Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA


Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur
Mata Kuliah: Ilmu Fiqih

Dosen Pengampu:
Prof. Dra. Hj. Nina Nurmila, MA, PhD
Arif Nursihah, S.TH, MA

Disusun oleh:
Sem. II/Pendidikan Biologi C
Tiara Fitri Yani (1212060117)
Umar Rizky (1212060119)
Siti Nurhalimah (1212060112)
Vita Desiani P (1212060122)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI


JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
BULAN MARET 2022
HUKUM SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA: ARTI HUKUM,
HUKUM TAKLIFI DAN WADH’I, AZIMAH DAN
RUKHSHAH, MAHKUM ‘ALAIH, HAKIM DAN MAHKUM
FIH
Disusun oleh:
Tiara Fitri Yani (1212060117)
Umar Rizky (1212060119)
Siti Nurhalimah (1212060112)
Vita Desiani P (1212060122)

II
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-nya
sehingga penulis bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Syara’ dan
Unsur-unsurnya”. Tidak lupa sholawat dan salam semoga selalu terlimpahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa dunia dari kegelapan
menuju zaman terang benderang.

Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Ilmu
Fiqih yang diampu oleh Prof. Dra. Hj. Nina Nurmila, MA, PhD dan Arif Nursihah,
S.TH, MA. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan khususnya
kepada penulis umumnya untuk masyarakat luas tentang Hukum Syara’ dan Unsur-
unsurnya.

Makalah ini membahas tentang Unsur-unsur Hukum Syara’ dalam islam yang
berhubungan dengan Ilmu Fiqih, salah satunya yaitu hukum taklifi dan wadl’i,
hukum ‘azimah dan rukhshah, hukum mahkum ‘alaih, hakim dan mahkum bih.
Makalah ini menyajikan penjelasan terhadap hukum-hukum tersebut.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Mata Kuliah Ilmu Fiqih
selaku pembimbing dalam mengerjakan makalah ini. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada semua pihak yang membantu dalam pengerjaan makalah
ini.

Penulis sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu,
saran dan kritik yang membangun diharapkan demi memaksimalkan makalah ini.

Bandung, 15 Maret 2022

Penulis

III
DAFTAR ISI
COVER ............................................................................................................... I

HALAMAN JUDUL............................................................................................II
KATA PENGANTAR ........................................................................................ III

DAFTAR ISI ........................................................................................................ IV

BAB I .................................................................................................................. 1

PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1

C. Kerangka Teori ........................................................................................ 2

BAB II ................................................................................................................... 3

PEMBAHASAN .................................................................................................. 3

A. Pengertian Hukum Syara’ ......................................................................... 3

B. Hukum Taklifi ........................................................................................... 3

C. Hukum Wadh’i..........................................................................................8
D. Azimah dan Rukhsah................................................................................9
E. Mahkum Alaih, Hakim, dan Mahkum Fih................................................10

BAB III.................................................................................................................13
PENUTUP............................................................................................................13
A. Kesimpulan...............................................................................................13
Daftar Pustaka.......................................................................................................14

IV
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia membutuhkan hukum sebagai dasar dalam bertingkah laku,
menyelesaikan masalah maupun kegiatan sehari-hari seperti menuntut ilmu,
berniaga,beribadah dan lain-lain. Dalam agama islam memiliki aturan
khusus untuk menetapkan suatu perkara misalnya perkara dalam beribadah
salah satunya yaitu dengan sholat 5 waktu, perkara tentang menuntut ilmu
yaitu bagaimana cara kita menghormati guru dan mengamalkan ilmu yang
telah kita dapat. Aturan-aturan tersebut perlu dipelajari dan dipahami
sehingga tidak menimbulkan kesalahan arti maupun kesalahan dalam
melakukannya . Kumpulan perkara dasar itu dipelajari dalam Ilmu Fiqih.
Ilmu Fiqih juga sering disebut dengan Ushul Fiqih, ilmu ini membahas
berbagai macam hukum salah satunya yaitu Hukum Syara’.
Hukum Syara’ memiliki peran penting dalam kehidupan dasar manusia,
Oleh sebab itu perlu penjelasan yang sangat detail dan jelas agar dapat
menimbulkan pengertian yang jelas pula pada pembaca. Hukum Syara’
memiliki dua bagian yaitu hukum Taklifi dan hukum Wadh’i. Dalam unsur-
unsurnya hukum syara’ juga membahas tentang azimah dan rukshah,
mahkum alaih, hakim dan mahkum bih. Hukum syara’ merupakan hukum
yang bersumber dari Kalam Allah dan Hadits. Yaitu hukum yang
disampaikan dan dicontohkan melalui perantara yaitu Nabi Muhammad
SAW.

