Anda di halaman 1dari 17

HUKUM-HUKUM SYAR’I

DISUSUN OLEH :
FITRAH RIZKI ARDILA (2042019018)
RONA SOFIANA (204219033)

DOSEN PEMBIMBING : SITI SURYANI LC. MA

PRODI HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI COT KALA
LANGSA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penyusun panjatkan kehadirat Illahi
Rabbi, atas berkah, rahmat, karunia dan hidayah-Nya akhirnya kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Adapun tujuan disusunnya makalah ini ialah sebagai salah satu materi
tugas kegiatan yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa/mahasiswi dalam
melaksanakan studi di tingkat perkuliahan semester I (Pertama). Adapun judul
yang penyusun buat didalam makalah ini adalah mengenai “HUKUM SYAR’I”.
Dalam proses penyusunan makalah ini, penyusun banyak mendapatkan
bantuan, dukungan, serta do’a dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkanlah
didalam kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih dengan penuh rasa
hormat serta dengan segala ketulusan hati kepada :Ibu Siti Suryani LC. MA,
hingga selesainya makalah ini.
Sangatlah disadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan didalam
penyusunannya dan jauh dari kesempurnaan, untuk itu penyusun mengharapkan
masukan baik saran maupun kritik yang kiranya dapat membangun dari para
pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat khususnya
bagi kita semua

Langsa 06 November 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3
2.1 Pengertian Hukum-Hukum Syar’i .............................................................. 3
2.2 Pembagian Hukum Syar’i .......................................................................... 4
2.2.1 Hukum Taklifi .................................................................................... 5
2.3 Wajib .......................................................................................................... 9
2.3.1 Pengertian Wajib ................................................................................ 9
2.3.2 Pembagian Wajib ................................................................................ 10
2.4 Muqaddimah Wajib .................................................................................... 12
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat
lepas dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam
Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi
terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at. Sebagaimana yang di katakan
imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu
Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum
syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan
tinjauan yang berbeda.
Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-
sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum
syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang
mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan),
maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah
ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan
dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah,
mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan
kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek
pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum
syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga
makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam
mempelajari ilmu Ushul fiqh.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum syar’i?
2. Bagaimana pembagian hukum Syar’i?
3. Apa pengertian Wajib?
4. Bagaimana pembagian Wajib?

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum-Hukum Syar’i


Hukum syara’ atau hukum syar’i adalah gabungan dari dua kata, yaitu kata
“hukum” dan ”syara”. Kata hukum itu sendiri berasal dari bahasa arab “al-
hukmu” yang berarti memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan. Dan kata
hukum ini sudah menjadi kata baku dalam bahasa indonesia.
Dalam memberikan arti secara definitif terhadap kata hukum, terdapat
beberapa perbedaan pendapat diantara para ulama’, yang diantaranya dapat
disimpulkan bahwa hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu negara atau kelompok masyarakat,
berlaku dan mengikuti untuk seluruh anggotanya.
Sedangkan kata syara’ secara etimologi adalah jalan, jalan yang biasa
dilalui air. Artinya adalah jalan yang biasa dilalui manusia untuk menuju kepada
Allah SWT. Dan secara sederhana berarti “ketentuan Allah” dan didalam al-
qur’an kata syara’ ini mengalami pengulangan sebanyak lima kali yang berarti
ketentuan atau jalan yang harus ditempuh. Bila kata hukum dirangkai dengan kata
syara’ yaitu “hukum syara’ “ akan berarti seperangkat peraturan berdasarkan
ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku
serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam.
Pengetahuan tentang hukum syara’ merupakan hasil nyata dari
pengetahuan tentang fiqih dan ushul fiqih. Produk dari dua ilmu ini adalah
pengetahuan tentang hukum syar’i dalam hal menyangkut tingkah laku seorang
mukallaf. Hanya saja kedua ilmu ini memandang dari arah yang berbeda. Ilmu
ushul fiqih memandang dari segi dan kearah metode pengenalannya dan sumber
yang digunakan untuk itu, sedangkan ilmu fiqih memandang dari segi
merumuskannya dengan perbuatan dalam lingkup yang digariskan oleh ushul
fiqih. Dengan demikian terdapat perbedaan pendapat antara ahli ushul fiqih
dengan ahli fiqih alam mendefinisakan hukum syar’i.

