HUKUM SYARA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Fiqih Mua’malah
Disusun Oleh :
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Berkat limpahan Rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para
sahabatnya hingga akhir zaman kelak.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
kami yakni Fiqih Mua’malah.
Kami selaku penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangannya. Oleh karena itu , kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun. Semoga dengan terselesaikannya makalah ini dapat menambah
wawasan kita tentang hukum syara.
11 Oktober 2023
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................2
2.1. Hukum Syara’...............................................................................................2
2.2. Pembagian Hukum Syara’........................................................................2
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk Memahami Pengertian Hukum Syar’.
2. Untuk Mengetahui Unsur-unsur Hukum Syara’.
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi dan pembagiannya Hukum taklifi adalah suatu tuntutan
Allah dan Rasulnya yang berkaitan dengan perintah untuk mengerjakan sesuatu
atau perintah untuk meninggalkan larangan suatu perbuatan yang dilarang.
Apabila tuntutan tersebut berbentuk Ijab, maka perbuatan perintah untuk
menegerjakannya adalah suatu kewajiban bagi setiap mukallaf. Sebaliknya jika
tuntutan itu berupa larangan dan perintah untuk meninggalkannya ataupun
menajuhinya, maka perbuatan itu haram untuk dilakukakan dan diperbuat oleh
mukallaf.
Akan tetapi, jika tuntutan itu memiliki sifat apabila dikerjakan oleh mukallaf
maka ia akan mendapatkan pahala/ganjaran, maka dalam istilah hukum Syara
2
disebut dengan Sunnah. Begitu juga jika tuntutan itu bersifat boleh dalam
melaksanakannya maka hukum itu disebut mubah. Apabila tuntutan untuk
meninggalkan suatu perbuatan tidak memaksa dan tidak juga dengan melarang,
maka hukum ini disebut dengan karahah atau makruh.
a. Ijab
Ijab yaitu tuntutan dari Allah dan rasulnya yang bersifat kewajiban untuk
mengerjakannya dan melaksanakannya dalam kondisi bagaimanapun terkecuali
ada illat yang membolehkannya, dan mukallaf yang meninggalkannya akan
dikenal hukuman atau siksa.
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara
harus dan mesti dilaksanakan, orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala,
dan orang yang meninggalkannya akan mendapatkan siksa. Wajib dibagi kepada
beberapa bagian sebagai berikut:
Ulama ushul membagi wajib Muaqqat menjadi tiga bagian, yang semuanya
itu berhubungan dengan wajib Muaqqat yaitu 'ada, l'adah, dan qadha. Ada menurut
Ibn hajib dalah melaksanakann suatu amalan untuk pertama kalinya pada waktu
3
yang ditentukan oleh syara'. l'adah adalah amalan yang dikerjakan untuk kedua
kalinya pada waktu yang telah ditentukan, karena amalan yang pertama kali tidak
sah atau mengandung udzur. Qadha, adalah suatu amalan yang dikerjakan diluar
waktu yang telah ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti.
1) Wajib aini
2) Wajib kifai’i.
b. Nadb
Nadb adalah sesuatu tuntutan yang bersifat anjuran, orang yang
melakukannya akan mendapatkan pahala, dan orang yang meninggalkannya
tidak akan mendapatkan siksa. Para ulama ushul membagi mandub/nadb
menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sunnah Muakkadah (sunah yang kuat). Yaitu sunnah yang
selalu di tekuni oleh nabi dan nabi tidak pernah meninggalkannya
kecuali sekali atau dua kali saja untuk menunjukan bahwa hal itu
bukan 9 suatu kewajiban. Posisi sunnah muakaddah ini akan
menguatkan bahwa orang yang meninggalkannya sunnah ini tidak
mendapat dosa tetapi mendapat celaan, sunnah muakaddah ini dapat
dikatakan sebagai penyempurna kewajiban. Contoh yang termasuk
sunnah muakkadah adalah azan, shalat berjamaah, berkumur dalam
4
berwudhu, membaca surat atau ayat-ayat setelah membaca surrah al-
fatihah dalam shalat, shalat witir. Shalat dua rakaat sebelum fajar
shalat sunnah setelah zuhur, setelah magrib dan setelah isya, nikah
bagi orang yang sudah mampu yang sanggup mengendalikan
nafsuya.
c. Ibabah
Ibahah adalah tuntutan Allah yang redaksinya bersifat memilih
(fakultatif) 10 Antara mengerjakan atau tidak. Secara sederhana, maka makna
mubah menurut Abd Wahab Khalaf . Mubah adalah sesuatu tuntutan dari Allah
bagi manusia untuk memilih antara mengerjakannya atau meninggalkannya. d.
