Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH

HUKUM WADH’I

Diajukan Sebagai Mata Kuliah


Ushul Fiqh
Dosen Pengampuh
Dr. Ahmad, M.Hi.

Oleh :

KELOMPOK VI

Rasydah : 16010101059
Filk Saharudin : 17010101014
Anis Ulfa : 16010101076
Yasin Alfayer : 16010101086

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KENDARI
TAHUN 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur marilah kita panjatkan kepada Allah SWT. karena izin dan ridha-
Nya jualah, penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini, dengan judul “
HUKUM WADH’IY” pada mata kuliah Ushul Fiqh.
Shalawat dan Salam selalu terlimpah kepada junjungan Nabi besar kita yakni Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wassalam, keluarga, sahabat, tabiin, dan kita semua sebagai
umat yang senantiasa menjalankan sunnah-sunnahnya sampai akhir hayat.
Lewat kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada bapak dosen yang telah
membimbing kami dalam proses belajar, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun agar
penulis bisa memperbaiki kesalahan dan kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Terlepas dari kekurangan makalah ini, penulis mengharapkan semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca dan in sya Allah menjadi amal jariyah bagi penulis. Aamiin.

Kendari, 29 April 2019

Penulis

Kelompok VI

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................2
DAFTAR ISI......................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................4
A. Latar Belakang…………………………………………………………………...4
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………..4
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………..5
A. Definisi Hukum Wadh’iy………………………………………………………...5
B. Pembagian Hukum Wadh’iy……………………………………………………..6
1. Sebab......................................................................................................................6
2. Syarat......................................................................................................................8
3. Mani’......................................................................................................................10
4. Rukhsoh dan’ Azimah............................................................................................12
5. Sah Dan Batal.........................................................................................................16
6. Fasid……………………………………………………………………………...17
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………...19
A. Kesimpulan……………………………………………………………………….19
B. Saran……………………………………………………………………………...19
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………20.

BAB I

PENDAHULUAN

3
A. Latar Belakang
Pada dasarnya hukum syara’ ditetapkan Allah adalah sebagai rahmat Allah bagi
hamba-Nya. Rahmat Allah itu merata diberikan tanpa terkecuali. Karena itu pada aslnya
hukum itu ditujukan kepada semua manusia mukallaf tanpa terkecuali. Disamping itu
hukum Allah mengandung pembatasan-pembatasan, perintah-perintah, dan larangan-
larangan yang pada dasarnya masih dalam batas-batas kemampuan mukallaf untuk
melaksanakanya, kareana Allah tidak memberati seseorang kecuali dalam batas
kemampuanya.

Hukum sayara’ itu khusus pada nash, karena nash itulah doktrin dari syar’i dan
hukum itu tidak mencakup dalil-dalil syara’ yang lain, seperti qiyas ijma’ dll. Tetapi semua
dalil-dalil syar’i selain nash, ketika diterapkan kepada nash-Nya maka hakikatnya adalah
doktrin dari syar’i. Dari hal tersebut hukum syara’ tidak hanya terdapat satu macam,
karena hukum itu ada kalanya berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk
tuntutan, pilihan atau berbentuk ketetapan. Hukum yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan disebut dengan hukum taklifi, dan hukum
yang berbentuk dengan ketetapan disebut dnegan hukum wadh’i, yang mana didalamya
terdapat sebab, mani’ (pengahalang), syarat, shah, batal, dan rukhsoh atau azimah.

Dalam tulisan ini pemakalah akan mencoba untuk membahas tentang hukum wadh’i
dan lingkup yang ada dalam hukum wadh’i itu sendiri, seperti; sebab, mani’
(pengahalang), syarat, shah, batal, dan rukhsoh atau azimah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi hukum Wadh’i ?
2. Apa Macam-macam pembagian hukum Wadh’i ?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui definisi hukum Wadh’i.

2. Untuk mengetahui Macam-macam pembagian hukum Wadh’i.

BAB II
PEMBAHASAN

4
A. Definisi Hukum Wadh’i
Hukum syar’i atau hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata
“hukum” dan kata “ syara’ ”. kata hukum berasal dari bahasa arab “hukmun” yang secara
etimlogi berarti “memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan”. Kata syara’ secara
etimologis berarti: “jalan yang bisa dilalui air”. Maksudnya adalah jalan yang dilalui
manusia menuju kepada Allah. Kata ini secara sederhana berarti “ketentuan Allah” . Bila
kata hukum di rangkaikan dengan kata syara’ yaitu hukum syara’ akan berarti seperangkat
peraturan berdaasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan
diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama islam”.
Pengetahuan tentang hukum syara’ merupakan hasil nyata dari pengetahuan tentang
fiqh dan ushul fiqh. Produk dari dua ilmu ini adalah pengetahuan tentang hukum syara’
dalam hal menyangkut tingkah laku manusia mukallaf. Hanya saja kedua ilmu ini
memandang dari arah yang berbeda. Ilmu ushul fiqh memandang dari segi kearah metode
pengenalanya dan sumber yang digunakan untuk itu. Sedangkan ilmu fiqh memandang
dari segi merumuskanya dengan peerbuatan dalam lingkup yang digariskan oleh ushul
fiqh. Dari definisi hukum syara’yaitu titah Allah yang menyangkut perbuatan mukallaf
dalam bentuk tuntutan, pilihan, dan ketentuan, maka hukum syara’ dibagi menjadi dua,
yaitu; hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Titah Allah yang berbentuk hukum wadh’i merupakan ketentuan yang ditetapkan
Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan
mukallaf itu, seperti tergelincirnya matahari menyebabkan masuknya waktu sholat dzuhur.
Kata waadha’ (ketentuan) artinya adalah bahwa pembuat hukum (syar’i) mengaitkan dua
hal yang menyangkut perbuatan mukallaf dengan arti salah satu menjadi sebab, atau
syarat, atau penghalang bagi yang lainya. Umpamanya Allah dalam firman-Nya
mengaitkan antara hak kewarisan dengan kematian seseorang. Dengan demikian kematian
menjadikan sebab adanya peristiwa keawarisan. Atau perbuatan sholat dengan
pelaksanaan wudhlu, yang berarti wudlu itu menjadi syarat bagi perbuatan sholat. Ataupun
Nabi mengaitkan pembunuhan dengan tidak berhak atas warisan yang berarti pembunuhan
itu menjadi penghalang untuk hak kewarisan.1
Hukum wadh’i berbeda dengan hukum taklifi, diantara perbedaan terse but adalah,
jika hukum taklifi adalah menuntut, mencegah, atau membolehkan perbuatan. maka
hukum wadh’i tidak bermaskud menuntut, melarang, atau membolehkan, tetapi hanya

