Anda di halaman 1dari 26

Al Wadi’ah

Pengertian Wadiah
Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan
prinsip al-wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni
dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendaki.
Dalam bahasa Indonesia wadi’ah berarti “titipan”. Akad wadi’ah
merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesama
manusia.
Menurut ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan wadi’ah dengan,
“Mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan
ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat”.
Menurut ulama Mahzab Maliki, Mahzab Syafi’i, dan Mahzab
Hanbali (jumhur ulama), mendefinisikan wadi’ah dengan,
“Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu
dengan cara tertentu. Menurut ulama Mahzab Maliki, Mahzab
Syafi’i, dan Mahzab Hanbali (jumhur ulama), mendefinisikan
wadi’ah dengan, “Mewakilkan orang lain untuk memelihara
harta tertentu dengan cara tertentu. Al-Wadi’ah atau dikenal
dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni
dari satu pihak kepada pihak lain, baik perseorangan maupun
badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja
apabila si penitip menghendaki.
Landasan Hukum
a. AL Qur’an
QS An Nissa’ : 58

Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh


kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha melihat.”
b. Fatwa MUI ini berdasarkan fatwa DSN 02/DSN-MUI/IV/2000:
Tabungan
Pertama:
1. Tabungan ada dua jenis: Tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu
tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
2. Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip
mudharabah dan wadi’ah.
Kedua: ketentuan umum tabungan berdasarkan mudharabah3
1. Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana,
dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2. Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam
usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya,
termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3. Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan
piutang.
4. Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan
dalam akad pembukaan rekening.
5. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan
menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6. Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa
persetujuan yang bersangkutan.
Ketiga: ketentuan umum tabungan berdasarkan wadi’ah:
a. Bersifat simpanan.
b. impanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
c. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian yang
bersifat sukarela dari pihak bank.
Rukun Akad Wadi’ah dan Syarat-Syaratnya
a. Rukun Akad Wadi’ah

Rukun akad wadi’ah menurut para ulama mazhad hanafi adalah ijab dan qabul,
yaitu penitip berkata kepada orang lain, sedangkan Menurut jumhur ulama, rukun
akad wadi’ah ada emapat yaitu dua orang yang melakukan akad orang yang titip
dan orang yang dititipi, sesuatu yang dititipkan dansighah (ijab qabul).Qabul dari
orang yang dititipi bisa berupa lafal misalnya, saya menerimanya. Bisa juga suatu
tindakan yang menujukan hal itu, seprti ada orang meletakan harta di tempat
orang lain, lalu orang itu diam saja, maka diamnya orang kedua tersebut
menempati posisi qabul, sebagaimana dalam jual beli muathah.
b. Syarat-syarat Akad Wadi’ah

Dalam akad wadi’ah memiliki dua syarat, yaitu:


1. Ijab dari penitip dan qabul dari penjaga, baik dengan ucapan maupun
perbuatan. Lebih dari sekali telah kami jelaskan bahwa ijabdan qabultermasuk
rukun. Sekedar izin dari pemilik untuk menjaga hartanya itu tidaklah cukup.
Untuk itu, harus terdapat kesepakatan antara kehendaknya dan kehendak
penjaga untuk menjaga harta akad akan terjadi.
2. Kedua belah pihak harus memiliki kelayakan untuk melakukan akad-akad yang
berkaitan dengan harta. Jika seseorang yang balig dan berakal menerima
titipan dari anak kecil atau orang gila maka dia harus menjamin barangtersebut
meskipun bukan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Menurut para ulama hanafi. Dua orang yang melakukan akad wadi’ah disyaratkan harus
berakal, sehingga tidak sah penitipan anak kecil yang tidak berakal dan orang gila.
Sebagaimana tidak sah juga menerima titipan dari orang gila dan anak kecil yang tidak
berakal. tidak disyaratkan sifat bilang dalam hal ini, sehingga sah penitipan dari anak kecil
yang dibolehkan untuk berjualan, karena penitipan ini termasuk yang diperlukan oleh
seorang penjual. Sebagaimana sah juga penitipan kepada anak kecil yang telah
diperbolehkan melakukan jual beli, karena ia termasuk yang biasa melakukan penjagaan.
Adapun anak kecil yang mahjur dihalangi untuk membelanjakan harta, maka tidak sah
menerima titipan darinya, karena umumnya anak kecil tersebut tidak mampu menjaga
harta. Menurut jumhur ulama, dalam akad wadi’ah disyaratkan pula hal-hal yang
disyaratkan dalam wakalah, seprti balig, berakal, dan bisa mengatur pembelanjaan harta.
Dalam akad wadi’ah sesuatu yang dititipkan disyaratkan dapat diterima, sehingga jika
seorang menitipkan budak yang sedang melarikan diri untuk burung yang sedang terbang
di udara atau harta yang jatuh di dalam laut maka orang yang dititipi tidak wajib
memberikan ganti jika terjadi hal-hal yang tidak dinginkan pada titipan itu.
Macam-macam Wadiah
Macam-macam wadi’ah dibedakan menjadi 2 yaitu:

a. Wadi’ah Yad amanah merupakan titipan murni, yakni pihak yang


dititipi tidak boleh memanfaatkan dana atau barang yang dititipi
tidak boleh memanfaatkan dana atau barang yang dititipkan berhak
meminta biaya penitipan. Sewaktu titipan dikembalikan harus
dalam keadaan utuh, baik nilai maupun fisik barang. Jika selama
dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang menerima
titipan dibebani tanggung jawab.
b. Wadi’ah Yad Dhamanah titipan yang penerima titipan
diperbolehkan memanfaatkan dan berhak mendapat keuntungan
dari barang titipan tersebut. Dari keuntungan yang diperoleh dari
pemanfaatan barang titipan ini dapat diberikan sebagian kepada
pihak yang menitipkan dengan syarat tidak diperjanjikan
sebelumnya.
Penghimpunan Dana Prinsip Wadi’ah
Penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh bank
konvensional adalah dalam bentuk tabungan, deposito dan giro yang
lazim disebut dengan dana puhak ketiga. Dalam bank syariah,
penghimpunan dana masyarakat dilakukan tidak membedakan nama
produk, tetapi melihat pada prinsip wadi’ah dan prinsip mundharabah.
Wadi’ah menurut wirisi (2005) adalah titipan nasabah yang harus
dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila nasabha yang
bersangkutan menghendaki. Bank bertanggung jawab atas
pengambilan titipan. Wadi’ah yad-dhamanah dan wadi’ah had
amanah.Wadi’ah yad-dhamanah adalah titipan yang selama belum
dikembalikan kepada penitipndapat dimanfaatkan oleh penerima
titipan. Apabila hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan
maka seluruhnya menjadi hak penerima titipan tidak boleh
memanfaatkan barang titipan tersebut sampai diambil kembali oleh
penitip.
Al Musyarakah
Pengertian Musyarakah
Secara bahasa Musyarakah berasal dari kata al-syirkah yang berarti
al-ikhtilath (percampuran) atau persekutuan dua hal atau lebih,
sehingga antara masing-masing sulit dibedakan. Seperti persekutuan
hak milik atau perserikatan usaha.
Secara etimologis, musyarakah adalah penggabungan, percampuran
atau serikat. Musyarakah berarti kerjasama kemitraan atau dalam
bahasa Inggris disebut partnership.
Musyarakah adalah akad kerjasama yang terjadi di antara para pemilik
modal (mitra musyarakah) untuk menggabungkan modal dan
melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan
nisbah pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi
modal.
Landasan Hukum
Musyarakah merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Alqur‟an, sunnah, dan ijma‟.
Al Qur‟an
Q.S An Nisa ayat 12

“Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu”.

Q.S Shaad ayat 24

“Dari sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat
zalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakanamal yang
shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini”.
Dalam Surah An-Nisa (4) ayat 12, pengertian syarukâ’ adalah bersekutu dalam memiliki harta
yang diperoleh dari warisan. Sedangkan dalam Surah Shâd (38) ayat 24, lafal al-khulathâ’
diartikan syarukâ’, yakni orang-orang yang mencampurkan harta mereka untuk dikelola
bersama.

Sunnah
a. Hadis Abu Hurairah
b. Hadis As-Saib Al-Makhzumi
c. Hadis Abdullah bin Mas‟ud

Ijma
Ibnu Qudamahdalam kitabnya, al Mughni, telah berkata: “Kaum muslimin telah
berkonsensus terhadap legitimasi masyarakat secara global walaupun terdapat perbedaan
pendapat dalam beberapa elemen darinya”.
Syarat Musyarakah
Adapun yang menjadi syarat syirkah adalah sebagai berikut:
a. Tidak ada bentuk khusus kontrak, berakad dianggap sah jika diucapkan secara
verbal/tertulis, kontrak dicatat dalam tulisan dan disaksikan.
b. Mitra harus kompeten dalam memberikan/diberikan kekuasaan perwalian.
c. Modal harus uang tunai, emas, perak yang nilainya sama, dapat terdiri dari asset
perdagangan, hak yang tidak terlihat (misalnya lisensi, hak paten dan
sebagainya).
d. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan adalah sebuah hukum dasar dan tidak
diperbolehkan bagi salah satu dari mereka untuk mencantumkan tidak ikut
sertanya mitra lainnya. Namun porsi melaksanakan pekerjaan tidak perlu harus
sama, demikian pula dengan bagian keuntungan yang diterima.
Rukun Musyarakah
Musyarakah memiliki beberapa rukun, antara lain:
a. Ijab-qabul (sighat) Adalah adanya kesepakatan antara kedua belah
pihak yang bertransaksi.
b. Dua pihak yang berakad (‘aqidani) dan memiliki kecakapan
melakukan pengelolaan harta.
c. Objek aqad (mahal), yang disebut juga ma’qud alaihi, yang
mencakup modal atau pekerjaan.
d. Nisbah bagi hasil.
Macam-macam Musyarakah
Secara garis besar syirkah terbagi kepada dua bagian:
1. Syirkah Al-Amlak
2. Syirkah Al-’Uqud