B. Rumusan Masalah
1. Apa maksud dari hukum Syara’ dan apa saja unsur-unsurnya?
2. Apa pengertian dari hukum Taklifi dan hukum Wadh’i?
3. Apa saja objek pembahasan hukum Taklifi dan hukum Wadh’i?
4. Apa maksud dari azimah dan rukhsah?

1
5. Apa pengertian mahkum alaih, hakim, dan mahkum fih?

C. Kerangka Teori

Arti Hukum

Hukum Taklifi dan hukum


Hukum Syara’dan Wadh’i
Unsur-unsurnya
Azimah dan Rukshah

Mahkum alaih, Hakim dan


Mahkum Fih

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara’
Hukum Syara’ adalah salah satu bagian dari kajian Ushul Fiqh, dan
menjadikannya tujuan utama dalam Ushul Fiqh yaitu tentang pengumpulan
hukum Syara’ dari berbagai sumber. Hukum Syara’ memiliki dua kata yang
terdiri dari hukum dan Syara’. Kata yang pertama yaitu hukum, kata hukum
bermula dari bahasa arab yaitu Al-hukm yang memiliki arti melarang atau
mengambil keputusan dalam membuat aturan untuk suatu perkara. Ushul Fiqh
mengartikan bahwa hukum adalah aturan yang terdapat dalam Al-Qur’an
(Kalam Allah) dan hadits. Al-Qur’an atau kalam Allah memiliki sifat al-kalam
al-nafsi yang memiliki arti bahwa Al-Qur’an ialah perkataan Allah yang tidak
memiliki huruf maupun suara yang disampaikan melalui malaikat jibril kepada
Rosul.
Perbuatan manusia diatur dalam hukum Syara’, hukum yang membuat Al-
Qur’an sebagai sumber utama dan hadits Nabi sebagai sumber kedua. Hukum
tersebut dapat berupa Iqtidla yaitu perintah maupun larangan yang dianjurkan
dalam melakukan sesuatu, Takhyir yaitu hal yang diperbolehkan bagi orang
yang mukallaf sebagai pilihan dalam memutuskan, atau Wadh’i yang memiliki
arti sebagai penentu sesuatu sebagai sebab, syarat ataupun penghalang.
Sebagian besar ulama ushul fiqh memecah hukum menjadi dua yaitu hukum
taklifi dan hukum wadh’i.
B. Hukum Taklifi
Definisi hukum taklifi sendiri merupakan sesuatu hukum menghendaki
mukallaf dalam melakukan tindakannya, larangan mengerjakan, ataupun
memberi pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan. Hukum Taklifi,
terbagi kepada 5 bagian (Khallaf 2014), adapun pengertian dari masing-masing
bagian itu sebagai berikut ini:
1. Ijab/Wajib
Dalam terminologi wajib dapat dijelaskan sebagai segala sesuatu yang
harus dikerjakan mukallaf atas dasar Syar’i dengan arahan fardu, bersama