1
Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta; Logos Wacana Ilmu.1997). Hlm 281-283
5
menerangkan sebab, syarat, mani’ (penghalang), dan adakalanya tentang rukhshah,
azimah, shah dan batal.
Hukum wadh’i ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia, tetapi bisa
berbentuk ketentuan-ketentuan yang ada kaitanya dengan perbuatan mukallaf, yang
dinamakan hukum taklifi. Baik hubungan itu dalam bentuk sebab, atau syarat, atau
penghalang. Kelangsungan suatu hukum taklifi berkaitan dengan hal-hal yang ada dalam
hukum wadh’i, bila sudah memenuhi bagian-bagian dari hukum wadh’i, maka perbuatan
itu dinyatakan sudah memenuhi ketentuan hukum, yang nantinya akan masuk pada bagian
hukum taklifi.
B. Pembagian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i terbagi menjadi lima. Hukum wadh’i adakalanya menjadikan sesuatu
sebagai sebab, syarat, penghalang, atau menjadikan adanya keringanan sebagai ganti dari
hukum asal, dan sah atau tidak sah.
1. Sebab
Sebab adalah sesuatu yang oleh syar’i dijadikan sebagai tanda atau suatu akibat dan
hubungan adanya akibat dengan sebab, serta tidak adanya akibat karena tidak adanya
sebab. Oleh karena itu ada sebab pasti ada akibat dan tidak ada sebab pasti tidak ada
akibat. Jadi, sebab ini adalah suatu yang nyata dan pasti yang dijadikan sebagi tanda atas
hukum syara’ , yaitu akibat. Sehingga adanya akibat pasti ada sebab dan tidak ada akibat
pasti tidak ada sebab.
Dalam arti istilah definitif dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut:

‫ب مويمنلمزمم همنن معمدهمهه معمدمم‬ ‫ع أممماَ مرةة لهمو مجنوهد انلمحنكهم يمنلمزمم همنن مومجنوهدهه مومجنوهد انلمم م‬
‫سب ب م‬ ‫ضبهطم البهذ ن‬
‫ي مجمعلمهم ال ب‬
‫شاَهر م‬ ‫المنممر ال ب‬
‫ظاَههمر انلممنن م‬
‫ب‬ ‫انلمم م‬
‫سبب م‬

“sesuatu yang jelas, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya
hukum; lazim dengan adanya tanda itu, ada hukum dan dengan tidak adanya, tidak ada
hukum”.

Masuknya bulan ramadhan menjadi pertanda datang-Nya kewajiban puasa ramadhan.


Masuknya bulan ramadahan adalah sesuatu yang jelas dan dan dapat diukur apakah betul
bulan ramdahan itu sudah datang atau belum. Masuknya bulan ramadhan disebut dengan
sebab, sedangkan datangya kewajiban puasa ramadhan disebut dengan musabbab atau
hukum. Ada atau tidak adanya kewajiban puasa ramadhan diketahui dengan telah ada atau
belumnya masuk waktu ramadhan. lazimnya dengan masuknya bulan ramadhan berlaku
6
wajibnya puasa dan lazim pula dengan belum masuknya bulan ramadhan belum adanya
kewajiban puasa ramadhan. Masuknya waktu itu menjadi pertanda datangnya hukum
wajib.