1. Syirkah Al-Amlak
Syirkah al-amlak (syirkah milik) adalah ibarat dua orang atau lebih memilikkan suatu benda
kepada yang lain tanpa ada akad syirkah.
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa syirkah milik adalah suatu syirkah dimana dua orang
atau lebih bersama-sama memiliki suatu barang tanpa melakukan akad syirkah. Contoh, dua
orang diberi hibah ssebuah rumah. Dalam contoh ini rumah tersebut dimiliki oleeh dua orang
melalui hibah, tanpa akad syirkah antara dua orang yang diberi hibah tersebut.
Dalam syirkah al-amlak, terbagi dalam dua bentuk, yaitu:
a. Syirkah al-jabr
Berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa.
b. Syirkah Ikhtiyariyah
Yaitu suatu bentuk kepemilikan bersama yang timbul karena perbuatan orang-orang yang
berserikat.
2. Syirkah Al-‘Uqud
Syirkah al-uqud (contractual partnership), dapat dianggap sebagai kemitraan yang sesungguhnya,
karena para pihak yang bersangkutan secara sukarela berkeinginan untuk membuat suatu
perjanjian investasi bersama dan berbagi untuk dan risiko.
Syirkah al-Uqud dibagi menjadi 5 jenis, yaitu:
a. Syirkah Mufawwadah.
Merupakan akad kerja sama usaha antar dua pihak atau lebih, yang masing-masing pihak harus
menyerahkan modal dengan porsi modal yang sama dan bagi hasil atas usaha atau risiko
ditanggung bersama dengan jumlah yang sama. Dalam syirkah mufawwadah, masing-masing
mitra usaha memiliki hak dan tangung jawab yang sama.
b. Syirkah Inan
Merupakan akad kerja sama usaha antara dua orang atau lebih, yang masing-masing mitra kerja
harus menyerahkan dana untuk modal yang porsi modalnya tidak harus sama. Pembagian hasil
usaha sesuai dengan kesepakatan, tidak harus sesuai dengan kontribusi dana yang diberikan.
Dalam syirkah inan, masing-masing pihak tidak harus menyerahkan modal dalam bentuk uang
tunai saja, akan tetapi dapat dalam bentuk aset atau kombinasi antara uang tunai dan asset atau
tenaga
c. Syirkah Al-‘Amal
Syirkah al-‘amal adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan
secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaaan itu. Misalnya kerja sama dua orang
arsitek untuk menggarap sebuah proyek atau kerjasama, dua orang penjahit untuk menerima
order pembuatan seragam sebuah kantor. Musyarakah ini kadang disebut dengan syirkah
abdan atau sanaa’i.
d. Syirkah Al-Wujuh
Yaitu kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prastise yang baik serta
ahli dalam bisnis, mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual
barang tersebut secara tunai. Mereka membagikan berdasarkan jaminan kepada penyedia
barang yang disiapkan oleh setiap rekan kerja.
Sayyid Sabiq memberikan definisi syirkah al-wujuh yaitu dua orang atau lebih membeli suatu
barang tanpa modal, melainkan semata berdagang kepada nama baik dan kepercayaan pada
pedagang kepada mereka. Syirkah ini disebut juga syirkah tanggung jawab tanpa kerja dan
modal.
e. Syirkah Mudharabah
Merupakan kerja sama usaha antara dua pihak atau lebih yang mana satu pihak sebagai
shahibul maal yang menyediakan dana 100% untuk keperluan usaha, dan pihak lain tidak
menyerahkan modal dan hanya sebagai pengelola atas usaha yang dijalankan, disebut
mudharib.
Manfaat Musyarakah
Terdapat banyak manfaat dari pembiayaan musyarakah ini, diantaranya sebagai berikut:
a. Bank akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha
nasabah meningkat.
b. Bank tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu kepada nasabah pendanaan
secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank
tidak akan pernah mengalami negative spread.
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha
nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal,
aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi
itulah yang akan dibagikan.
e. Prinsip bagi hasil dalam mudharabah/musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga
tetap di aman bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga
tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, bahkan sekalipun merugi dan
terjadi krisis ekonomi.
Any Question ?
Daftar Pustaka
Abdul Ghafar Anshori. Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia (konsep, regulasi, dan implementasi).
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat. 2010. cet ke-1. Jakarta: Amzah.

Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. 2001. Jakarta: Rajawali Press .

Ghufron A.Mas‟adi. Fiqh Muamalah Kontekstual. 2002. cet ke-1. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers. 2010.

Ismail. Perbankan Syariah. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Mardani. Hukum Bisnis Syariah. 2014. cet ke-1. Jakarta: Prenadamedia Group.

Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek. 2010. cet ke-1. Jakarta: Gema Insani.

Naf’an. Pembiayaan Musyarakah dan Mudharabah. 2014. cet ke-1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
THANKS!

Anda mungkin juga menyukai