Anda di halaman 1dari 11

TUGAS FIQH HUDUD

Nama : Badrul Zaman


Nim : 1213060023
Jurusan : Hukum Pidana Islam
Kelas : 3A

Bagian A

Pencurian

Imam Abu Hanifah tidak menetapkan hukuman potong tangan atas


pencurian yang mencuri harta curian dari pencuri lain karena kekuasan yang
terakhir (pencuri) tidak sah sehinggah ia bukan orang yang memiliki hak
kepemilikan atas barang tersebut, ia tidak dititipi (diamanahi) barang tersebut, dan
ia harus menggati barang tersebut. Adapun jika pencuri pertama tidak dijatuhi
hukuman potong tangan. Alasanya, menghindarkan pencuri pertama dari hukum
hudud menjadikanya harus menjamin atau menggati barang yang ia curi,
sedangkan kaidah menyatakan bahwa orang yang menjamin adalah orang yang
memiliki kekuasan yang sah , sedangkan orang yang mengambil sesuatu dari
kekuasaan yang sah harus dipotong tanganya. Imam Abu Hanifah menjadikan
pencuri sebagai orang yang menanggung, menajamin, atau menggatikan jika ia
tidak dijatuhi hukuman potong tangan dan tidak menjadikan si pencuri sebagai
penjamin jika ia dijatuhi hukuman potong tangan. Hal ini bisa dimengerti
mengingat Imam Abu Hanifah berpegangan pada kaidah (aturan) “potong tangan
dan pertanggungjawaban (penggantian) tidak bisa berkumpul”

Imam Malik tidak memberikan syarat khusus mengenai korban pencurian.


La hanya mensyaratkan harta yang dicuri milik orang lain, baik yarg diambil dari
tangan orang yang memiliki maupun dari tangan orang lain, dalam kondisi apa
pun. Atas dasar ini, Imam Malik menetapkan potong tangan atas pencuri yang
mengambil dari tangan pencuri, pencuri yang mengambil dari tangan penggasab,
dan pencuri yang mengambil dari orang yang menduduki posisi pemilik, seperti
orang yang dititipi, penerima barang gadai, dan penyewa. Imam Malik
menerapkan kaidah bahwa pencuri harta orang lain dari tempat penyimpanan
tanpa ada syubhat di dalamnya wajib dijatuhi hukuman potong tangan."

Imam Ahmad bin Hanbal mensyaratkan orang yang dicuri adalah pemilik
barang atau yang menempati posisinya. Pelaku yang mengambil dari selain
keduanya tak ubahnya seperti mengambil harta tak bertuan. Perbedaan antara
yang di curi dan yang mencuri adalah orang yang mencuri menghilangkan
kepemilikan orang yang memiliki atau orang yang menempati posisinya dan
mengambil barang curian dari tempat penyimpanan. Atas dasar ini, Imam Ahmad
bin Hanbal mengatakan bahwa pencuri yang mengambil seuatu dari pemilik atau
yang menempati posisinya, ia harus dijatuhi hukuman potong tangan jika semua
syarat potong tangan terpenuhi. Adapun pencuri yang mengambil dari pencuri
lain, atau dari penggasab tidak dijatuhi hukuman potong tangan walaupun barang
curian berasal dari tempat penyimpanan.

Di dalam mazhab Syafii ada dua pendapat. Pendapat pertama seperti


pendapat Imam Malik, sedangkan pendapat kedua seperti pendapat Imam Ahmad
bin Hanbal. Kelompok pendapat pertama menyatakan bahwa pencuri dipotong
tangan karena ia telah mencuri harta yang tidak ada syubhat di dalamnya dan
mengambilnya dari tempatpenyimpanan. Kelompok kedua beralasan bahwa
barang curian diambil dari tempat penyimpanan tanpa izin pemiliknya, sedangkan
tempat penyimpanan bukanlah pemilik barang atau yang menempati
posisinya/wakilnya.

Ulama Syi'ah Zaidiyah sependapat dengan ulama Syafiiyah. Sebagian dari


mereka tidak mewajibkan potong tangan atas pencuri yang mengambil dari
pencuri lain atau dari penggasab. Sebagian lagi mewajibkan potong tangan.