3
ketentuan arahan tersebut harus dikerjakan sama dalam melakukan
kewajibannya. Wajib juga dapat diartikan yang jika dilakukan sesuai
perintah maka akan dapat balasan berupa pahala dan jika meninggalkan
perintah tersebut maka akan dapat balasan berupa dosa. Pembagian wajib
terdiri dari 4 macam berdasarkan tinjauan yang berbeda, yaitu:
a. Wajib dilihat dari sisi pelaksanaan, sewaktu-waktu:
• Wajib Muaqqat (terikat waktu), adalah sesuatu pekerjaan yang harus
dilakukan dalam masa yang telah ditetapkan. Sebagaimana mendirikan
sembahyang serta puasa yang waktunya telah ditetapkan allah. Dimana
syar’i telah menentukan waktu untuk mengerjakannya, yang mana
tidak wajib sebelum datang waktunya. Wajib mu’aqat apabila
dilaksanakan oleh mukallaf secara sempurna dari rukun-rukun dan
syaratnya disebut ada’. Dan apabila dikerjakan pada waktunya akan
tetapi syarat dan rukunnya tidak sempurna, kemudian mengulanginya
pada waktu itu juga maka disebut i’adah. Dan jika wajib tersebut
dikerjakan sudah waktunya, maka disebut dengan qadha’.
• Wajib Muthlaq (tidak terikat waktu) adalah sesuatu pekerjaan yang
harus dikerjakan dengan pasti, tetapi tidak terbatas oleh waktu
pelaksanaannya. Contohnya adalah membayar kafarat bagi orang yang
melanggar sumpah. Kewajiban membayar kafarat tidak dibatasi oleh
waktu, jika mukallaf mampu dalam membayar kafarat secara
langsung, maka ia bisa langsung membayarnya segera setelah
pelanggaran. Contoh yang lain adalah ibadah haji, ibadah haji wajib
bagi orang yang mampu dan dalam menunaikan haji tidak dibatasi oleh
tahun tertentu.
b. Wajib dilihat dari sisi perintah menunaikannya dibagi menjadi 2,
sebagai berikut:
• Fardu ‘Ain merupakan kewajiban bagi tiap-tiap mukallaf tanpa
terkecuali. Sebagaimana melaksanakan kewajiban dalam rukun
islam yang 5, yaitu shalat, puasa ramadhan, zakat, haji, memenuhi

4
berbagai akad perjanjian, dan meninggalkan perbuatan yang
membawa kemaksiatan.
• Fardu Kifayah merupakan suatu perintah wajib bagi sekelompok
mukallaf saja, artinya tidak menuntut untuk dikerjakan oleh tiap-tiap
individu. Maka, jika ada sebagian mukallaf yang telah menunaikan
kewajiban tersebut, maka kewajiban, kesulitan, dan dosa telah gugur
dari mukallaf yang lain. Namun apabila dari seorang kelompok
tersebut tidak melaksanakan kewajibannya, tiap-tiap diantara mereka
berdosa. Misalnya seperti, shalat jenazah, amar makruf nahi mungkar,
memadamkan kebakaran, menolong orang tenggelam, membangun
rumah sakir, peradilan, dan menjawab salam,
c. Wajib dilihat dari sisi ukuran dibagi menjadi 2, yaitu:
• Wajib Muhaddad (terbatas ukuran) merupakan perintah wajib bagi
mukallaf berdasarkan ukuran yang telah diketahui atas dasar tuntutan
Syar’i. Misalnya seperti shalat fardu 5 waktu, dimana pelaksanaanya
sesuai dengan jumlah rakaat tiap waktunya yang telah ditetapkan dan
sesuai rukun serta syaratnya. Contoh yang lain seperti membayar zakat
dan utang harta.
• Wajib ghairu Muhaddad (tanpa terbatas ukuran) merupakan perintah
wajib bagi mukallaf tanpa adanya batasan. Misalnya seperti sedekah,
tolong menolong dalam kebaikan, berinfak dijalan Allah, nazar
bersedekah kepada fakir miskin, serta perintah berperilaku baik yang
lainnya.
d. Wajib dipandang dari sisi tertentu dan boleh memilih, sebagai berikut:
• Wajib Mu’ayyan (tertentu) kewajiban yang diharuskan oleh Syar’i,
misal shalat, puasa, harga barang yang dibeli, dan upah dari penyewa.
Dalam hal ini tanggungan seorang mukallaf telah gugur jika
melakukan kewajiban tersebut.
• Wajib Mukhayyar (boleh memilih) adalah kewajiban dalam
melaksanakan sesuatau yang telah diperintahkan Syar’i akan tetapi
dapat memilih bebrapa kewajiban yang telah ditentukan. Sebagai

