Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HUKUM-HUKUM SYAR’I
Diajukan untuk memenuhi satu Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh Tahun Pelajaran
2021
Dosen Pengampu : M Ramdhan Arifin, Lc., M.Ag

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 10


Desta Fadillah Setiawan 6020220059
Rizky Apriliana Nurul Zanah 6020220086

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS SURYAKANCANA
2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tak terhingga penyusun panjatkan kehadirat Illahi
Rabbi, atas berkah, rahmat, karunia dan hidayah-Nya akhirnya kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Adapun tujuan disusunnya makalah ini ialah sebagai
salah satu materi tugas kegiatan yang harus ditempuh oleh setiap
mahasiswa/mahasiswi dalam melaksanakan studi di tingkat perkuliahan semester
3 (Tiga). Adapun judul yang penyusun buat didalam makalah ini adalah mengenai
“HUKUM SYAR’I”. Dalam proses penyusunan makalah ini, penyusun banyak
mendapatkan bantuan, dukungan, serta do’a dari berbagai pihak, oleh karena itu
izinkanlah didalam kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih dengan
penuh rasa hormat serta dengan segala ketulusan hati kepada :Bapak M Ramdhan
Arifin, Lc., M.Ag
hingga selesainya makalah ini. Sangatlah disadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan didalam penyusunannya dan jauh dari kesempurnaan, untuk
itu penyusun mengharapkan masukan baik saran maupun kritik yang kiranya
dapat membangun dari para pembaca. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat khususnya bagi kita semua

Cianjur, 4 Desember 2021


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................................i

DAFTAR ISI.....................................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................................................2

2.1 Pengertian Hukum-Hukum Syar’i............................................................................................................2

2.2 Pembagian Hukum Syar’i .......................................................................................................................3

2.2.1 Hukum Taklifi ......................................................................................................................................3

2.3 Wajib ......................................................................................................................................................8

2.3.1 Pengertian Wajib ................................................................................................................................8

2.3.2 Pembagian Wajib................................................................................................................................8

2.4 Muqaddimah Wajib..............................................................................................................................10

BAB III PENUTUP........................................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas
dari ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam
Quran dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi
terdapat pada sumber lain yang diakui syari'at. Sebagaimana yang di katakan
imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu
Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum
syara' yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan
tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi
dan sumbersumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian
hukum syara', yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-
orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir
(pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan
Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh,
wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani')dan ungkapan
lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini yang kesemuanya itu merupakan
objek pembahasan ilmu Ushul fiqh. Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba
membahas tentang hukum syara' yang berhubungan dengan hukum taklifi dan
hukum wadhi. Semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses
pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul fiqh.

1.2Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum syar’i?
2. Bagaimana pembagian hukum Syar’i?
3. Apa pengertian Wajib?
4. Bagaimana pembagian Wajib?
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hukum-Hukum Syar’i
Hukum syara’ atau hukum syar’i adalah gabungan dari dua kata, yaitu kata
“hukum” dan ”syara”. Kata hukum itu sendiri berasal dari bahasa arab “alhukmu”
yang berarti memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan. Dan kata hukum ini
sudah menjadi kata baku dalam bahasa indonesia. Dalam memberikan arti
secara definitif terhadap kata hukum, terdapat beberapa perbedaan pendapat
diantara para ulama’, yang diantaranya dapat disimpulkan bahwa hukum adalah
seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui
oleh suatu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikuti untuk
seluruh anggotanya.
Sedangkan kata syara’ secara etimologi adalah jalan, jalan yang biasa
dilalui air. Artinya adalah jalan yang biasa dilalui manusia untuk menuju kepada
Allah SWT. Dan secara sederhana berarti “ketentuan Allah” dan didalam alqur’an
kata syara’ ini mengalami pengulangan sebanyak lima kali yang berarti ketentuan
atau jalan yang harus ditempuh. Bila kata hukum dirangkai dengan kata syara’
yaitu “hukum syara’ “ akan berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan
Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta
mengikat untuk semua umat yang beragama islam. Pengetahuan tentang
hukum syara’ merupakan hasil nyata dari pengetahuan tentang fiqih dan ushul
fiqih. Produk dari dua ilmu ini adalah pengetahuan tentang hukum syar’i dalam
hal menyangkut tingkah laku seorang mukallaf. Hanya saja kedua ilmu ini
memandang dari arah yang berbeda. Ilmu ushul fiqih memandang dari segi dan
kearah metode pengenalannya dan sumber yang digunakan untuk itu, sedangkan
ilmu fiqih memandang dari segi merumuskannya dengan perbuatan dalam
lingkup yang digariskan oleh ushul fiqih. Dengan demikian terdapat perbedaan
pendapat antara ahli ushul fiqih dengan ahli fiqih alam mendefinisakan hukum
syar’i.