Al Syathibi berpandangan bahwa sebab adalah sesuatu yang ditetapkan secara syara’
bagi suatu hukum karena suatu hikmah yang dikehendaki oleh suatu hukum itu, dan dia
menjadikan illat sebagai kemaslahatan syari’at yang berkaitan dengan perintah, dan
kerusakan yang berkaitan dengan larangan. Menurut Al Syathibi sebab itu meliputi illlat
ketika sama-sama menjadi alasan, atau satu arti denganya. Barang siapa melakukan akad
nikah, akad jual beli, atau akad secara mutlak, kemudian bermaksud agar tidak
menimbulkan akibat dari akad itu, maka tujuanya itu sia-sia. Demikian pula apabila
seseorang melakukan talak atau pemerdekaan budak, lalu bermaksud agar akibatnya tidak
terjadi, maka hal itu adalah tujuan yang batal. Dengan demikian, pengharaman-
pengharaman perbuatan yang dihalalkan Allah seperti makan, minum dan nikah adalah
sia-sia (tidak sesuai dengan tujuan syara’). Dia tidak dihukumi nikah saat itu, dan tidak
bermaksud menta’liq nikahnya menurut kelompok hanafi secara mutlak, dan pendapat
kelompok maliki pada point ta’liq nikah.
Kesimpulanya adalah bahwa kerusakan-kerusakan yang timbul dari sebab yang
ditetapkan syara’ sebenarnya bukanlah timbul dari penetapan syara’ melainkan dari sebab
lain yang bersesuaian denganya. Seperti pendapat ulama’ hanafi tentang ketetapan hak
milik sebab perampasan dan hukum mushaharah sebab zina. Pemilikan dan mushaharah
sebenarnya tidak menimbulkan sebab perampasan dan zina, melainkan karena sebab lain.2
Sebab juga dibagi kedalam beberapa macam, diantaranya adalah :
a. Sebab yang berada diluar batas kemampuan mukallaf ialah sebab yang dijadikan Allah
SWT, sebagai pertanda atas adanya hukum. Kita tidak dapat mengetahui kenapa hal itu
yang dijadikan pertanda untuk sebuah hukum oleh Allah SWT. Seperti halnya;
tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya waktu dzuhur. Sebagaimana firman
Allah;
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan
(dirikanlah pula shalat) subuh (Ayat ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima.
tergelincir matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu

2
Syaikh Muhammad Al Khudhairi Biek. Ushul Al Fiqh; (Edisi Indonesia) Ushul Fiqh. (Penj; Faiz El Muttaqin.
Jakarta; Pustaka Amani. 2007). Hlm 111-115.
7
Magrib dan Isya.)Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-isra’;
78)
Tergelincirnya matahari yang menjadi sebab masuknya waktu dzuhur itu, disamping
kita tidak mengetaui hubunganya, kita juga tidak mungkin berbuat untuk menggelincirkan
matahari agar segera datangnya kewajiban tersebut.
b. Sebab yang berada dalam batas kemampuan mukallaf, yang ditetapkan oleh pembuat
hukum tentang akibat hukumnya. Artinya perbuatan mukallaf yang nyata dijadikan
pertanda adanya hukum. Umpamanya keadaan dalam perjalanan menjadi sebab
bolehnya menqhosor sholat (dengan memenuhi syarat yang telah ditentukan, seprti
jarak). Perjalanan itu disebut sebab, hal itu merupakan suatu bentuk perbuatan
mukallaf yang dilakukan dengan sadar dalam kemampuanya. Akibat adanya sebab ini,
maka Allah memberikan rukhsoh.

c. Sebab yang menjadikan hal untuk menetapkan kepemilikan , kehalalan atau


menghilangkan keduanya. Seperti jual beli untuk menetapkan kepemilikan dan
menghilangkan kepemilikan. Akad perkawinan untuk menetapkan kehalalan.

Ketika syara’ membuat akad atau pengelolaan sebagai sebab hukum, maka hukum
itu terjadi atas akad itu menurut syara’, dan adanya hukum itu tidak tergantung pada
maksud mukallaf, artimya mukallaf tidak berhak melepaskan sesuatu yang telah diikat
oleh syara’, yaitu akibat dengan sebabnya

2. Syarat
Menurut para ahli yang dikemukakan oleh Abu Zahrah,, yaitu :
‫مهمو الم نممر البهذىِ يمتمموقب م‬
‫ف معلمنيهه مومجنومد انلمحنكهم يمنلمزمم همنن معمد همهه معمد ممنل محنكهم مولم يمنل مزمم همنن مومجنو هدهه مومجنو مد انلمحنكهم‬
“Yaitu sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak adanya,
tidak ada hukum, tetapi tidaklah lazim dengannya, ada hukum”.