Menurut ulama Zahiriyah, pencurian adalah mengambil sesuatu yang


bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi, sedangkan pencuri adalah orang yang
mengambil barang yang bukan milikinya secara sembunyi-sembunyi. Atas dasar
ini, mereka menetapkan hukuman potorg tangan atas pencuri yang mengambil
barang yang bukan miliknya walaupun ia mengambil dari pencuri lain atau dari
penggasab.

Berdasarkan hukum-hukum yang sudah disebutkan, jika seorang pencuri


(B) mengambil dari pèncuri lain (A), sedangkan si A itu tidak dijatuhi hukuman
potong tangan atas barang yang ia curi, si B harus dijatuhi hukuman potong
tangan. Alasannya, si B menjadi orang yang harus mengganti. Demikian pendapat
Imam Abu Hanifah. Jika pencuri pertama (A) sudah dijatuhi hukuman potong
tangan lalu barang tersebut diambil oleh pencuri lain (B), tidak ada hukuman
potong tangan atas B karena si A bukan pemilik, orang yang diberi amanah, atau
orang yang wajib mengganti. Dengan dipotong tangannya, si A tidak wajib
mengganti. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, hukuman potong tangan tidak
berlaku atas si B tanpa melihat dipotong atau tidaknya tangan si A. Alasannya,
barang yang dicuri tidak diambil dari pemilik atau orang yang menempati
posisinya

Menurut Imam Malik, si B harus dijatuhi hukuman potong tangan tanpa


melihat dipotong atau tidaknya tangan si A (pencuri pertama). Alasannya, si B
telah mencuri barang orang lain yang tidak ada unsur syubhat di dalamnya dan
diambil dari tenpat penyimpanan walaupun pencurian terjadi berulang-ulang dan
dilakukan oleh beberapa pencuri. Ulama Zahiriyah juga menetapkan hukum yang
sama. Sebagian ulama Syafiiyah dan Syi'ah Zaidiyah menetapkan hukuman
potong tangan atas si B dan sebagian lagi tidak mewajibkan karena seperti yang
dijelaskan sebelumnya, sebagian sependapat dengan Imam Malik dan sebagian
sependapat dengan Imam Ahmad bin Hanbal.

Jika seorang pencuri mengambil harta dan dipotong tangannya lalu ia


mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya dan mencuri barang itu lagi, ia
harus dijatuhi hukuman potong tangan. Demikian pendapat Imam Malik, asy-
Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, dan ulama Zahiriyah. Alasannya, hukuman
potong.tangan adalah hukuman yang berkaitan dengan tindak pidana pecurian.
Jadi, hukuman berulang jika perbuatannya berulang. Benda yang menjadi sasaran
pencurian tidak memnengaruhi hukuman, baik barang yang dicuri masih seperti
semula maupun sudah berubah.

Ulama Hanafiyah membedakan hukuman untuk barang yang masih seperti


semula dan yang sudah berubah. Jika barang tersebut masih sama seperti asalnya,
hukuman potong tangan harus dilaksanakan. Akan tetapi, sebagian ulama
Hanafiyah tidak menetapkan hukuman potong tangan atas dasar istihsãn.
Alasannya, nilai işmah (perlindungan) terhadap benda menjadi gugur karena
pencurian pertama. Jika işmah kembali dengan kembalinya barang, işmah juga
kembali dengan adanya syubhat atas tidak adanya işmah. Tşmah gugur untuk
memastikan wajibnya hukuman potong tangan dan pengaruh hukuman potong
tangan pun tetap ada setelah barang curian dikembalikan. Inilah yang
memunculkan syubhat dalam işmah.

Menurut kaidah dalam mazhab Hanafi, jika barang tersebut sudah berubah
menjadi barang lain, pencuri wajib dijatuhi hukuman potong tangan. Jika
seseorang mencuri kapas dan mengembalikan kepada pemiliknya lalu pemiliknya
menenun kapas tersebut menjadi pakaian dan si pencuri mengambil pakaian
tersebut, hukuman potong tangan berlaku. Jika seseorang mencuri seekor sapi
betina dan dijatuhi hukuman potong tangan lalu ia mengembalikan sapi tersebut
kepada pemiliknya lalu sapi itu melahirkan anak dan pencuri menganbil anak sapi
tersebut, tetaplah hukuman potong tangan.