5
contoh adalah kafarat, kafarat sendiri merupakan perintah allah bagi
mukallaf yang telah melanggar sumpahnya dengan memerdekan
hamba sahaya, ataupun memberikan makanan serta pakaian kepada
mereka. Kewajiban yang dilakukan mukallaf adalah menunaikan salah
satu perintah tersebut. Seorang mukallaf bebas dalam memilih
pilihannya, jika sudah menunaikan salah satu dari ketiga itu, maka
tuntaslah tanggungan wajibnya.
2. Nadb/Mandub
Mandub atau bisa disebut juga sebagai sunnah merupakan perintah Syar’i
kepada mukallaf yang bersifat tidak wajib. Sedangkan definisi mandub
(Zaidan 1996) merupakan segala anjuran yang dianjurkan allah serta rasul
kepada mukallaf dari segala tindakan. Yang jika dilakukan mendapatkan
balasan amal kebaikan dan kemuliaan, serta jika tidak dikerjakan tidak
mendapatkan balasan siksa ataupun dosa. Mandub terdiri dari 3 bagian
diantaranya adalah:
a. Mandub apabila dikerjakan harus tegar. Artinya, sesuatu ketentuan di
mana jika perbuatan tersebut ditinggalkan mendapatkan hukuman, namun
dia mendapatkan hinaan maupun celaan. Misal seperti adzan, menunaikan
shalat 5 waktu berjamaah, dan berkumur dalam wudhu. Mandub ini bisa
dikatakan sebagai sunnatul muakadah.
b. Mandub dengan tuntutan perintah agar dilakukan, mukallaf yang
melakukannya akan diberi pahala, dan tidak menerima siksa maupun
celaan jika meninggalkannya. Contohnya seperti, bersedekah pada fakir,
puasa di hari kamis, shalat sunnah rawatib, dan shalat tarawih, serta shalat
sunnah dua hari raya islam. Mandub ini dapat dikatakan juga dengan
sunnah zaidah (tambahan).
c. Mandub zaid (tambahan), artinya diambil sebagai pelengkap perbuatan
mukallaf. Dimana perbuatan mukallaf mengikuti perbuatan Rasulullah
saw., dalam urusan yang bersifat manusiawi seperti minum, makan,
berjalan, dan mengenakan pakaian, sesuai dengan sifat-sifat yang
dilakukan oleh Rasulullah.

6
3. Tahrim/Haram
Haram secara terminologi merupakan larangan yang diberikan Allah SWT.
serta Rasul secara pasti, apabila melakukannya dapat menerima balasan
berupa celaan dan dosa, serta apabila ditinggalkan dapat balasan berupa
pahala. Pembagian muharram dibagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Muharram ashlah lidzatihi (haram asal menurut sifatnya), adalah
perbuatan yang menjadi syariat yang mewujudkan keharaman sejak awal.
Seperti shalat tanpa bersuci, zina, menikahi salah satu dari mahram,
mencuri, jual beli bangkai, dan lain-lain yang termasuk diharamkan
menurut sifatnyanya, karena mengandung berbagai kerusakan dan
bahaya.
b. Muharram li’ Aridhi (untuk sesuatu yang baru). Artinya sejak awal
hukum syar’i perbuatan itu adalah wajib, nadb (sunnah), tetapi ada hal
baru yang datang dengan hukum tersebut sehingga menjadikannya haram.
Seperti shalat dengan mengenakan pakaian yang dighashab (meminjam
tanpa izin), menjual suatu hal yang mengandung penipuan, pelaku jual
beli ketika azan Jum’at, talak bid’i, dan lain-lain yang dilarang karena
adanya hal baru. Maka, pengharaman itu bukan karena zat atau sifat
perbuatan tersebut, tetapi karena hal yang bersifat lahiriah.
4. Karahah/Makruh
Karahah atau Makruh dapat diartikan sebagai segala bentuk perbuatan yang
mesti dihindari. Menurut ulama ushul fiqih makruh yaitu apabila melakukan
tindakan tersebut maka mendapatkan dosa dan celaan, serta apabila
ditinggalkan diberi balasan berupa pujian. Misalnya seperti memakan
makanan yang berbau menyengat sehingga menimbulkan ketidak nyamanan
bagi orang disekitar, istinyaq berlebihan ketika berwudhu pada tengah hari
dalam keadaan berpuasa di bulan ramadhan.
5. Ibahah/Mubah
Mubah dalam etimologi dapat diartikan sebagai segala bentuk yang diboleh
kan. Sedangkan secara terminologi merupakan suatu pilihan kepada
mukallaf oleh Syar’i antara melakukan atau meninggalkan sesuatu. Oleh

7
karena itu, Syar’i tidak mengharuskan untuk mengerjakan atau
meninggalkan suatu perbuatan.