2
Menurut para ahli ushul fiqih, hukum syar’i adalah khitab syar’i yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf baik bersifat iqtida’ (tuntutan),
takhyir (membolehkan), maupun wadh’i (menetapkan). Sedangkan ahli fiqihh
memberikan definisi hukum syara’ adalah sifat yang merupakan pengaruh atau
akibat yang timbul dari titah Allah terahaap orang mukallaf itu.
Perbedaan peristilah dikalangan dua kelompok ini terlihat pada sisi dan
arah pandangan. Ushul fiqih yang fungsinya adalah mengeluarkan hukum dari
dalil memandangnya dari segi nash syara’ yang harus dirumuskan menjadi hukum
yang rinci. Karenanya ia menganggap hukum itu sebagai tuntutan Allah yang
mengandung aturan tingkah laku. Sedangkan fiqih yang fungsinya menjelaskan
hukum yang dirumuskan dari dalil memandang dari segi ketentuan syara’ yang
sudah terinci. Karenanya ia menganggap hukum itu adalah wajib, sunah dan
sebagainya yang melekat pada perbuatan mukallaf yang dikenai hukum itu.
2.2 Pembagian Hukum Syar’i
Dari pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan
bahwa hukum itu tidak hanya satu macam. Karena hukum itu adakalanya
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau
berbentuk ketetapan. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan
dengan hukum taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
dalam bentuk ketetapan dengan hukum wadh’i. Dari sini ditetapkan bahwa
hukum syara’ itu terbagi dua macam : hukum taklifi dan hukum wadh’i.
2.2.1 Hukum Taklifi
Hukm taklifi adalah segala sesuatu yang menghendaki tuntutan untuk
mengerjakan, meninggalkan, atau pilihan antara keduanya. Disebut hukum taklifi
karena pengenaan beban pada orang mukallaf, baik itu melakukan atau
mencegah perbuatan maupun kebolehan antara melakukan atau mencegah
perbuatan itu. Hukum Taklifi dibagi menjadi lima :

3
1. Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti. Secara terminologi,
seperti yang dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan
Irak, wajib berarti : Sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-
Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakan akan
mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam
dengan dosa.
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bila
dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua
macam yaitu:
a. Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah
baligh dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur
kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari semalam,
puasa dibulan Ramadhan.
b. Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf,
namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu
dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak
lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya kewajiban sholat jenazah.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada
dua macam :
a. Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’
dengan secara khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa
Ramadhan,membayar zakat.
b. Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi
objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar
kaffarat (denda melanggar).
Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:

4
a. Wajib mu’aqqat, yaitu : sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara
pasti dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing- masing sholat itu
dibatasi waktu tertentu, artiya tidak wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa
jika mengakhirkan sholat tanpa udhur.
b. Wajib mutlaq, yaitu : sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti
tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang
mampu.
Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam :
a. Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya,
seperti zakat.
b. Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak ditentukan
ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.
2. Mandub
Kata mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang dianjurkan”. Secara
terminologi yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-nya
dimana akan diberi pahala jika melaksanakannya. Namun tidak mendapat dosa
orang yang meninggalkannya. Seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan,
mandub terbagi menjadi tiga tingkatan :
a. Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang dibiasakan
oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya misalnya salat sunnah dua rakaat
sebelum fajar.
b. Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah
namun bukan menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan salat sunah dua kali
dua rakkat sebelum salat dhuhur.
c. Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah sebagai
manusia misalnya sopan santunnya dalam makan dan tidur