Di kalangan ulama Syi'ah Zaidiyah ada dua pendapat. Pendapat pertama


menyatakan bahwa seseorang yang mencuri kembali barang yang sudah
membuatnya dijatuhi hukuman potorg tangan tidak wajib dijatuhi hukuman
potong tangan. Alasannya, pemotongan tangan yang pertama (dilakukan
sebelumnya) menimbulkan syubhat. Pendapapat kedua mewajibkan hukuman
potong tangan.

Mazhab Hanafi tidak menetapkan hukuman potong tangan atas orang yang
memiliki kewajiban mengganti/menjamin barang yang ia curi sebelum barang
tersebut dikeluarkan dari temnpat penyimpanannya. Menurut mereka, adanya
kewajiban mengganti menjadikan barang tersebut miliknya sejak adanya
kewajiban mengganti hingga si pencuri seakan-akan telah memiliki barang
tersebut sebelum ia mengeluarkannya dari tempat penyimpanan.

Ulama Hanafiyah berbeda pendapat tentang orang yang mencuri sepotong


pakaian dan merobeknya sebelum membawanya keluar dari tempat penyimpanan
atau menyembelih seekor kambing dan mengeluarkannya dari tempat
penyimpanannya dalam keadaan sudah dipotong. Abu Yusuf berpendapat bahwa
hukuman potong tangan tidak diberlakukan atas pencuri tersebut karena ia
merobek pakaian dan menyembelih kambing di tempat penyimpanan. Ini adalah
sebab yang menjadikannya harus mengganti ketika masih di tempat penyimpanan.
Adanya kewajiban mengganti mengakibatkan pencuri memiliki barang yang harus
diganti sejak adanya sebab keharusan mengganti tersebut. Hal inilah yang
menghalangi hukuman potong tangan.

Imam Abu Hanifah dan Muhamma mewajibkan potong tangan atas


pencuri pakaian karena pencurian telah sempurna, sedangkan pakaian merupakan
milik korban dan kepemilikan tidak hilang darinya kecuali korban memilih untuk
meminta ganti rugi. Sebelum korban memilih ganti rugi, pakaian tetap menjadi
miliknya. Dengan demikian, pencuri tetap harus dijatuhi hukuman potong tangan.
Begitu juga dalam pencurian kambing. Akan tetapi, jika pencuri mengeluarkan
kambing dari tempat penyimpanan dan kambing tersebut telah dipotong (menjadi
daging), ia tidak dijatuhi hukuman potong tangan. Tidak ada hukuman potong
tangan dalam pencurian daging. Begitu juga jika si pencuri merusak pakaian
curian hingga hancur. Hukuman potong tangan tetap tidak diberikan meskipun
harga pakaian mencapai satu nisab. Membakar atau merobek barang curian hingga
membuatnya rusak mewajibkan ganti rugi dan mengharuskan (mengakibatkan) si
pencuri memiliki barang tersebut

Imam Malik dan asy-Syafii berpendapat bahwa nilai barang curian dilihat
ketika ia sudah keluar dari tempat penyimpanan. Jika nilai barang mencapai satu
nisab, pencuri harus dipotong tangan. Jika tidak mencapai satu nisab, hukuman
potong tangan tidak berlaku. Pencuri mana pun yang menyembelih seekor
kambing, merusak,makanan, atau merobek pakaian harus dijatuhi hukuman
potong tangan jika nilai barang yang ia bawa dari tempat penyiinpanan mencapai
satu nisab.Ulama Zahiriyah mewajibkan hukuman potong tangan jika pencuri
mengambil secara sembunyi-sembunyi dan mencapai satu nisab. Mereka tidak
mengakui tempat penyimpanan dan tidak mensyaratkannya. Ulama Syi'ah
Zaidiyah sependapat dengan ulama Hanafiyah dalam hal ini.

