunnah, dan mubbah.
Tetapi hukum itu dibarengi oleh sesuatu yang baru yang hukumnya haram seperti
shalat dengan dengan pakaian hasil menncuri, jual beli yang di dalamnya ada
unsur tipuan, puasa geni (dari siang hingga malam maka keharaman ini bukan
dikarenakan oleh dzat pekerjaan itu sendiri melainkan oleh sesuatu yang datang
dari luar pekerjaan itu. Maka sebenarnya orang yang melakukan shalat dengan
pakaian yang ghasab itu sah tetapi orang yang shalat itu berdosa Karena
perbuatan ghasabnya.

2. Hukum Wadh'i dan Pembagiannya


Hukum wadh'i adalah titah syariat yang menuntut untuk menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau sebagai mani. Abd wahab Khalaf membagi hukum wadh't
menjadi lima macam, yaitu: 1. Sabab 2. Syarat 3. Mani' (penghalang) 4. Rukhsah dan
azimah 5. Sah dan batal

6
1. Sabab
Sebab menurut bahasa yang bisa berarti sesuatu Sebab menurut
menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain". Menurut istilah ushul fiqh,
seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sebab berarti: "Sesuatu yang dijadikan
oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebgai tanda
bagi tidak adanya hukum", Sebab ialah sesuatu yang dijadikan indikasi oleh syariat
adanya hukum, dan menjadi sebab keterkaitan atas berlakunya hukum Misalnya,
tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas
pelakunya, keadaan gila menjadi. sebab (alasan) bagt keharusan ada perampokan
kepada pemiliknya. Para ulama ushul figh membagi sebab kepada
1) Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallal dan berada diluar
kemampuannya. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum
taklif, karena syariat telah menjadikannya sebagal alasan bagi adanya suatu kewajiban
yang harus dilakukan sebagai seorang mukallaf. Misalnya tergelincir matahari
menjadi sebab (alasan bagi) datangnya shalat zuhur, masuknya bulan ramadhan
menjadi sebab (alasan) bagi kewajiban melakukan puasa ramadhan, dan keadaan
terdesak menjadikan sebab bagi bolehnya sesuatu yang diharamkan seseorang
memakannya.
2) Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan
kemampuannya. Misalnya perjalanan menjadi sebab bolehnya berbuka puuasa di
siang hari dibulan ramadhan. Pembunuhan disengaja menjadi sebab bagi dikenakan
hukuman qisas atas pelakunya, dan akad transaksi Jual beli menjadi sebab bagi
perpindahan milik dari pihak penjual ke pihak pembeli Sebab yang merupakan
perbuatan mukallaf Ini berlaku padanya ketentuan-ketentuan hukum taklifi. Oleh
sebab itu ada yang diperhatikan untuk dilakukan, seperti perintah melakukan akad
nikah ketika khawatir akan ng dilarang seperti terjadi perzinahan, diantaranya ada
berzinah yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman, dan ada pula yang mubah,
seperti boleh melakukan jual akad jual bell sebagi sebab bagi perpindahan milik dari
pihak penjual kepada pihak pembell. Abdul Karim Zaldan menjelaskan perbedaan dan
persamaan antara sebab dan ilat, sesuatu yang dijadikan sebagai syariat sebagai tanda
bagi adanya hukum terdiri dari dua bentuk Bentuk pertama, antara tanda dan sebab
dengan sesuatu yang ditandai musabab mempunyai hubungan logis dalam pergertian
bisa ditelusuri oleh akal pikiran hubungan antara keduanya, dan bentuk kedua,
hubungan diantara keduanya tidak bisa ditelusuri dengan akal pikiran. Bentuk
pertama diatas, disamping disebut sebagai sebab, juga disebut lat. Sedangkan bentuk
7
yang kedua hanya disebut sebab. Contoh bentuk pertama, perjalanan adalah sebab dan
juga illat bagi bolehnya berbuka puasa disiang hari dibulan ramadhan. dalam keadaan
memabukkan menjadi sebab atau illat bagi haramnya meminum khamar.Sedangkan
contoh bentuk kedua yaitu sebab yang buka illat seperti terbenamnya matahari
menjadi sebab bagt wajib melaksanakan shalat magrib dan terbit Fajar menjadi sebab
bagi masuk shalat subuh.