C. Hukum Wadh’i

Hukum Wadh’i adalah Kalamullah berupa ketetapan yang muncul apabila


dari sesuatu alasan, sebab, maupun masalah yang berasal dari ketentuan hukum
taklifi. Dengan demikian, hukum Wadh’i ini memiliki kaitan yang begitu erat
dengan hukum taklilfi, baik itu berupa sebab, syarat, maupun berupa halangan.
Dapat disimpulkan bahwa hukum wadh’i yaitu hukum yang erat kaitannya
dengan sebab yang disebabkan. Hukum Wadh’i terbagi menjadi 3 bagian,
diantaranya:
1. Sebab
Secara etimologi, sebab yaitu suatu yang bisa menyampaikan pada suatu
lainnya. Sedangkan secara terminologi, sebab yaitu suatu yang dijadikan
Asy-Syari’ terhadap adanya hukum taklifi, yang apabila terdapat sebab maka
ada hukum, sebaliknya jika tak ada sebab maka tak ada hukum. Contohnya,
pada perbuatan perzinahan sebagai sebab yang wajib untuk dilaksanakan
hukuman atas pelaku perbuatan.
2. Asy-Syarth
Menurut bahasa, Syarth atau syarat yaitu suatu yang menghendaki agar
timbulnya suatu lainnya. Sedangkan menurut syara’ syarat merupakan
sesuatu yang bisa menimbulkan pengaruh kepada ada dan tidaknya hukum.
Contohnya pada kedatangan saksi sebagai syarat sah berlangsungnya akad
nikah, tetapi saksi tersebut bukan bagian dari akad nikah.
3. Mani’
Menurut etimologi, Mani’ mempunyai arti penghalang. Sedangkan menurut
terminologi pengertian dari mani’ yaitu suatu yang telah ditetapkan oleh
syarat sebagai penghalang terhadap adanya suatu sebab. Contohnya akad
pernikahan yang sah ialah sebab bagi ahli waris. Namun, permasalahan ahli
waris ini dapat terganggu yang disebabkan jika suami membunuh istrinya.

8
Pembunuhan pada contoh ini merupakan penghalang (mani’) terhadap hak
suami untuk mewarisi sang istri.

D. Azimah dan Rukhsah


1. Azimah

Azimah dapat diartikan sebagai ketetapan syara’ yang sedari awal ditetapkan
menjadi ketentuan yang berlaku umum. Secara lebih tepat, Azimah diartikan
sebagai khitabullah yang menetapkan suatu keadaan sebagai penyebab
kembalinya kepada hukum asal. Misalnya seperti ketetapan sholat lima waktu
yang telah diwajibkan terhadap semua mukallaf pada berbagai keadaan dan
situasi, sama halnya dengan kewajiban mengeluarkan zakat dan melaksanakan
ibadah puasa Ramadhan. Maka segala kewajiban tersebut berlaku bagi seluruh
mukallaf sehingga tidak adanya hukum yang akan mendahului hukum wajib
tersebut. Para ulama Ushul Fiqih membagi azimah menjadi empat bagian,
diantaranya:
a. Hukum yang telah ditetapkan pada awal sebagai kepentingan manusia
secara keseluruhan yakni ibadah, jinayah, muamalah, serta semua hukum
dengan bahagia dunia akhirat.
b. Hukum yang telah ditetapkan sebab muncul alasan, seperti hukumnya
melarang menistakan atau menjelekan sesembahan agama lain.
c. Hukum yang ditetapkan membatalkan hukum sebelumnya, sehingga yang
dibatalkan tampak tak ada.
d. Pengecualian untuk hukum umum, seperti dalam surat An-Nisa ayat 24,
yaitu mengharamkan menikahi para wanita yang sudah bersuami, kecuali
bagi perempuan yang diperbudak.

2. Rukhsah
Rukhsah dari segi etimologi yaitu al-suhulah dan al-yusrudan al-taisir yang
berarti meringankan atau memudahkan. Daripada itu Rukhsah secara
terminologi yaitu hukum syariat yang ditetapkan syari’ sebagai sebuah

9
keringanan terhadap mukallaf pada keadaan atau kondisi tertentu. Rukhsah
dalam hukum syara’ terdapat empat bagian, diantaranya:
a. Rukhsah yang wajib, contohnya makan babi atau bangkai jika terpaksa
hingga mengancam nyawa.
b. Rukhsah yang mandub, misalnya mengqashar shalat bagi musafir.
c. Rukhsah yang mubah, misalnya dokter yang melihat aurat pasien saat
pemeriksaan.
d. Rukhsah yang makruh, jika mengaku kafir sementara ternyata masih
beriman.