3
Menurut para ahli ushul fiqih, hukum syar’i adalah khitab syar’i yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf baik bersifat iqtida’ (tuntutan),
takhyir (membolehkan), maupun wadh’i (menetapkan).
Sedangkan ahli fiqih memberikan definisi hukum syara’ adalah sifat yang
merupakan pengaruh atau akibat yang timbul dari titah Allah terahaap orang
mukallaf itu.
Perbedaan peristilah dikalangan dua kelompok ini terlihat pada sisi dan
arah pandangan. Ushul fiqih yang fungsinya adalah mengeluarkan hukum dari
dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang harus dirumuskan menjadi hukum
yang rinci. Karenanya ia menganggap hukum itu sebagai tuntutan Allah yang
mengandung aturan tingkah laku. Sedangkan fiqih yang fungsinya menjelaskan
hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan syara’ yang
sudah terinci. Karenanya ia menganggap hukum itu adalah wajib, sunah dan
sebagainya yang melekat pada perbuatan mukallaf yang dikenai hukum itu.

2.2 Pembagian Hukum Syar’i


Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan
bahwa hukum itu tidak hanya satu macam. Karena hukum itu adakalanya
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau
berbentuk ketetapan. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan
dengan hukum taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
dalam bentuk ketetapan dengan hukum wadh’i. Dari sini ditetapkan bahwa hukum
syara’ itu terbagi dua macam : hukum taklifi dan hukum wadh’i.1

2.2.1 Hukum Taklifi


Hukm taklifi adalah segala sesuatu yang menghendaki tuntutan untuk
mengerjakan, meninggalkan, atau pilihan antara keduanya. Disebut hukum taklifi
karena pengenaan beban pada orang mukallaf, baik itu melakukan atau mencegah
perbuatan maupun kebolehan antara melakukan atau mencegah perbuatan itu.
Hukum Taklifi dibagi menjadi lima :
1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 281-282

4
1. Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi,
seperti yang dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam
berkebangsaan Irak, wajib berarti : Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan)
oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan
apabila dilaksanakan akan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila
tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.2
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa bagian.
Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dibagi
menjadi dua macam yaitu:
a. Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang
sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini
tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat
lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
b. Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh
mukalaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam
maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak
ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya
kewajiban sholat jenazah.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi
kepada dua macam :
a. Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’
dengan secara khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima
waktu, puasa Ramadhan,membayar zakat.
b. Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi
objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban
membayar kaffarat (denda melanggar).
Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:
a. Wajib mu’aqqat, yaitu : sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan
secara pasti dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-

2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 288

5
masing sholat itu dibatasi waktu tertentu, artiya tidak wajib sholat
sebelum waktunya dan berdosa jika mengakhirkan sholat tanpa udhur.
b. Wajib mutlaq, yaitu : sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara
pasti tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji
bagi yang mampu.
Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam :
a. Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan
ukurannya, seperti zakat.
b. Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak
ditentukan ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.
2. Mandub
Kata mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang dianjurkan”.
Secara terminologi yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan
Rasul-nya dimana akan diberi pahala jika melaksanakannya. Namun tidak
mendapat dosa orang yang meninggalkannya. Seperti dikemukakan oleh
Abdul Karim Zaidan, mandub terbagi menjadi tiga tingkatan :
a. Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang
dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya misalnya salat
sunnah dua rakaat sebelum fajar.
b. Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan
Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan
salat sunah dua kali dua rakkat sebelum salat dhuhur.
c. Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah
sebagai manusia misalnya sopan santunnya dalam makan dan tidur
3. Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah
ahli syara’ haram ialah: “pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena
mengerjakanya”. Sedaangkan secara terminologi ushul fiqh kata haram
berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,dimana orang yang
melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang

6
meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan
berzina dalam firman Allah :3
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang
atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi
kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang
diharamkan). Haram terbagi menjadi dua :
a. Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa
hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan,
seperti zina, mencuri, shalat tanpa bersuci, mengawini salah satu
muhrimnya dengan mengetahui keharamannya
b. Haram karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada
awalnya ditetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi
bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram:
seperti sholat yang memakai baju gosob, jual beli yang mengandung
unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan pada saat istri sedang
haid).4
4. Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”.dalam istilah
ushul fiqh kata makruh, menurut mayoritas ulama ushul fiqh, berarti sesuatu
yang dianjurkan syari’at untuk ditinggalkan akan mendapat pujian dan
apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya berkumur dan memasukkan
air ke hidung secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa karena
dikhawatirkan air akan masuk kerongga kerokongan dan tertelan.
5. Al ibahah (kebolehan).
Secara bahasa berarti”sesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan”,
menurut para ahli ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada mukalaf
untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Misalnya, ketika
didalam rumah tangga terjadi cekcok yang berkepanjangan dan
dikhawatirkan tidak dapat lagi hidup bersama maka boleh (mubah) bagi