Dari satu segi (Syarat) sama dengan “Sebab”, yaitu “Hukum tergantung kepada
adanya”, sehingga bila ia tidak ada, maka pasti hukum pun tidak ada. perbedaan antara
keduanya adalah pada Sabab, keberadaanya melazimkan adanya hukum, tetapi adanya
Syarat belum tentu adanya hukum.
Contoh Syarat : Wali dalam pernikahan menurut jumhur ulama merupakan salah satu
syarat dalam melaksanakan pernikahan, jika tidak ada wali maka pernikahan tersebut tidak
akan sah, tetapi dengan adanya wali belum tentu nikah itu sah, karena masih ada syarat
lain seperti saksi, akad dan lain sebagainya.
8
Contoh Sebab : Masuknya waktu Sholat yang mewajibkan umat muslim untuk
melaksanakannya. Jika belum masuk waktu sholat maka belum ada kewajiban untuk
melakukan sholat tetapi jika sudah masuk waktunya maka sebaliknya.
Ulama ushuliyyin membagi syarat kepada beberapa bagian :
1) Syarat hakiki (syar’ih) yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan sebelum mengerjakan
yang lain dan pekerjaan itu tidak diterima (sah) bila pekerjaan yang pertama belum
dilakukan. Misalnya, wudhu menjadi sala-satu syarat syahnya sholat dan menjadi saksi
syarat sahnya nikah. Syarat hakiki ini dibagi ke dalam 2 bagian :
 Syarat untuk menyempurnakan sebab. Misalnya adanya unsur kesengajaan dan
permusuhan adalah dua buah syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya
hokum Qisash. Begitu juga genap satu tahun adalah syarat penyempurnaan untuk
memenuhi nisab yang menjadi sebab wajib zakat. Dan adanya dua orang saksi adalah
syarat penyempurnaan akad perkawinan yang menjadi sebab halalnya “berkumpul”
antara seorang laki-laki dan perempuan.
 Syarat untuk menyempurnakan musabbab. Misalnya bersuci adalah syarat
penyempurnaan sholat yang wajib disebabkan telah masuknya waktu sholat. Begitu
juga matinya orang yang akan menerima waris atas adalah dua syarat penyempurna
untuk saling mempusakai yang disebabkan adanya ikatan perkawainan atau adanya
hubungan kekerabatan (keturunan)
2) Syarat jali’.
Yaitu segala syarat yang dibuat oleh orang-orang yang mengadakan transaksi dan
dijadikan tempat bergantungnya serta terwujudnya transaksi tersebut. Misalnya seorang
pembeli membuat syarat bahwa ia mau membeli sesuatu barang dari seoarng penjual
dengan sayarat boleh dengan cara mencicil. Bila syarat itu diterima oleh oleh sipenjual
jual-beli tersebut dapat dilakukan.
Syarat yang dibuat oleh yang melakukan transaksi (jali’)ini disebut syarat kamal
(syarat penyempurnaan), bila hal ini dimaksudkan untuk menambah kesempurnaan
masyrutnya, yakni ketiadaan tidak akan menyebabkan gagalnya masyrut, tetapi hanya
menjadikan kurang sempurnanya masyrut tersebut. Selai itu, syarat seperti ini dpat di
sebut syarat sah bila syarat tersebut dijadikan untuk mensahkan masyrutnya. Artnya bila
tidak ada syarat tidak akan terwujud masyrut.
Perlu ditambahkan bahwa ada pekerjaan yang tergantung adanya kepada sebab dan
syarat sekaligus.telah adanya sebab tetapi syarat belum ada, maka sebab tersebut tidak
dapat bekerja atau tidak dapat mempengaruhi kepada pekerjaan itu. Wudhu adalah syarat
sah sholat magrib, misalnya dan terbenamnya matahari adalah sebab wajibnya sholat itu,

9
sebelum berwudhu tidak sah mengerjakan sholat magrib meskipun matahari telah
terbenam di ufuk barat.

3. Mani’ (Penghalang)
Secara definitif para ahli mengartikan Mani’ (‫ )الماَنع‬dengan :
‫ب أمهوانلمحنكهم‬
‫سب م ه‬ ‫ض انلممقَ م‬
‫صنومد هممن ال ب‬ ‫ي يممناَفهني مومجنومدهم انلمغمر م‬
‫شنرهعني البهذ ن‬ ‫مهمو ا ن م‬.
‫لم~مر ال ب‬

Yaitu sesuatu yang dari segi hukum, keberadaannya meniadakan tujuan dimaksud dari
sebab atau hukum.
Kata amru syar’i yang disebut dalam definisi menunjukkan bahwa yang menjadi
penghalang itu adalah suatu perbuatan hukum yang ditetapkan oleh pembuat hukum itu
sendiri sebagai penghalang yaitu hadis Nabi yang mengatakan :
‫انلمقَاَتهمل لميمهر م‬.
‫س‬

Si pembunuh tidak berhak mewarisi orang yang dibunuhnya.

Dilihat dari segi sasaran yang dikenai pengaruhnya mani’ terbagi atas dua macam,
yaitu :
a) Mani’ yang berpengaruh terhadap sebab, maksudnya karena adanaya mani’ tersebut
sehingga mengakibatkan “sebab” tidak berlaku/ berarti. Contohnya, dalam masalah
“utang” keadaan berutang itu menyebabkan kekayaan mencapai se-nisab sehingga
sebab diwajibkannya zakat tidak diperahatikan lagi. Sehingga tidak diwajibkan zakat
atas orang yang berhutang meskipun jumlah kekayaannya mencapai niasb.
b) Mani’ yang berpengaruh terhadap hukum, yaitu menolak adanya hukum meskipun ada
sebab yang mengakibatkan adanya hukum. Contonya, keadaan pembunuh adalah ayah
si korban menghalangi atau menolak berlakunya hukum qisash, meskipun adanya
sebab (pembunuhan) itu tentu ada hukum qisashnya, tetapi karena adanya mani’ (si
pembunuh adalah ayah si korban), sebagaimana ditegaskan dalam sabda Nabi yang
berbunyi :
‫لم يممقَاَ مدانلم م‬
‫ب باَ ه نبنههه‬
“Tidaklah diqisash seorang ayah karena membunuh anaknya”.
Ulama Hanafiyah membagi mani’ menjadi lima macam, yaitu :
a. Mani’ yang menghalangi kelangsungan sebab. Umpamanya menjual seseorang yang
merdeka. Mani’nya terletak pada bentuknya yang tidak dapat dijadikan objek untuk
dijual, karena ia bukan benda jualan.
b. Mani’ yang menghalangi kesempurnaan sebab pada hak pihak yang tidak ikut dalam
akad. Seperti menjual sesuatu yang dimiliki orang lain. Sebab, berlaku pada hak orang