E. Mahkun Alaih, Hakim dan Mahkum Fiih


1. Mahkum ‘alaih
Mahkum ‘alaih yaitu subjek hukum yang menurut ushul fiqih berarti mukallaf
yaitu membebankan seseorang terhadap hukum. Hukum ini mengatur orang
yang sudah Mukallaf. Mukallaf merupakan orang yang telah sanggup
menerima tanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Jika ia mengerjakan
perintah Allah akan mendapatkan balasan berupa pahala/imbalan sementara
itu apabila ia ingin mendapatkan siksa/resiko dosa karena melanggar aturan
yang diperintahkan oleh Allah dan tidak mengerjakan kewajibannya ia
mengerjakan larangan dari Allah. Ada dua macam syarat-syarat sah seorang
mukallaf :
a. sanggup memahami tuntutan syara’ yang terkandung dalam al-Quran dan
Sunnah baik secara langsung maupun melalui orang lain. Oleh karena itu
orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami tuntutan syar’i
tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif (pembebanan).
b. Mempunyai akal dan pemahaman. Dalam hukum Islam kecakapan hukum
(ahliyah) merupakan unsur jarimah khusus yang penting disamping unsur
nash (ketentuan) dan perbuatan. Secara etimologi ahliyah adalah keahlian
atau kecakapan dalam menangani suatu hal/urusan sedangkan ahliyah
secara terminologi merupakan sifat seseorang yang telah dianggap sudah
sempurna baik secara jasmani ataupun akalanya. Sehingga ia dapat

10
melakukan tindakan seperti transasksi, hibah, ataupun kegiatan yang lain
dapat dinilai oleh syara’ dan dianggap sah.
2. Hakim
Secara garis besar hakim diartikan sebagai pembuat hukum, yang menetapkan,
menemukan, menjelaskan dan memunculkan sumber hukum. Hakim memiliki
peran yang sangat penting, karena berkaitan dengan pembuat hukum dalam
syariat islam pembentuk hukum syara’. Telah disepakati bahwa wahyu
merupakan sumber syariat. Berdasarkan pengertian ini dapat diketahui dan
telah disepakati oleh para ulama bahwa hakim atau pembuat hukum adalah
Allah SWT. Dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum.
Walaupun sudah disepakati bahwa pembuat hukum hanyalah Allah SWT,
namun terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah hukum yang dibuat
Allah hanya diketahui dengan turunnya wahyu atau hukum itu dapat diketahui
oleh akal dengan baik. Abu Husen al-Bashri membagi dua katagori amal
perbuatan manusia, yaitu: pertama, perbuatan aqliyah yakni perbuatan yang
hukumnya dapat diketahui oleh akal. Kedua, perbuatan syar’iyah yakni
perbuatan dimana syara’ ikut menentukan hukum dan bentuknya.Dengan kata
lain, hakim tertinggi adalah Allah SWT. Namun, rasulullah juga dapat menjadi
hakim melalui hadist-hadist dan ulama menjadi hakim melalui ijtihadnya.
3. Mahkum Fiih
Dalam istilah ushul fiqh, mahkum fiih atau objek hukum adalah perbuatan
mukallaf yang berkaitan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya yang
didalamnya terdapat status hukum yang melekat seperti wajib, sunnah, haram
dan sebagainya.
Objek hukum atau perbuatan mukallaf itu terbagi menjadi 3 macam, yakni :
a. Objek hukum yang pelaksanaannya mengenai diri pribadi yang dikenai
taklif, seperti contoh shalat dan puasa
b. Objek hukum yang pelaksanaannya berkaitan dengan harta benda pelaku
taklif, seperti kewajiban membayar zakat
c. Objek hukum yang dilakukan berkaitan dengan diri pribadi dan harta dari
pelaku taklif, seperti kewajiban ibadah berhaji