3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), 309
4
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 135

7
seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu
menceraikannya, sesuai dengan QS.Al-Baqarah:229). Dan juga termasuk
mudah bila syar’i memerintahkan suatu perbuatan dan terdapat alasan yang
menunjukkan bahwa perintah itu berarti mubah. Misalnya, dalam QS. Al
Maidah : 2

‫وإذا حللتم فاصطادوا‬


“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh
berburu”
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwa faqat membagi mubah
kepada tiga macam:
a. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada sesuatu hal
yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum hukumnya mubah,
namun mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti sholat dan
mencari rizki. Mubah yang seperti ini bukan berarti dianggap mubah
dalam hal memilih makan atau tidak makan, karena meninggalkan
makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
b. Sesuatu baru dianggap mudah bilamana dilakukan sekali-sakali, tetapi
haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain,
mendengarkan musik.
c. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai
sesuatu yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk
kepentingan kesenangan. Hidup senang itu hukumnya mubah dan untuk
mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang
menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk mencapai
sesuatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan sesuatu yang
dilarang.

8
2.3 Wajib
2.3.1 Pengertian Wajib
Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah:
“Wajib menurut syara’ ialah apa yang dituntut oleh syara’ kepada mukallaf
untuk memperbuatnya dalam tuntutan keras.”
Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika dikerjakan akan
mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan berdosa.
Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain.
Wajib yang ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah)
dalam firman Allah:
َّ ‫َّللاُ ََل إِ َٰلَهَ إِ ََّل أَنَا فَا ْعبُ ْدنِي َوأَقِ ِم ال‬
‫ص ََلة َ ِل ِذ ْك ِري‬ َّ ‫إِنَّنِي أَنَا‬

Artinya: “dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha:14)


Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu
sendiri yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
َ‫علَى الَّذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ ِ ‫علَ ْي ُك ُم‬
َ ِ‫الصيَا ُم َك َما ُكت‬
َ ‫ب‬ َ ِ‫يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
َ ‫ب‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” (QS. Al-Baqarah:
183).

2.3.2 Pembagian Wajib


Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut,
wajib dapat dibagi dua:
a. Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya,
misalnya membaca fatihah dalam shalat.
b. Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam
perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi
tiga alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian
sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak.

9
Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk
mengerjakan yang diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi menjadi dua
macam:
a. Wajib muwassa’, waktu yang tersedia untuk melaksanakan yang diwajibkan
itu lebih luas atau lebih banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu.
Misalnya shalat zuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat
zuhur jauh lebih lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk
melaksanakan shalat zuhur. Maka wajib yang seperti ini dapat dilaksanakan
pada awal waktu atau pada pertengahan waktu atau pada akhir waktu. Jika
wajib muwassa’ ingin dikerjakan pada pertengahan atau akhir waktu maka
menurut para ulama hendaklah berniat setelah tiba waktunya (awal waktu)
untuk menunda pelaksanaannya pada waktu yang diinginkan karena kalau
tidak diniatkan maka mungkin termasuk orang yang melalaikan waktu.
b. Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia persis sama atau
sama banyak dengan waktu mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan
Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan.
Karena itulah wajib mudhayyiq tidak dapat ditunda dari waktu yang tersedia
untuk mengerjakannya.5
Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan, terbagi kepada dua:
a. Wajib muhaddad, ialah yang ditentuka oleh syara’ bentuk perbuatan yang
dituntut dan mukallaf dianggap belum melaksanakan tuntutan itu sebelum
melaksanakan seperti yang telah dituntut oleh syara’ atau dengan kata lain
adalah kewajiban yang telah ditentukan kadar atau jumlahnya. Contohnya
shalat, zakat, dan pelunasan hutang. Shalat lima waktu telah ditetapkan
waktunya, jumlah rakaatnya, rukun dan syaratnya. Zakat telah ditetapkan
jenis benda yang wajib dizakati dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan.
Wajib muhaddad kalau tidak dilaksanakan maka menjadi hutang dan boleh
diambil dengan paksa.
b. Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan yang wajib dan tidak wajib yang
tidak ditentukan cara pelaksanaanya dan waktunya atau kewajiban yang