Karabah Karahah adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, akan
tetapi menggunakan bahasa redaksi yang tidak melarang, dan seseorang yang
mengerjakan hal tersebut tidak akan mendapatkan siksa, namun apabila
seseorang itu tidak mengerjakannya maka mendapatkan kebaikan.
5
Makruh adalah suatu tuntutunan syariat kepada mukallaf untuk mencegah
melakukannya, dengan redaksi yang tidak melarang (tidak memaksa). Ulama
hanafiyah membagi makruh kepada dua bagian, yaitu makruh tahrim dan makruh
tanzih. Makruh tahrim adalah tuntutan untuk meninggalkan sutu perbuatan secara
pasti akan tetapl menunjukannya bersifat zhanni. Seperti larangan dalil yang
memakal sutera dan perhiasan emas bagi laki-laki. Makruh tanzih Jalah tuntutan
untuk meninggalkan, tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Misalnya merokok
yang dilakukan oleh pria dewasa makruh, akan tetapi bila dilakukan oleh anak
dibawa) umur menjadi haram.
Tahrim adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan yang
menggunakan redaksi tuntutan memaksa/melarang. Haram ialah tuntutan syariat
untuk mencegah mengerjakannya dengan redaksi tuntunan memaksa (harus), dan
orang yang meninggalkannya akan mendapatkan pahala, sebaliknya orang yang
mengerjakannya akan mendapatkan siksa. Haram dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu pertama haram asasi (asal), yaltu hukum yang ditegaskan oleh
Allahbahwa hukum Itu haram sejak dari permulaan ata haram secara zat.
Karenanya di dalamnya mengandung kerusakan dan bahaya terhadap agama,
jiwa, akal, harta, agama, dan keturuna. Contohnya berzina, minum arak, makan
bangkai, dan minum arak.
Kedua haram karena sesuatu yang lain maksudnya hukum asal sesuatu
tadinya bukan haram tetapi mungkin berupa hukum wajib, sunnah, dan mubbah.
Tetapi hukum itu dibarengi oleh sesuatu yang baru yang hukumnya haram seperti
shalat dengan dengan pakaian hasil menncuri, jual beli yang di dalamnya ada
unsur tipuan, puasa geni (dari siang hingga malam maka keharaman ini bukan
dikarenakan oleh dzat pekerjaan itu sendiri melainkan oleh sesuatu yang datang
dari luar pekerjaan itu. Maka sebenarnya orang yang melakukan shalat dengan
pakaian yang ghasab itu sah tetapi orang yang shalat itu berdosa Karena
perbuatan ghasabnya.
6
1. Sabab
Sebab menurut bahasa yang bisa berarti sesuatu Sebab menurut
menyampaikan seseorang kepada sesuatu yang lain". Menurut istilah ushul fiqh,
seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, sebab berarti: "Sesuatu yang dijadikan
oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebgai tanda
bagi tidak adanya hukum", Sebab ialah sesuatu yang dijadikan indikasi oleh syariat
adanya hukum, dan menjadi sebab keterkaitan atas berlakunya hukum Misalnya,
tindakan perzinaan menjadi sebab (alasan) bagi wajib dilaksanakan hukuman atas
pelakunya, keadaan gila menjadi. sebab (alasan) bagt keharusan ada perampokan
kepada pemiliknya. Para ulama ushul figh membagi sebab kepada
1) Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallal dan berada diluar
kemampuannya. Namun demikian, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum
taklif, karena syariat telah menjadikannya sebagal alasan bagi adanya suatu kewajiban
yang harus dilakukan sebagai seorang mukallaf. Misalnya tergelincir matahari
menjadi sebab (alasan bagi) datangnya shalat zuhur, masuknya bulan ramadhan
menjadi sebab (alasan) bagi kewajiban melakukan puasa ramadhan, dan keadaan
terdesak menjadikan sebab bagi bolehnya sesuatu yang diharamkan seseorang
memakannya.
2) Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan
kemampuannya. Misalnya perjalanan menjadi sebab bolehnya berbuka puuasa di
siang hari dibulan ramadhan. Pembunuhan disengaja menjadi sebab bagi dikenakan
hukuman qisas atas pelakunya, dan akad transaksi Jual beli menjadi sebab bagi
perpindahan milik dari pihak penjual ke pihak pembeli Sebab yang merupakan
perbuatan mukallaf Ini berlaku padanya ketentuan-ketentuan hukum taklifi. Oleh
sebab itu ada yang diperhatikan untuk dilakukan, seperti perintah melakukan akad
nikah ketika khawatir akan ng dilarang seperti terjadi perzinahan, diantaranya ada
berzinah yang merupakan sebab bagi ancaman hukuman, dan ada pula yang mubah,
seperti boleh melakukan jual akad jual bell sebagi sebab bagi perpindahan milik dari
pihak penjual kepada pihak pembell. Abdul Karim Zaldan menjelaskan perbedaan dan
persamaan antara sebab dan ilat, sesuatu yang dijadikan sebagai syariat sebagai tanda
bagi adanya hukum terdiri dari dua bentuk Bentuk pertama, antara tanda dan sebab
dengan sesuatu yang ditandai musabab mempunyai hubungan logis dalam pergertian
bisa ditelusuri oleh akal pikiran hubungan antara keduanya, dan bentuk kedua,
hubungan diantara keduanya tidak bisa ditelusuri dengan akal pikiran. Bentuk
pertama diatas, disamping disebut sebagai sebab, juga disebut lat. Sedangkan bentuk
7
yang kedua hanya disebut sebab. Contoh bentuk pertama, perjalanan adalah sebab dan
juga illat bagi bolehnya berbuka puasa disiang hari dibulan ramadhan. dalam keadaan
memabukkan menjadi sebab atau illat bagi haramnya meminum khamar.Sedangkan
contoh bentuk kedua yaitu sebab yang buka illat seperti terbenamnya matahari
menjadi sebab bagt wajib melaksanakan shalat magrib dan terbit Fajar menjadi sebab
bagi masuk shalat subuh.
2. Syarat
Menurut bahasa kata syarat berart menghendaki adanya sesuatu yang lain atau
sebagai tanda. Menurut Istilah ushul figh, seperti dikemukakan abdul karim zaldan
syarat adalah "Sesuatu yang tergantung kepadanya adanya sesuatu yang lain, dan
berada diluar dari hakikat sesuatu itu.Syarat adalah sesuatu yang menunggu adanya
hukum terhadap suatu hukun, dan sesuatu yang pasti dari adanya mani tidak adanya
hukum. Misalnya wudhu adalah sebagai syarat bagi sahnya shalat dalam arti adanya
shalat tergantung kepada adanya wudhu meski wudhu itu sendiri bukan merupakan
bagian dari pelaksanaan shalat. Sementara kehadiran dua orang saksi menjadi syarat
sahnya akad nikah. Yang disebut terakhir ini adalah rukun. Disinilah perbedaan antara
syarat dan rukun. Rukun sama dengan syarat dari segi ketergantungan sesuatu yang
lain.
Namun antara keduanya terdapat perbedaan dimana syarat bagi suatu ibadah
misalnya seperti dikemukakan diatas, bukan merupakan bagian dari hakikat
pelaksanaan Ibadah tersebut sedangkan rukun adalah bagian dari hakikat suatu
ibadah. Berdiri dalam shalat misalnya adalah suatu rukun shalat, dan keadaan berdiri
itu adalah bagian dari hakikat pelaksanaan shalat. Para ulama membagi syarat kepada
dua macam:
1. Syariat syari, yaitu syarat yang sendiri. Misalnya keadaan rusyd
(kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi
mubazir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syariat sebagai syariat
sebagai wajib menyerahkan harta miliknya kepadanya. sebagaimana
firman Allah SWT:
"Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk
kawin. Kemudian jika menurutmu mereka telah cerdas, maka
serahkanlah kepada maraka harta hortanya. Dan janganlah
kamumakan harta anak yatim lebih dari batas kepatuhan dan
janganlah tergesa gesa membelanjakannya sebelum mereka
dewasa. Barangsiapa diantara pemelihara itu mampu, maka
8
hendaklah ia menahan diri dan barang siapa ta miskin maka boleh
makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu
menyerahkan harta kepada mereka maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah
Allah sebagai pengawas (atas persaksian itu)"
2. Syariat ja’ly. Yaitu syariat yang datang dari kemauan orang mukallaf Itu
sendiri. Misalnya seorang suami berkata kepada Istrinya:"Jika engkau
masuk rumah sifulan maka Jatuhkanlah talakmu satu dan seperti
pernyataan seseorang bahwa la baru bersedia menjamin untuk
membayarkan utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu
membayar utangnya Itu.