11
Sehingga dapat dipahami bahwa setiap taklif yang berkaitan dengan harta
benda itu dapat digantikan oleh orang lain seperti membayar zakat dan
menuaikan ibadah haji. Kemudian setiap taklif yang berkaitan dengan diri
sendiri itu tidak dapat diwakilkan dan harus dilakukan sendiri oleh orang
yang ikenai taklif.
Ulama ushul telah bersepakat bahwa seorang mukallaf dapat dikenai taklif
apabila telah memenuhi dua syarat :
1) Orang tersebut telah mampu memahami tuntutan syara’ yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini dikarenakan orang
yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami tuntunan syara
tidak mungkin dikenakan taklif atau pembebanan hukum. Adapun
seorang yang tidak dikenai taklif diantaranya orang gila, orang lupa,
anak kecil, orang bersalah karena mereka dianggap belum memahami
dalil syara.
2) Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum atau ahliyah. Ahliyah
ini merupakan kecakapan dalam menangani suatu urusan. Bagi seluruh
perbuatan Seseorang yang tidak mampu bertindak hukum belum atau
tidak bisa di pertanggungjawabkan Maka dalam hal ini anak kecil yang
belum baligh dan orang gila tidak dikenai tuntunan syara karena
dianggap belum dan tidak mampu bertindak hukum.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum Syara’ terbagi menjadi kata hukum dan Syara’. Hukum dari
bahasa arab yaitu Al-hukm artinya melarang atau mengambil keputusan
dalam membuat aturan untuk suatu perkara. Hukum adalah peraturan yang
ada pada Al-Qur’an dan Hadits. Hukum dibagi dua yakni Hukum Taklifi
serta Hukum Wadh’i.
Hukum taklifi merupakan hukum yang mengharuskan mukallaf
mengerjakan suatau perbuatan, larangan, ataupun memberi pilihan antara
mengerjakan atau meninggalkan. Terbagi menjadi 5 bagian, yaitu Ijab,
Nadb, Tahrim, Karahah, Ibahah. Sedangkan menurut Abdul Wahhab
Khallaf, terbagi menjadi Wajib, Manduk, Haram, Mubah, dan Makruh.
Hukum Wadh’i adalah firman Allah berupa ketetapan yang
menjadikan suatu menjadi sebab, syarat, maupun halangan yang berasal dari
ketentuan hukum taklifi. Terbagi menjadi 3 bagian, yaitu Sebab, Asy
Syarth, dan Mani’.
Adapun Azimah diartikan sebagai ketetapan syara’ yang sedari awal
dijadikan sebagai ketetapan yang berlaku umum. Terbagi menjadi 4 bagian.
Sedangkan Rukhsah yaitu hukum syariat yang ditetapkan syari’ sebagai
sebuah keringanan terhadap mukallaf pada keadaan tertentu. Terbagi
menjadi 4 bagian.
Selain itu, 3 unsur hukum syara’ yang pertama, Mahkum ‘alaih yaitu
subjek hukum atau mukallaf yaitu seseorang yang dibebani hukum. Kedua,
Hakim diartikan sebagai perancang hukum, yakni menetapkan,
menemukan, menjelaskan serta memunculkan hukum. Ketiga, Mahkum
Fiih yaitu perilaku mukallaf yang erat kaitannya dengan ketetapan Allah dan
Rasul-Nya yang didalamnya terdapat status hukum yang melekat seperti
wajib, sunnah, haram dan sebagainya.

13
Daftar Pustaka

Bahrudin, M. 2013. Ilmu Fiqih/Ushul Fiqih (Metode Istinbat Hukum). Bandung:


Pustaka Rahmat.
Harisudin, M. N. 2020. Ilmu Ushul Fiqh. Jember: Pena Salsabila.
Khallaf, Abdul Wahab. 2014. Ilmu Ushul Fiqih. Semarang: PT. Karya Toha Putra
Semarang.
Maulidi, Agus, Faizin, MNN, Muawanah, dan Badiatul. 2019. Hukum Taklifi dan
Hukum Wadh'i. Malang: STAI Ma'had Aly Alhikam.
Misbahuddin. 2013. Ushul Fiqih I. Makassar: UIN Alauddin Makassar.
Nabella, Salma. 2021. Hukum Wadh'i dan Baik Buruk Seorang Hakim. Jakarta:
Universitas Muhammadiyah.

14

Anda mungkin juga menyukai