2. Syarat
Menurut bahasa kata syarat berart menghendaki adanya sesuatu yang lain atau
sebagai tanda. Menurut Istilah ushul figh, seperti dikemukakan abdul karim zaldan
syarat adalah "Sesuatu yang tergantung kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan
berada diluar dari hakikat sesuatu itu.Syarat adalah sesuatu yang menunggu adanya
hukum terhadap suatu hukun, dan sesuatu yang pasti dari adanya mani tidak adanya
hukum. Misalnya wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya
shalat tergantung kepada adanya wudhu meski wudhu itu sendiri bukan merupakan
bagian dari pelaksanaan shalat. Sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat
sahnya akad nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun. Disinilah perbedaan antara
syarat dan rukun. Rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang
lain.
Namun antara keduanya terdapat perbedaan dimana syarat bagi suatu ibadah
misalnya seperti dikemukakan diatas, bukan merupakan bagian dari hakikat
pelaksanaan Ibadah tersebut sedangkan rukun adalah bagian dari hakikat suatu
ibadah. Berdiri dalam shalat misalnya adalah suatu rukun shalat, dan keadaan berdiri
itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan shalat. Para ulama membagi syarat kepada
dua macam:
1. Syariat syari, yaitu syarat yang sendiri. Misalnya keadaan rusyd
(kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi
mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syariat sebagai syariat
sebagai wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya. sebagaimana
firman Allah SWT:
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurutmu mereka telah cerdas, maka
serahkanlah kepada maraka harta hortanya. Dan janganlah
kamumakan harta anak yatim lebih dari batas kepatuhan dan
janganlah tergesa gesa membelanjakannya sebelum mereka
dewasa. Barangsiapa diantara pemelihara itu mampu, maka
8
hendaklah ia menahan diri dan barang siapa ta miskin maka boleh
makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah
Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu)"

2. Syariat ja’ly. Yaitu syariat yang datang dari kemauan orang mukallaf Itu
sendiri. Misalnya seorang suami berkata kepada Istrinya:"Jika engkau
masuk rumah sifulan maka Jatuhkanlah talakmu satu dan seperti
pernyataan seseorang bahwa la baru bersedia menjamin untuk
membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu
membayar utangnya Itu.

2. Mani'.
Kata mani’ secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Secara
terminologi, Kata mani berarti: "Sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai
penghalang bagi adanya hukum atau "sebab suatu berfungsinya bagi
penghalang. Mani' adalah sesuatu yang mesti ada dari tidak adanya hukum
ataupun keberadaanya meneyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Sebuah akad misalnya dianggap sah apabila telah mencukupi syarat-
syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak
adanya penghalang Misalnya, akad perkawinan yang sah karena telah
mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab wari mewarisi itu bisa
jadi terhalang disebabkan suami misalnnya telah membunuh Istrinya tindakan
pembunuhan dalam hal itu adalah penghalang bgt hak suami untuk mewarisi
Istrinya.Dalah hadis nabi dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara
pembunuh dan terbunuh. Mani’ terbagi menjadi
1) Mani al hukm, yaltu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagal
penghalang bagi adanya hukum. Misalnya keadaan haid bagi
wanita ditetapkan Allah sebagal manibagi kecakapan Wanita itu
untuk melakukan shalat. Dan oleh karena itu shalat tidak haid
wajib dilakukannya waktu.
2) Mani al-sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagi
penghalang bagl berfungsinya sesuatu sebab sehingga dengan
demikian sebab itu tidak lagi memiliki akibat hukum.\

9
4. Rukhsah dan Azimah
Rukhsah adalah Hukum-hukum keringanan yang diberikan Allah SWT
kepada mukallaf dalam kondisi tertentu yang menghendaki keringanan, atau sesuatu
yang telah di syariatkan Allah SWT karena adanya uzdur yang berat dalam kondisi
keadaan tertentu. Atau diperbolehkannya sesuatu yang dilarang karena adanya dalil,
sekalipun dalil larangan itu masih berlaku.
Azimah ialah hukum-hukum syariat yang ditetapkan Allah SWT sejak
semula asalnya, yang tdak di tentukan hukum sebelum hukum itu di syriatkan Allah
SWT.