Para fukaha tidak menganggap penghancuran atau perusakan yang


dilakukan seseorang di ternpat penyimpanan sebagai pencurian, tetapi perusakan,
dan pelakunya hanya dijatuhi hukuman takzir. Akan tetapi, ulama Zahiriyah
menganggap perusakan di dalam tempat penyimpanan sebagai pencurian jika
barang tersebutdiambil secara sembunyi-sembunyi," Dengan demikian, harga
barang yang dirusak di tempat penyimpanan tidak digabungkan dengan harga
barang yang sudah dikeluarkan hingga jumlahnya genap satu nisab. Jika pencuri
memakan makanan di dalam tempat penyimpanan dan nilai makanan tersebut
mencapai setengah nisab lalu ia keluar dengan membawa makanan yang sama,
yang nilainya setengah nisab, ia tidak dijatuhi hukuman potong tangan.
Alasannya, barang yang ia bawa keluar tempat penyimpanan tidak mencapai satu
nisab. Adapun jika barang yang ia bawa keluar mencapai satu nisab, ulama
Zahiriyah mewajibkan hukuman potong tangan.

Imam Malik tidak menganggap penting pernyataan pencuri yang mengaku


bahwa barang yang ia curi adalah miliknya. Menurutnya, pengakuan tersebut
tidak bernilai dan hukuman potong tangan tidak gugur karenanya kecuali si
pencuri bisa membuktikan kebenaran ucapannya. Jika si pencuri tidak memiliki
bukti, korban harus bersumpah bahwa barang tersebut adalah miliknya. Jika
korban tidak mau bersumpah, pencuri harus bersumpah. Jika ia mau bersumpah,
barang curian diberikan kepadanya dan ia tidak di jatuhi hukuman potong tangan

Menurut Imam Abu Hanifah, jika pencuri mengaku barang yang ia ambil
adalah miliknya, hukuman potong tangan menjadi gugur meskipun tidak ada bukti
yang membenarkan pengakuannya. la hanya dijatuhi hukuman takzir sebab
korban pencurian menjadi lawan sengketa si pencuri dalam kepemilikan barang
yang dicuri. Dalam hal ini, agar pencuri diakui kebenaran pengakuannya, ia harus
bisa memberikan bukti.

Jika korban pencurian menuntut sumpah, ia bisa meminta si pencuri untuk


bersumpah. Jika terjadi persengketaan, hukuman hudud tidak bisa dipenuhi.
Alasannya, jika korban menuntut orang yang dicurigai sebagai pemilik harang
(pencuri) untuk bersumpah dan orang tersebut menolaknya, penolakan ini berbuah
hukuman menolak sumpah. Jika sumpah dikembalikan kepada korban dan ia
bersedia bersumpah, hukum harus berpihak kepada korban. Ulama yang
mewajibkan hukuman potong tangan jika ada pengakuan kepemilikan terhadap
barang yang dicuri, mengharískan pelaksanaan hukuman hudud dengan adanya
sumpah korban dan penolakan pencuri untuk bersumpah.

Imam asy-Syafii berpendapat bahwa jika pencuri mengaku sebagai


pemilik barang, mengaku mendapat izin masuk ke tempat penyimpanan, mengaku
mencuri karena pintu tempat penyimpanan terbuka dan pemiliknya tidak
mengawasi tempat tersebut, atau mengaku bahwa barang yang diambil tidak
mencapai satu nisab, hukuman potong tangan gugur darinya walaupun pencurian
telah terbukti dengan adanya bukti. Alasannya, mungkin saja pengakuan tersebut
benar dan ini menimbulkan syubhat yang menggugurkan hukuman potong tangan.
Gugurnya hukuman hudud juga disebabkan ada sengketa pengakuan di dalamnya.
Ketika pencurian sudah terbukti, pencuri tidak perlu merinci bahwa barang curian
tersebut sebagai miliknya walaupun dia mempunyai peluang dalam
menggugurkan hukuman hudud dengan pengakuan palsu. Akan tetapi, pengakuan
yang bisa menggugurkan hukuman hudud tersebut tidak bisa serta merta
menjadikan barang tersebut milik si pencuri kecuali ada bukti atau korban
menolak bersumpah sebagai pemilik barang yang dicuri. Jika si pencuri menolak
bersumpah setelah penolakan korban pencurian untuk bersumpah, ia tidak dijatuhi
hukuman potong tangan karena ada syubhat dalam masalah kepemilikan barang.