10
yang berakad hingga ia tidak punya wilayah atau wewenang untuk membatalkannya.
Tidak sempurnanya sebab itu dalam hak pemilik harta karena tidak adanya wewenang
orang yang berakad atasnya. Akad dapat berlangsung bila dibenarkan oleh pemilik
harta dan batal bila pemilik harta membatalkannya.
c. Mani’ yang menghalangi mulai berlakunya hukum , seperti khiyar syarat bagi si penjual
mencegah pemilikan barang yang dijual oleh si pembeli, sekalipun akad jual beli telah
berlangsung dalam hak keduanya secara sempurna.
d. Mani’ yang menghalangi kesempurnaan hukum, seperti khiyar ru’yah. Pemilikian tidak
terhalang tetapi tidak sempurna dengan adanya barang yang dibeli tanpa dilihat.
Karenanya orang yang mempunyai hak khiyar dapat membatalkan jual beli tanpa
putusan hakim atau kerelaan kedua belah pihak.
e. Mani’ yang menghalangi kelaziman hukum, misalnya khiyar ‘aib atau cacat. Hukum
tetap berlaku bersama khiyar tersebut secara sempurna sehingga ia mempunyai
wewenang untuk bertasaruf dalam barang jualannya, tetapi ia tidak mungkin
membatalkannya sesudah barang itu diterima kecuali dengan kerelaan kedua belah
pihak atau berdasarkan putusan hukum.
Kemudian Al-Amidi menambahkan pembicaraan mengenai sah dan batal, serta
azimah dan rukhshah ke dalam pembagian hokum wadh’ih ini

4. Rukhsoh dan ‘Azimah


a. Pengertian Aziamah
Yang dimaksud dengan azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan
terdiri dari hokum-hukum yang berlaku umum. Artinya , hokum itu berlaku bagi setiap
mukallaf dalam semua keadaan dan waktu biasa (bukan karna atau pertimbangan yang
lain) dan sebelum peraturan tersebut belum ada peraturan lain yang mendahuluinya .
misalnya bangkai menurut hokum asalnya adalah haram dimakan untuk semua orang,
ketentuan ini disebut juga dengan hokum pokok.
b. Pengertian Rukhshah
Yang dimaksud dengan rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak
dilaksanakan karna adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan azimah.
Dengan kata lain rukhshah adalah pengecualian hokum-hukum pokok (Azimah)
sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.
c. Hukum azimah dan rukhshah
Selama tidak ada hal-hal yang menyebabkan adanya rukhshah seorang mukallaf
diharuskan mengambil azimah, karna memang begitulah ketentuan-ketentuan pokok dari
Allah dalam mensyariatkan peraturannya, namun bila ada hal yang memberatkan sehingga
11
menimbulkan kefatalan dibolehkan mengambil rukhshah. Misalnya seorang yang dalam
keadaan terpaksa dibolehan memakan bangkai yang hukum asalnya adalah haram.
Artinya, dalam keadaan normal seseorang diwajibkan untuk tidak memakan bangkai
sehingga memakan bangkai itu haram hukumnya bagi orang tersebut. Namun dalam
keadaan terpaksa orang itu diberi kebolehan memakan bangkai tersebut maka dengan
sendirinya hukum rukhshah tersebut mubah ketentuan semacam ini dapat dilihat dalam
firman Allah surat Al-Baqarah ayat (173) yang membolehkan kita memakan apa yang
diharamkan ketika terpaksa, begitu juga ayat (201) surat An-nisa yang membolehkan kita
mengqashar sholat ketika sedang dalam perjalanan. Ketika ayat ini menyatakan bahwa
hukumnya rukhsha itu boleh, bukan wajib.
d. Macam-macam Rukshah
Ulama ushul fiqh mengelompokkan rukhshah kepada 4 bagian yaitu:
1. Pembolehan sesuatu yang dilarang (diharamkan) dalam keadaan darurat atau karna
hajat yang sangat mendesak sebagai keringana bagi mukallaf. Misalnya barang siapa
yang dipaksa mengucapkan kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman kepadada
Allah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 106.
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesuadah dia beriman (dia akan mendapat
kemurkaan dari Allah)kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (dia tidak berdosa)”
2. Pembolehan meninggalkan yang wajib karena uzur, dimana jika melaksanakan
kewajiban itu akan menimbulkan kesulitan bagi mukallaf. Misalnya orang yang sakit
atau sedang dalam bepergian dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Sesuai
dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 184 yaitu:

“maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada
hari-hari yang lain”
3. Pemberian pengecualian sebagian berkaitan karna menyangkut kebutuhan masyarakat
dalam penghidupan muamalat (sehari-hari) misalnya transaksi jual beli yang belum ada
pada saat perikatan diadakan, tetapi harganya sudah ada terlebih dahulu. Pada
prinsipnya jual beli seperti itu tidak memenuhi persyaratan umum untuk sahnya suatu
transaksi jual beli yaitu barang yang akan diperjual belikan itu ada disaat transaksi
dilakukan tetapi karna hal itu berlaku dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat maka
perikatan seperti itu disahkan secara rukhshah. Ini sesuai dengan hadis nabi:

12
“Rasul melarang manusia menjual sesuatu yang ada bersamanya disaat transaksi,
namun beliau member dispensasi untuk jual beli pesanan”
4. Pembatalan hokum-hukum yang merupakan beban yang memberatkan umat terdahulu,
misalnya memotong bagian kain yang kena najis, mengeluarkan zakat ¼ harta, tidak
boleh sholat selain di masjid dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak berlaku lagi bagi
umat islam, sebagai keringanan (rukhshah) bagi mereka. Karena itu, ketentuan bagi
umat terdahulu itu diberlakukan bagi uamat islam, mereka akan banyak sekali
menemukan kesulitan yang memberatkan. Hal ini diisyaratkan Allah dalam surah Al-
Baqarah ayat: 286
“Ya Tuhan kami janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami”

