Anda di halaman 1dari 4

JAWABAN UAS FIQIH MUAMALAH

1) Syekh Yusuf Qardhawi menfatwakan terkait masalah tersebut, yaitu yang


berhubungan dengan investasi sebagian bank Islam dalam jual beli valas. Menurut
prinsip syara’, jual beli mata uang haruslah dilakukan secara tunai, sebagaimana
dijelaskan hadis Rasulullah SAW dalam jual beli enam macam benda yang sudah
terkenal.
Karena itu, tidak sah akad jual beli mata uang dengan sistem penangguhan,
bahkan harus dilakukan secara tunai ketika di tempat transaksi itu. Hanya saja, yang
menjadi kriteria “tunai”, yaitu menurut kebiasaan masing-masing dan tunainya
sesuatu itu menurut ukurannya sendiri-sendiri. Dalam hal ini syara’ telah
menyerahkan ukuran banyak hal kepada adat kebiasaan manusia, sebagaimana yang
dikemukakan Ibnu Qudamah dan lain-lainnya, di antaranya adat, yaitu emas, perak,
beras gandum, padi gandum, kurma, dan garam. Artinya, jika sebutan tunai dengan
cara di atas meski memakan waktu dua hari dan sudah menjadi adat kebiasaan
bersama, kaidah tunai menurut syara’ sudah terealisasi.
Dengan demikian, berlakulah padanya hukum-hukum yang berkaitan dengan
ketunaian menurut syara’. Meskipun realitas tunai itu juga mengikuti kedaruratan
waktu, darurat tetap harus diukur dengan ukurannya. Maka, tidak diperkenankan bagi
bank lslam menjual apa yang telah dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih
dahulu barang itu menurut kriteria adat kebiasaan yang berlaku.
Contoh, bentuk jual beli valas saat sebuah bank Islam ingin membeli dolar
Amerika dari bank di Inggris. Dalam hal ini sudah barang tentu bank lslam itu harus
menjual mata uang lain kepada Bank Britania tersebut, katakan saja mark Jerman
(DM). Dan, kita tetapkan saja harga satu dolar Amerika sama dengan tiga mark
Jerman. Misalnya, bank Islam tersebut membeli satu juta dolar dengan membayar tiga
juta mark Jerman kepada Bank Britania.
Tahapan selanjutnya, setelah ditentukan harga mata uang yang di
perjualbelikan, sempurnalah serah terima terhadap nilai yang mereka sepakati de ngan
dimasukkannya ke rekening masing-masing kedua bank itu. Akan te tapi, sebenarnya
penyerahan dan penerimaan tersebut tidak terjadi pada waktu itu, tetapi setelah 48 jam
kerja (dua hari kerja).
2) Pengertian Musaqah. Musaqah merupakan kerja sama antara pemilik kebun
atau tanaman dan pengelola atau penggarap untuk memelihara dan merawat kebun
atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan
bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam aqad.
Pengertian Mukhabarah. Mukhabarah adalah kerjasama antara pemilik lahan
dengan penggarap sedangkan benihnya dari benihnya cukup mahal, seperti cengkeh,
pala, vanili, dan lain-lain. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang
benihnya relatif murah pun dilakukan kerjasama mukhabarah .
Muzaraah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap sedangkan
benihnya dari penggarap. Pada umumnya kerjasama muzaraah ini dilakukan pada
tanaman yang benihnya relatif murah, seperti padi, jagung, kacang, kedelai dan lain-
lain.

3) Pada umumnya praktik gadai yang terjadi di masyarakat, selain tidak tertulis
Juga tidak ada batasan waktu. Yang bisa dijadikan barang gadaian adalah tanah
pertanian. Dalam masyarakat, biasanya jika ada seseorang menggadaikan tanah
Pertaniannya maka hak mengambil manfaat dari tanah tersebut jatuh ke tangan
penerima gadai (murtahin). Hal ini jika disinggungkan dengan kitab-kitab klasik jelas
Banyak ulama yang mengharamkan pengambilan manfaat dari tanah tersebut oleh
Murtahin.
Sementara sudah jelas bahwa jika barang gadaian itu bukan binatang yang di
tunggangi, atau di perasi, tidak boleh yang menerima gadai itu untuk mengambil
manfaat walaupun seizin yang menggadaikan. Dan tidak boleh bagi yang
menggadaikan mentasarufkan barang yang di gadaikan itu dengan ketiadaan izin yang
menerima gadai. Segala hasil yang di gadai itu, baik bersambung dengan dia atau
tidak, semuanya masuk gadaian; tetap di tangan yang menerima gadai. Maka dijual
hasil itu beserta pokok apabila di jual. Kalau barang itu tidak dapat di tinggal lama,
hendaklah di jual dan harganya dijadikan harganya barang gadian pula