5
3. Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah
ahli syara’ haram ialah: “pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena
mengerjakanya”. Sedaangkan secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti
sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,dimana orang yang melanggarnya
dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya
karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan berzina dalam firman Allah
:
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau
diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan
manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan). Haram
terbagi menjadi dua :
a. Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa hukum
syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina,
mencuri, shalat tanpa bersuci, mengawini salah satu muhrimnya dengan
mengetahui keharamannya
b. Haram karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada awalnya
ditetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi bersamaan dengan
sesuatu yang baru yang menjadikannya haram: seperti sholat yang memakai baju
gosob, jual beli yang mengandung unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang
dijatuhkan pada saat istri sedang haid).
4. Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”.dalam istilah
ushul fiqh kata makruh, menurut mayoritas ulama ushul fiqh, berarti sesuatu yang
dianjurkan syari’at untuk ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila
dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya berkumur dan memasukkan air ke hidung
secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa karena dikhawatirkan air akan
masuk kerongga kerokongan dan tertelan.

6
5. Al ibahah (kebolehan)
Secara bahasa berarti”sesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan”, menurut
para ahli ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada mukalaf untuk memilih
antara melakukan atau meninggalkannya. Misalnya, ketika didalam rumah tangga
terjadi cekcok yang berkepanjangan dan dikhawatirkan tidak dapat lagi hidup
bersama maka boleh (mubah) bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada
suami agar suaminya itu menceraikannya, sesuai dengan QS.Al-Baqarah:229). Dan
juga termasuk mudah bila syar’i memerintahkan suatu perbuatan dan terdapat
alasan yang menunjukkan bahwa perintah itu berarti mubah.
Misalnya, dalam QS. Al Maidah : 2 4‫وإذا حللتم فاصطادوا‬
“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu”
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwa faqat membagi mubah kepada tiga
macam:
a. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada sesuatu hal yang
wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum hukumnya mubah, namun
mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban
yang dibebankan kepadanya seperti sholat dan mencari rizki. Mubah yang seperti
ini bukan berarti dianggap mubah dalam hal memilih makan atau tidak makan,
karena meninggalkan makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan
dirinya.
b. Sesuatu baru dianggap mudah bilamana dilakukan sekali-sakali, tetapi haram
hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain, mendengarkan musik.
c. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu
yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk kepentingan
kesenangan. Hidup senang itu hukumnya mubah dan untuk mencapai kesenangan
itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat
mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak layak dengan
menggunakan sesuatu yang dilarang.