2. Mani'.
Kata mani’ secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Secara
terminologi, Kata mani berarti: "Sesuatu yang di tetapkan syariat sebagai
penghalang bagi adanya hukum atau "sebab suatu berfungsinya bagi
penghalang. Mani' adalah sesuatu yang mesti ada dari tidak adanya hukum
ataupun keberadaanya meneyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Sebuah akad misalnya dianggap sah apabila telah mencukupi syarat-
syaratnya dan akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak
adanya penghalang Misalnya, akad perkawinan yang sah karena telah
mencukupi syarat dan rukunnya adalah sebagai sebab wari mewarisi itu bisa
jadi terhalang disebabkan suami misalnnya telah membunuh Istrinya tindakan
pembunuhan dalam hal itu adalah penghalang bgt hak suami untuk mewarisi
Istrinya.Dalah hadis nabi dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara
pembunuh dan terbunuh. Mani’ terbagi menjadi
1) Mani al hukm, yaltu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagal
penghalang bagi adanya hukum. Misalnya keadaan haid bagi
wanita ditetapkan Allah sebagal manibagi kecakapan Wanita itu
untuk melakukan shalat. Dan oleh karena itu shalat tidak haid
wajib dilakukannya waktu.
2) Mani al-sabab, yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagi
penghalang bagl berfungsinya sesuatu sebab sehingga dengan
demikian sebab itu tidak lagi memiliki akibat hukum.\
9
4. Rukhsah dan Azimah
Rukhsah adalah Hukum-hukum keringanan yang diberikan Allah SWT
kepada mukallaf dalam kondisi tertentu yang menghendaki keringanan, atau sesuatu
yang telah di syariatkan Allah SWT karena adanya uzdur yang berat dalam kondisi
keadaan tertentu. Atau diperbolehkannya sesuatu yang dilarang karena adanya dalil,
sekalipun dalil larangan itu masih berlaku.
Azimah ialah hukum-hukum syariat yang ditetapkan Allah SWT sejak
semula asalnya, yang tdak di tentukan hukum sebelum hukum itu di syriatkan Allah
SWT.
10
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa yang
di,maksud hukum syara’dalam pandangan pakar ushul fiqh adalah Titah
(perintah) Allah SWT yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dewasa
dan berakal) melalui iqtida’, pilihan atau wad’i.
Sedangkan pembagian hukum syara’ adalah :
1. Hukum Taklifi :
a. Ijab
b. Nadb
c. Ibahah
d. Karahah
2. Hukum Wad’i :
a. Sebab
b. Syarat
c. Mani’
• Mani Al Hukm
• Mani Al Sabab
d. Ruhshoh dan Azimah
e. Syah dan batal
3.2. Saran
Dalam makalah ini penulis sarankan kepada para pembaca untuk
mempelajari hukum-hukum Islam secara benar melalui ulama-ulama yang
mengikuti pemahaman salafusholeh sehingga kita tidak terjerumus dengan
amalan yang tidak ada tuntunan baik dari Al Quran dan Assunah.
11
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud, Sunan Abi Daud, Suriyah: Dar Al-Hadís, 1974. Ahmad bin Hanbal, Abu
'Abdillah Musnad Ahmad bin Hanbal, Beriut: Al-Maktab Al-Islamy, tt
Ahmad bin Taimiyah, Abi Al-Abbas, Ilm Al-Hadits. Ed. Musa Muhammad Ali,
Beriut: Alam Al-Kutub, 1985.
Al-Amidy. 'Ali bin Muhammad, al-ihkam fi usul al-ahkam. Riyadh: Dar As-
Shami'iy, 2003.
Al-Ghazaliy. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. al-Mustashfa min 'Ilmi al-
Ushul, (Madinah: al-Jami'ah al-Islamiyyah, tt. Al-Suyuthî, Imâm Jalâl
Al-Dîn Abdurrahmân ibn Abu Bakar. Al-Jámi Al-Shaghir. Beriut: Dar
Al-Fikr. Jilid 1.
Al-Qurthubi, Al-Jami' li Ahkâm Al-Qur'an. Beriut: Dâr Al-Fikr. 1987. Cet. Ke-1.