Ulama’ kelompok hanafi membagi rukhshah menjadi dua, yaitu rukhshah tarfiih dan
rukhshah isaqaath.
a) Ruhkhshah tarfiih
Rukhshah yang meringankan dari pelaksanaan hukum azimah, namun hukum
azimah tersebut tetap berlaku dalilnya. Hanya saja pada waktu tertentu diperbolehkan
meninggalkan sebagai bentuk keringanan baginya. seperti seseornag yang dipaksa untuk
mengucapkan kata-kata kufur. Sepertii firman Allah:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan
Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman
(dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka
kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”. (An nahl; 106).

b) Rukhshah isaqath
Rukhshah yang menggugurkan hukum azimah terhadap pelakunya saat keadaan
rukhsahah itu berlangsung. Dalam keadaan rukhshah itu maka hukum yang berlaku bagi
yang sedang terpaksa adalah hukum rukhshah, bukan hukum azimah karen apada waktu
itu hukum azimah tidak berlaku atasnya. Umpamnaya menqashar shalat dalam perjalanan.
Firman Allah:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar
(Menurut Pendapat jumhur arti qashar di sini Ialah: sembahyang yang empat rakaat
dijadikan dua rakaat. Mengqashar di sini ada kalanya dengan mengurangi jumlah rakaat
dari 4 menjadi 2, Yaitu di waktu bepergian dalam Keadaan aman dan ada kalanya dengan
meringankan rukun-rukun dari yang 2 rakaat itu, Yaitu di waktu dalam perjalanan dalam

13
Keadaan khauf. dan ada kalanya lagi meringankan rukun-rukun yang 4 rakaat dalam
Keadaan khauf di waktu hadhar) sholatmu”. (An nisa’: 101).

Namun terdapat perbedaan dari kalangan ulama’, Jika ulama’ hanafiyah mengangap
bahwa hukum azimah gugur dengan adanya perjalanan (yang telah memenuhi syarat)
untuk menqashar, maka pendapat selain ulama’ hanafiyah berpendapat bahwa orang dalan
perjalanan itu dapat memilih anatar qashar atau tidak.
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhshah itu tergantung
kepada bentuk udzur yang menyebabkan adanya rukhshah tersebut, dengan demikian
menggunakan hukum rukhshah dapat menjadi wajib, seperti memakan bangkai ketika
tidak dapat menemukan makanan (yang halal) sedangkan ia khawatir ketika tidak
memakan bangkai tersebut akan memebahayakan dirinya. Hukum rukhsah ada pula yang
sunah seperti berbuka puasa pada siang hari bulan ramadhan, bagi orang yang sakit. Dan
ada juga yang mubah seperti jual beli salam.
Imam Syathibi berpendapat bahwa hukum rukhshah adalah boleh atau mubah,
secara mutlak. Rukhshah hanyalah keringanan atau mengangkat kesulitan sehingga
mukallaf mempunyai kelapangan atau pilihan antara menggunakan hukum azimah atau
nmengambil rukhsah. Hal ini menurut beliau berarti mubah, Menurutnya ketentuan ini
sesuai dengan dalil juz’i (rinci) seperti diperbolehknya memakan bangkai. Namun
argumen ini disanggah oleh jumhur ulama’ yang mengatekan bahwa tidaklah mesti dari
firman Allah “tidak berdosa (memakan bangkai)” berarti perbuatan itu hukumnya mubah.
Karena di dalam Al qur’an juga terdapat kata seperti itu hukumnya wajib. Seperti firman
Allah:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah, Maka
Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa
baginya mengerjakan sa'i antara keduanya”.(Al Baqarah: 158)

Dalam ayat ini untuk thowaf pada haji dan umrah disebut dengan ucapan “tidak ada
halangan” padahal thawaf itu adalah hukumnya wajib. Namun Al Syathibi menyanggah
bahwa kata “tidak ada halangan” dalam peggunaan kaidah bahasa arab bila tidak
ditemukan keterangan yang memberi petunjuk bahwa artinya bukan untuk itu, hanya
berarti “izin untuk berbuat sesuatu”. Alasan yang dikemukakan Al Syathibi ini kemudian
disanggah lagi oleh jumhur ulama’ yang mengatakan bhawa ulama’ telah mewajibakan

14
memakan bangkai atas orang yang terpaksa yang ia khawatira ia akan celaka bila tidak
memakanya.
Perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan Al Syathibi dalam menetapkan
hukum rukhshah itu kelihatan pengaruhnya dalam contoh kasus seseorang yang tidak
menemukan makanan halal, ia lebih mementingkan mati kelaparan daripada memakan
makanan yang haram. Menurut jumhur ulama’ yang membagi rukhshah kedalan wajib,
sunah dan mubah, menurut mereka orang yang kelaparan itu seharusnya memakan
bangkai untuk memelihara jiwanya. Bila ia tidak memaknnya lantas ia mati, maka ia fasik
atau berdosa karena meninggalkan kewajbanya untuk menjaga dirinya. Sedangkan Al
Syathibi yang membagi rukhshah hanya dalam bentuk ibahah mengatakan bahwa maslah
ini harus dilihat secara rinci karean perintah unuk memelihara jiwa itu bersifat umum.
Tidak ada nash yang secara pasti mengahruskan memakan bangkai hanya karna fasik ata
berdosa jika meninggalkanya. Oleh karean itu bila ia tidak snggup untuk bersabar maka ia
bisa memakanya. Tapi bila ia sanggup sabar dengan pertimbangan tidak akan mati, maka
ia tidak akan fasik atau berdosa, karena ia telah berbuat sesuatu dengan ketentuan
pertimbangan rukhsah.
Batasan rukhshah adalah bahwa dalilnya hanya menunjukkan kemurahan saja.
Dengan batasan ini, maka tidaklah azimah itu dituntut mengerjakanya, dan tidak pula
dituntut meninggalkanya, sebagaimana rukhshah dari sisi kedudukanya sebagai rukhshah
tidak dituntut mengerjakanya dan tidak pula meninggalkanya. Azimah adalah hukum asal
yang tetap, disepakati dan bersifat pasti. Kedatangan rukhshah meskipun dianggap pasti,
tetapi sebab keringananya tidak terbukti secara pasti, juga tidak ada batasan mengenai
tingkat kesulitan yang diperbolehkan menggunakan rukhshah.
Dari apa yang telah dijelaskan tentang rukhsah dan macamnya maka jelaslah bahwa
hukum itu termasuk bagian hukum wadh’i , karena hukum yang disyariatkan adalah
menjadikan darurat sebagai sebab dalam diperbolehkanya melakukan larangan. Semua itu
pada dasarnya adalah meletakkan sebab untuk akibat.
5. Shah Dan Batal
Semua perbuatan mukallaf yang dituntut oleh syar’i dan semua hukum sebab akibat
yang ditetapkanya, bila telah ditetapkan oleh mukallaf maka syar’i akan menganggapnya
sah ataupun juga batal. Jika perbuatan itu sudah dilaksanakan sesuai dengan tuntutan
syar’i dan apa yang disyariatkanya, artinya sudah memenuhi rukun dan syaratnya, maka
syar’i menghukumi sah, namun jika perbuatan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan

15
tuntutan dan syariatnya, artinya ada cacat dalam rukun atau syartnya, maka syar’i
menghukumi tidak sah. Kemudian dalam hukum muamalah, dikatakan shah bila secara
hukum ia telah menghsilkan peralihan milik dan menghalalkan, atau bolehnya mengambil
manfaat dari sesuatu yang dilakukan.
Dari keterangan diatas, yang di maksud dengan shah dalam bidang ibadah maupun
muamalah adalah mencapai tujuan. Artinya tuntutan berbuat untuk mengikuti tujuan
hukum itu dibenarkan syari’at. Dalam hukum wadh’i suatu sebab dikatakan shah bila
sebab itu dapat menghasilkan hukum (sesuai dengan syari’at). Syarat juga diberi sifat
dengan shah, bila syarat itu dapt melengkapi sebab.
Adapun pengertian tidak shah atau batal atau juga disebut fasad, yaitu tidak adanya
pengaruh suatu syara’. Jika yang dilakukan adalah kewajiban, maka kewajiban itu tidak
gugur. Jika berupa sebab syara’ maka tidak punya pengaruh hukum. Sesuatu tidak shah
mungkin karena cacat dalam rukunya, atau karena tidak memenuhi syaratnya, baik berupa
ibadah, pengelolaan ataupun akad. Oleh karena itu tidak ada perbedaan antara istilah batal
dan fasid (menurut jumhur ulama’). Dalam hal ibadah atau muamalah. Menurut jumhur
ulama’ (termasuk imam syafi’i juga berpendapat ) bahwa akad yang tidak shah itu hanya
ada satu macam, tidak ada perbedaan antara bathal dan fasid dalam ibadah maupun
muamalah.
Namun Ulama’ kelompok hanafi berpendapat bahwa pembagian istilah hukum
dibagi menjadi dua dalam hal ibadah, yaitu shah dan tidak shah. Tidak ada perbedaan
antara rusaknya puasa (umpamanya) dengan batalnya puasa. Namun dalam hal muamalah
hukum itu terbagi menjadi tiga; karena akad yang tidak sah terbagi menjadi dua, batal dan
rusak. Jika cacat itu terdapat pada pokok akad, artinya dalam rukun-rukunya; seperti
bentuk ucapan akad dua orang yang berakad, atau barang yang di akadi, maka akad itu
batal. Jika cacat itu terdapat pada sifat-sifat akad, seperti terdapat pada syarat yang diluar
materi dan rukun akad, maka akad itu fasid. Sedangkan batal tidak mempengaruhi apapun,
sedangkan rusak masih dapat memberi sebagian pengaruh.
Dasar perbedaan antara ulama’ hanfiyah dan jumhur ulama’ adalah :

a. Larangan menurut jumhur ulama’ mengahalangi pengaruh dari suatu akad.