7
2.3 Wajib
2.3.1 Pengertian Wajib
Para ahli ushul memberikan definisi wajib ialah:
“Wajib menurut syara’ ialah apa yang dituntut oleh syara’ kepada mukallaf untuk
memperbuatnya dalam tuntutan keras.”
Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan jika dikerjakan akan
mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan berdosa.
Wajib ini dapat dikenal melalui lafal atau melalui tanda (qarinah) lain. Wajib
yang ditunjuk melalui lafal seperti dalam bentuk lafal amar (perintah) dalam
firman Allah:
‫َّلالُ َ ِنَّنِي أ إ‬4L َ‫صلةَ ِلِذ ْ ِكري َ نَا فَا ْعبُ ْدنِي َوأ َ ََّل أ ِ هَ إ ٰ َ َل ِ َل إ نَا‬
َ َّ ‫قِم ال‬
Artinya: “dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha:14)
Dapat juga dikenal melalui kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu
sendiri yang menunjukkan wajib seperti dalam firman-Nya:
ِ ‫ت َب َعلَى ال ْي ُ ُكم ال ِ صيَا َمنُوا ُك‬
‫ت َب َع َل ِذي َن آ َّ َها ال يُّ يَا أ َن‬ َ ‫تَتَّقُو َّ ْبِل ُ ْكم لَ َعل ِذي َن ِم ْن‬
ِ ‫ق َّ ُم َ َكما ُك‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu.” (QS. Al-Baqarah: 183).
2.3.2 Pembagian Wajib
Dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat:
Dilihat dari segi tertentu atau tidak tertentunya perbuatan yang dituntut,
wajib dapat dibagi dua:
a. Wajib mu’ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatannya, misalnya
membaca fatihah dalam shalat.
b. Wajib mukhayyar, yaitu yang boleh pilih salah satu dari beberapa macam
perbuatan yang telah ditentukan. Misalnya, kifarat sumpah yang memberi tiga
8
alternatif, memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian sepuluh
orang miskin, atau memerdekakan budak.
Dilihat dari segi waktu mengerjakannya dan waktu yang tersedia untuk
mengerjakan yang diwajibkan.wajib yang seperti ini dapat dibagi menjadi dua
macam:
a. Wajib muwassa’, waktu yang tersedia untuk melaksanakan yang diwajibkan itu
lebih luas atau lebih banyak dari waktu mengerjakan kewajiban itu. Misalnya
shalat zuhur. Waktu yang tersedia untuk melaksanakan shalat zuhur jauh lebih
lapang dibandingkan dengan waktu yang terpakai untuk melaksanakan shalat
zuhur. Maka wajib yang seperti ini dapat dilaksanakan pada awal waktu atau pada
pertengahan waktu atau pada akhir waktu. Jika wajib muwassa’ ingin dikerjakan
pada pertengahan atau akhir waktu maka menurut para ulama hendaklah berniat
setelah tiba waktunya (awal waktu) untuk menunda pelaksanaannya pada waktu
yang diinginkan karena kalau tidak diniatkan maka mungkin termasuk orang yang
melalaikan waktu.
b. Wajib mudhayyiq, yakni yang waktunya yang tersedia persis sama atau sama
banyak dengan waktu mengerjakan kewajiban itu. Seperti puasa bulan
Ramadhan. Puasa itu sendiri menghabiskan seluruh hari bulan Ramadhan. Karena
itulah wajib mudhayyiq tidak dapat ditunda dari waktu yang tersedia untuk
mengerjakannya.
Dilihat dari segi kadar (kuantitas)nya dan bentuk tuntutan, terbagi kepada dua:
a. Wajib muhaddad, ialah yang ditentuka oleh syara’ bentuk perbuatan yang
dituntut dan mukallaf dianggap belum melaksanakan tuntutan itu sebelum
melaksanakan seperti yang telah dituntut oleh syara’ atau dengan kata lain adalah
kewajiban yang telah ditentukan kadar atau jumlahnya. Contohnya shalat, zakat,
dan pelunasan hutang. Shalat lima waktu telah ditetapkan waktunya, jumlah
rakaatnya, rukun dan syaratnya. Zakat telah ditetapkan jenis benda yang wajib
dizakati dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan. Wajib muhaddad kalau tidak
dilaksanakan maka menjadi hutang dan boleh diambil dengan paksa.