4) Belum ada jawabannya


5)
a) Dalam hukum Islam, transaksi wadi`ah (penitipan) ini asalnya dibolehkan,
yakni semua orang bebas memilih apa yang akan ia lakukan untuk menjaga
yang ia miliki untuk dirinya sendiri. Namun terkadang, hukum menitipkan
harta miliknya menjadi wajib, bila pemilik barang tersebut takut tidak bisa
menjaganya, atau menghilangkan, atau khawatir menjadi rusak, sehingga ia
menjumpai (mencari) orang (pihak) yang dapat menjaganya. Dan bagi
seseorang yang merasa mampu menjaga barang yang dititipkan, maka
disunnahkan untuk menerima titipan itu. Pahala yang besar telah menanti bagi
si pelaku penerima titipan. Transaksi wadi`ah ini merupakan akad yang
bersifat jaiz (boleh) dari dua belah pihak. Masing-masing di antara keduanya
berhak untuk membatalkan akad yang berlangsung, kapanpun juga. Ridha
tidaknya pihak yang dibatalkan tidak ada pengaruhnya. Dan akad ini, secara
otomatis terputus, bila salah satu dari keduanya meninggal atau hilang akalnya
karena gila atau sakit. Bagi seseorang yang menerima titipan atau amanah ini,
wajib untuk menjaganya seperti miliknya sendiri. Karenanya, bila barang
titipan itu hilang atau rusak, maka pihak yang dititipi tidak wajib dimintakan
ganti atau pertanggungjawabannya, karena ia sebagai orang yang dipercaya
oleh si penitip, selama pihak yang dititipi tidak berbuat lalai dan aniaya dalam
penjagaan. Bila terjadi kelalaian dan perbuatan aniaya, maka wajib bagi yang
dititipi untuk menggantinya dan bertanggung jawab dengan barang tersebut,
karena ia telah merusak harta dan barang orang lain. Oleh karena itu, wajib
bagi seseorang yang dititipi untuk menjaga barang titipan tersebut di tempat
aman atau yang semestinya, sebagaimana layaknya ia menjaga hartanya
sendiri.

b) Ariyah atau pinjam-meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada


kondisi yang menyertainya. Meminjamkan barang hukumnya sunnah jika
peminjam (musta’ir) merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak
menimbulkan mudarat bagi pemilik barang (mu’ir). Ditambah, peminjam tidak
menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang makruh.
Meminjamkan barang juga bisa menjadi wajib, jika peminjam dalam keadaan
darurat sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan kemudaratan jika
meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca dingin ada orang yang
telanjang, atau hanya memakai pakaian seadanya sehingga merasakan
kedinginan. Maka, jika ada orang yang bisa meminjamkan baju untuknya
hukumnya menjadi wajib karena orang tersebut bisa saja meninggal atau
terkena penyakit seandainya tidak dipinjami baju. Menurut Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah, pinjam-meminjam hukumnya bisa menjadi makruh, jika
berdampak pada hal yang makruh. Seperti meminjamkan hamba sahaya untuk
bekerja kepada seorang kafir. ‘Ariyah juga bisa menjadi haram jika
berdampak pada perbuatan yang dilarang. Seperti meminjamkan senjata untuk
membunuh orang, atau meminjamkan kendaraan untuk melakukan maksiat,
dan lain-lain.

c) Dalam permasalahan gadai syariah yang terjadi, biasanya rahin tidak dapat
melunasi barang gadai sampe batai waktu yang telah di sepakati diawal
sehingga bentuk penyelesaian yang pertama yaitu memberikanan kelonggaran
waktu atau tambahan waktu bagi rahin agar dapat melunasi barang yang
digadaikannya secara tunai ataupun dicicil. Namun jika sampai pada waktu
tambahan yang diberikan tidak dapat melunasi barang yang digadaikan dan
rahin udah tidak dapat melunasi nya maka barang yang digadaikan berhak
untuk dilelang atau dijual oleh murtahin dengan ketentuan murtahin hanya
akan menerima sejumlah uang yang besarnya sebesar jumlah gadai. Apabila
barang gadai yang dilelang laku dgn harga jual lebih besar dari pelunasan
gadai maka murtahin wajib memberikan sisanya kepada rahin, sedangkan jika
hasil lelang tersebut masih kurang utk pelunasan gadai maka rahin wajib
memberikan tambahan sejumlah uang agar cukup mengganti sejumlah uang
yang telah dikeluarkan murtahin.

Anda mungkin juga menyukai