5. Sah dan Batal


Sah dan Batal Perbuatan amal mukallaf dikatakan sah apabila terpenuhin
sebab, syarat, mani', dan rukun. Misalnya mengerjakan shalat wajib setelah masuknya
waktu shalat sesuai dengan dimana la menetap, serta tidak ada halangan bagi orang
yang mengerjakannya (tidak sedang haid, nifas, junub, hilang ingatan dan
sebagainya), dalam hal ini maka pekerjaan amal yang mukallaf kerjakan dinilai sah.
Oleh sebab itu, apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi maka shalat itu
tidak sah, meskipun mani' nya tidak ada.
Batal adalah suatu perbuatan yang tidak terpenuhinya unsurunsur dalam
ibadah, yaitu syarat, rukun, sebab dan mani'. Jumhur ushul menyatakan bahwa hal
tersebut dikatakan tidak sah atau batal, baik dalam hal ibadah maupun dalam bidang
muamalah. Akan tetapi golongan ulama hanafiyah membedakan perbuatan tidak sah
ini antara bidang ibadah dan muamalah, menurutnya ibadah tidak apabila perbuatan
tersebut dalam bidang terpenuhinya syarat, rukun, sebab dan mani' maka pebuatannya
dikatakan batal atau tidak sah. Sedangkan apabila terjadi pada bidang muamalah tidak
terpenuhi syaratnya, atau terjadinya kerusakan dalam unsur-unsur akad, maka
perbuatan itu dikatakan fasid.

10
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa yang
di,maksud hukum syara’dalam pandangan pakar ushul fiqh adalah Titah
(perintah) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dewasa
dan berakal) melalui iqtida’, pilihan atau wad’i.
Sedangkan pembagian hukum syara’ adalah :
1. Hukum Taklifi :
a. Ijab
b. Nadb
c. Ibahah
d. Karahah

2. Hukum Wad’i :
a. Sebab
b. Syarat
c. Mani’
• Mani Al Hukm
• Mani Al Sabab
d. Ruhshoh dan Azimah
e. Syah dan batal

3.2. Saran
Dalam makalah ini penulis sarankan kepada para pembaca untuk
mempelajari hukum-hukum Islam secara benar melalui ulama-ulama yang
mengikuti pemahaman salafusholeh sehingga kita tidak terjerumus dengan
amalan yang tidak ada tuntunan baik dari Al Quran dan Assunah.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud, Sunan Abi Daud, Suriyah: Dar Al-Hadís, 1974. Ahmad bin Hanbal, Abu
'Abdillah Musnad Ahmad bin Hanbal, Beriut: Al-Maktab Al-Islamy, tt

Ahmad bin Taimiyah, Abi Al-Abbas, Ilm Al-Hadits. Ed. Musa Muhammad Ali,
Beriut: Alam Al-Kutub, 1985.

As-Says. Muhammad Ali, Tarikh al-Fiqhu al-Islamiy, Kairo: alJami'ah al-


Azhariyah. Kullyatu as-Syari'ah, t.t.

Az-Zuhaily Wahbah. Ushul Fiqh al-Islamiy. Damaskus: Dar al-Fikr. 1986.

Ushul al-Fiqhi wa Madarisu al-Bahsi Fihi. Suriah: Dar al-Maktabiy. 2000.

Az-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith fi Ushul al-Fiqh. Ghardaq: Dar alSafwah. 1992.

Al-Amidy. 'Ali bin Muhammad, al-ihkam fi usul al-ahkam. Riyadh: Dar As-
Shami'iy, 2003.

Al-Ghazaliy. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Mustashfa min 'Ilmi al-
Ushul, (Madinah: al-Jami'ah al-Islamiyyah, tt. Al-Suyuthî, Imâm Jalâl
Al-Dîn Abdurrahmân ibn Abu Bakar. Al-Jámi Al-Shaghir. Beriut: Dar
Al-Fikr. Jilid 1.

Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkâm Al-Qur'an. Beriut: Dâr Al-Fikr. 1987. Cet. Ke-1.

As-Salafi (As-Salafi), Muhammad Luqman As-Sunnah Hujjîyâtuhá wa


Makânatuhá fi Al-Islám wa Ar-Radd 'alá Munkirihá. AlMadinah Al-
Munawwarah: Maktab Al-Aimán. 1989.

Ash-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2000.

Anda mungkin juga menyukai