5
Syekh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 145

10
tidak ditentukan batas bilangannya, seperti infak fi sabilillah, memberi
bantuan kepada orang yang berhajat, tolong menolong, dan lain sebagainya.
Wajib ghairu muhaddad jika tidak dilaksanakan tidak menjadi hutang dan
tidak boleh dipaksa.
Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada dua bagian:
a. Wajib ‘ain, ialah tuntutan syara’ untuk melaksanakan sesuatu perbuatan dari
setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti kewajiban
mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga fardhu
‘ain.
b. Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan
jika ada salah seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap
sudah terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang mengerjakannya,
maka berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti amar ma’ruf dan nahi
munkar, shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan lain
sebagainya.

2.4 Muqaddimah Wajib


Muqaddimah wajib memiliki dua bentuk, yaitu:
1. Suatu kewajiban tidak akan terwujud kecuali dengan mengerjakan
muqaddimahnya . Ini terbagi menjadi dua :
a. Muqaddimah yang ditentukan oleh syareat, seperti : wudlu adalah
muqaddimah untuk mengerjakan kewajiban sholat.
b. Muqaddimah yang ditetapkan oleh akal, seperti : berjalan menuju
Mekkah adalah muqaddimah untuk mengerjakan haji, menyuci sebagian
kepala adalah muqaddimah untuk bisa melaksanakan kewajiban menyuci
muka dengan sempurna, karena kalau muqaddimah tersebut tidak
dilaksanakan, bisa dipastikan kewajiban meyuci muka tidak bisa
terlaksana dengan sempurna. Begitu juga puasa pada sebagian malam
adalah muqaddimah untuk berpuasa pada pagi harinya, karena kita tidak
bisa berpuasa dari fajar sampai Maghrib keculai kalau kita berhenti
makan sebelum datangnya fajar.

11
2. Kita tidak bisa mengetahui suatu kewajiban kecuali harus mengerjakan
muqaddimahnya, seperti : seseorang yang meninggalkan salah satu sholat
dari sholat lima waktu yang ada, akan tetapi dia tidak mengetahui secara
pasti sholat apa yang ditinggalkannya . Dalam kondisi seperti ini, dia
harus mengerjakan seluruh sholat lima waktu, karena hanya dengan
demikian dia bisa mengerjakan sholat yang ditinggalkannya tersebut.
Maka empat sholat yang ia kerjakan merupakan muqaddimah wajib,
sedangkan kewajiban yang sebenarnya hanyalah satu sholat saja.
Muqaddimah wajib tersebut harus ia kerjakan untuk menuju kepada
kewajiban hakiki-nya.
Contoh lain adalah jika baju kita terkena najis, akan tetapi tidak tahu
dibagian mana najis tersebut, maka kita harus menyuci baju tersebut
secara keseluruhan, karena tanpa itu, najis yang menempel di baju tidak
bisa dihilangkan.6

6
M. Ridlwan Qoyyum sa’id, Terjemah dan Komentar Al-Waroqot Ushul Fiqh, (Kediri: Mitra-
Gayatri), 15-16

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum syara’ adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut
hukum syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia,
yakni yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan
akidah dan akhlaq.
Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara
yang dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian,
yaitu wajib,mandub, haram, makruh, mubah

13
DAFTAR PUSTAKA

A. Djalil, Basiq., Drs.2014.’’Ilmu Ushul Fiqh”.Jakarta: Kencana Prennadamedia


Group

A. Djazuli., Prof., H.2004.”Ilmu Fiqh’’.Bandung: Kencana Prennadame

Bakri, Nazar., Drs., H.1991’’Fiqh dan Ushul Fiqh’’Padang: Rajawali Pers

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.

Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Syukur, Asywadie. 1990. Pengantar dan Ushul Fikih. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Umar, Mukhsin Nyak. 2008. Ushul Fiqh. Banda Aceh: Ar-Raniry Press,
Darussalam Banda Aceh bekerja sama dengan AK Group Yogyakarta.

Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam.
Bandung: PT Alma’arif

14

Anda mungkin juga menyukai