Di kalangan ulama Hanabilah ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama


dengan pendapat Imam Malik. Pendapat kedua sama dengan pendapat Imam asy-
Syafii dan ini merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Hanbali. Pendapat
ketiga menyatakan bahwa jika orang tersebut sudah dikenal sebagai pencuri,
hukuman potong tangan tidak gugur, tetapi jika tidak dikenal sebagai pencuri,
hukuman potong tangan atasnya menjadi gugur Ulama Syi'ah Zaidiyah
menyatakan bahwa pengakuan kepemilikan dapat menggugurkan hukuman
potong tangan tanpa perlu membuktikan kebenaran pengakuan tersebut.

Perlu dicatat, gugurnya hukuman potong tangan tidak berarti


membebaskan pelaku dari tanggung jawab pidana. Pelaku tetap harus bertanggung
jawab dan dijatuhi hukuman takzir sebagai ganti hukuman potong tangan. Para
ulama menyatakan bahwa barang yang dicuri harus harta yang maksum
(terlindungi). Jika bukan barang yang maksum, hukumnya menjadi mubah dan
mengambilnya tidak dihukumi mencuri, misalnya harta kafir harbi dan harta
pelaku pemberontakan.

Seorang pemberontak tidak dijatuhi hukuman atas pencurian harta


golongan yang tidak memberontak (ahlul 'ad). Begitu juga kafir harbi yang
mencuri harta orang Islam dan harta kafir zimi.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa secara istilh sân, tidak ada
hukuman potong tangan dalam pencurian harta orang kafir harbi yang memiliki
jaminan keamanan walaupun hukum kias menetapkan hukuman potong tangan
atas pencurian harta yang dilindungi. Tidak adanya hukuman potong tangan
disebabkan orang harbi tersebut mendapat manfaat ismah dari perlindungan yang
diberikan kepadanya.

Alasan istihsān di sini, barang tersebut adalah harta yang memiliki syubhat
kemubahannya atau memiliki kemungkinan boleh diambil karena orang kafir
harbi yang memiliki jaminan keamanan termasuk warga negara non-Islam. Jadi, ia
masuk ke negara Islam hanya untuk memenuhi keperluannya dan kembali ke
negaranya dalam waktu singkat. Keberadaannya sebagai warga negara non-Islam
melahirkan syubhat kemubahan dalamn hartanya karena pada dasarnya, harta
orang tersebut adalah mubah (halal). Tşmah atas diri dan hartanya disebabkan
oleh adanya jaminan keamanan secara tempural dan jaminan ini sangat mudah
hilang. Ketika jaminan keamanan hilang, işmah pun akan hilang. Jadi, jika setiap
işmah yang bersifat temporal tersebut hilang, ia tak ubahnya seperti tidak ada
sebelumnya. Begitu juga dengan işmah.

Berbeda halnya dengan kafir zimi. Mereka termasuk warga negara Islam
dan mendapat manfaat işmah dari jaminan keamanan yang permanen. Jadi,
perlindungan terhadap darah dan hartanya merupakan perlindungan yang abadi
dan total serta tidak ada syubhat di dalamnya.

Imam Abu Hanifahmenyatakan bahwa seorang kafir harbi yang mendapat


jaminan keamanan tidak dijatuhi hukuman potong tangan jika mencuri harta orang
Islam atau kafir zimi. Alasannya, kafir harbi mengambil dengan keyakinan bahwa
hal tersebut dibolehkan dan ia tidak terikat dengan aturan-aturan negara Islam.
Akan tetapi, Abu Yusuf berbeda pendapat. Menurutnya, kafir harbi yang
mendapat jaminan keamanan dijatuhi hukuman potong tangan jika ia mencuri
harta muslim atau nonmuslim.