b. Tidak terdapat syarat yang ditetapkan syar’i untuk mengakibatkan suatu hukum,
mencegah adanya akibat itu. Adapun menurut pandangan hanafiyah, larangan dalan
muamalah tidak menyebabkan rusaknya yang dilarang itu, kecuali bila larangan itu
mengenai hakikat pokok pada perbuatan yang dilarang sedangkan ketiadaan syarat
16
yang menghalang-halangi akibat hukum adalah syarat yang melengkapi sebab, bukan
untuk semua syarat3
6. Fasid
Fâsid (‫ )الفاَ سد‬merupakan kebalikan dari shah. Istilah ini tidak berlaku di kalangan
ulama jumhur karena bagi mereka, fasid mempunyai arti yang sama dengan bathal, baik
dalam bidang ibadah maupun mu’amalah. Pengertian fâsid hanya berlaku di kalangan
ulama Hanafiyah, itupun hanya dalam bidang mu‘alamah, tidak dalam bidang ibadah.
Artinya, dalam bidang muamalah ini ada perbedaan antara fâsid dengan bathal.
Dengan demikian, terdapat kesamaan pendapat dalam hal penamaan bathal dengan fâsid
dalam ibadat, yaitu: “suatu perbuatan yang dilakukan tidak memenuhi rukun dan syarat,
atau belum berlaku sebab atau terdapat mâni’.
Dalam bidang akad atau muamalah terdapat kesepakatan ulama dalam penggunaan
arti shah, yaitu: “suatu akad yang telah memenuhi syarat-syarat yang melengkapi sebab
dan tidak terdapat padanya halangan apa pun”. Tetapi dalam menetapkan hukum tidak
shah, terdapat perbedaan pendapat.
Menurut ulama jumhur akad yang tidak shah itu hanya ada satu macam, yaitu: tidak
berbeda antara bathal dan fâsid, baik kekurangan pada rukun maupun pada syarat atau
sifatnya.
Menurut ulama Hanafiyah bila kekurangan atau kesalahan terdapat pada rukun dari
suatu akad, perbuatan itu disebut bathal dan tidak memberi bekas apa-apa, karena tidak
terdapat sebab, dan dengan sendirinya tidak membawa akibat hukum. Dalam pernikahan
umpamanya, tidak ada salah satu pihak yang berakad. Bila kekurangan atau kesalahan
terdapat pada salah satu syarat di antara syarat yang berkaitan dengan hukum disebut
fâsid. Dalam bentuk ini perbuatan dapat berlangsung karena telah menghasilkan sebagian
bekasnya dengan telah adanya sebab bagi hukum itu. Tetapi karena tidak sempurna, maka
harus disempurna kan kemudian.
Dalam nikah umpamanya belum terdapat mahar. Akad nikah dapat berlangsung
tetapi sesudah itu suami harus memberikan mahar kepada istrinya. Dasar perbedaan
pendapat antara jumhur ulama dengan ulama Hanafiyah ialah:
1. Larangan menurut jumhur ulama menghalangi pengaruh dari suatu akad.
2. Tidak terdapat syarat yang ditetapkan syâri’ untuk mengakibatkan suatu hukum,
mencegah adanya akibat itu.

3
Ibid, Hlm 176
17
Adapun menurut pandangan Hanafiyah larangan dalam muamalah tidak
menyebabkan rusaknya yang dilarang itu kecuali bila larangan itu mengenai hakikat pokok
pada perbuatan yang dilarang sedangkan ketiadaan syarat yang menghalangi akibat hukum
adalah syarat yang melengkapi sebab, bukan semua syarat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum wadh’i terbagi menjadi lima yaitu: sebab, syarat, penghalang, atau
mnejadikan adanya keringanan sebagai ganti dari hukum asal, dan sah atau tidak sah.
Pertama sebab, Sebab adalah sesuatu yang oleh syar’i dijadikan sebagai tanda atau suatu
akibat dan hubungan adanya akibat dengan sebab, serta tidak adanya akibat karena tidak
adanya sebab. Syarat adalah sesuatu yang adanya hukum itu tergantung pada adanya
sesuatu itu, dan tidak adanya menjadikan tidak adanya hukum. Mani’ adalah sesuatu yang
adanya meniadakan hukum atau membatalkan sebab. Rukhsoh adalah keringanan hukum
yang telah di syariatkan oleh Allah atas mukallaf dalam keadaan tertentu yang sesuai
dengan keringanan tersebut. Atau sesuatu yang di syariatkan karena ada uzur yang
memberatkan dalam keadaan tertentu. Sedangkan azimah adalah hukum-hukum yang telah
disyariatkan oleh Allah secara umum sejak semula yang tidak terbatas pada keadaan
tertentu dan pada perorangan mukallaf tertentu. Kemudian sah adalah Semua perbuatan
mukallaf yang dituntut oleh syar’i dan semua hukum sebab akibat yang ditetapkanya, bila
telah ditetapkan oleh mukallaf maka syar’i akan menganggapnya sah ataupun juga batal,
artinya sudah memenuhi rukun dan syaratnya, maka syar’i menghukumi sah, namun jika
perbuatan itu tidak dilaksanakan sesuai dengan tuntutan dan syariatnya, maka tidak sah
menurut syar’i. Fâsid merupakan kebalikan dari shah. Istilah ini tidak berlaku di kalangan
ulama jumhur karena bagi mereka, fasid mempunyai arti yang sama dengan bathal, baik
dalam bidang ibadah maupun mu’amalah.

B. Saran
Hukum wadh’ih yang telah ditetapkan oleh Syâri’ sebagai faktor keeksistensian
sebuah hukum syariat bagi seorang mukallaf, haruslah sangat diperhatikan sebagaimana
menyikapi hukum taklîfie. Macam dan bagian serta ikhtilâf yang terjadi di kalangan para

18
ulama dalam hukum tersebut yang telah dipaparkan oleh penulis, hanyalah sekedar
sebagai pengantar studi saja, karena di sana masih banyak pembahasan yang tidak dapat
dicantumkan dalam makalah yang sederhana ini mengingat situasi dan kondisi. Akhirnya
semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis pribadi dan pembaca serta kaum
muslimin pada umumnya. Wallâhu a’lamu bi al-shawâb.
DAFTAR PUSTAKA

Al Khudhairi Biek, Syaikh Muhammad. 2007. Ushul Al Fiqh; (Edisi Indonesia) Ushul
Fiqh. Penj; Faiz El Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani.

Khallaf, Abdul Wahab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh ; Kaidah Hukum Islam. Penj; Faiz El
Muttaqin. Jakarta; Pustaka Amani.

Syarifudin, Amir. 1997. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta; Logos Wacana Ilmu. Cet 1.

19

Anda mungkin juga menyukai