9
b. Wajib ghairu muhaddad, ialah perbuatan yang wajib dan tidak wajib yang tidak
ditentukan cara pelaksanaanya dan waktunya atau kewajiban yang tidak
ditentukan batas bilangannya, seperti infak fi sabilillah, memberi bantuan kepada
orang yang berhajat, tolong menolong, dan lain sebagainya. Wajib ghairu
muhaddad jika tidak dilaksanakan tidak menjadi hutang dan tidak boleh dipaksa
Dilihat dari segi orang yang harus mengerjakannya, terbagi kepada dua bagian:
a. Wajib ‘ain, ialah tuntutan syara’ untuk melaksanakan sesuatu perbuatan dari
setiap mukallaf dan tidak boleh diganti oleh orang lain, seperti kewajiban
mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Wajib ini disebut juga fardhu ‘ain.
b. Wajib kifayah, ialah wajib yang dibebankan kepada sekelompok orang dan jika
ada salah seorang yang mengerjakannya maka tuntutan itu dianggap sudah
terlaksana, namun bila tidak ada seorangpun yang mengerjakannya, maka
berdosalah sekelompok orang tersebut. seperti amar ma’ruf dan nahi munkar,
shalat jenazah, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya.
2.4 Muqaddimah Wajib
Muqaddimah wajib memiliki dua bentuk, yaitu:
1. Suatu kewajiban tidak akan terwujud kecuali dengan mengerjakan
muqaddimahnya . Ini terbagi menjadi dua :
a. Muqaddimah yang ditentukan oleh syareat, seperti : wudlu adalah
muqaddimah untuk mengerjakan kewajiban sholat.
b. Muqaddimah yang ditetapkan oleh akal, seperti : berjalan menuju Mekkah
adalah muqaddimah untuk mengerjakan haji, menyuci sebagian kepala adalah
muqaddimah untuk bisa melaksanakan kewajiban menyuci muka dengan
sempurna, karena kalau muqaddimah tersebut tidak dilaksanakan, bisa dipastikan
kewajiban meyuci muka tidak bisa terlaksana dengan sempurna. Begitu juga
puasa pada sebagian malam adalah muqaddimah untuk berpuasa pada pagi
harinya, karena kita tidak bisa berpuasa dari fajar sampai Maghrib keculai kalau
kita berhenti makan sebelum datangnya fajar.

10
2. Kita tidak bisa mengetahui suatu kewajiban kecuali harus mengerjakan
muqaddimahnya, seperti : seseorang yang meninggalkan salah satu sholat dari
sholat lima waktu yang ada, akan tetapi dia tidak mengetahui secara pasti sholat
apa yang ditinggalkannya . Dalam kondisi seperti ini, dia harus mengerjakan
seluruh sholat lima waktu, karena hanya dengan demikian dia bisa mengerjakan
sholat yang ditinggalkannya tersebut. Maka empat sholat yang ia kerjakan
merupakan muqaddimah wajib, sedangkan kewajiban yang sebenarnya hanyalah
satu sholat saja. Muqaddimah wajib tersebut harus ia kerjakan untuk menuju
kepada kewajiban hakiki-nya.
Contoh lain adalah jika baju kita terkena najis, akan tetapi tidak tahu
dibagian mana najis tersebut, maka kita harus menyuci baju tersebut secara
keseluruhan, karena tanpa itu, najis yang menempel di baju tidak bisa
dihilangkan.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum syara’ adalah khitab Allah dan sabda Rasul. Apabila disebut hukum
syara’, maka yang dimaksud ialah hukum yang berpautan dengan manusia, yakni
yang dibicarakan dalam ilmu fiqh, bukan hukum yang berpautan dengan akidah
dan akhlaq.
Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung pilihan antara
yang dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum Taklifi ini dibagi menjadi lima bagian,
yaitu wajib,mandub, haram, makruh, mubah
11
DAFTAR PUSTAKA

A. Djalil, Basiq., Drs.2014.’’Ilmu Ushul Fiqh”.Jakarta: Kencana Prennadamedia


Group
A. Djazuli., Prof., H.2004.”Ilmu Fiqh’’.Bandung: Kencana Prennadame
Bakri, Nazar., Drs., H.1991’’Fiqh dan Ushul Fiqh’’Padang: Rajawali Pers
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2002. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Syukur, Asywadie. 1990. Pengantar dan Ushul Fikih. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Umar, Mukhsin Nyak. 2008. Ushul Fiqh. Banda Aceh: Ar-Raniry Press,
Darussalam Banda Aceh bekerja sama dengan AK Group Yogyakarta.
Yahya, Mukhtar dan Fatchur Rahman. 1986. Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islam.
Bandung: PT Alma’arif
12

Anda mungkin juga menyukai