Ulama Hanafiyah tidak menetapkan hukuman potong tangan atas


golongan yang tidak memberontak ('ādl) yang mencuri harta pelaku
pemberontakan karena harta tersebut, sebagaimana pemiliknya, juga tidak
maksum. Begitu juga pelaku pemberontakan yang mencuri harta golongan yang
tidak memberontak karena ia mengambil berdasarkan alasan (takwil) kendati
alasanrya salah. Bila alasannya berkumpul dengan alasan yang benar, hal tersebut
bisa menghalangi hukum potong tangan,

Imam Malik menetapkan hukuman potong tangan atas kafir musta man
(mendapat jaminan keamanan) yang mencuri harta muslim atau nonmuslim. la
juga mewajibkan hukuman pctong tangan muslim dan kafir zimi yang mencuri
harta kafir musta`man.

Di dalam mazhab Syafii, ada beberapa pendapat mengenai pencurian yang


dilakukan oleh dan terhadap kafir mư'âhad (perjanjian damai dalam waktu
tertentu) dan kaifr musta'man. Pendapat yang paling baik adalah pendapat yang
mewajibkan hukuman potong tangan dalam pencurian jika dalam perjanjian atau
keamanan disyaratkan berlakunya hukuman potong tangan jika mereka
melakukan pencurian. Jadi, dalam kondisi ini, mereka harus menetapi ketentuan
hukumn-hukum Islam. Jika ketentuan potong tangan tidak disyaratkan, hukuman
potong tangan tidak berlaku karena tidak ada keterikatan dengan hukum Islam.
Dengan demikian, hukum atas mereka sama seperti kafir harbi dan hukuman
potong tangan pun tidak berlaku atas muslim atau kafir zimi yang mencuri harta
kafir mu'āhad dan musta`man kecuali jika hal ini disyaratkan dalam perjanjian
tentang pencurian. Tidak mungkin memotong tangan seorang muslimn atau kafir
harbi atas pencurian harta kafir mu'ahad dan tanpa memotong tangan kafir
mu'āhad dan musta man dalam pencurian harta muslim dan kafir zimi. Akan
tetapi, sebagian ulama Syafiiyah tidak menetapkan hukuman potong tangan atas
kafir musta` man dan mu'āhad yang melakukan pencurian walaupun hal tersebut
disyaratkan dalam perjanjian. Hukumân potong tangan tidak berlaku dalam
pencurian harta keduanya.

Ada dua pendapat dalam mazhab Hanbali mengenai hal ini. Pendapat yang
lebih kuat mewajibkan hukuman potong tangan atas orang kafir musta` man yang
mencuri harta orang muslim atau kafir zimi. Begitu juga jika muslim dan kafir
zimi yang mencuri harta kafir musta man karena hukuman potong tangan adalah
hukuman hudud yang diwajibkan atas pelaku pencurian, sebagaimana halnya
hukuman hudud atas pelaku qazāf. Jilka hukuman potong tangan diwajibkan
untuk melindungi harta, hukuman hudud atas qazāf juga diwajibkan untuk
melindungi kehormatan. Jika salah satu hukum tersebut diwajibkan atas kafir
musta`man, begitu juga hukum lainnya. Tidak demikian halnya jika ia dijatuhi
hukuman hudud karena zina. Tindak pidana zina membuatnya harus dibunuh
karena dianggap merusak perjanjian. Hukuman mati menyebabkan hukuman
hudud atas tindak pidana lain tidak disertakan. Pendapat ini membantah pendapat
kedua yang menyatakan bahwa kafir musta man tidak dijatuhi hukumnan potong
tangan karena mencuri. Karena ia merupakan hak Allah, hukuman hudud tidak
ditegakkan atas pencurian, sebagaimana hukuman hudud atas zina (alasan
pendapat kedua).
Pendapat

Menerut saya adalah banyaknya perbedaan pendapat antara para ulama tentang
hukuman barang yang dicuri milik orang lain. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan masi banyak pendapat para ulama yang
lainya. Menurut Imam Abu Hanifah tidak dijatuhi hukuman potong tangan, karena
menghindarkan pencuri pertama dari hukum hudud menjadikan harus menjamin
atau menggati barang yang ia curi.

Terlepas dari bedanya pendapat para ulama pada intinya islam


mengajarkan kepada umatnya agar tidak melakukan kejahatan.

Anda mungkin juga menyukai