Bagian A
Pencurian
Imam Ahmad bin Hanbal mensyaratkan orang yang dicuri adalah pemilik
barang atau yang menempati posisinya. Pelaku yang mengambil dari selain
keduanya tak ubahnya seperti mengambil harta tak bertuan. Perbedaan antara
yang di curi dan yang mencuri adalah orang yang mencuri menghilangkan
kepemilikan orang yang memiliki atau orang yang menempati posisinya dan
mengambil barang curian dari tempat penyimpanan. Atas dasar ini, Imam Ahmad
bin Hanbal mengatakan bahwa pencuri yang mengambil seuatu dari pemilik atau
yang menempati posisinya, ia harus dijatuhi hukuman potong tangan jika semua
syarat potong tangan terpenuhi. Adapun pencuri yang mengambil dari pencuri
lain, atau dari penggasab tidak dijatuhi hukuman potong tangan walaupun barang
curian berasal dari tempat penyimpanan.
Menurut kaidah dalam mazhab Hanafi, jika barang tersebut sudah berubah
menjadi barang lain, pencuri wajib dijatuhi hukuman potong tangan. Jika
seseorang mencuri kapas dan mengembalikan kepada pemiliknya lalu pemiliknya
menenun kapas tersebut menjadi pakaian dan si pencuri mengambil pakaian
tersebut, hukuman potong tangan berlaku. Jika seseorang mencuri seekor sapi
betina dan dijatuhi hukuman potong tangan lalu ia mengembalikan sapi tersebut
kepada pemiliknya lalu sapi itu melahirkan anak dan pencuri menganbil anak sapi
tersebut, tetaplah hukuman potong tangan.
Mazhab Hanafi tidak menetapkan hukuman potong tangan atas orang yang
memiliki kewajiban mengganti/menjamin barang yang ia curi sebelum barang
tersebut dikeluarkan dari temnpat penyimpanannya. Menurut mereka, adanya
kewajiban mengganti menjadikan barang tersebut miliknya sejak adanya
kewajiban mengganti hingga si pencuri seakan-akan telah memiliki barang
tersebut sebelum ia mengeluarkannya dari tempat penyimpanan.
Imam Malik dan asy-Syafii berpendapat bahwa nilai barang curian dilihat
ketika ia sudah keluar dari tempat penyimpanan. Jika nilai barang mencapai satu
nisab, pencuri harus dipotong tangan. Jika tidak mencapai satu nisab, hukuman
potong tangan tidak berlaku. Pencuri mana pun yang menyembelih seekor
kambing, merusak,makanan, atau merobek pakaian harus dijatuhi hukuman
potong tangan jika nilai barang yang ia bawa dari tempat penyiinpanan mencapai
satu nisab.Ulama Zahiriyah mewajibkan hukuman potong tangan jika pencuri
mengambil secara sembunyi-sembunyi dan mencapai satu nisab. Mereka tidak
mengakui tempat penyimpanan dan tidak mensyaratkannya. Ulama Syi'ah
Zaidiyah sependapat dengan ulama Hanafiyah dalam hal ini.
Menurut Imam Abu Hanifah, jika pencuri mengaku barang yang ia ambil
adalah miliknya, hukuman potong tangan menjadi gugur meskipun tidak ada bukti
yang membenarkan pengakuannya. la hanya dijatuhi hukuman takzir sebab
korban pencurian menjadi lawan sengketa si pencuri dalam kepemilikan barang
yang dicuri. Dalam hal ini, agar pencuri diakui kebenaran pengakuannya, ia harus
bisa memberikan bukti.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa secara istilh sân, tidak ada
hukuman potong tangan dalam pencurian harta orang kafir harbi yang memiliki
jaminan keamanan walaupun hukum kias menetapkan hukuman potong tangan
atas pencurian harta yang dilindungi. Tidak adanya hukuman potong tangan
disebabkan orang harbi tersebut mendapat manfaat ismah dari perlindungan yang
diberikan kepadanya.
Alasan istihsān di sini, barang tersebut adalah harta yang memiliki syubhat
kemubahannya atau memiliki kemungkinan boleh diambil karena orang kafir
harbi yang memiliki jaminan keamanan termasuk warga negara non-Islam. Jadi, ia
masuk ke negara Islam hanya untuk memenuhi keperluannya dan kembali ke
negaranya dalam waktu singkat. Keberadaannya sebagai warga negara non-Islam
melahirkan syubhat kemubahan dalamn hartanya karena pada dasarnya, harta
orang tersebut adalah mubah (halal). Tşmah atas diri dan hartanya disebabkan
oleh adanya jaminan keamanan secara tempural dan jaminan ini sangat mudah
hilang. Ketika jaminan keamanan hilang, işmah pun akan hilang. Jadi, jika setiap
işmah yang bersifat temporal tersebut hilang, ia tak ubahnya seperti tidak ada
sebelumnya. Begitu juga dengan işmah.
Berbeda halnya dengan kafir zimi. Mereka termasuk warga negara Islam
dan mendapat manfaat işmah dari jaminan keamanan yang permanen. Jadi,
perlindungan terhadap darah dan hartanya merupakan perlindungan yang abadi
dan total serta tidak ada syubhat di dalamnya.
Imam Malik menetapkan hukuman potong tangan atas kafir musta man
(mendapat jaminan keamanan) yang mencuri harta muslim atau nonmuslim. la
juga mewajibkan hukuman pctong tangan muslim dan kafir zimi yang mencuri
harta kafir musta`man.
Ada dua pendapat dalam mazhab Hanbali mengenai hal ini. Pendapat yang
lebih kuat mewajibkan hukuman potong tangan atas orang kafir musta` man yang
mencuri harta orang muslim atau kafir zimi. Begitu juga jika muslim dan kafir
zimi yang mencuri harta kafir musta man karena hukuman potong tangan adalah
hukuman hudud yang diwajibkan atas pelaku pencurian, sebagaimana halnya
hukuman hudud atas pelaku qazāf. Jilka hukuman potong tangan diwajibkan
untuk melindungi harta, hukuman hudud atas qazāf juga diwajibkan untuk
melindungi kehormatan. Jika salah satu hukum tersebut diwajibkan atas kafir
musta`man, begitu juga hukum lainnya. Tidak demikian halnya jika ia dijatuhi
hukuman hudud karena zina. Tindak pidana zina membuatnya harus dibunuh
karena dianggap merusak perjanjian. Hukuman mati menyebabkan hukuman
hudud atas tindak pidana lain tidak disertakan. Pendapat ini membantah pendapat
kedua yang menyatakan bahwa kafir musta man tidak dijatuhi hukumnan potong
tangan karena mencuri. Karena ia merupakan hak Allah, hukuman hudud tidak
ditegakkan atas pencurian, sebagaimana hukuman hudud atas zina (alasan
pendapat kedua).
Pendapat
Menerut saya adalah banyaknya perbedaan pendapat antara para ulama tentang
hukuman barang yang dicuri milik orang lain. Menurut Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan masi banyak pendapat para ulama yang
lainya. Menurut Imam Abu Hanifah tidak dijatuhi hukuman potong tangan, karena
menghindarkan pencuri pertama dari hukum hudud menjadikan harus menjamin
atau menggati barang yang ia curi.